Chereads / ai (LOVE) / Chapter 7 - BAB 7 ; Ra-Men

Chapter 7 - BAB 7 ; Ra-Men

Tokyo, Roppongi West Park, siang hari sangat penuh. Ribuan manusia memadati taman itu. Mobil yang didominasi taksi membuat lalu lintas merayap. Tumpukan daun kering membentuk gugusan gunung kecil di sudut taman. Aktivitas beragam manusia tumplek di seantero kawasan. Kumpulan muda mudi duduk di bangku kayu sambil bercakap asyik, di bagian lain sekelompok keluarga bercengkerama menikmati pohon-pohon yang sedang menggugurkan daunnya. Akhir musim gugur di wilayah Tokyo terpatri pada angka 14 derajat celcius pada siang hari. Bulan November membuat Tokyo mempersiapkan diri menghadapi gempuran musim dingin. Masih tersisa keindahan langit yang cerah, walau sinar matahari tak mampu lagi menghangatkan.

Aku berdiri sambil memasukkan dua tangan ke saku celana. Setelan jas hitam kulapisi dengan jaket panjang tipis untuk musim gugur berbahan wol hingga lutut kaki. Cuaca saat ini bagiku masih belum membutuhkan syal dan kaos tangan sebagai pelengkap. Mataku melirik jam yang melingkar di tangan kiri. Masih sepuluh menit lagi, sedang aku sudah berdiri mematung hampir dua puluh menit yang lalu. Sengaja aku menunggu tiga puluh menit lebih awal dari waktu yang disepakati. Aku tidak tahu wanita ini termasuk dalam tipe apa saat berhadapan dengan waktu. Tepat jam, mepet mendekati jam pertemuan, atau memilih banyak waktu dengan datang terlebih dahulu. Pada dasarnya aku adalah makhluk yang tidak ingin menunggu. Apalagi menunggu seorang wanita.

Setelah pertemuan di museum itu, untuk ke sekian kalinya aku menelepon Fujioka Michi, berharap dia bisa meluangkan waktu bertemu setelah beberapa kali pertemuan yang "tak disengaja". Mulanya dia keberatan dengan berbagai alasan. Aku sedikit memaksa. Kalau berkenaan dengan pekerjaan, dia meminta bertemu di kantornya. Aku berputar menghindar menolaknya. Alasan yang tidak bisa kusebutkan adalah aku ingin menghindar dari Nakamura Kenji bila bertemu di kantonya. Aku belum bisa memastikan apakah dia sudah lupa tentang percakapan kami saat dia mabuk kapan hari. Kalau sepotong saja dia ingat tentang apa yang telah dia ungkapkan, dan mendapatkan kemunculanku di kantor bertemu Direktur Keuangan yang dibencinya, semua akan kacau berantakan. Sedikit saja dia curiga, jalan akan menjadi terjal.

Setelah melalui permainan kalimat, cerita belum selesai tentang karakter macam-macam pelukis terkenal dan pemusik klasik, permohonanku akhirnya dikabulkan. Di sinilah aku saat ini. Memanjangkan leherku mencari sosok yang akan kutemui di tengah lautan manusia. Dan tubuhku mulai membeku kedinginan.

Gedung Fujioka Corporation hanya berjarak satu blok dari tempatku menunggu. Gedung itu terletak di kawasan paling mahal di pusat Roppongi. Dari tempatku berdiri, papan nama bertuliskan "Fujioka Co., Ltd" terpampang jelas. Di gedung bertingkat lima belas lantai itulah segala aktivitas bisnis Fujioka dijalankan.

Berbeda dengan kantor kami yang menempati gedung lima lantai di daerah pinggiran kota Tokyo, gedung Fujioka Corporation terkesan angkuh. Bila Yonekura Co., Ltd bertarung langsung Vis a Vis dengan Fujioka Corporation, maka pertemupran itu laiknya David melawan Goliath. Apalagi jika Fujioka Corp bersekutu Yanagi Corporation, Maka Yonekura serasa berhadapan dengan persekutuan antara Goliath dan Firaun. Untuk itulah aku dihadirkan laiknya kuda hitam Troya.

