Hari itu juga aku meninggalkan apartemenku. Dari hasil menjual arloji, mobil, dan barang-barang yang kupunya, aku pindah ke losmen kumuh di pinggiran kota Tokyo. Hari-hari kuisi dalam dekapan minuman keras dan penyesalan. Dalam keterpurukan nasib yang tak menentu, episode kelam hidupku dimulai.
Michi seperti hilang ditelan bumi. Ponselnya tidak aktif lagi sejak peristiwa itu. Berkali-kali aku mencoba mengunjungi apartemen mewahnya, tapi staff operation desk mengkonfirmasi kalau dia sudah tidak menempati apartemennya lagi sejak hari itu. Aku berusaha mencarinya di kantor Fujioka Corporation, tapi sepuluh meter sebelum menginjak halaman gedung, seorang laki-laki dengan balutan jas lengkap dan kaca mata hitam menghadangku. Dia menarik kemejaku, menyudutkanku di sebuah taman kecil. Aku berusaha melawan. Tapi gagang pistol yang sengaja diperlihatkan nangkring di balik jasnya membuat nyaliku ciut.
Pernah suatu hari aku nekat menyelinap dalam tampilan samar. Memakai topi, bercambang palsu, dan iku masuk kantor Fujioka Corporation bersama kerumunan karyawan di pagi hari. Entah bagaimana cara cctv yang terpasang di penjuru lantai bisa merekam dan mengidentifikasi, dua petugas pengamanan langsung bisa mengenaliku. Keduanya menelikungku, memaksaku keluar halaman kantor, dan menghadiahiku satu pukulan keras di perut. Yang paling membuatku bergidik, seseorang yang tidak kutahu dari mana mengeluarkan pistolnya, dan menancapkan ujung pistol tepat di dahi. Saat itu wajahku pucat pasi. Kuangkat dua tanganku agar tak ditembak. Aku menyerah tanpa sarat. Setelah menggiringku hingga keluar halaman gedung, mereka melepasku seperti anjing kurap.
Satu-satunya tempat yang belum kukunjungi adalah tempat tinggal orang tua Michi. Aku yakin dia pindah bersama orang tuanya. Informasi tentang tempat tinggal mereka kubayar dengan mengeluarkan satu juta yen hasil penjualan mobil. Sebuah harga yang sangat mahal untuk sebuah informasi tentang alamat seseorang. Dan, uang satu juta yen itu pun melayang sia-sia. Ketika langkahku mendekati sebuah gedung Apartemen mewah di daerah distrik Gotanda, di sebuah taman yang berjarak dua puluh meter dari apartemen, dua orang yang kukenal sebagai pengawal Fujioka Ichiro yang ikut merangsek dan memukuliku kala itu, telah menghadangku. Mereka menahan langkahku. Seolah hobi memukuliku, keduanya kembali memberiku hadiah yang menyakitkan. Satu pukulan di perut dan dua pukulan di tulang rusukku. Yang lebih menggegiriskan, sebelum mereka melepasku, todongan pistol di dahi diikuti bunyi "Klik" dari pelatuk yang ditarik membuat semangatku runtuh. Jiwaku semakin terpuruk. Nyaliku tak sebesar cintaku pada Michi.
Laiknya film action romansa, atau novel fiksi asmara, seharusnya aku memberanikan diri menghadapi segala rintangan. Menerjang, menghajar dan membumi hanguskan semua bajingan-bajingan yang menghadang cintaku. Ternyata, aku bukan tipe pahlawan hati. Pun, aku bukan termasuk pangeran yang berhati baja membebaskan putri yang ditawan raksasa di sebuah puri. Alih-alih berusaha lebih keras, aku malah terpuruk dalam dekapan minuman keras. Setiap malam, setiap waktu, bersanding dengan cairan alkohol berbotol-botol. Aku pecundang sejati.
