Mataku terbuka sempurna tatkala pagi bercumbu dengan cakrawala. Matahari di ufuk timur terlihat pucat saat motorku meninggalkan kawasan apartemen di pusat ibu kota. Belum juga separuh jalan, motorku berjalan tersendat. Jakarta semakin hari semakin tidak bersahabat dengan segala jenis kendaraan. Aku melirik arloji channel pemberian mama. Jarum pendeknya turun ke angka enam, jarum panjangnya berbalik arah.
Sebenarnya terlalu pagi untuk memulai aktifitas, padahal aku tidak punya janji dengan klien hari ini. Tetapi, kemacetan awal minggu membuatku tak ingin melihat Anto dan Sahat mendelik kecut.
"Kampret! pakai matamu! ... $#$%%%%!" Sumpah serapah kenek bus itu mengagetkanku.
Aku menyalipnya dari sebelah kiri, hampir menempelkan bodi motorku dengan moncong sebelah kiri busnya. Sang kenek yang bertubuh mungil dengan tulang bahu menekuk ke depan itu melotot. Kubalas delikannya dengan kibasan tangan kiri meminta damai.
Gas kutarik lagi. Motorku merayap di antara sela-sela mobil, bergerak seperti anomali air. Di mana ada tempat kosong di situlah motorku mengalir.
Setelah satu jam meliuk-liuk di antara knalpot yang menyemburkan asap pengap, motorku memasuki pelataran pertokoan tempat kantor "Anto S.H. & Partners" bermukim. Area pertokoan di kawasan Jakarta selatan itu memang tidak sepenuh dan seramai area pertokoan lain di Jakarta Pusat. Tapi, ketika waktu sudah menginjak pukul tujuh, semua penyewanya akan kesulitan mencari tempat parkir. Beberapa motor dan mobil sudah berjejer rapi di depan kantornya masing-masing.
Kujagang motorku, kumatikan mesin, kuangkat pantatku dari jok bodinya. Sesaat setelah melepas helm, sebuah suara penuh semangat menyapaku.
"Selamat pagi, Bu Sylvi!" kata Nardi, office boy merangkap staf adminsitrasi.
"Selamat pagi," jawabku dengan bibir tersibak sempurna.
Tas ransel kuturunkan dari punggung. Helm kukunci di samping bodi motor. Kumasukkan sarung tangan dan masker kain ke dalam tas. Kusibakkan rambut yang menggumpal karena tertutup helm. Aku mematut sebentar wajahku di spion motor.
Rambut sebahu, sepasang mata lebar dengan kelopak cekung di atasnya terlukis alis tebal. Hidung mancung, rahang lebar menopang dagu menggantung. Senyum puas memantul dari kaca itu. Senyum yang banyak membuat pria jatuh bangun berharap tarikan bibir penuh itu selalu mengembang untuk mereka.
Didukung kulit kuning langsat dan tinggi badan seratus enam puluh tujuh senti meter dengan berat badan ideal, teman-temanku waktu sekolah SMA dan kuliah sering mendesakku untuk ikut ajang lomba kecantikan. Alih-alih ikut berlanggak lenggok di catwalk, aku lebih memilih pentas penuh peluh, pukulan, dan tendangan sebagai penyaluran bakat.
"Pak Anto dan Pak Sahat belum datang?" tanyaku ke Nardi yang sejak bertemu masih belum melepaskan pandangannya dari penampilanku.
"Belum, Bu." Pemuda tanggung itu menunduk tatkala tatapan kami bertemu. Aku menganggukan kepala ke arahnya. Dia membalas tipis. Sekilas pemuda tangggung itu kembali mencuri pandang kala kaki membawa tubuhku yang sintal memasuki kantor law firm yang kami dirikan satu tahun yang lalu.
Kantor dua lantai dengan ukuran lebar lima meter dan menjorok ke dalam sepanjang dua puluh meter itu terbilang mahal dibanding kantor konsultan hukum tempatku magang di Surabaya sebelum disumpah sebagai Advokat. Lantai satu menjadi kantor administrasi sekaligus ruang menerima klien. Lantai dua untuk ruang rapat, plus tempat menginap bila eksepsi, gugatan, replik, duplik tak kunjung selesai kami kerjakan.
"Selamat Pagi."
"Selamat pagi, Bu Sylvi," jawab tiga staf serempak. Wajah mereka bersinar, bersiap memulai hari pertama kerja dalam minggu ini.
"Bagaimana hari libur kalian?" tanyaku basi-basi.
"Amazing, Bu!" jawab Lila, staf bagian keuangan dengan penuh semangat.
"Wow, great!" jawabku menimpali dengan senyum lebar.
Kuberi dia dua jempol. Dua staf lain tersenyum simpul. Gadis muda yang baru lulus Sekolah Menengah Atas Kejuruan itu termasuk petarung kehidupan yang ulet. Di samping berkutat dengan angka-angka di kantor kami, sorenya dia mengambil kuliah malam jurusan Bahasa Inggris.
Lila selalu mengawali harinya dengan sapaan dalam Bahasa Inggris. Tidak jarang saat meeting pun, kadang gadis itu menyelipi usulnya dengan kalimat pendek dari bahasa yang sedang digandrunginya. Membuat kami keki dengan sikap kebarat-baratannya.
Untuk kantor Law Firm yang masih berusia seumur jagung, menghidupi empat pegawai beserta biaya listrik, telepon, air, perjalanan dinas, dan tetek-bengeknya terasa berat bagi keuangan kantor. Sementara imbalan honorarium sebagai pengganti bantuan jasa hukum yang kami berikan tidak seberapa. Bahkan kadang kala gratis. Setahun berdiri, hanya masalah perceraian dan pembagian harta gono gini, beberapa kasus perdata dan kasus kejahatan sepele yang kami tangani. Pendapatan dari klien tidak mampu menutup biaya yang semakin membengkak.
Celakanya, aku sering memberi bantuan hukum tanpa menerima bayaran sepersen pun bila mengetahui keadaan ekonomi klienku mengenaskan.
"Bagaimana kantor kita bisa hidup kalau kau banyak menggratiskan jasa kita seperti itu?" semprot Anto kala itu.
"Aku kan tidak membebankan biaya pengurusan kasus ini ke kantor," belaku mempertahankan pendirianku.
"Tapi, kau kan menerima gaji dari kantor ini."
"Oke, kau boleh potong gajiku," jawabku bersungut-sungut. "Lagipula, kita disumpah untuk membantu pihak yang lemah," lanjutku.
"Suka-suka kau sajalah!" gerutu Anto bila kalah debat.
Di saat seperti itulah Sahat tampil sebagai penengah. Temanku dari Pulau Sumatera itu menenangkan Anto dengan memijat lembut bahunya. "Begini saja, Bang. Kali ini kita turuti keinginan Sylvi." Kemudian dia beralih menenangkan aku. "Tapi, untuk kali ini saja Syl. Pendapat Bang Anto ada benarnya. Profesi kita memang profesi terhormat, tapi kalau kau selalu menggratiskan klien kita, akan kelaparanlah kita."
Begitulah selalu perdebatan yang terjadi di antara kami setahun ini: selalu berkutat dengan biaya. Aku tak tega menerima honorarium dari klien berekonomi pas-pasan, sedangkan kepala Anto selalu dipenuhi angka debet dan kredit.