Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

ai (LOVE)

🇮🇩warddicson
44
Completed
--
NOT RATINGS
106.9k
Views
Synopsis
"Kenapa? Apakah salah mencintainya?" Aku mengajukan pembelaan. "Tidak salah mencintai wanita. Hanya saja kau mencintai wanita yang salah!" bentak papa. Laki-laki terakhir yang kuharap memahami perasaanku itu semakin menjauh. Alih-alih membela, dia malah memojokkanku. "Bukan kah kau tahu sejak awal ini hanyalah permainan belaka?! Pendekatan asmaramu dengan wanita itu tidak lebih dari sekedar bisnis. Kalau dia jatuh cinta, itu urusannya! Tapi, kau harus menjaga hatimu untuk tidak mencintainya." Kazuki terjerat permainan hati. Penebar pesona yang sempurna itu mengira gampang menaklukkan hati Michi. Justru karma berbalik padanya. Tatkala penghianatannya terbongkar, dia harus merelakan cintanya ambyar. Dalam kelana penuh nestapa, Kazuki menemukan penyembuh derita hatinya dalam dekapan kasih wanita lereng Gunung Bromo. Tahun berlalu penuh bahagia. Namun, Semesta menumpahkan cobaanNya. Kali ini dia harus membayar tunai berikut bunga jejak masa lalunya.
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 1 ; Penebar Pesona

Lantai bergetar keras. Botol beserta gelas di atas meja bergoyang beriringan. Dentum hingar-bingar selaras goyang kepalaku mengikuti irama musik reggae. Kilat sinar laser yang terpancar dari lighting warna-warni menari mengitari ruangan. Kutuangkan kembali wiski ke gelas kosong seperempat bagian. Kusesap pahit minuman keras itu dalam sekali teguk. Alkohol yang larut dalam cairan membakar tenggorokanku, menuju saluran cerna. Cairan itu menyelusupi pembuluh kapiler, tanpa ampun menghajar organ-organ tubuhku.

Belakang kepalaku terasa semakin berat. Berdenyut menyakitkan. Tapi kuacuhkan. Kusesap lagi dan lagi sambil membiarkan kepalaku bergoyang ke kanan dan kiri terhipnotis hentakan piringan yang dimainkan disc jockey. Seorang wanita seksi mendekat. Ia merebut gelas kosong yang masih ingin kuisi lagi dari tanganku. Wanita berdada subur itu menarik tanganku. Memaksaku melantai. Dengan kasar kutepis tangannya. Sumpah serapah keluar dari bibir tipis merah darahnya. Aku mengacungkan jari tengah membalas umpatannya. Dia kembali mengumpat gusar. Tanpa menghiraukanku lagi, dia melemparkan tubuhnya ke tengah kerumunan laki-laki dan perempuan yang meliuk-liuk bak anjing kepanasan.

Aku sedang tidak ingin diganggu. Akhir pekan yang menyenangkan berubah menjadi hari yang menyedihkan. Dan, tempat yang tepat untuk melewatkan kegalauan adalah sendiri di tengah lautan manusia sambil ditemani teman setia; wiski.

Otakku berputar kembali mencerna peristiwa hari ini. Sebuah kontrak bisnis sebesar seratus juta yen batal karena kecerobohanku. Kesalahan fatal yang telah kubuat memang layak mendapatkan hukuman. Namun mencercaku dengan kalimat penuh hinaan di depan seluruh staf kantor, sangat merendahkan dan melukai harga diriku. Aku tak bisa menerima perlakuan seperti itu. Kalau saja dia bukan direktur utama sekaligus kakakku, sudah kuhantam mulut kotornya. Lagipula, separah apapun tindakanku, Hiroshi tidak akan memecatku. Kecuali jika dia bersekutu dengan Papa mencoretku dari daftar ahli waris.

Malas melawan, kutinggalkan dia dengan sumpah serapah yang tersisa di mulutnya. Kupacu sedan Lexus F Sport merah marun dengan kecepatan penuh. Kucari tempat pelampiasan kekesalan. Di sebuah diskotik termewah di kota Tokyo, kutemukan ketenangan hidup dalam bergelas wiski ditemani pekaknya hentakan musik.

