"Kau sudah menunggu lama?" tanya Michi.
Aku menggeleng. "Baru juga lima belas menit."
"Maafkan aku yang membuatmu menunggu lagi."
"Tidak apa-apa. Aku tahu kau sibuk sekali. Justru aku yang minta maaf mengganggu kesibukanmu untuk hal sepele."
Michi mengguncangkan kepalanya keras hingga bahunya ikut bergerak. "Kau membuatku semakin merasa tidak enak."
Aku tertawa lepas menanggapi gerutunya. "Kita berangkat sekarang."
"Kemana?"
"Ikuti aku."
Kami berjalan cepat melewati kerumunan turis asing, menyalip gerombolan anak-anak muda yang sedang bercengkerama. Hari Jumat malam kawasan Roppongi West Park tidak menunjukkan kesunyian, bahkan denyut kehidupan semakin berdetak kencang. Akhir pekan adalah waktu yang cocok untuk menghabiskan kepenatan setelah seabrek rutinitas yang memilukan. Daun kering berjatuhan tertiup angin, cuaca mendingin drastis pada malam hari, aroma musim dingin tercium keras.
Penunjuk cuaca yang terpampang di Tower di tengah taman menunjukkan angka lima derajat. Aku mengancingkan jaket kancing, menutup semua setelan jas kerja warna hitam. Dingin menggigit masih sanggup menyelusup, menggigit kulit kaki yang hanya dilapisi selembar kain celana panjang.
"Kau tidak kedinginan?" tanyaku membuka percakapan.
Dia hanya menggeleng, meneruskan langkah kakinya yang jenjang. Sedari tadi Michi mengekor di belakang, kadang beriringan berjalan. Tidak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Tubuhnya bergerak bersamaku, tapi otaknya masih tertinggal di kantor.
"Tinggal tiga blok lagi. Di belakang gedung itu." Jari telunjukku menunjuk gedung perkantoran dua puluh lantai. Dari telunjukku Gedung itu memang terlihat dekat, namun masih membutuhkan waktu untuk mencapainya.
Michi tidak menghiraukan omonganku. Wajahnya terlihat sedikit kesal. Sudah tiga puluh menit kami berjalan. Melewati puluhan lampu lalu lintas, berkelok melintas beberapa jalan sempit, menuju jalan besar lagi. Kadang kami harus memperlambat jalan saat gerombolan pejalan kaki menghalangi kecepatan kaki. Pusat kota Tokyo di akhir pekan dalam cuaca cerah, sangat padat mengerikan. Walau cuaca dingin menggigit sekali pun.
"Kenapa kita tidak naik taksi saja? Bus? Kereta bawah tanah? Mobil pribadi?" semprotnya di sela langkah kakinya.
Perempuan manja dan tidak sabaran, batinku. "Kereta dan bus akan melewati jalan berputar. Terlalu jauh dan memakan waktu lama. Akhir pekan seperti ini mobil bukanlah transportasi yang tepat membelah pusat Tokyo."
Michi diam mengurut jalan. Alasanku sepertinya bisa dia terima. "Masih jauh?"
"Tidak. Tinggal satu blok lagi."
Aku berbelok ke kiri, mengambil jalan sempit. Mobil hanya bisa bergerak satu arah. Itu pun harus sabar bergantian. Jarum di pergelangan tangan kiriku masih menunjukkan pukul delapan empat puluh menit. Masih terlalu sore untuk memanaskan tubuh.
"Itu!" Telunjukku menunjuk papan nama sebuah pub bertuliskan "Rakuen".
"Berjalan empat puluh lima menit dalam cuaca dingin, hanya cuma ke sebuah pub?" Nada protesnya terdengar memekakkan.
"Bukan cuma sekedar pub," kataku memberi penekanan pada kata "Cuma".
"Apa istimewanya tempat itu? Kalau hanya pub, banyak tempat terdekat di wilayah Roppongi?" Nada protes masih berlanjut.
Aku tidak menggubris. Melihat seratus kali lebih baik daripada mendengar, merasakan langsung seribu kali nikmat daripada hanya melihat. Lagi pula, langkahku sudah mendekat pintu masuk yang dijaga dua laki-laki perawakan besar dengan wajah sangar dan tato melingkar di lengan. Michi menghentikan protesnya tentang pub sederhana. Entah karena memang aku tidak menggubrisnya, atau karena penampilan dua penjaga di pintu depan membuatnya takut. Tubuhnya beringsut mendekat, menempel erat pada tubuhku. Wanita penuh kuasa ini membutuhkan perlindungan.
"Yonekura-san. Lama tak jumpa," sapa penjaga sebelah kiri ramah. Sementara penjaga satunya hanya menganggukkan kepala. Dia sibuk memeriksa tas pengunjung wanita yang datang sendirian.
"Tanaka san. Bagaimana kabar Anda?" balasku.
"Baik. Silahkan masuk." Dia membuka pintu untuk kami.
"Teman Anda?"
"Ya," kataku singkat.
Tanaka memberi hormat, mempersilahkan Michi masuk terlebih dahulu. Tanpa memeriksa tas kami.
Alunan suara lembut menyambut kedatangan kami. Denting piano diikuti bas, drum, gitar akustik berpadu dengan suara wanita yang sedang menyanyikan lagu barat. Telingaku tidak familiar dengan lagu itu. Warna pub temaram menyesuaikan lagu yang dibawakan. Lampu warna-warni diganti redupan kecil di sudut-sudut ruangan. Lalu-lalang pengunjung menampilkan silhuet tipis yang bergerak ke sana kemari. Pelayan mengangkat botol dan gelas di atas nampan, berjalan cepat di sela-sela pengunjung. Sesekali botol dan gelas dalam genggaman mereka bertabrakan menimbulkan suara berdentingan. Ledakan tawa yang dan teriak manja dibarengi panggilan kegenitan menyeruak meramaikan suasana.
