Kuganti celana jeans, kaos dan sepatu sneaker-ku dengan celana hitam beserta baju putih terbalut blaser hitam. Sepatu hitam ber-hak tinggi tanpa stocking ikut menghias kakiku yang mulus dan jenjang. Aku masih merapikan beberapa sapuan make up dan menyisir rambut yang menggumpal ketika suara mobil butut Anto terdengar menderu dari parkiran di halaman kantor.
Tidak lama kemudian kelotak sepatu pria diiring suara bariton terdengar menyapa, "Selamat pagi."
Empat staf kami termasuk Nardi yang sudah selesai membersihkan ruangan menggema membalasnya.
Dari lantai dua aku berteriak, "Pagi, Pak!"
Dia tidah menjawab. Tapak sepatunya terdengar menaiki anak tangga. Managing partner-ku itu muncul dengan rambut mengkilap tersisi rapi. Perawakannya yang tegap dengan tinggi seratus tujuh puluh lima senti meter, ditunjang kulitnya yang bersih membuat ketampanan Anto menjadi jujugan ibu-ibu yang ingin menceraikan suaminya yang kedapatan selingkuh.
Kali ini kemeja putih bersih terserika licin itu terlihat serasi dengan celana hitamnya. Dasi warna merah bertengger mengikat rapi lehernya. Untuk urusan penampilan, Lidia, istri Anto sekaligus sahabatku saat kuliah, sangat memperhatikan performa suaminya itu.
"Tumben kau ikut berteriak memberi salam?" tanyanya sedikit sinis.
"Memang tidak boleh menyambutmu sebagai Bapak Pimpinan?"
"Nggak enak saja bila kamu sudah menunjukkan keramahanmu. Pasti ada apa-apanya," timpalnya. Sebelum aku membalas, dia sudah menukas, "Sahat sudah datang?"
Aku menggeleng.
Anto melanjutkan pertanyaannya, "Dia tidak telepon?"
"Nggak, tuh."
"Mungkin dia terjebak macet," gumam Anto pada diri sendiri.
Sahat adalah manusia paling disiplin di antara kami bertiga. Pun paling rapi dan cerewet bila ada dokumen atau kertas yang berserakan. Suara Sahat melengking tinggi bila ada barang yang tidak semestinya berserakan di meja. Tetapi dengan sifatnya itulah file-file klien kami jadi tertata rapi. Membuatku sangat terbantu bila membutuhkannya dengan segera.
Sahabat kami itu memang pajang umur. Belum juga aku dan Anto mempertanyakan keterlambatannya, suara khas melengking terdengar ramai di halaman kantor. kami bergegas turun ke lantai satu.
Di parkiran, lelaki dengan tubuh tegap, hidung mancung dengan dagu ditumbuhi berewok itu terlihat sedang menggandeng seorang perempuan paruh baya. Perempuan seusia mama terlihat malu-malu melangkah di sisi Sahat.
Lelaki dari luar pulau yang datang ingin menaklukan Jakarta dengan ilmu hukumnya itu mempersilahkan wanita setengah baya di sampingnya untuk masuk. Kutarik kursi di depanku, kupersilahkan ibu itu duduk.
Wajah wanita di depanku terlihat penuh kegalauan. Beberapa keriput di sudut matanya menampakkan sisa air mata. Pandangannya terus menunduk. Tangannya mendekap tas hitam erat-erat, seolah tas itulah harta milik satu satunya.
"Nah, ini Bu Sylvi. Bu Sylvi, perkenalkan ini Bu Rola," kata Sahat ramah.
Aku mengulurkan tangan kananku. Wanita di depanku itu mengangguk tipis dengan bibir gemetar. Diraihnya uluran tanganku, sementara tangan kirinya tetap memegang tas hitam itu dengan erat. Bilur-bilur kapalan di kulit telapak tangannya mengantarkan sifat pemiliknya. Wanita pekerja keras, batinku.
"Saya Sylvi. Silahkan duduk, Bu."
"Terima kasih," katanya lemah tanpa percaya diri.