Lima menit sebelum waktu pertemuan yang dijanjikan, Michi masih belum juga kelihatan. Jantungku mulai berdetak lebih cepat. Sedikit kekalutan menerpa. Kegelisahanku berakhir bahagia kala telepon genggam di saku baju bergetar. Nama Fujioka Michi muncul di layar.

"Moshi moshi." Suara di seberang berteriak di tengah keramaian.

"Moshi moshi. Saya di depan pos keamanan. Fujioka-san dimana?" Suaraku tak mau kalah. Jam istirahat membuat kumpulan manusia menyemut.

"Ah, saya melihat Anda. Tiga puluh meter di samping kanan. Haaaii!" teriaknya.

Michi melambaikan tangan. Menutup telepon. Aku membalas lambaian itu. Sosok tubuh tinggi semampai dalam balutan setelan blaser hitam berjalan mendekat. Tubuh tingginya juga dilapisi jaket yang sama dengan milikku warna krem sepanjang lutut kaki. Langkahnya panjang dan cepat walau dengan sepatu tumit tinggi. Tangan kanannya menenteng tas kerja.

"Maaf membuatmu menunggu," sapa Michi.

"Tidak. Saya juga baru saja sampai," jawabku berbohong. "Terima kasih sudah meluangkan waktu menemui saya di sini." Tubuhku membungkuk sembilan puluh derajat. Michi membalas dengan sikap yang sama.

"Ke mana kita?" tanya Michi tanpa basa basi.

Wanita ini tidak termasuk perempuan cantik dalam deretan gadis yang pernah kukencani. Yoshie, Yumi, Naomi, berpuluh kali lebih cantik dari dia. Hanya saja aura yang keluar dari tatapan dan cara bicaranya sanggup membuat kepercayaan diriku luntur. Tata riasnya sangat sederhana. Tanpa blouse on, tanpa bulu mata, tanpa alis bergambar, tanpa gincu merah darah. Semua sangat sederhana. Justru kesederhanaan itulah yang membedakan Michi dari wanita lainnya. Kesederhanaan yang mulai memporak porandakan kepongahanku.

Angin dingin yang berembus membuat rambut sebahunya terbawa arah angin, memperlihatkan kulit wajah dan leher yang putih. Balutan blaser dan celana hitamnya membuat kulitnya mencolok terang.

"Kenapa kau memandangiku seperti itu?" tanya Michi tiba-tiba mendapati mataku tak beranjak dari wajahnya.

Kali ini aku terlihat amatiran bila berhadapan dengannya. Dia bukan kelompok wanita kebanyak yang akan tersanjung saat mataku menguliti tubuh dan wajah mereka.

"Maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar. Hanya saja, Anda terlihat cantik dalam tampilan seperti ini." Aku berkata jujur. Tidak ada kesan merayu dalam kalimatku.

Michi menatap tepat ke bola mataku. Dia sedang menggunakan kekuasaannya untuk menguliti pria yang lebih rendah jabatan dan posisi bisnisnya. Mendapati kejujuran tanpa kesan kurang ajar dalam gestur tubuhku, Michi melengos membuang muka. Kulit wajahnya berubah semu merah.

"Terima kasih. Kau tidak mengajakku kemari hanya untuk menikmati wajahku, kan?"

Ganti kulitku memerah. Kuberi dia senyumku yang sanggup membuat gadis muda meninggalkan rumahnya. Michi tersenyum ramah membalas senyumku. Sedikit kekakuan dan bahasa formal mulai terkikis. Dia memintaku tidak lagi menggunakan kata "Saya" dan "Anda". Tembok kekakuan sedikit berlubang.

"Ada kedai ramen enak di balik gedung itu, mau coba?" Tawarku sebagai ajakan makan siang.

"Boleh. Sudah lama aku tidak menikmati ramen."

Jalanan sedang padat. Kadang aku harus melewati kumpulan pejalan kaki yang berjalan lambat. Tidak banyak waktu yang akan kudapat bersama wanita yang super sibuk ini. Hanya empat puluh menit waktu istirahat saja. Setiap menit bersama harus terlewatkan penuh arti. Kedai ramen di sudut kota Tokyo merupakan tempat istimewa pemberi kesan mendalam.