Tangan kanan Michi melingkar erat di lengan kiriku. Tangan kirinya menggenggam erat tas kerja seolah dia berada di tengah para pencoleng. Tas kerja kupindah ke tangan kanan. Tangan kiriku yang bebas memberi tepukan ringan pada tangan yang melingkar di lengan, memberi ketenangan pada wanita yang enggan meneruskan langkahnya. Pub "Rakuen" memang bukan pub mewah. Bukan pula kelas wanita kaya raya penuh kuasa seperti Michi. Tapi, itulah yang kuinginkan. Sengaja aku memilih pub ini. Memberi kesan kuat, dan momen yang tidak biasa padanya. Seperti ramen murah meriha, pub ini akan terus membekas di kenangannya. Tinggal bagaimana membuat bekas itu tidak hilang selamanya.
Suasana ruangan dengan lebar sepuluh meter, dan panjang menjorok ke dalam lima belas meter itu menyesak ingatanku. Kedatanganku terakhir ke tempat ini lebih dari enam bulan yang lalu. Pesta di tempat yang lebih ramai dan penuh wanita cantik sejenak mengalihkan seleraku dari tempat ini. Pub "Rakuen" memang lebih ke rasa lama. Live music bernuansa lagu jadul ditampilkan setiap hari Jumat dan Sabtu. Di selang waktu itu, sesekali hentakan musik dalam irama disko ikut meramaikan. Tidak terlalu sering, hanya berdasarkan permintaan. Itu pun alat DJ-nya sudah tidak up to date lagi.
Sepuluh tahun aku mengenal pub ini sejak masa kuliah. Pub ini bagiku adalah tempat bersembunyi dari segala kekalutan dan tekanan. Hampir semua pelayan, pemain band beserta penyanyinya kukenal. Beberapa pengunjung tetap juga tidak asing lagi. Di tempat ini, dalam alunan musik romantis dan tembang lama, aku seperti menemukan keluarga yang tidak pernah kupunya.
"Irasshaimase!"
"Yonekura-san, lama tak jumpa."
"Kazuki-kun, kemana saja selama ini"
"Aku kangen padamu, anak tampan"
"Senpai, bagaimana kabar?"
"Oh, baru muncul sekarang, sexy boy."
Aku menyalami mereka satu persatu. Pelayan, pengunjung yunior, Kawabe, Ayumi, Rika, aku bisa menyebutkan semua nama-nama mereka. Tidak mungkin melupakan anggota keluarga.
"Mereka semua sepertinya mengenalmu," kata Michi.
"Ya. Mereka adalah teman-teman terbaikku." Nada kalimatku pelan. Di tempat ini tidak membutuhkan teriakan keras seperti di sebuah pub yang bising untuk bercakap.
Pengunjung pun mulai berdatangan. Tujuh meja di lantai atas yang tidak dipisahkan oleh fasad dengan lantai bawah terlihat penuh. Sekat yang memisahkan dengan lantai satu adalah pagar kayu setinggi satu meter, sehingga pengunjung lantai dua bisa langsung menikmati acara di panggung bawah tanpa terhalang. Lantai dua khusus untuk pengunjung perokok, dan pergumulan pasangan yang ingin lebih bebas. Aku memilih lantai satu. Sedikit lebih beradab.
Beberapa meja masih kosong. Tapi hampir seluruhnya tertempel kertas putih bertuliskan "Reserved". Mataku nyalang meneliti tempat yang kupesan sebelumnya. Akhir pekan tanpa reservasi di pub "Rakuen" akan berakhir dengan berdiri menunggu antrian meja hingga larut malam. Harga minuman murah, pelayanan ramah, bartender yang pintar meracik minuman lezat, live music yang berubah berkala dengan lagu-lagu yang tidak monoton, membuat tempat ini menjadi pilihan lain di antara ribuan pub yang menjamur di seantero kota Tokyo.
Aku mendapatkan tempatku. Meja paling depan terpisah lima meter dari panggung musik. Tertulis 'Reserved by Yonekura Kazuki'. Aku memberi kode Ayumi, sang pelayan, dengan menunjuk meja yang kumaksud. Pelayan tiga puluh tahunan yang sudah mengabdikan dirinya pada pub "Rakuen" sepertiga umurnya itu menyambut kami, membawa kami ke meja yang telah kupesan. Satu meja dengan dua kursi yang terbuat dari kayu mangga warna coklat tua kombinasi metal pipih menyambut kedatangan kami.
Ayumi mempersilahkan. Aku menarik kursi untuk Michi, membantunya melepas jaket, mempersilahkannya duduk. Tembang lawas dari Beatles; Let it be mendayu lembut. Kubisikkan permintaan ke telinga Ayumi. Dia menganguk mengiyakan. Sambil menunggu minuman yang kupesan, aku memberi salute pada anggota band dan penyanyinya. Mariko si penyanyi muda membalas sapaanku dengan mengangkat tangannya tanpa mengendorkan alunan lagu yang dibawakan. Masato pemijat tuts piano, Kouji pemetik gitar, Takao pembetot bas, Shintaro penggebuk drum menganggukkan kepala mereka berbarengan. Senyum lebar terkuak dari bibir mereka. Aku tahu maksud senyum itu. Tip puluhan ribu yen diharapkan keluar dari kantongku. Tentu saja aku tidak akan berat memberi uang tip untuk empat yuniorku itu.
Mereka sebelumnya adalah mantan adik kelasku di SMA. Mereka sempat mengajakku bergabung dengan bandnya sebagai vokalis. Tapi kutolak. Aku merasa tidak cukup percaya diri dengan vokalku. Walau pun untuk tampil di acara undangan pernikahan atau ulang tahun. Mereka sedikit memaksa. Aku tetap menolak. Tujuan mereka mengajakku bergabung bukan karena tidak bisa menemukan vokalis lain, tapi lebih ke arah pembagian hasil. Mereka tahu aku tidak membutuhkan hasilnya.
"Senpai, Selamat malam!"
"Jun-chan, selamat malam! Kenalkan, ini Nona Fujioka. Aku ingin kau memberi minuman terbaik buatanmu untuk temanku yang cantik ini."
Inilah yang kusuka dari tempat murah namun mengesankan seperti "Rakuen". Tidak perlu lagi sekat keformalan di tempat seperti ini. Michi pun tidak keberatan dengan caraku memperkenalkan dirinya. Dia mengangguk memberi salam perkenalan.
"Jun-chan ini selain pembuat minuman terbaik, dia juga punya kemampuan DJ yang yang mumpuni," lanjutku. "Nanti kau harus memperlihatkan kemampuan Disc Jockey terbaikmu."