Jarum pendek Richard Mille yang melilit tangan kiriku menunjukkan angka sebelas. Walaupun aku sudah menghabiskan empat jam lebih di sini, masih terlalu sore untuk menuntaskan perjalanan malam ini. Dua botol minuman keras penghilang rasa galau sudah hampir habis. Menambah satu botol lagi akan membuatku tak bisa bangkit. Kepalaku semakin berdenyut keras.

Malam semakin larut. Pengunjung kian membeludak. Berpuluh pasangan muda-mudi bergerombol memasuki ruangan diskotik laiknya gelombang tsunami merambah kolong-kolong kota. Mereka membanjiri setiap tempat kosong untuk sekedar mengerakkan tubuh. Berteriak, melompat, berjingkrak mengikuti iringan musik cadas. Ingin hatiku melebur bersama mereka tuk menumpahkan kemarahan yang sedari sore kutahan. Namun kepala dan perutku tidak mengijinkan. Kekuatanku serasa terlolosi. Pandanganku nanar. Minuman beralkohol memberikan peringatan bahwa kestabilan neurotransmitter dalam otakku terganggu. Waktunya pulang.

Ketika hendak beranjak, sebuah tepukan lembut di pundak mengurungkan niatku.

"Kazuki chan, mau kemana?" Suara lembut mendesah mampir di telingaku.

Dalam remang dibalut kilatan sinar laser, wajah itu mengusik pandanganku. Mataku berkali-kali mengerjap berusaha mengirim sinyal ke otak. Kucari biodata sosok wanita cantik itu di setiap kenangan petualanganku. Aku menyerah. Nama itu tak kutemukan. "Aku ingin pulang," jawabku sekenanya.

"Masih sore. Aku temani minum, ya?"

Aku mengangkat tangan. "Tidak. Aku sudah terlalu banyak minum."

Dia menarik mimik wajahnya cemberut. Kecewa. Dahinya mengernyit. Bulu matanya tertarik ke atas memperlihatkan sorot mata yang menggairahkan. Kulit wanita itu berkilat tertimpa gelombang sinar yang bergonta-ganti warna. Dia cantik sekali. Mataku benar-benar dimanjakan sebuah wajah yang terpahat sempurna. Aku terkesima. Kecantikan wanita ini membuatku tak ingin melewatkan malam dalam kesendirian.

Kutarik lembut bahunya mendekat hingga kalimatku bisa sampai ke telinganya. "Sungguh suatu kebahagian bila kau mau menemaniku pulang. Menghangatkan tempat tidurku," bisikku nakal.

Anak rambut yang menutup telinganya semburat terkena desahan nafasku. Dia mengelinjang geli. "Kau genit," katanya manja sambil mencubit lenganku.

Aku pura-pura mengaduh. Dia menarik tanganku menjauh dari meja. Aku mengikuti langkahnya seperti anak kecil penurut. Wanita itu menuntunku menyibak lautan manusia. Kepulan pekat asap rokok menyesak ruangan. Gelembung itu membuat sebuah nama melintas di benakku. Yoshie! Ya. Aku ingat sekarang. Wanita cantik yang sedang menuntunku adalah Yoshie Imamura!

Di halaman diskotik, kuserahkan tiket parkir ke petugas parkir valley. Kusandarkan tubuhku ke bahu Yoshie. Tubuh perempuan ini mengeluarkan bau harum taburan ribuan bunga. Membuat hasrat kelakianku membuncah. Tidak menunggu lama, Lexus F Sport seharga delapan setengah juta yen beranjak pelan mendekat. Petugas parkir pembawa mobilku adalah pemuda tanggung. Dia menyerahkan kunci mobil dengan wajah pucat. Aku memujinya dalam hati. Tidak semua petugas parkir bisa mengemudikan mobil ini. Tetek-bengek transmisi otomatisnya tidak sesederhana mobil Jepang pada umumnya.

Setengah sempoyongan kubuka pintu Lexus-ku. Kuhempaskan tubuh limbungku ke jok empuk mobil itu. Aku bersiul kecil melagukan nada tak beraturan. Efek alkohol plus wanita cantik membuat hatiku bergelora. Kekuatan yang entah dari mana datangnya memberiku stamina tersendiri.

Yoshie membuka pintu samping. Tanpa kupersilahkan dia menghenyakkan tubuhnya di jok sampingku. Dahinya berkerut. Rahangnya mengeram kuat. Sebuah mobil dari depan memasuki pelataran parkir, sorot lampunya menerangi wajah Yoshie yang memucat khawatir.