Tidak ada seorang pun yang mencariku. Papa, Hiroshi, Goto, dan semua karyawan Yonekura Corporation seolah menganggap aku tak pernah ada. Minuman keras adalah teman setiaku. Setiap saat aku mabuk tanpa melihat tempat dan waktu. Di kamar, pub, taman, bahkan di kursi panjang stasiun. Sepi dalam keterasingan adalah pergulatan hidupku tiap hari. Hingga suatu hari, laki-laki itu muncul di pintu kamarku.
Dia membuka pintu kamarku secara paksa dengan bantuan petugas pengamanan setelah putus asa menggedor kamarku berkali-kali tapi tidak kubuka. Bukannya aku tidak mendengar gedoran itu, tapi, aku sengaja membiarkannya. Gedoran di pintu terdengar seperti dentuman musik di telinga, membawaku lebih asyik menikmati aliran alkohol yang sudah menyatu dengan jiwa.
Laki-laki itu berdiri berdiri membelakangi pintu yang terbuka. Cahaya yang menyorot dari luar kamar membuat tubuh kurusnya seperti batang sapu. Kehadirannya mengganggu keasyikanku.
"Siapa kau? Pergi!!"
"Namaku Abe Motoyoshi. Pengacara keluargamu, sekaligus pengacara Yonekura Corporation" Tubuh keringnya tidak sesuai dengan suara yang keluar dari kerongkongannya. Suara itu tegas. Mengancam. Suara khas pengacara yang suka menakut-nakuti lawannya.
Kukuliti sekali lagi penampilannya. Kukerjapkan mataku berkali-kali. Kala mataku memindai detail tampilannya, ledakan tawa tak dapat kutahan lagi. Kamar murahan yang bau dan pengap ini terlihat kontras dengan performanya. Setelan jas mahal warna hitam. Sepatunya mengkilat tertimpa selarik sinar lampu temaram di sudut kamar. Dia menenteng tas kerja bermerek yang terbuat dari kulit sapi. Ketika dia mendekat dan berjongkok di depan tubuhku yang masih tertidur di atas kasur lapuk, kilatan mengkilap yang dihasilkan dari cincin emas bertahta berlian menghias jari manis kirinya. Kilau itu menyergap mataku. Aku pernah mendengar kalau Yonekura Corporation membayar mahal seorang pengacara terkenal untuk membantu dalam bidang hukum bisnis, namun baru kali ini aku bertemu dengannya.
"Untuk apa Hiroshi mengirim pengacara terkenal ke ruang bobrok ini?" tanyaku malas.
"Bukan Yonekura Hiroshi-san. Tapi, Yonekura shacho," jawabnya singkat.
"Papa? Untuk apa?"
"Nanti akan saya jelaskan di tempat pertemuan."
Kutolak tegas ajakannya. "Aku tidak tertarik!" dengusku kesal.
"Fujioka Ichiro san juga menunggu."
Jantungku serasa disengat kelabang beracun. Setelah sekian minggu hari-hariku dipenuhi bayang-bayang keluarga itu, kepala rumah tangganya ingin bertemu denganku.
"Fujioka Michi?" Pertanyaanku mengambang penuh harap cemas.
"Saya tidak tahu apakah Nona Fujioka Michi juga ikut hadir. Yang pasti, pertemuan ini melibatkan dua perusahaan. Yonekura dan Fujioka."
Alasan satu-satunya yang membuatku berdiri dan memutuskan untuk ikut dengan pengacara ini adalah nama kekasihku disebut. Pun, permintaan ampun juga belum mendapat jawaban darinya. Aku tak peduli lagi dengan urusan perusahaan. Masa depan karyawan bukan tanggung jawabku. Kerinduan membuncah akan bertemu kekasih yang menyemangatiku.
Kupaksa tubuhku berdiri. Botol dalam dekapan kuserahkan ke Pengacara itu. Dia menyingkirkan botol itu jauh dari jangkauanku seolah takut aku urung pergi dan kembali dalam dekap kenikmatan cairan itu.
"Kasih waktu lima belas menit. Aku ingin membersihkan diri," pintaku.