Junya mengangguk sambil tertawa masam.
"Yoroshiku Onegaishimasu!" kata Michi.
Junya menghormat, cepat balik kanan ke tempat bar. Tidak menunggu lama, dia kembali dengan nampan besar berisi tiga botol minuman berbagai macam. Empat gelas minuman ukuran sedang, tempat es batu, dan alat pengocok. Dia harus ekstra hati-hati agar nampan yang dibawanya tidak berantakan saat melewati beberapa pengunjung.
"Kenapa kita tidak ke meja bar saja?" tanya Michi. Dia berteriak tertahan kala melihat Junya sedikit kehilangan keseimbangan saat berpapasan dengan wanita mabuk yang oleng jalannya.
"Ini spesial, untuk kamu. Aku ingin dia membuat minuman istimewa langsung di hadapan kita."
Sebelum Michi melanjutkan protesnya, Junya sudah berdiri dengan nampan besar di hadapan kami. Aku membantunya menurunkan semua isi nampan ke atas meja. Junya siap beraksi.
Aku mengeluarkan dompet. Kutarik dua lembar puluhan ribu, kuselipkan ke kantong celana Junya. Wajahnya langsung berubah cerah. Pemuda itu segera beraksi. Satu gelas cocktail dengan mulut gelas lebar disanggah pegangan kecil memanjang menjadi alat awal unjuk kebolehan. Junya mengisi gelas tersebut dengan satu es batu, kemudian memutar es batu merata ke seluruh permukaan dalam gelas, hingga tidak ada sedikit pun permukaan dalam gelas yang tidak terkena cairan es.
Setelah itu Junya membuang es batu yang lumer berserta sisa lelehan air es dari gelas ke baskom yang sudah di sediakan. Embun dingin menempel di seluruh permukaan gelas. Junya beralih ke beberapa botol. Dia menuangkan vodka ke dalam gelas ukuran sebanyak 30 ml, kemudian mengalihkan vodka 30 ml ke dalam tabung pengocok. Pearch 30 ml, Blue currant 15 ml, Grape juice 60 ml dan terakhir pineapple juice 15 ml berpindah ke tabung pengocok.
Diiringi lagu I want to hold your hand dari Beatles, Junya semangat mengocok semua isi dengan kekuatan penuh. Suara kerotakan timbul dari macam-macam minuman yang bercampur. Tiga puluh detik dalam alat pengocok minuman, cocktail mengalir deras ke gelas yang masih dingin. Sebuah cocktail berwarna biru muda tersaji cantik dengan potongan nanas berwarna kuning emas pada satu bagian tepi gelas.
"Silahkan menikmati." Junya menyorongkan gelas ke Michi.
"Terima kasih." Perlahan dan anggun Michi mendekatkan gelas ke hidungnya, membaui aroma segala macam minuman yang tercampur. "Harum, segala aroma buah muncul walau sedikit menyengat."
Junya tersenyum sabar menunggu hasil rasa kreasinya. Michi menyesap satu sesapan kecil. Perlahan. Dia membiarkan sesapan itu berputar sebentar di dalam rongga mulutnya, kemudian menelannya sekali tenggak. Gadis itu melenguh. Matanya terpejam.
"Uuh ... lezat sekali. Benar-benar cocktail terbaik yang pernah kurasa! Bravo!"
Aku bertepuk tangan. Hidung Junya mengembang penuh kebanggaan. Dia semakin semangat.
"Sekarang untuk senpai. Sebuah kreasi baru yang masih prototipe. Belum beredar di tempat mana pun juga!"
"Oh ya? Kau buat aku sebagai kelinci percobaanmu!" gerutuku.
"Tunggu sebentar." Junya beringsut meninggalkan kami.
Michi tidak peduli. Dia sibuk menyesap demi sesap minuman baru yang dinikmatinya. Matanya kadang terpejam, kemudian terbelalak saat alkohol yang terkandung dalam vodka yang tercampur itu menggempur tenggorokannya. Belum juga Michi menghabiskan seluruh minumannya, Junya sudah kembali. Sebuah nampan besar berada di tangannya.
Aku membantunya meletakkan nampan itu di atas meja. Ayumi membantu membawa nampan itu kembali, sehingga yang tersisa di meja kami adalah deretan botol minuman, beberapa gelas cocktail, dua alat pengocok, satu buket tempat es batu, dan satu ember kecil tempat pembuangan air es. Junya sibuk menata kembali. Kali ini dia lebih percaya diri walau sedikit tegang. Mungkin karena aku adalah tamu penikmat pertama hasil kreasi prototype minumannya.
Kembali Junya mengulang gerakan pertama dari gelas dan es batu. Tapi, setelah membuang air es, dia mengoleskan lemon ke sekeling mulut gelas. Tequila 20 ml Scotch 20 ml dituangkan bersamaan. Setelah itu lime juice 15 ml dan White currant 5 ml mengisi cairan dalam alat pengocok. Junya menuangkan hasil racikannya ke gelas cocktail berbentuk sama yang dipegang Michi, kemudian menyorongkan gelas itu ke arahku dengan sedikit gemetar. Aku menerimanya. Membawa gelas itu ke hidung. Membauinya. Yang muncul pertama adalah tusukan keras bau alkohol. Tapi, bau itu sekejap berubah diselingi bau harum lemon.
Junya mengambil botol kecil garam, memintaku memberikan tangan kiri. Aku merentangkan jemari punggung tanganku. Sedikit taburan garam meluncur dari botol, menerpa kulit punggung paling pinggir antara jari telunjuk dan ibu jariku. Sekali hisap, rasa asin menyengat lidah. Dan tanpa menunggu lagi, kutenggak semua isi yang ada dalam gelas. Tidak menyesap seperti cara minum Michi, tapi langsung menenggaknya hingga habis. Minuman beralkohol hasil kreasi Junya melesat mengaliri tenggorokan Tandas ke dalam perut. Rasa asin menyengat membuat mulutku terpapar berbagai hentakan rasa. Hawa panas mengembang dari dasar perut, naik ke atas menuju dada, melesat keluar tenggorokan saat aku membuka mulut.
"Ha!" teriakku. Beribu rasa yang susah diungkapkan kata. Dingin, panas, asin, pahit, manis bercampur jadi satu.