"Kau yakin masih bisa nyetir?" tanya Yoshie.

Aku terbahak. "Jangan khawatir. Aku bahkan masih mampu membawamu ke Osaka dengan mobil ini."

Tak kupedulikan ketakutan yang membekap maskaranya. Aku yakin mampu mengendarai mobil ini walau kepalaku berat dan perutku semakin bergejolak. Lagipula, tempat tinggalku tidak terlalu jauh. Malam semakin larut. Jalanan sepi. Tidak ada kemacetan, tidak ada polisi.

Kutekan tombol start. Mesin Lexus yang selalu setia menemani petuanganku mengeram halus. Kuinjak pelan pedal gas. Namun, sebuah ketukan ringan di jendela menghentikan pijakanku. Petugas parkir itu memintaku menurunkan kaca jendela.

"Tuan, akan lebih baik jika Tuan menggunakan sopir," tegurnya, tepat ketika kaca mobilku terbuka sedikit. Kubiarkan peringatannya ditelan dini hari. "Tolonglah Tuan. Mengendarai mobil dalam keadaan mabuk sangat berbahaya. Melanggar peraturan," lanjutnya.

Aku menatap wajah petugas itu. Dia menundukkan kepalanya melihat tatapanku diliputi kegusaran. Bibir kutarik pelan ramah setelah yakin di wajah pemuda itu tak kutemui gurat ejekan, atau keinginan mencari muka.

"Kamu tak usah mengkhawatirkan keadaanku. Apa yang terjadi padaku adalah tanggung jawabku. Kalau ada apa-apa denganku, akan kucatat bahwa kamu telah mengingatkan. Oke?"

"Tapi, Tuan. Tugas saya mengingatkan semua orang untuk berkendara dengan aman." Pemuda itu beranjak menjauh. "Saya akan memanggil sopir pengganti," teriaknya mengalahkan derum mesin mobilku.

"Hei!" Bentakanku menghentikan lengkahnya."Sini!"

Petugas itu menghentikan langkahnya. Dia menengok ke arahku. Kubuka penuh kaca jendela. Kulambaikan tanganku. Dia mendekat. "Ada apa, Tuan?" tanyanya mulai jengkel.

"Lebih mendekat," perintahku.Aku meminta kepalanya masuk ke dalam jendela mobil. "Sini tanganmu!"

Ia mengulurkan tangannya. Gemetar. Sedikit memaksa kutarik tangan itu ke dalam. Kusorongkan dua lembar sepuluh ribu yen ke dalam genggamannya. "Terima kasih sudah mengingatkan," kataku pelan.

Mata pemuda petugas parkir itu terbelalak. Telapak tangan di genggamanku semakin bergetar. "Apa ini, Tuan?"

"Terimalah! Anggap saja hari keberuntunganmu." Kupaksa telapak tangan itu menggenggam erat.

"Tt--tapi, Tuan ... ini ... melanggar hukum...."

Aku yakin dia pekerja part timer. Dua puluh ribu yen sama dengan dua puluh jam upahnya. "Aku tidak akan bilang siapa-siapa," kataku menegaskan

Dia gamang. Satu sisi dia tahu ini melanggar hukum. Sisi lain hatinya goyah melihat gambar Fukuzawa Yukuchi san tertera di lembar yang kusorongkan.

Kekuatan uang mengalahkan segalanya. Sedari dulu aku percaya, tidak ada yang tak bisa dibeli. Kesetiaan dan cinta sekali pun. Apalagi harga diri seorang pemuda tanggung. Dia menganggukkan kepalanya berkali-kali. Cepat dimasukkannya uang itu ke dalam saku kantong celananya.

"Terima kasih Tuan, selamat berkendara. Semoga selamat sampai tujuan," katanya parau.

Aku tertawa lebar penuh kemenangan. Kututup kaca jendela, kugeber mesin mobilku. Lexus merah marun melesat meninggalkan bunyi raungan. Kulirik wanita di sebelahku. Dia tertawa genit melihat aksiku. Lirikan yang nakal semakin memacuku menginjak pedal gas. Mobil melaju semakin cepat, berpacu dengan hasratku akan pelukan hangat penuh gelora.

***

Kelopak mataku terbuka sempurna. Suara bel beriringan dengan gedoran pintu, bertalu-talu menghajar gendang telingaku. Belakang kepalaku berdenyut keras. Serasa ada puluhan orang menabuh genderang memukul bagian otakku.