Abe menggelengkan kepalanya tegas. "Tidak ada banyak waktu. Lima menit saja," perintahnya sambil meninggalkan kamar.
Kalau saja bukan keinginan berjumpa Michi yang menyesak, sudah kuusir pengacara tak diundang itu. Datang tanpa salam, berlagak bos main perintah, bahkan meminta waktu lima belas menit pun tak diijinkannya. Tiga menit waktu yang kubutuhkan untuk mencuci muka dan berganti pakaian. Tanpa mandi, tanpa bercukur, dan tanpa gosok gigi. Aku ingin Michi mengasihani penampilanku yang sedang terpuruk.
Abe Motoyoshi sudah menunggu di luar pintu kamar, berdiri menatap lurus pemandangan di pinggir jalan. Pandangannya kosong tertuju pada satu tempat. Dahinya berkerut. Aku yakin jiwanya tidak sedang ikut bersama pandangannya. Mungkin otaknya sedang berpikir keras langkah selanjutnya yang akan diambil.
"Aku sudah siap," kataku. Kueratkan semua kancing jaket menutup seluruh kulitku. Penunjuk cuaca di depan kantor penginapan berada pada angka lima derajat celcius di pagi hari.
Pengacara itu mengalihkan pandangannya ke arahku. Tatapan atas penampilanku merujuk akan kejijikan yang tak ditutupi. Aku tak peduli. Lima menit bukan waktu yang banyak untuk bersolek!
Abe memberi isyarat untuk mengikutinya. Hanya ada satu mobil terpakir tepat di depan kamarku; Mercedes benz warna hitam keluaran terbaru. Entah berapa banyak yang dihasilkannya dari menghisap beberapa perusahaan. Kukutuk pekerjaanku selama ini. Kenapa tidak jadi pengacara saja!
"Bagaimana kau bisa menemukanku?" tanyaku di sela langkah kami mendekat Benz-nya yang sudah menunggu.
Abe membuka pintu mobil, menungguku melakukan hal yang sama. Sebelum kami menghempaskan diri di jok kulit mewah coklat muda, Abe menatapku sembari senyum ejekan menghias bibirnya. Sangat menghina dan merendahkan.
"Jangankan kelas geladangan sepertimu, penjahat besar saja bisa kutemukan."
Ingin kuhancurkan senyum itu hingga rontok giginya. Alih-alih menjawab ejekannya, kuhenyakkan pantatku di jok mobil dengan kesal. Kalau saja bukan karena angan bisa bertemu Michi, akan kutingalkan dia dengan sumpah serapah. Botol yang masih sisa separuh sedang menungguku.
Mobil mewah meluncur meninggalkan tempat penginapan kumuh. Membelah pagi yang masih enggan berbagi ceria. Tatapanku terus tertuju ke luar jendela. Tidak ada kalimat percakapan hanya sekedar untuk berbagi cerita. Aku tidak tahu penderitaan apa lagi yang sedang menunggu. Yang pasti, aku akan mendapat berita tentang keadaan Michi. Kalau beruntung bisa bertemu dia, aku bisa bersimpuh di depannya. Ingin kucium telapak kakinya.
Butuh satu jam berkendara. Jalanan kota Tokyo masih sepi pada pukul tujuh pagi. Lautan manusia yang semalam larut melewatkan akhir pekan masih lelap dalam tidurnya. Mercedes Benz membelah jalan yang biasa ramai dan padat tanpa halangan yang berarti. Untuk kelas pengacara terkenal seperti Abe, aku yakin dia punya sopir untuk menjemput kami. Namun, hari ini dia berkendara sendiri.
Kantor Abe Motoyoshi & Partner yang menempati satu lantai penuh di gedung bertingkat dua puluh terlihat sepi. Pengacara itu tidak membawaku memasuki kantor lewat jalan utama. Di depan meja penerima tamu, dia mengambil jalan memutar lewat belakang. Mengisyaratkan pertemuan yang akan kami lakukan bukanlah pertemuan untuk konsumsi umum. Dari sekat tembok kaca pembatas, sekilas ekor mataku menangkap tujuh orang pegawai yang tekun di depan komputer masing-masing.