"Bagaimana?" Pandangan Junya diliputi kekhawatiran. Michi juga menatapku dengan pandangan sama. Menunggu reaksiku.
Aku tidak langsung menjawab. Segala campuran rasa masih belum hilang dari mulutku. Setelah bisa mengontrol semua rasa itu, kuteriakkan campuran rasa yang membuat lidahku serasa di sorga.
"Kkau ... Hebat!" kataku setengah berteriak. Dua ibu jari kuacungkan untuk Junya.
"Yeaah!" Michi juga ikut berteriak, dia bertepuk tangan laiknya anak kecil.
"Buatkan juga untukku!" pinta Michi.
"Bukannya terlalu keras untuk wanita?" tanyaku prihatin.
"Kau meremehkan kemampuan tubuhku. Jangan lupa, bertahun tahun aku hidup di Amerika. Minuman seperti ini adalah sarapan pagiku!" Mata sipit Michi dipelototkan membentuk bulan sabit tak sempurna.
"Yosh! Bikin lagi! lagi! lagi! Keluarkan kemampuan terbaikmu!" Tepukan kerasku di bahu Junya membuat pemuda yang baru lulus kuliah ini semakin menjadi-jadi.
Berikutnya, bermacam botol mengalir di mejaku. Gelas-gelas bertaburan, bersaing keras dengan alat pengocok. Segala macam merek minuman keras baik lokal maupun impor terpancang rapi berjejer menunggu dituangkan. Tawa Michi tak berhenti. Kepalanya bergoyang-goyang, terhentak ke belakang sambil memegangi perutnya saat gurauanku mengenai urat tawanya. Tension kami semakin naik, naik, hingga sekat formal yang selama ini menjadi penghalang semakin menipis. Perisai yang melingkupi sikap Michi semakin terkuak, hingga tersisa lapisan tipis yang mudah ditembus. Tinggal sedikit lagi, dia akan membuka tirai penutupnya lebar-lebar.
"Sudah cukup, atau masih bikin lagi?" tanya Junya.
Tawaku menyelingi pertanyaannya. "Kau mau kemana?"
"Masih ada tamu lain yang masih harus dilayani. Ikuta kun tak bisa melayani sendiri."
"Kan ada Wakayama san?"
"Iya sih. Tapi, Tuan Wakayama sudah kurang sigap lagi. Sudah tua," bisik Junya.
Ledakan tawaku semakin tak terbendung. "Kurang ajar Kau! Aku bilang ke bosmu, ya!" ancamku. Junya menunduk berpura-pura meminta maaf. Dia tahu aku hanya bercanda.
Aku berdiri, menarik kepala Junya mendekat ke bibirku. Kubisikkan keinginanku padanya. Junya menggeleng enggan. Aku merogoh dua lembar puluhan ribu dari dompet. Menyorongkannya ke saku celana Junya. Pemuda itu tertawa lebar. Rambut panjangnya ala anak SMA yang dibiarkan lurus menutupi telinga ikut bergoyang kala menerima rejeki nomplok yang tidak dibayangkan sebelumnya.
"Lagu apa?" bisiknya di telingaku.
Aku menyebutkan sebuah lagu lama. Dia mengangguk. "Dalam irama disko dan penuh improvisasi musik!" imbuhku.
Sejurus kemudian dia menghilang dari meja kami. Dia harus meminta ijin Wakayama, pemilik pub, untuk menuruti keinginan pelanggan terbaik yang sedang mencurahkan banyak uang malam ini.
Tidak lama kemudian, lampu halogen di beberapa tempat bersinar terang. Live music berhenti. Mariko turun dari panggung. Masato, Kouji, Takao, Shintaro meletakkan alat musik mereka mengikuti Mariko. Mereka duduk santai mengerumuni satu meja berlima. Ditemani bir Asahi dry. Di belakang panggung, Junya sudah siap dengan peralatannya. Lima menit berlalu diiringi tes sound. Gemerisik mic, gemelatak kabel yang dicopot dan dipasang, ngaungan pengeras suara saling berdekatan, membuat pengunjung berteriak terganggu. Ketika lampu terang meredup, berganti puluhan bola lampu yang memancar bermacam warna tersebar di seluruh atap, saatnya panggilan buatku untuk bersiap. Aku berdiri. Michi menarik tanganku untuk duduk lagi.
"Ada apa?"
"Nanti kau akan tahu"
"Tidak bisakah kita minum saja," katanya merajuk.
Wajahnya sudah tidak fokus lagi. Senyumnya terus mengembang. Bermacam minuman cocktail membuat jiwanya melayang turun naik. Untuk seorang wanita, Michi lumayan kuat menahan gempuran alkohol. Kesadaran masih tetap terpaku di otaknya. Sedikit oleng, tapi daya nalarnya masih sanggup memutus hubungan bisnis denganku.
"Ini malam spesial buatmu," bisikku di telinganya. Anak-anak rambut yang menutup telinga Michi ikut terimbas nafasku.
Dia mencubit pinggangku. Tentu saja jemarinya tidak menemukan lemak yang menggelambir di sana. Perutku masih six pack dengan dada bidang dan otot-otot menyembul di lengan. Lingkar pinggangku pun masih terjaga ukurannya. Aku melepas jas, ikatan dasi, menyingsingkan baju putih lengan panjang hingga sebatas siku, dan membuka dua kancing kemejaku paling atas. Dadaku yang kekar dan berotot terlihat sempurna tertimpa kilatan bola lampu. Mata Michi mendelik. Wanita itu tidak menyembunyikan kekagumannya akan tubuh idealku.
"Ladies and gentlement, selamat malam!" teriak Junya. Di kepalanya terpasang headphones. Di meja DJ, siap dimainkan perangkat komputer dan seperangkat Serato Scratch Live DVS.
Para pengunjung membalas teriakannya. Teriakan beberapa wanita muda disambut gegap gempita teriakan lainnya. Tanpa menunggu keluhan dari pengunjung, Junya membukanya dengan teriakan keras. "Oke, guys! Langsung saja! Show time!"