Michi berjalan di sisiku. Tinggi tubuhku yang mencapai seratus delapan puluh dua senti meter sesuai dengan tinggi Michi dalam balutan high heel. Kepalanya tepat searah pundakku, sehingga aku tidak perlu menunduk saat berbicara dengannya. Tinggi wanita yang selama ini kukencani pada umumnya tidak lebih dari seratus enam puluh senti, sering membuat leherku kelelahan saat bicara dengan mereka.

Beberapa blok kami lewati dalam rentang waktu yang cepat. Tidak lebih dari sepuluh menit, kedai yang kumaksud terlihat. Tempat makan itu tepat di ujung gang, di belakang gedung perkantoran sebuah perusahaan multi internasional. Tidak banyak pengunjung pada jam makan siang membuat tempat ini menjadi pilihan favoritku.

Takehisa, pemilik kedai yang sudah memulai usahanya sejak empat puluh tahun yang lalu, mengenali semua tamunya. Empat puluh tahun berlalu tanpa menambah jumlah menu dan kapasitas, dibantu oleh tiga pelayan tua sekaligus pegawai setianya, lelaki yang sudah memasuki umur pensiun itu menjalankan kedai Ramennya setiap hari. Tanpa libur. Ketika tubuhnya tak mampu lagi bangkit dari tidur sajalah dia menutup pintu kedainya. Menurut cerita yang kudapat dari pengunjung lain, Takehisa hidup membujang. Harta satu-satunya adalah kedai ramen yang diwariskan orang tuanya sejak jaman perang dunia dua. Di belakang kedai terdapat satu kamar untuk tempat tinggalnya. Dia tidak butuh istri, anak, saudara, teman. Karena pelanggan yang bergantian datang sejak dari muda adalah keluarganya.

"Irasshaimase!" teriak Takehisa saat aku membuka pintu kedainya. Dua pelayan yang berdiri di depan menyapa ramah. Mempersilahkan kami duduk.

Bau khas kepulan asap ramen yang sedang disedu menyengat hidungku. Gurih, mengundang selera. Empat meja dengan dua kursi diselingi tiga meja dengan empat kursi terlihat masih kosong. Kuambil posisi satu meja dengan dua kursi berhadapan. Aku menarik kursi, mempersilahkan Michi sebelum menarik kursi untukku. Kubantu Michi melepas jaketnya, kulipat rapi, kuletakkan di atas tas di bawah meja. Kemudian Aku menyampirkan jaketku di belakang sandaran kursi.

Setiap detail perhatian yang kuberikan pada gadis ini berbalas kembang senyum dari bibirnya. "Terima kasih," bisiknya tulus.

"Arara! Kazuki-kun! Lama tak jumpa! Genki ka?" kata Takehisa dari balik kelambu.

Tidak ada sekat yang membatasi ruang pengunjung dan dapur kecuali noren selebar tiga meter. Aku bisa melihat tubuh tua itu masih bergerak lincah memasukkan mie ke dalam air panas. Mengentasnya, menyaring, dan mengaduk bumbunya sendiri.

"Aku sibuk sekali, Takehisa san!" balasku.

"Menu yang sama kah?" Ratusan kali sejak kedatanganku yang pertama, orang tua itu tahu betul ramen dengan topping apa yang kuinginkan.

"Ya, seperti biasa. Dua porsi!" teriakku.

"Kau sering datang ke sini?" tanya Michi.

"Aku menemukan tempat ini sejak Mahasiswa. Entah sudah berapa ratus kali aku merasakan ramen di kedai ini. Rasa dan suasananya tidak berubah. Sedikit pun aku tidak pernah bosan menyantap masakan yang sama."

"Oh ya?" Nada keheranan bercampur kurang percaya.

"Ramen di sini adalah yang terbaik di Tokyo. Setahuku, mungkin di seantero Jepang."

Mata Michi berkeliling menyapu segala penjuru kedai. Ruang tempat makan para tamu hanya seluas enam kali lima meter saja, cukup menampung sepuluh pasang tamu bila datang berdua. Dinding kayu dihiasi lukisan cat ramen mengepul. Menu tertulis dalam kanji dengan tulisan tangan. Harga yang terpampang sangat terjangkau untuk ukuran pekerja kantor rendahan.