Abe mengetuk pelan pintu ruang kerjanya. Sebuah wajah wanita keluar separuh dari balik pintu, memastikan kami bukan tamu tak diundang. Dia membuka pintu lebar-lebar setelah mendapati pemilik ruangan yang hadir. Abe mempersilahkan aku masuk terlebih dahulu, kemudian menyusul. Wanita penerima tamu itu mengunci pintu. Dia tak ingin pertemuan ini diganggu.
Di dalam ruangan itu hanya terdapat dua sofa memanjang. Di antara dua sofa itu diisi meja tanpa hiasan vas bunga. Mataku mengenali siapa yang telah hadir menunggu; para lelaki yang telah mengacaukan harapanku. Hiroshi duduk di samping papa. Goto Tomoyasu berdiri di belakang keduanya. Orang tua yang merusak kebahagianku itu duduk di sofa satunya berhadapan dengan Hiroshi dan papa. Sendirian. Di belakangnya, berdiri dua pria bersetelan jas hitam berwajah dingin. Tukang pukul keluarga Fujioka.
Semua mata mengarah ke pintu ketika aku muncul. Wajah Fujioka Ichiro terlihat menahan amarah. Matanya merah menyala. Giginya mengerat menahan geram. Berbanding terbalik dengan Fuijoka, Hiroshi menarik bibir tebalnya lebar-lebar. Wajah tua Goto Tomoyasu dihiasi senyum kemenangan. Hanya papa yang bersikap aneh. Walau mulut manis yang menurun padaku itu tersenyum mengembang, namun sorot mata yang akrab denganku sejak kecil itu memeram kesedihan. Sorot mata itu sama saat melihatku meraung di depan jasad mama.
Papa berdiri menyambutku. Tangannya terulur ingin membimbingku. Gerakan yang sama kala dia membimbingku ke peti mati mama sebelum diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Waktu itu kami bergenggaman erat saling memberi kekuatan. Kali ini kutepis uluran tangan tua itu. Aku tidak rela tempat ini akan menjadi tempat perabuan bagiku. Tidak ada kemarahan tersirat dari sorot marah mata tua itu ketika mendapat perlakuanku.
"Silahkan tuan Yonekura Kazuki menempati tempat duduk yang telah ditentukan," kata Abe Motoyoshi. Nada kalimatnya berubah ramah. Sang Pengacara sedang memainkan perannya.
Penghisap uang kami itu memberi isyarat pada pegawai wanita pembuka pintu untuk memberi tahu tempat dudukku. Satu sofa bersama papa dan Hiroshi. Papa bergeser ke samping mempersilahkan aku duduk di sebelahnya, berhadap-hadapan langsung dengan ayah kekasihku. Orang tua Michi itu melengos keras saat mata kami bertemu. Baginya, aku terlihat menjijikkan.
"Nah, karena semua sudah hadir, maka saya sebagai Pengacara yang disetujui dan ditunjuk kedua belah pihak akan memulai pembacaan dokumen yang telah disepakati. Sebelum itu, ada yang ingin mengajukan keberatan?"
Aku mengacungkan tangan. Abe mempersilahkan.
"Aku tidak mendapatkan Fujioka Michi di sini. Kau bohong. Aku tidak akan menandatangani apapun," sergahku.
Sejenak dengung lebah terdengar di ruangan. Fujioka Ichiro semakin menggeram. Wajahnya memerah serasa dipermalukan.
"Maaf Tuan Yonekura Kazuki, Nona Fujioka Michi tidak bisa hadir. Tapi, dia sudah sepakat akan pertemuan ini. Kesepakatan itu sudah dituangkan dalam dokumen yang sudah di tanda tanganinya," jawab Abe. Nada kalimatnya tenang tak terpengaruh umpatanku.