Musik disko pembuka dimainkan. Hentakan lagu hip hop dari cakram yang dipasang dimodifikasi dengan turntablist membuat gesekan di cakram menghasilkan lagu hip hop yang diulang-ulang. Bola lampu berputar. Teriak puluhan pengunjung bersemangat ikut melantai.
Satu lagu selesai dimainkan. Junya memberi isyarat padaku untuk naik ke panggung.
"Minasan, malam ini akan ada penampilan spesial dari tamu kita. Saya akan mengiringi dia melantunkan lagu yang akan dibawakannya. Saya harap minasan menikmati. Inilah Yonekura Ka-zu-ki!" teriak Junya. Dia memberi penekanan dan memperpanjang penyebutan namaku.
"Kazuki! Kazuki!Kazuki!" teriak pengunjung dan para pegawai pub. Lebih separuh dari mereka kukenal. Sepuluh tahun melewatkan empat malam sebulan membuat namaku banyak dikenal dan disebut. Pun, aku juga royal memberi uang tip dan hadiah minuman gratis.
Mataku mencari Michi. Dia menatapku memberi semangat, bibirnya ikut meneriakkan namaku. Aku menatap puluhan pengunjung. Mereka menunggu apa yang akan kutampilkan. Aku meminta lima mic tanpa kabel. Junya yang tadi kubisiki sudah meminta Wakayama san menyiapkan. Empat pengeras suara kuletakkan di lantai panggung dalam keadaan off, satu pengeras suara dalam tanganku.
"Masato, Kouji, Takao, Shintaro, kalian naik ke sini!"perintahku.
Keempatnya saling bertatapan, kemudian menunjuk hidung masing-masing meyakinkan pendengarannya.
"Ya! kalian semua ke sini," perintahku lagi.
Penuh tanda tanya besar empat pemuda dua puluh lima tahunan itu mendekat. Langkah mereka terlihat berat. Mereka mencium jebakan. Tetapi berhias uang.
"Ambil masing-masing mic. Aku akan menyanyikan lagu 'La la la song'. Kalian berempat menjadi penari latar dan penyanyi pembantu!" bisikku tanpa terdengar hadirin. Mic dalam keadaan kumatikan.
"Heee...?!" bisik mereka berbarengan.
"Kalian kan pernah jadi boys band waktu SMA!" balasku.
"Tapi, itu kan sudah lama sekali, Senpai...." bantah Masato. Ucapannya diamini tiga temannya.
Para pengunjung mulai tidak sabar. Namaku mulai disebut-sebut lagi sambil memukul-mukul meja. Kalau tidak cepat kumulai, aku takut bukannya telapak tangan mereka lagi yang memukul, bisa-bisa gelas dan botol akan seliweran ke panggung.
"Sudah. Tidak ada waktu lagi untuk berdebat! Aku akan memberi kalian masing-masing dua puluh ribu yen untuk malam ini!"
Entah karena mendengar akan mendapat tambahan uang, atau mulai ikut khawatir dengan teriakan penonton, Masato, Kouji, Takao, Shintaro menghidupkan pengeras suara masing-masing, kemudian bergerak satu setengah meter ke belakang. Keempatnya tepat berdiri di belakangku dalam formasi menunggu aba-aba untuk bergerak. Mereka sigap laiknya boys band yang siap beraksi.
"Sebuah persembahan untuk Michi! Wanita cantik, cerdas, berkelas yang pernah kutemui!" teriakku.
"Michi! Michi! Michi!" Kini giliran Michi yang dielu-elukan.
Aku bersiap. Lagu yang dipopulerkan Toshinobu Kubota layak dipersembahkan dalam suasana malam ini. Seiring suara elektone mendengungkan intro lagu, aku mulai masuk ke nyanyian.
Masato, Kouji, Takao, Shintaro mulai bergerak bak pemuda enam belas tahun melenggokkan tangan, kaki dan pinggulnya seiring musik dan hentakan improvisasi lagu yang dibawakan Junya.
Aku melangkah menuruni panggung, mendekati Michi yang ikut bergoyang. Kuangkat kedua tanganku ke atas, kubuat pinggulku bergoyang erotis. Semua penontong bertepuk tangan, berjingkrak mengikuti goyangan pinggulku. Michi terbahak tanpa menutupi mulutnya. Giginya yang putih rapih berderet mengkilat terterpa kilatan bola lampu warna-warni yang ikut menari.
Saat memasuki reff, aku mengajak pengunjung meloncat mengikuti irama. "Jump! Jump! Jump!" teriakku. Semua ikut melompat dengan tangan di atas. Masato, Kouji, Takao, Shintaro melompat lincah, bergerak mengikutiku turun ke panggung. Mereka menyebar, menuju meja-meja terdepan. Takao menarik tangan salah satu wanita, mengajaknya bergoyang lebih erotis. Kouji yang paling bertubuh atletis membuka bajunya, mengibarkan baju itu dan melemparkannya ke penonton terdepan. Sebagian besar penonton yang berdiri di depan dipenuhi wanita setengah baya. Mereka histeris melihat tubuh kouji yang atletis dengan perut sixpack dan dada kekar. Seorang wanita tengah baya mendapatkan baju Kouji setelah berjibaku dengan teman sebelahnya. Penuh nafsu dia menciumi baju putih Kouji yang basah penuh keringat.
Junya menutup lagu "La la la song" dengan hentakan dan garukan di piringan hitam bersamaan. Penonton bertepuk tangan tak henti-hentinya. Lagu asli empat menit itu memanjang dua kali lipat di tangan Junya. Garukan pada piringan hitam, turntable lagu membuat ulangan-ulangan hentakan. Nafasku ngos-ngosan, tubuhku basah oleh peluh.
Aku turun dari panggung. Michi menyambutku dengan tepuk tangan meriah dan beribu puja-puji. Kami kembali tenggelam menikmati berbagai minuman. Wajah Michi semakin memerah. Senyumnya mengembang terus. Wanita yang sebelumnya pelit bicara itu berubah menjadi gadis penggosip. Perisai yang dikenakannya pun terbuka lebar. Saat yang tepat bagiku untuk menusukkan pedang cinta ke hatinya.