Aku menggeliat malas. Penunjuk waktu di atas tempat tidur masih menunjukkan pukul delapan pagi. Kukutuk tamu yang mengusik hari liburku. Bila saja dia datang tanpa alasan yang berarti, aku bersumpah akan meninju mukanya.

Selimut kutendang kasar. Sebelum menjejak lantai yang berbalut karpet mahal, sebuah tangan kecil halus menarikku masuk kembali ke dalam selimut. Aku tersentak. Otakku berusaha mengumpulkan kejadian-kejadian yang masih melekat. Dari mana? Dengan siapa aku pulang? Siapa wanita yang bersamaku ini?

Kusibak selimut yang menutupi wajah perempuan di sampingku itu. Dia menyembunyikan kepalanya dengan kedua tangan. Aku menarik paksa tangan yang menutupi wajahnya. Bibirnya manyun, enggan mendapat perlakuan seperti itu. Ia masih terlihat cantik walau habis bangun tidur. Rias kosmetiknya masih terlihat jelas walau menipis. Kelopak matanya kuyu kelelahan. Aku menatap lekat wajah itu. Terlalu banyak wanita yang mampir dalam petualangan cintaku. Membuatku harus berpikir keras, mencerna siapa yang tidur denganku semalam. Ah, iya. Sebuah nama melintas.

"Mizuki chan, cepat bangun. Ada tamu di luar," pintaku tergesa.

Mata cantik itu melotot seketika. Dia menghempaskan selimut dengan kasar. Tanpa berbicara sepatah pun Mizuki meloncat dari tempat tidur, berjalan cepat menuju kamar mandi. Dari kamar mandi teriak kegeraman bersaing dengan tutup toilet terbanting keras.

Tak kupedulikan kemarahan wanita itu. Suara gedoran dan bel berbunyi beriringan tanpa bisa dicegah. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengenakan pakaian seadanya. "Sebentar! aku datang!"teriakku.

"Cepat!" Pekikan di luar membalas.

Suara yang telah kukenal selama bertahun-tahun di kehidupanku itu menggerus kemarahanku, membuatku berlari cepat melewati ruangan tamu. Kubuka pintu dengan tergesa.

Wajah pria setengah baya di hadapanku itu merah padam menahan amarah."Telingamu sudah rusak kah?!" Semprotnya.

Orang tua itu mendorong tubuhku. Aku terhuyung ke belakang memberinya jalan. Tanpa peduli kehadiranku ia langsung menuju dapur. Pintu lemari es dibukanya kasar. Jus jeruk dingin menjadi pelampiasan kekesalannya. Dalam sekali tenggak, isi botol yang tadinya masih separuh itu langsung tandas ke perutnya.

Wajahnya melemah setelah menghabiskan isi botol. Ujung hidung dan pipinya memerah. Entah karena hawa dingin di luar, atau marah karena aku tidak cepat membuka pintu untuknya.

"Gomen, Papa. Tadi malam aku pulang terlalu larut," kataku mencari pembenaran.

Dia melengos. Dengus garang keluar dari hidungnya. Papa melempar beberapa lembar foto ke meja. "Apa ini? Berapa kali aku harus membersihkan sisa kotoranmu ?!"

Lima foto bertebaran. Aku berada di dalam foto itu dalam setiap pose. Foto pertama; aku berjalan sempoyongan. Wajahku ter-close up memerah. Foto kedua dan ketiga memperlihatkan dengan jelas bayangan tangan kiriku saat memegang setir dan tangan kananku menyorongkan uang. Foto terakhir memperlihatkan anak muda tukang parkir memasukkan lembaran sepuluh ribuan ke sakunya.

Aku tersentak kaget. Bagaimana mungkin foto-foto ini bisa diambil? Aku sedang berada di dalam mobil. Sedangkan kaca film mobil juga gelap. Paparazi? Tidak mungkin. Aku bukan bintang film yang terus dikuntit para wartawan.

"Ak—ku ... bisa menjelaskan ... ini," kataku terbata.

Kalimat bantahanku membuat Papa meledak murka. "Bodoh sekali berkendara dalam keadaan mabuk!"

"Tapi, tidak ada bukti kalau aku mabuk," jawabku berusaha membela diri.