"Kesepakatan apa? Dokumen apa?"
"Kalau Anda ingin mendengar, Anda harus membiarkan saya memulai pertemuan ini."
Aku menyerah. Abe Motoyoshi melanjutkan keterangannya. Aku tidak bisa menangkap semua artinya karena otakku penuh diliputi bayangan Michi. Bagiku, pertemuan ini tak lebih dari jebakan untuk menipuku. Hanya poin penting yang bisa kutangkap. Dan itu mengagetkan. Fujioka Ichiro dan Fujioka Michi melepas saham yang dimilikinya, dan menyetujui saham itu dibeli Yonekura Corporation. Namun, ada syarat yang diminta oleh Fujioka. Dan syarat itu berhubungan dengan keberadaanku. Berhubungan dengan papa. Papa tidak akan menanda tangani syarat itu bila tidak mendapat persentujuan dariku.
"Bagaimana Tuan Yonekura Kazuki? Apakah Anda mengerti dengan kesepakatan ini?" tanya Abe.
Aku menatap papa dan Ichiro bergantian. Kucari keseriusan dari kesepakatan yang akan mereka tanda tangani. Papa sedang tidak ingin berbantahan denganku. Dia menunduk. Bolpoin di tangan kanannya bergetar, berhenti di sebuah kertas yang penuh pasal-pasal perjanjian. Fujioka Ichiro masih tetap dalam sikapnya yang sama; membuang pandangannya. Matanya penuh kegeraman yang belum tersalurkan. Hiroshi terlihat gelisah. Berkali-kali dia mengubah cara duduknya. Goto Tomoyasu pun berdiri dengan sikap yang sama. Entah dia sedang berada di pihak yang mana.
"Papa tahu aku tidak rela menandatangani dokumen ini?" tanyaku mengarahkan kalimat ke orang tua yang duduk di sampingku.
Dia tidak menjawab.
"Dan, jika Papa menandatangani dokumen ini, itu sama artinya dengan membuangku, membuang darah daging Papa sendiri?" tanyaku retorika.
Papa menggelengkan kepala. Bibirnya bergetar hebat. Kalimat yang keluar dari mulutnya serasa tak percaya diri. Jawaban papa terdengar lemas. "Kautahu sejak awal alasan semua ini. Demi perusahaan kita. Demi karyawan kita."
"Omong kosong!" dengusku keras. "Dengan mengorbankan aku?"
Papa terdiam. Aku melanjutkan dengan tekanan kalimat meninggi, "Apakah demi Hiroshi?"
Sepatah kata pun tak keluar dari mulut orang tua yang pernah menimangku itu di kala aku kecil. Tawa pahit menggelegar keluar dari kepedihan hatiku yang tersayat. Kubiarkan papa terbalut rasa bersalah. Kulanjutkan tikaman berikutnya. "Ya. Semua memang untuk Hiroshi! Dia lebih pintar, lebih hebat, lebih dari semuanya dibanding aku. Sedangkan aku? Aku hanyalah benalu di keluarga kita!"
Sepuluh jemari papa mengepal keras. Gerahamnya terkatup rapat menerima seranganku. Kebijakan dirinya sebagai orang tua sekaligus sebagai Presiden Direktur Yonekura Corporation sedang kuguncang. Sejurus kemudian kepal jemari itu melemas. Tarikan nafas berat keluar bersama erangan yang tertatahan.
"Kau tahu dalam hati kecilku tidak seperti itu. Kau tahu aku menyayangi kalian berdua, terutama sejak kematian mamamu. Aku memang keras padamu, tapi aku menyangimu," kata papa pelan. Kesedihan terpancar dari kalimat terakhirnya.
Aku tidak mau kalah. "Bukan seperti itu yang kutangkap. Papa hanya menyayangi diri papa sendiri!"
Semua terdiam mendengar adu argumen tentang rasa sayang orang tua terhadap anaknya. Dan itu tidak berarti dalam sebuah pertempuran bisnis.