Malam semakin merambat turun. Berliyter minuman keras telah menggelontor kerongkongan. Posisi duduk Michi sudah mulai goyah. Kupastikan apakah dia ingin pergi? Michi mengangguk mengiyakan. Sebelum meninggalkan tempat, aku meraih mic, mengucapkan terima kasih sebesarnya pada pengunjung yang sudi mendengar penampilan kami. Mereka berjingkrak saat aku menggratiskan minuman mereka malam ini.
Michi menunggu di pintu keluar selagi aku membereskan biaya minuman. Kuminta Wakayama mengirim semua bon, plus kuminta agar uang tip untuk lima anggota band sebesar dua puluh ribu yen per orang dimasukkan dalam kwitansi.
Pukul dua belas malam tepat kami meninggalkan "Rakuen". Taksi adalah pilihan yang tepat untuk sepasang manusia setengah mabuk. Berjalan pulang di tengah dinginnya malam bukan romantisme yang bisa dirajut. Mulanya Michi ingin kami berpisah saja di depan pub. Dia ingin pulang sendiri dengan sisa momen terindah yang ingin di dekapnya. Tapi aku memaksa mengantarnya dengan beribu dalih.
Di dalam taksi yang mengantar kami, suara gemerecik dari perut Michi terdengar. "Kau lapar ?"
"Tidak. Aku ingin segera pulang," jawabnya.
"Ayolah. Ada ketela bakar di dekat Roppongi West Park. Enak sekali. Sedikit mengisi perut akan lebih baik dari pada tidur dalam keadaan perut penuh alkohol."
"Tapi...."
"Ayolah. Badanmu tidak akan melebar dengan sekali makan ketela bakar."
Michi mengiyakan. Aku meminta sopir taksi mengubah tujuan. Apartemen Michi tidak terlalu jauh dari Roppongi West Park. Sepuluh menit berjalan. Michi menyandarkan kepalanya di jok kursi penumpang, matanya tertutup. Aku tahu dia tidak tidur, entah apa yang melintas di benaknya. Taksi berhenti tepat di tempat yang kuinginkan. Asap mengepul hangat dari tungku warung ketela bakar. Aku menyentuh lembut tangan Michi. Dia mengerjapkan ke dua matanya, mengusir segala lintasan yang memenuhi otaknya. Setelah membayar biaya taksi, kami berdiri di depan warung ketela bakar yang terus mengepulkan asap.
"Kau memang suka kelayapan. Warung Yaki imo tengah malam di tempat sepi seperti ini kau tahu juga."
"Selagi masih bujangan, dan tidak ada kerjaan," elakku.
"Sebagai anak seorang pemilik perusahaan, seharusnya kau sibuk dan tak punya waktu untuk hal-hal begini,"semprot Michi.
Bibirnya disaput dengan pengoles bibir agar tidak pecah terkena serangan hawa dingin yang kering. Aku tertawa sengau.
"Ada kakakku. Dia adalah gabungan dari Superman dan robot. Kuat, cerdas, tapi tak punya hati."
Aku memesan dua ketela bakar madu. Satu potong besar untukku. Michi memilih potongan yang lebih kecil. Michi menghela napas panjang, mengeluarkan sisa oksigen di paru-parunya bersamaan dengan uap yang mengepul.
"Entahlah. Kehidupan mana yang lebih baik. Mungkin cara hidupmu lebih baik dari cara hidup kakakmu. Kau bebas, hidup seperti yang kau inginkan."
Matanya tertuju pada tungku bakar yang gemeretak memanggang pesanannya. "Kadang aku iri dengan kehidupan seperti itu. Bebas, lepas, dinamis." Dia melanjutkan dengan nada lirih, "Tidak monoton seperti kehidupanku."
Aku pura-pura mengabaikan kalimat terakhirnya. Tanpa sadar aku bertanya pada diriku sendiri. Benarkah aku sudah hidup sesuai dengan hidup yang kuinginkan? Tanpa mencari jawaban lebih lanjut, aku menyibukkan diri membantu penjual tua membakar ketela. Setelah memastikan tingkat bakar ketela sudah sesuai dengan yang kami inginkan, kusorongkan ketela bakar panas yang sudah matang itu pada Michi. Dia tersenyum lebar, mendekap ketela bakar dengan telapak tangannya. Dicarinya kehangatan yang disalurkan dari makanan itu agar memenuhi hatinya yang mendingin. Wajah yang sedari tadi pucat berangsur memerah. Dingin malam membuat ujung hidung dan pipinya ikut merona.
"Kenapa iri? Bukannya enak menjadi dirimu? Kaya, muda, pintar, cantik. Apa lagi yang kurang?" tanyaku.
"Bukan maksudku tidak bersukur dengan apa yang kupunya. Hanya saja, sedari muda aku sudah dijejali kewajiban berat yang tidak seharusnya kutanggung."
Kami menyusuri jalanan taman yang mulai sepi. Dua cewek dan tiga cowok bergerombol dengan pengeras suara menggemakan musik disko. Kelimanya melenggok, menari berputar mengikuti irama. Michi menatap gerombolon anak-anak muda itu antusias.
"Aku tidak punya masa muda seperti mereka," helanya.
"Itu kah sebab kenapa kau sangat menikmati keramaian yang norak di pub tadi?"
Michi menoleh padaku. Mulutnya penuh dengan ketela bakar yang mulai menghangat sesekali mengeluarkan hawa panas dari mulutnya. "Untuk apa kau mendekatiku?"
Mulutku yang baru saja kemasukan potongan besar ketela bakar tersekat di sudut kerongkongan. Susah payah kutelan potongan ketela panas itu. Tenggorokanku terbakar.
"Kau tidak apa-apa?" Michi mengelus punggungku. Walau setelan jas lengkap terlapisi jaket wol lumayan tebal, hangat elusannya di punggungku tersampaikan hingga kulit.
"Pertanyaanmu membuatku tersedak. Tentu saja aku ingin mendekatimu. nasib perusahaanku bergantung di tanganmu."
Wanita itu mendengus pelan mendengar jawabanku. Taman Roppongi selesai kami lewati. Jalan berkelok menuju blok apartemen mewah dan perkantoran. Gedung gedung itu terkoneksi dengan pusat perbelanjaan yang tak kalah megah. Gedung gedung pencakar langit bediri berdampingan, berlomba mencapai langit dengan tambahan lantai. Kantor pusat perusahaan multi internasional dan perusahaan asing bertebaran di sana. Di sisi kanan gedung perkantoran, apartemen mewah para eksekutif, pemilik perusahaan, dan pemilik modal menghuni lantai lantai berikutnya.