Tidak menunggu lama, Takehisa muncul. Dia sendiri yang membawa dua porsi ramen dalam mangkuk ukuran besar. Lelaki pemilik kedai ramen terlezat sejagad itu terkejut mendapati aku membawa seorang wanita.

"Ah, kukira kau sedang lapar hingga memesan dua porsi sekaligus. Ternyata seorang wanita cantik ikut menemani."

"Takehisa-san bisa saja. Kenalkan, ini temanku. Eh, tamuku."

Michi menunduk mengenalkan diri. Dia tersenyum melihatku salah tingkah menerangkan hubungan kami.

"Anda cantik sekali, nona Fujioka. Beruntung Kazuki-kun mempunyai teman seperti Anda."

Aku memukul pelan bahu tuanya. "Dia tamuku, orang tua. Lagi pula, kau genit juga bila melihat wanita cantik," balasku jengah.

Kami tertawa berderai.

"Walaupun aku sudah tua, tapi mataku awas melihat perempuan cantik anak muda! Terserah kau bilang dia hanya teman atau tamu, yang pasti dia adalah wanita pertama yang kau bawa ke sini!"

"Sudah, sudah! Orang tua dilarang ikut campur urusan anak muda. Tamu-tamu lain menunggu masakanmu!"

Aku mendorong tubuh laki-laki tua itu agar meninggalkan tempat setelah meletakkan dua mangkuk di atas meja. Sekilas kulirik Michi. Wajah putihnya semburat merah. Entah karena jengah atau karena uap panas yang mengepul dari ramen. Menghindari salah tingkah yang berkelanjutan, aku mempersilahkan Michi menyantap ramen selagi panas. Seruputan sup dan lembutnya ramen mengisi kekosongan percakapan kami. Tidak lebih dari beberapa penggal nafas, seluruh isi mangkuk sudah berpindah ke perut. Hawa panas yang dihasilkan dari sup panas membuat dahiku berkeringat. Aku mengendurkan sedikit dasi yang melilit leherku, memberi ruang pada tenggorokan untuk menarik nafas lebih banyak.

"Bagaimana?" tanyaku.

"Ehm! Lezat sekali. Ramen terlezat yang pernah kunikmati," pujiannya ikhlas. Bukan sekedar basa basi.

Dia mengeluarkan tisu dari tas, menyeka peluh yang sedikit membasahi dahinya. Wajah gadis di depanku ini memerah. Anak-anak rambut menempel ketat di lehernya yang jenjang. Leher putih mulus miliknya juga berubah kemerahan. Michi terlihat sangat seksi.

"Kau butuh tisu? Dahimu basah oleh peluh." Dia menyorongkan tisu sekalian bungkusnya. Aku menerima sekaligus melempar pandanganku ke tempat lain. Aku berusaha keras agar tidak tertangkap sebagai laki-laki mata keranjang.

"Mana produk baru yang katanya akan kau tawarkan padaku?" tanya Michi setelah menghapus sisa makanan di sekeling bibirnya hingga bersih. Sambil menunggu jawabanku, dia mengeluarkan kotak rias kecil dari tas, membuka kotak yang dilengkapi cermin itu, menyaput tipis bibirnya dengan pemerah.

Aku menggaruk kulit kepalaku yang tidak gatal. Tentu saja tidak ada produk baru. Aku hanya ingin bertemu.

"Baru saja kau mencoba produk itu," jawabku sekenanya.

Wajah Michi ditekuk. Dia berusaha terlihat marah. "Kau memang kurang ajar. Kau tahu betapa aku sangat sibuk sekali."

"Maafkan aku. Sejujurnya, aku hanya ingin bertemu dan memperkenalkan ramen terlezat sedunia ini."

Aku tahu Michi hanya pura-pura marah. Saat dia mengiyakan keinginanku untuk bertemu di luar pada jam makan siang, saat itu pula jalur kemenangan untuk mendapatkan perhatiannya terbuka. Menambahkan beberapa polesan dan taktik jitu, aku yakin sebentar lagi segala perhatiannya pada laki-laki akan tertuju semua padaku.

"Bagaimana produk baru itu?" kataku mengejar.