"Bakayaro! Semua orang tahu kalau kau minum banyak tadi malam. Jalanmu saja sempoyongan! Setelah dicecar, tukang parkir sialan itu akhirnya mengaku. Kau memberinya dua puluh ribu yen agar tidak memberitahu petugas kalau kau berkendara dalam keadaan mabuk!"

"Bangsat kecil itu!" desisku.

"Ya. Bangsat kecil itu sudah dipecat. Karena kamu!"

Tahu rasa kau! Batinku menyumpahi kemalangannya. Tidak ada rasa bersalah sedikit pun dalam hatiku, akibat perbuatanku dia kehilangan pekerjaannya.

"Maafkan aku," kataku merendah. Aku menundukkan tubuh di hadapan laki-laki yang sangat berkuasa di kehidupanku ini.

Suara Papa melemah melihat aku menyesali perbuatan. "Kau sudah dua puluh delapan tahun. Tak bisakah kau punya sedikit rasa tanggung jawab? Kalau kau tidak juga dewasa, bagaimana nanti bawahanmu bisa menghargai dirimu?"

Papa berhenti sebentar mengatur nafas, lalu melanjutkan, "Kau akan mendampingi Hiroshi memimpin perusahaan ini. Aku sangat berharap kau tidak mengecewakanku. Contohlah kakakmu itu. Dia berjuang keras agar perusahaan bisa lebih besar. "

Kemudian ... menit-menit berjalan lambat. Mendengar nama Hiroshi dielu-elukan bak seorang calon pahlawan yang akan berjuang mengadu nyawa membuat perutku mendadak mual. Walaupun sudah berpuluh-puluh kali, bahkan beratus-ratus kali puja-puji akan kehebatan kakakku itu keluar dari mulut Papa, aku masih sulit menerimanya. Aku dan Hiroshi bukan kembar siam. Tidak sepantasnya membandingkan dua sifat berbeda. Aku punya hak menjadi diriku sendiri tanpa harus berusaha menjadi bayangan Hiroshi.

Alih-alih membantah, seperti yang selama ini kulakukan, aku hanya tepekur diam. Kepalaku mengangguk-angguk laiknya burung perkutut kelaparan yang sedang berharap tuannya segera memberi makan. Kudengar segala nasehat, keunggulan, dan kehebatan Hiroshi dengan telinga kanan. Kubebaskan kalimat-kalimat tentang keagungan kakakku itu menerobos ruang kepalaku. Namun, segera kukeluarkannya dari telinga sebelah kiri. Dua puluh menit tanpa jeda kubiarkan orang tua di depanku ini mengeluarkan semua unek-uneknya. Setelah puas, dia terhenyak di atas sofa. Kelelahan.

Untuk beberapa saat tidak ada suara percakapan. Kami sibuk dengan isi kepala masing-masing. Keheningan itu akhirnya pecah bersama ketukan sol sepatu perempuan. Serentak mata kami beralih.

Mizuki melangkah tergesa. Wajahnya sekusut pakaiannya. Ketiak kanannya mengapit tas tangan Calvin Klein. Rambut gelap sebahu masih meneteskan air. Wajahnya putih pucat tanpa make up. Kelihatan sekali wanita ini sedang marah besar. Entah apa yang membuatnya gusar seperti itu.

Tanpa peduli kehadiran papa, Mizuki berdiri di depanku sambil berkacak pinggang. Matanya yang kecil tanpa maskara dan bulu mata mendelik. Bola mata itu seolah ingin keluar dan melahapku.

"Mizuki, ada apa denganmu?" tanyaku masgul.

"Maaf mengganggu! Terima kasih atas semua kebaikanmu!" jawabnya ketus.

Keheranan masih membebat pikiranku. Kehangatan dan gairah yang sempat kukecap semalam melintas sekilas. Entah apa yang membuat wanita ini sekarang berubah. "Mizuki chan, apa salahku?" tanyaku jujur. Sengaja nada kalimat kubuat selembut mungkin.

Seperti api disiram minyak, mata itu semakin mendelik marah. Dadanya turun naik dengan cepat. Dengus nafasnya seolah naga kehilangan apinya. Tanpa menghiraukan pertanyaanku, dia melangkah tergesa menuju pintu depan. Kasar dibukanya kunci pintu. Dengan tenaga meluap dia menarik pegangan pintu. "Brak!" daun pintu tak berdosa dibanting sekerasnya.