"Kau mau duduk sebentar di sana?"
Michi mengangguk. Sebuah taman kecil dengan bangku lucu menarik langkah kami. Aku mendahuluinya duduk di bangku itu. Michi menghempaskan tubuhnya di sebelahku. Sorot matanya melekat ke arah gedung-gedung di depannya. Dia menerawang, seolah mencari jawaban di antara jendela besar yang lampunya masih menyala di akhir pekan tengah malam. Hening beku menawarkan kesenduan tersendiri. Michi larut di dalamnya.
"Kenangan terbaikku adalah masa SMA. Lepas, bergurau tanpa sekat dengan teman seusia, melakukan kekonyolan yang menyerempet bahaya, mengerjai guru, cinta monyet. Selepas SMA, duniaku seolah berputar seratus delapan puluh derajat. Tekanan akan kewajiban selalu di dengung-dengungkan untuk menerima tongkat estafet dari papa. Amerika sebagai Negara tempat belajar telah merengut segala kenangan manis masa mudaku. Belajar, menambah pengetahuan, menginisasi kemampuan, bergelut dengan angka-angka yang memuakkan, hingga tanpa sadar tujuh tahun masa mudaku hilang tak berarti. Selepas kuliah pun, analisa keuangan yang membelit dan segala tetek bengek statistik bisnis dan manajemen membuat usia mudaku berjalan cepat tanpa kehadiran lelaki. Duniaku serasa sepi. Jiwaku layu sebelum berkembang"
Michi diam terpekur. Bayang air mengambang di kedua sudut matanya. Kuraih tangan kirinya. Kugenggam erat dengan dua tanganku. Michi tersentak, tangannya bergetar. Aku tetap menggenggamnya walau dia ingin menariknya. Jemari wanita itu terkulai. Lelah meraih kekosongan.
"Kau bisa main basket?" tanyanya tiba-tiba.
"Tentu saja. Untuk apa punya tubuh tinggi bila tak bisa melompat," ledekku. "Kau juga bisa?" tanyaku balik.
"Saat SMA aku pemain tengah!" balasnya. "Kamu?"
"Sampai sekarang pun aku masih pemain power forward."
"Mau main berdua?" ajaknya.
"Dimana? Selarut ini?"
"Itu!" Michi menarik jemari dalam genggamanku. Dia menunjuk lapangan basket di seberang. Tepat di sebelah taman. Dua bola basket teronggok rapi di bawah papan jaring.
Tanpa meminta persetujuanku dia berlari mendahului. Langkah kakinya cepat walau memakai sepatu hak tinggi. Aku mengikutinya. Setiba di lapangan basket, Michi melepas jaket, sepatu, dan blaser hitamnya. Tubuhnya hanya dilapisi celana panjang hitam dan baju putih tipis lengan pendek.
"Cuaca semakin dingin. Hanya dengan selapis baju, kau bisa masuk angin," protesku.
"Kita kan mau main basket, masak pakai blaser dan jaket? Ayo! Lepas jaket dan jasmu. Kita bertarung head to head."
Michi mengambil satu bola yang tergeletak di bawah papan pantul. Aku membuka jaket, jas, dasi, menggulung baju lengan panjangku hingga ke siku. Pun tanpa sepatu.
"Kau dulu yang pegang bola," kataku memberi kesempatan padanya untuk menyerang.
Michi memulai serangannya. Pantulan bola basket diselingi teriakan kami menyelak suasana sepi di depan apartemen. Gerakan Michi gesit. Dia berlari sambil memantulkan bola, melewati pertahananku, melempar bola tepat ke jaring. 1-0 untuk Michi. Semula aku menganggapnya enteng. Ketika skor bertambah dan cemoohan berkali-kali dilemparkan, hatiku memanas. Skor 4-0 membuat aku serius bergerak mengimbangi permainannya. Segala kemampuan yang kumiliki keluar otomatis. Gerakanku yang masih gesit membuat gadis bertubuh semampai itu berubah menjadi kerepotan. Skor berubah sama. Michi semakin terpacu.
Keringat deras mengubah hawa dingin menjadi hangat. Dengus nafas kami beradu saat berdekatan. Bau parfum wangi yang memabukkan keluar dari tubuh Michi yang bersimbah keringat. Tubuh kami saling menempel. Kulit kami bergesekan. Rambut sebahu yang dibiarkannya terurai berkibar mengikuti gerak kepalanya yang bergoyang, membuat tubuh semampainya terlihat sangat menarik. Baju putih yang menempel ketat di tubuh Michi membuat konsentrasiku harus terbagi antara permainan basket, dan penekanan hasrat yang keluar tanpa bisa kukendalikan.
Saat Michi terbang membawa bola basket untuk disarangkan ke jaring, aku menghadangnya keras. Tubuh kami bertubrukan, membuat gadis itu kehilangan keseimbangan. Michi jatuh dengan kaki kiri tidak menapak dengan kuat. Dia berteriak tertahan. Tubuhnya oleng.
Panik aku menjatuhkan diri menjadi bantalan tubuh Michi agar tidak terbanting langsung ke lantai. Sebagai gantinya, punggungku membentur lantai lumayan keras serasa pukulan godam raksasa menghantam. Sakitnya menembus tulang. Belum juga rasa sakit itu tereliminasi, tubuh Michi yang lumayan berat menerpa tubuh bagian atasku. Sikunya tepat mengenai dadaku.
Michi panik. Dia mengangkat tubuhnya agar tidak menindihku. "Maafkan aku. Kamu baik baik saja kah?" tanyanya khawatir.
Wajah Michi begitu dekat dengan wajahku hingga aku bisa mencium nafasnya yang tersenggal. Nafas itu segar. Hangat. Pori-pori pipi yang ranum terlihat jelas. Gurat alur bibir tipisnya tampak pucat. Wajah Michi memerah, mengkilat basah oleh keringat. Anak-anak rambut yang jatuh tidak beraturan, lengket menutupi dahinya. Di mataku dia terlihat sangat cantik. Rasa sakit di punggungku hilang entah kemana. Wajah menawan yang begitu dekat dengan mataku itulah yang menyembuhkan.