Michi tertawa ringan. "Untung saja aku menyukai produk barumu. Jika saja produk ini mengecewakan, aku bisa gampang saja memutus hubungan bisnis dengan Yonekura Corporation. Kau tahu kan akibat apa yang ditimbulkan bila aku menggunakan pengaruhku pada perusahaan untuk membeli produk lain dari saingan Yonekura-san?"

Canda Michi tak urung membuat keringat dingin mengalir di punggungku. Wanita yang masih asyik menyapu riasan bedak tipis pada wajahnya ini sangat berkuasa. Jika dia serius dengan kalimatnya, maka tamatlah riwayat Yonekura.

"Ampuni kami...." kataku merajuk.

"Oke, aku mengampunimu. Sebagai gantinya, kau yang harus bayar makanan ini."

Sudut bibir kutarik penuh. Banyak wanita bilang, selain bola mataku jernih bak telaga dalam tak bertepi, bibirku adalah organ tubuh di antara anggota tubuh lain yang paling menarik. Tidak seberapa tipis, tidak seberapa tebal, tapi penuh. Memanggil hasrat banyak wanita untuk mengecupnya. Kupergunakan sihirku. Aku berusaha membuat wanita di hadapanku ini tenggelam dalam telaga bola mataku, dan mereguk puas senyum indah di bibirku.

"Tentu saja aku yang akan bayar. Dan, kalau diperbolehkan, bukan hanya ramen ini saja. Masih ada makanan lain dan tempat-tempat lain yang ingin kutunjukkan padamu."

"Oh ya? Ada tempat lain yang belum pernah kau tunjukkan pada wanita lain kecuali aku?"

Ucapan Takehisa masih terekam jelas di benaknya. Diakui atau tidak, dia tersanjung sebagai wanita satu-satunya yang pernah kuajak makan di sini.

"Tentu saja. Ada tempat menarik yang ingin kutunjukkan padamu. Kau bersedia?"

Michi terdiam. Matanya menerawang, kemudian meredup. Ada perisai yang selama ini selalu melindungi dirinya dalam kesendirian.

"Kenapa? Kau takut? Yakinlah, aku tidak akan bersikap kurang ajar. Nasib seratus lima puluh karyawan Yonekura berada di tanganmu." Aku mendesaknya. Berusaha memberinya keyakinan untuk mengiyakan.

"Bukan masalah itu. Hanya saja ... pekerjaanku menumpuk." Helaan nafas keluar tegas dari dadanya.

"Sesekali kau perlu suasana yang baru selain musik klasik dan lukisan."

Michi tersenyum. "Bukankah kau juga penikmatnya?"

Dalam hati aku tersenyum kecut berusaha menutupi kebohonganku. " Ya ... tapi aku juga penikmat yang lain. Yang lebih menarik dan mengundang adrenalin."

Michi kembali terdiam. Aku menunggunya berpikir. Kuberi ia waktu untuk menimbang segala plus minusnya.

Sejak awal pertemuan, ada sesuatu pada jalan pikiran Michi yang harus bisa kuikuti. Wanita ini biasa berpikir pragmatis. Melihat segala sesuatu berdasarkan untung dan rugi. Berinteraksi dengannya membuatku harus mengatur strategi untuk mengeliminir seminimal mungkin hal-hal yang membawa ke arah negatif.

Sejurus kemudian wajah Michi berubah cerah, ajakanku menggoyahkan perisainya. "Semenarik apa ajakanmu sehingga bisa mengundang adrenalin?"

"Yang pasti bukan bungee jumping atau parkour," jawabku.

Michi berderai tawa. Dia menutup mulutnya dengan sapu tangan kala bibirnya terbuka lebar. "Kau lucu juga."

"Ayolah, aku yakin kau tidak akan pernah mendapatkan pengalaman menarik seperti yang akan kuperlihatkan," desakku hingga wanita di depanku ini berdiri di tepi perisainya yang paling ujung.

Michi menyerah. "Baiklah. Jumat jam delapan malam. Di tempat kita bertemu tadi. Ok?"

Aku bersorak, "Ok, desu!"

"Tanpa makan malam. Aku sedang diet."

"Ok, desu!"