Sebelum kami membuka percakapan, Sahat sudah memberikan perintahnya. "Bu Rola duduk di sini dulu ditemani staf lain. Kami tinggal sebentar, ya."
Sahat memberi kode dengan menengadahkan kepalanya, mengajak aku dan Anto ke lantai dua. Kami mengikuti arah keinginannya. "Lila, kau temani ibu ini dulu. Aku mau bicara dengan Bu Sylvi dan Pak Anto," cetus pria itu.
Lila tersenyum ramah, dia bergeser ke mejaku. Setelah meminta ijin ke Bu Rola, aku dan Anto beranjak mengikuti Sahat ke lantai dua. Aku berdoa semoga gadis itu tidak menyelingi percakapannya dengan wanita itu dalam Bahasa Inggris.
Lantai dua ruangan kami tidak seperti ruang lantai satu yang tersekat-sekat. Ruang lantai dua lebih santai, dengan wallpaper motif bunga dan beberapa lukisan pemandangan. Kata-kata puitis tentang hukum bertebaran tergantung di tembok dengan bingkai warna warni. Sofa bentuk "L" di temani satu meja panjang dan enam kursi adalah tempat kami merebahkan diri setelah berkutat seharian dengan dokumen hukum. Dispenser dan seperangkat peralatan minum beserta kopi dan teh merupakan teman terbaik saat harus begadang.
Belum sempat aku menghenyakkan pantatku di atas kursi, Sahat sudah memeluk Anto. Tidak siap diperlakukan seperti itu, Anto hanya membalas menepuk pundak Sahat. Setelah melepas pelukannya, Sahat beralih ingin memeluk diriku, tapi dengan cepat aku menghindar.
"Ada apa? Kenapa pakai acara peluk-pelukan segala?" tanyaku jengah.
Sahat menatap aku dan Anto bergantian. Ekspresi wajahnya terlihat bak orang habis menang lotere.
Dia berteriak tertahan agar suaranya tidak sampai ke lantai bawah. "Akhirnya, kita dapat kasus besar! Kita akan terkenal, law firm kita akan terkenal!"
Kulirik wajah Anto yang tetap dingin tanpa ekspresi. Walaupun aku tahu rasa penasarannya sebesar rasa penasaranku, kelihaiannya dalam berganti muka mampu menyembunyikan perasaannya. Akulah yang tak kuasa menahan rasa itu.
"Apa maksudmu? Jangan buat kami penasaran, dong!"
Mata bulat Sahat berputar berkeliling. Dia merendahkan kalimatnya walau aku yakin dinding kantor kami tidak punya telinga.
"Kalian masih ingat peristiwa penembakan yang mengakibatkan lima nyawa melayang itu?"
Sahat tidak meneruskan keterangannya. Dia sengaja memancing kami untuk mengingat kasus penembakan yang menewaskan seorang pengusaha beserta teman wanita dan tiga pengawalnya yang terjadi satu bulan yang lalu.
Kasus itu terus menjadi perbincangan publik dan media. Komentator dadakan mengeluarkan kritik ngawur tanpa data yang akurat, membedah kasus itu dari segala sisi. Apa hubungannya kasus itu dengan pelukan Sahat?
"Tentu saja kami ingat. Bukan kah pemuda yang melakukannya sudah tertangkap dan mengakui perbuatannya?"
Sahat tersenyum simpul, bicaranya sengaja diperlambat. Ia memberi tekanan pada setiap suku kata yang meluncur dari bibirnya.
"Betul! Ibu itu adalah anak pemuda yang melakukan penembakan. Dan, dia ke sini meminta tolong Law firm kita yang menangani kasus anaknya!"
Seorang pemimpin sebuah partai sekaligus pengusaha kaya raya meregang nyawa ditembak pemuda yang tak dikenal. Begitu besar animo masyarakat, bahkan Presiden pun menginstruksikan Kapolri untuk memberikan perhatian khusus pada kasus ini.
Yang membuat kasus ini lebih menarik, pelaku penembakan yang berinisial SN itu tidak bersedia didampingi pengacara walaupun ancaman yang akan diberlakukan adalah pembunuhan berencana dengan vonis maksimal hukuman mati.