Bibir merah jambu itu terbuka memperlihatkan gigi putihnya yang berderet rapi. "Kau tidak apa-apa kah?" tanyanya sekali lagi.
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, kutatap lekat bola matanya. Michi menatapku balik. Entah siapa yang memulai, wajah kami semakin mendekat hingga nafasnya yang hangat menggelitik bulu hidungku. Kami saling menatap. Menakar keinginan untuk mendahului bertindak. Akulah yang mengambil inisiatif.
Masih ada jarak lima senti meter yang membatasi wajah kami. Kuraih kepala Michi. Bibirku bergerak pelan mendekati bibirnya. Bibir itu merekah. Bergetar. Seiring dua kelopak mata yang menutup perlahan, perisai yang selama ini menangkupi keangkuhan dan pertahanannya terkuak lebar. Bibirku menekan bibirnya lembut. Lidahku menyelusup memasuki rongga mulutnya penuh hasrat. Kala kutemukan indra perasanya, gadis di atas tubuhku itu melenguh laiknya menemukan oase yang selama ini jauh dari jangkauannya. Michi mereguk buai asmara yang kutawarkan. Jiwa kami saling memagut.
Raungan sirine ambulan membuyarkan momen yang membuai. Michi menarik wajahnya, menjauh dari tubuhku yang masih tergeletak di lantai. Nafas kami memburu. Paru-paru kami berpacu mencari udara segar. Tidak sepatah kata pun terlontar. Kami diam dalam keheningan yang meronta.
"Aku ... tak selayaknya berbuat seperti itu," kataku lirih.
Michi menggeleng. "Bukan salahmu. Hanya saja...." Kalimatnya menggantung di udara. "Aku takut," lanjutnya.
Kelanaku dalam dunia asmara mengajarkan untuk tidak mengejar wanita mengungkapkan ketakutannya. Kecuali dia memang mau berbagi rasa. Kudiamkan Michi sibuk menimbang perasaannya sendiri. Detik-detik berjalan lambat. Sejurus kemudian Michi tertawa lepas. Tergelak hingga air mata dibiarkan bebas membasahi pipinya. Kudiamkan dia menghabiskan segala perasaannya dalam gelegar tawanya.
"Maafkan aku. Aku tidak bisa mengendalikan keinginanku untuk tertawa lepas," kata Michi setelah berhasil menguasai diri.
Aku tidak tahu harus bagaimana menyikapi gadis yang baru saja menanggapi ciumanku dengan gelora itu. Rasa aneh yang menggeliat naik membuatku tak tahan untuk diam. "Ada yang lucu kah sehingga kau terbahak seperti itu?"
Michi menggelengkan kepalanya hingga rambutnya ikut bergerak. "Umurku sudah menginjak dua puluh sembilan tahun. Terakhir seorang laki-laki mencium bibirku adalah ketika aku lulus SMA. Sebelas tahun yang lalu!"
Seolah belum puas, gadis itu kembali menertawakan dirinya sendiri. "Betapa naifnya. Seorang wanita karier lulusan MBA Amerika, Direktur Keuangan sebuah perusahaan besar, kaya raya, penuh kuasa, tetapi menangis ketakutan setelah dicium laki-laki yang baru dikenalnya! Ha ha ha...." Michi kembali tergelak.
Aku tersenyum pahit. "Kau kira aku main-main dengan ciumanku tadi?" kataku ketus.
Michi tersentak dengan pertanyaanku. Wajahnya berubah serius. Kukutuki diriku yang terbawa perasaan. Gadis itu kembali memakai perisainya. Kegagahannya yang sempat runtuh mencuat lagi.
"Maaf, kau tidak perlu tersinggung dengan sikapku tadi. Aku juga menikmati ciumanmu. Aku senang. Tapi, menurutku hubungan kita terlalu cepat. Aku baru satu bulan mengenalmu. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum kita melangkah lebih jauh."
Michi telah kembali menjadi Direktur Keuangan yang penuh perhitungan untung rugi. Seorang wanita eksekutif penggenggam kuasa yang waspada. Pun, ia kembali menjadi wanita yang berlindung di balik perisai kesendiriannya.
"Sudahlah. Apartemenku sudah dekat. Kita berpisah di sini saja," katanya dingin.
Dia berdiri, membersihkan tubuh, mengenakan sepatu, blaser dan jaketnya kembali. Kusodorkan tasnya yang tadi tergeletak di bawah papan jaring basket. Kupaksakan tubuhku merangkak bangkit. Lantai ubin serasa dingin. Kubenahi pakaianku yang semrawut.
"Kita berpisah di sini," kata Michi. Dia membungkukkan tubuhnya menghormat seolah menghadapi tamu bisnis pada umumnya. "Terima kasih untuk malam ini. Sangat menyenangkan." Michi membalikkan badan, melangkah menjauh.
Punggungku masih terasa sakit. Namun, di sudut hatiku yang paling dalam, entah kenapa, terkaman sakitnya mengoyak luka. Harga diriku serasa tercabik setelah sekian banyak petualanganku dengan wanita. "Michi!" teriakku.
Ia menghentikan langkah. Bahunya bergetar. Aku yakin wanita ini tengah berada di persimpangan. Sedang dalam proses luruh setelah mendapat serangan bertubi-tubi ke hatinya. Aku harus membuat perisai yang melingkupi dirinya hancur lebur.
"Kau pengecut! Kau menafikan perasaanmu. Kau hanya berlindung di balik harta dan kekuasaanmu. Percayalah! Itu tak akan bisa menolongmu menekan rasa yang telah tumbuh di hatimu!"
Tubuh yang membelakangiku itu menegang. Kepalanya terdongak ke atas, seolah mencari bantuan kekuatan dari sinar rembulan yang pucat. Aku yakin kalimat yang kulontarkan layaknya anak panah yang menembus jantungnya. Membobol benteng keangkuhannya. Bahu itu turun naik menahan nafas yang tersenggal. Tanpa membalas ucapanku, wanita penggenggam hidup ribuan nasib karyawan itu melangkah cepat meninggalkanku yang berdiri termangu. Setengah berlari tubuhnya hilang di balik kelokan. Sayup, kudengar isak tertahan.