Belum juga dua detik, pintu itu kembali terbuka lebar. Wanita yang sedang kesetanan itu muncul kembali dengan sikap yang sama. Nampaknya ia belum puas sebelum marahnya ditumpahkan. Dia berteriak histeris, "Benar kata Tuan! Anak Tuan ini memang bodoh. Dia bajingan!"

Wanita kadang susah diterka kala marah. Setengah berteriak aku membalas ucapannya. "Mizuki! Apa yang telah kulakukan hingga kamu marah seperti itu?!"

Bentakanku semakin membuat Mizuki menekuk muka cantiknya. Dengan penuh kegeraman ia menatapku dengan mata memerah.

"Kau memang bajingan Kazuki! Aku sudah membopongmu dengan susah payah ke kamar, melayani nafsumu, dan aku yakin kau lupa dengan apa yang telah kau perbuat. Oke, tidak masalah. Aku bisa menerima itu. Tapi yang menjijikkan, setelah apa yang telah kulakukan untukmu tadi malam, kau bahkan tidak tahu namaku!"

Otakku macet. Aku berusaha keras memilah-milah nama para wanita yang pernah singgah dalam hidupku. Kutempeleng dahiku keras. Sebuah nama muncul di otakku. Ah, betapa bodohnya aku. Namanya Yoshie! Bukan Mizuki. Kutekuk kedua lututku. Aku bersimpuh di hadapannya. "Maafkan aku, Yoshie chan. Minuman keras masih menguasai otakku. Ampuni aku ... ampuni aku yang bodoh ini...." kataku menirukan lagak bintang sinetron murahan.

Bukannya mereda, kemarahan gadis di depanku semakin meledak. Tas Calvin Klein di ketiaknya dihantamkan ke kepalaku. Aku mengelak. Pukulannya yang mengenai angin kosong membuat air mata yang tadi membayang menderas turun. Dia terisak perih. "Baka! Baka! Baka! Namaku Ayumi!"

Aku tak sanggup lagi bicara. Kukutuk kebodohanku. Menyesal kuhindari pukulannya tadi. Bukan hanya pukulan, aku juga layak mendapatkan tendangan berikut jeweran. Dua kali aku salah mengingat nama gadis yang tidur denganku semalam.

"Brakkk!" Pintu tanpa dosa kembali menjadi korban keganasan wanita yang terluka hatinya. Ayumi meninggalkanku tanpa pamit.

Keheningan mencengkeram selama beberapa detik. Mata kami bertemu. Tanpa dikomando, aku dan Papa tertawa meledak bergemuruh.

Setelah gelak tawa berhenti, Papa tersenyum penuh kemenangan menatapku."Untuk urusan yang satu ini, bakatku menurun padamu," puji Papa.

Aku tersenyum kecut. Bakat playboy! batinku. "Untuk urusan yang satu ini, aku lebih hebat dari Papa," balasku.

Enggan menerima kalimat kekalahan dariku, Papa menatapku beberapa detik. Setelah puas melihat refleksi bayangan dirinya padaku, dia menghela nafas.

"Ya. Kau lebih tampan dariku. Kau memiliki kecantikan almarhum ibumu, dan mulut manisku. Penebar pesona yang sempurna," helanya.

Menyinggung wanita yang kami cintai membuat kilas kenangan gersang hanya berisi kepiluan dan air mata. Perempuan yang pernah mengisi kehidupan kami dengan cinta dan kebahagiaan itu telah menemukan kehidupannya sendiri dengan tenang. Sejak mama meninggal lelaki itu hidup dalam kesendirian. Cinta telah mati bersama jasad istrinya.

Papa adalah tipe laki-laki pekerja keras. Dia mendapat warisan perusahaan yang sudah hampir gulung tikar dari Kakek. Tangan dinginnya mengubah perusahaan menjadi kuat seperti sekarang. Kekerasan hatinya yang tak mau kalah membuat dia berjibaku bersaing dengan perusahaan lain. Papa berhasil membawa Yonekura Corporation tegak berdiri bersanding dengan perusahaan lain yang menguntungkan.

Menapak usia enampuluh tahun, Papa masih terlihat gagah, walau beberapa lipat keriput menghias sudut mata dan bibirnya. Rambutnya sudah separuh kelabu. Untuk ukuran penampilan lelaki, menurutku papa tidak terlalu tampan. Namun, rangkuman kalimat-kalimat manis yang keluar dari bibirnya banyak membuat wanita jatuh hati. Mulut salesman sejati.

