Chereads / ai (LOVE) / Chapter 10 - BAB 10 ; Yatta!

Chapter 10 - BAB 10 ; Yatta!

Selepas pertemuan yang melelahkan itu, aku beberapa kali menghubungi Michi melalui telepon genggamnya. Namun, panggilanku hanya diterima mesin penjawab. Kuminta Yasuo untuk mendapatkan informasi dari sumbernya. Saat ponselku berdering dan kudapati nama Yasuo di layar, aku berteriak layaknya pemenang lotere mendapat nomor yang dibelinya meledak. Tetapi, jawaban yang kuterima membuatku panik. Tidak ada yang tahu keberadaan Michi.

Hari-hari berikutnya berlalu resah. Aku tidak kuat berlama-lama di kantor. Hiroshi semakin meledak membabi buta. Sumpah serapah segala jenis nama hewan dari mulutnya seolah membuat kantor berubah menjadi Kebun Binatang. Dari meja kerjanya, Papa sesekali mencuri pandang ke arahku. Kala kuberi dia gelengan kepala, wajah tuanya semakin terlihat merana. Orang tua itu kemudian menghela nafas panjang, berjalan gontai ke ruang pribadinya. Goto Tomoyasu tenggelam dalam layar laptopnya. Mesin kalkulatornya berdetak cepat saat jemari keriputnya menari lincah berusaha mengalihkan persoalan dengan menekuni angka-angka yang sudah dihitungnya. Kemudian dihitungnya kembali.

Sejak hari senin hingga rabu malam, malam-malam serasa mencekik. Pikiranku goyah menghitung tinggal berapa lagi waktu yang tersisa sementara jarum di arloji berbicara langsung padaku. Setiap perubahan detik, menit, jam, hari serasa waktu ketetapan vonis yang akan dijatuhkan oleh pengadilan.

Hingga suatu malam, entah malam ke berapa, suara berisik memotong mimpi burukku. Suara itu awalnya pelan. Semakin lama mengeras seiring kesadaran menarik jiwaku kembali menyatu dengan tubuh. Aku tersentak dengan tubuh basah kuyup. Tenggorokanku kering, mulutku pahit. Tubuhku bersimbah peluh. Sigap aku meraba mencari asal suara itu. Telepon genggam yang tergeletak di sisi kanan nakas berdecit bising menunggu gapaian tanganku. Gerutuan bercampur sumpah serapah keluar berbusa-busa dari mulutku. Namun berganti sorak sorai kala mendapati nama Michi muncul di layar.

"Moshi moshi. Michi! Moshi moshi!" teriakku panik.

Suara telepon di seberang terdengar tidak jelas. Jauh. Aku mengulang berkali-kali memanggil nama yang beberapa hari ini sangat kurindukan.

"Kazuki! Kazuki! Terdengar jelas kah?" kata suara di seberang.

Nada kalimatku bercampur antara rasa putus asa dan kegembiraan yang meletup-letup. "Oh, Michi ... Kemana saja kau selama ini?" Aku merengek layaknya anak kecil yang merajuk.

"Maaf. Aku membangunkanmu? Aku sedang di New York. Di sini masih jam tiga sore."

Mataku melirik jam di dinding. Pukul lima pagi! Empat belas jam beda waktu dengan Jepang. "Kenapa ke New York? Ada apa?"

"Urusan bisnis," kata Michi itu saja.

Ia enggan menjelaskan alasan kepergiannya. Aku pun tidak berusaha memaksanya untuk menjelaskan. Mendengar dia menelepon saja lebih dari cukup. Suara anak penguasa Fujioka Corporation itu saat ini seperti air segar di tengah panasnya oase.

"Kapan pulang?"

"Ini aku lagi di bandara. Nanti malam waktu Jepang aku tiba di Narita." Dia melanjutkan,"Ada sedikit oleh-oleh. Aku kirim ke apartemenmu, ya?"

"Tidak. Aku tidak ingin oleh-oleh dari Amerika," balasku cepat.

Di seberang Michi terdiam. Sebelum dia salah sangka, cepat kususulkan kalimat selanjutnya, "Aku hanya ingin bertemu kamu."

Dua kali tarikan nafas tidak ada sahutan dari telepon di benua lain itu. Aku menyusul dengan rengekan. "Tapi, kalau kau keberatan, aku tidak akan memaksa ... Aku...."

"Aku ingin bertemu. Ya, aku ingin bertemu denganmu!" potong Michi.

Hatiku berteriak bagai anak puber yang diterima cinta monyetnya. "Aku ada permintaan. Semoga kau sudi meluluskannya," susulku lebih berani.

"Apa? Kalau kau ingin kutraktir makan mewah sebagai ganti ajakanmu kapan hari itu, sebutkan saja tempatnya." Michi tertawa lepas.

Pucuk dicinta ulam tiba. Michi menawarkan sesuatu yang sangat kuinginkan."Ya! Aku ingin kita makan malam bersama. Tapi tidak di restoran."

"Di mana?"

"Aku ingin makan masakan yang kau masak sendiri."

"Haa?" Sejenak Michi terdiam. "Tapi, aku tidak bisa memasak sama sekali. Kalau pun berusaha, pasti rasanya tidak enak," lanjutnya.

"Mie instant juga tidak apa apa. Yang penting hasil olahan tanganmu," sergahku. Menekannya hingga ke tepi jurang kesanggupan.

Ponselku kembali hening. Suara teriakan berlatar belakang Bahasa Inggris di seberang membuat Michi cepat memutuskan. "Baiklah! Jumat malam, jam tujuh."

"Ok. Kasih alamat apartemenmu."

"Nanti aku kirim lewat Line. Sampai ketemu jumat malam."

Sebelum Michi menutup telepon, aku cepat berteriak,"Michi!"

"Hai?"

"Terima kasih telah meneleponku."

"Sama-sama."

Telepon ditutup.

Aku meloncat dari tempat tidur, berjoget, meliukkan tubuh. Jendela kamar kubuka lebar. Suasana di luar masih temaram. Hawa dingin menggigit kulit tubuhku yang setengah telanjang. Tak kuhiraukan.

"Kyaa! Yattaaa!" teriakku. Suaraku menggema keras di tengah pagi.

"Urusai!" teriak balasan entah dari kamar yang mana, dari gedung yang mana.