Mulutku terkunci rapat ketika Anto meloncat menubruk Sahat. Memeluknya erat-erat.
"Akhirnya, akhirnya," bisiknya lirih.
Kalau saja peristiwa ini sinetron, lagu "We Are the Champion"-nya Queen akan berkumandang menemani pelukan Anto.
Kode Etik Advokat melarang Advokat untuk beriklan, termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran yang berlebihan. Tentu saja larangan ini sangat membatasi ruang lingkup gerak Advokat dalam menawarkan jasanya. Diakui atau tidak, profesi Advokat adalah pebisnis dengan barang dagangan jasa. Bagaimana masyarakat tahu akan kualitas dan kemampuan jasa yang ditawarkan bila Advokat tidak boleh beriklan?
Dengan mendapat kasus besar yang disorot oleh media seperti ini, sebuah law firm akan terkenal, berikutnya kasus-kasus akan banyak berdatangan.
"Bagaimana kau bisa kenal dengan Ibu itu?" tanya Anto.
Wajahnya memerah bercahaya. Senyum lebar mengembang memperlihatkan deretan giginya yang cemerlang. Baru kali ini aku melihat Anto melepaskan segala ekspresinya. Mungkin kepalanya sudah terisi tagihan-tagihan yang akan gampang dibayar setelah kami terekspose media.
"Tiga tahun lalu waktu aku bekerja di kantor Law Firm-ku yang lama, aku pernah menangani kasus sengketa perdata yang melibatkan saudara Ibu Rola. Karena saudaranya itu tidak mempunyai biaya untuk minta bantuan ke Advokat lain, aku membantunya tanpa memungut honorarium sepeser pun. Dan, Tuhan membalasnya sekarang. Orang yang kubantu itu muncul tadi pagi di depan rumah sambil mengantar Bu Rola," terang Sahat dengan logat Sumateranya yang khas.
"See!" kataku memberi tekanan ke Anto. Tuhan tidak tinggal diam melihat ketulusan manusia. Siapa yang menabur, dia akan menuai. Kami tahu, Ibu Rola pun tak akan sanggup memberi honorarium pada kantor kami. Tapi, dengan dia membubuhkan tanda tangannya untuk memberikan Surat Kuasa Khusus kepada kami untuk mengurus kasus anaknya, kupastikan kami akan mendapatkan banyak kasus setelah ini.
Managing Partner kami itu menarik bibirnya tipis. Dia membiarkan keputusannya mendapat ejekan dariku.
"Baiklah, kita bagi tugas. Menurutku, walaupun kita sudah mendapat kasus besar, tetap saja kita tidak boleh menelentarkan beberapa klien yang ada. Aku menangani kasus-kasus yang lama, kalian berdua konsentrasi pada kasus ini," kata Anto.
Tugas Anto memang mengendalikan kantor Law Firm ini secara global. Dia juga yang membagi kasus apa dan siapa yang menanganinya, sekaligus dia juga yang memikirkan bagaimana kantor kami tetap bisa hidup dari honorarium yang kami terima.
Menginjak tahun kedua, kami baru mendapatkan lima kasus perdata, dua kasus pidana ringan, dan puluhan kasus perceraian. Untuk ukuran Law Firm dengan tujuh orang yang menggantungkan hidupnya, honorarium yang kami terima masih sangat kurang untuk membayar tagihan-tagihan bulanan. Kami harus mengetatkan ikat pinggang. Bahkan untuk kebutuhanku sehari-hari, aku masih mengandalkan kiriman dari mama. Sebagai gantinya, wanita yang melahirkanku itu ikut campur mengatur tetek bengek keperluanku di sini.
Mataku tertumbuk untaian kalimat dalam bahasa latin yang terpajang di dinding. Bingkai yang melingkarinya terbuat dari kayu dengan cat terkelupas. "Fiat Justitia Ruat Caelum"-"Tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh". Akan kah keadilan bisa ditegakkan bila anak dan istri di rumah berteriak minta kehidupan yang layak?
Untuk kesekian kali kupertanyakan cita-citaku menjadi seorang Advokat.