Hiroshi, sang Direktur Utama, memiliki wajah dan karakter seperti Kakek. Keras, kasar, pelit senyum. Umurnya belum juga lima puluh, tapi tanda-tanda kebotakan sudah terlihat di kepalanya. Kakak laki-laki yang terpisah cukup jauh kelahirannya denganku itu selalu meledak saat bicara. Dia tidak mentolerir kesalahan bawahannya. Apalagi bila kesalahan itu mengakibatkan kerugian. Tidak peduli di pusat keramaian, atau di depan semua tamu, Hiroshi akan mengeluarkan umpatan kasar tanpa henti. Tidak peduli apakah yang berbuat kesalahan itu staf biasa, manajer, atau adiknya sedarah. Baginya, hidup hanya soal angka-angka. Soal rugi laba.

Sebagai anak kedua Presiden Direktur Yonekura Corporation, sejak muda aku tidak tertarik sedikit pun dengan permainan bisnis. Kedudukanku sebagai anak pemilik perusahaan lebih merupakan hiasan semata. Jabatanku sebagai manajer pemasaran hanya sebatas pajangan belaka. Kemampuanku dalam bidang bisnis terbilang pas-pasan. Pun, Hiroshi lebih melihatku sebagai duri dalam daging di kekuasaan yang saat ini dipegangnya. Aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Masa bodoh dengan pangkat dan jabatan. Selama pesta dan kehidupan malam bisa sering kudapatkan, aku tak akan tertarik dengan kekuasaan.

"Apa yang membuat Papa datang sepagi ini?" tanyaku mengusir kesenyapan. "Apa hanya perkara tukang parkir itu?" lanjutku ringan.

Wajah Papa kembali gusar. "Jangan menganggap enteng kesalahanmu tadi malam!"

Papa menghela nafas panjang. Dia melanjutkan kalimatnya bernada lenguhan, "Kau memang tidak pernah berpikir panjang. Aahh, sudahlah."

Papa mengeluarkan bungkusan amplop kuning emas. Ia melemparkan amplop itu di atas meja. "Undangan pesta. Dies natalis Fujioka Corporation. Kau juga harus hadir!"

Malas kuambil undangan bertuliskan tinta emas indah itu. Kubolak-balik kertas warna kuning emas di tanganku. Sangat elegan dan mewah untuk sebuah undangan perayaan. Kubuka penutupnya. Mendapati hari dan jam undangan yang tertulis, membuat mataku mendelik. Malam ini. Hari Sabtu! Akhir pekan yang kutunggu sejak dua bulan lalu.

"Aku harus hadir kah?" tanyaku gamang.

"Kenapa? Pesta lagi?!" bentak Papa penuh selidik.

Gertakan papa membuat bayangan pesta semalam suntuk dengan teman kuliah yang sudah kami rancang dua bulan sebelumnya perlahan menguap. Kohei akan melepas masa lajangnya. Minuman keras, wanita cantik, pesta gila-gilaan semalam suntuk terlalu berat untuk dilepaskan begitu saja.

Kucoba peruntunganku. "Ehm ... Kohei akan menikah minggu depan. Malam ini dia mengundangku. Kami sudah merancang ini dua...."

Belum juga kalimatku selesai, bentakan keras Papa memotongnya. "Iii kagen ni se!" Berlanjut dengan menggunakan kedudukannya menyerangku. "Ini perintahku sebagai Presiden Direktur! Kau harus hadir!"

Aku menyerah. Sifat Papa yang kukenal sedang tidak ingin dibantah. Menentang dan menolaknya mempunyai implikasi langsung pada kehidupanku. Lebih baik melewatkan satu pesta daripada kehilangan puluhan pesta berikutnya.

Tak ingin mendengar bantahanku lagi, Papa beranjak meninggalkan ruangan. "Jangan sampai terlambat!"

"Brakkk!" Tiga kali sudah pintuku yang tak berdosa menjadi sasaran kemarahan manusia.

Tubuhku lunglai. Masih ada waktu beberapa jam sebelum pergi ke pesta yang kuyakini akan sangat membosankan itu. Kembali kuhempaskan tubuhku ke atas kasur. Bau harum sisa parfum wanita semalam masih menempel di bantalku. Penat membuat nafasku bergerak teratur. Aku kembali terlelap bersama nama wanita itu yang kembali kulupakan.