"Cepatlah! Aku tidak ingin mendengar rintihan kalian berdua. Waktuku terbatas! Kalau Anda tidak bisa tegas dalam bersikap sebagai orang tua, saya akan menarik diri dari kesepakatan ini!" desak Fujioka Ichiro.
Sebelum papa menjawab, aku mendahului. "Tuan Fujioka. Saya tahu Anda sedih. Beribu permintaan ampun tidak akan meluluhkan empati Tuan untuk saya. Saya akan menanda tangani kesepakatan ini. Tapi, tolong jawab dengan jujur. Satu pertanyaan saja," pintaku.
"Apa? Cepat!" bentak Fujioka Ichiro.
"Apakah ini bebar-benar yang diinginkan Michi?"
Tanpa berpikir Fujioka Ichiro menjawab tegas. "Ya! Bahkan kububuhkan tanda tanganku melepas semua saham yang kudapat dari ayahku demi permintaanya!"
Hatiku serasa diremas. Sebegitu bencinya kah Michi kepadaku hingga rela menukar sahamnya, saham keluarganya, hanya untuk ditukar dengan keberadaanku di Yonekura Corporation. Mereka bersedia melepas saham yang mereka miliki agar aku dipecat, dicoret dari perusahaan papaku sendiri. Dan, selamanya dilarang mempunyai saham dan berkecimpung di dalam perusahaan.
"Kenapa Anda menyetujui permintaan Michi?" tanyaku sekali lagi.
Orang tua yang duduk di depanku mengalihkan padangannya ke tembok. Tatapannya nanar, menyiratkan pergantian suasana hati. Dari seorang bisnisman yang sedang terdesak berubah menjadi tatapan kasih sayang lelaki pada anak perempuan semata wayangnya.
"Pertanyaanmu akan terjawab bila kau punya anak perempuan. Begitu pula rasa sakit seorang papa melihat anak perempuannya terluka!" desisnya. Kalimat terakhirnya bergetar.
Ya. Semua adalah kesalahanku. Tidak ada guna lagi berada di ruang ini. Kuputuskan untuk undur diri. Tanpa menunggu persetujuan papa, aku menarik dokumen di atas meja. Kurebut bolpoin dari tangan papa. Tanpa membaca dan berpikir lagi, aku mencari namaku di lembar perjanjian. Di setiap lembar yang tertulis namaku, tanganku bergerak lincah membubuhkan tanda tangan dan stempel. Setelah selesai pelepasan hak atas saham dan kepemilikan perusahaan Yonekura yang kusetujui, papa membubuhkan tanda tangan dan stempelnya.
Semua berakhir dengan cepat. Hiroshi terus tersenyum renyah melihat adegan demi adegan di depannya. Benalu itu sudah tersingkirkan. Kini, dialah pewaris tunggal seluruh harta papa. Beberapa kali dia berusaha menyalami tanganku, kutepiskan. Selanjutnya Abe memberi kode menuju tahap berikutnya, sebuah tanda bagiku untuk segera meninggalkan ruang ini. Keberadaanku sudah tak diperlukan lagi. Namun, masih ada yang mengganjal. Jika aku tak menuntaskan ganjalan yang terus menyundulku berhari-hari ini, kuyakin hidupku tak akan bisa berlanjut selamanya.
"Maaf Tuan Fujioka, aku punya satu permintaan, lebih tepatnya pertanyaan. Saya minta satu dua menit pada Anda untuk meluangkan waktu," selaku di tengah konsentrasi mereka.
Fujioka Ichiro mendongakkan kepala sedetik, kemudian kembali menunduk menekuni dokumen di depannya. Dia tidak menggubris permintaanku. Hiroshi merasa terganggu. Papa diam terpaku.
"Baiklah kalau Anda tidak bersedia. Saya akan bertanya di sini. Semua akan mendengar, dan semua akan tahu."
Fujioka Ichiro mendongak lagi. Kemarahan yang tadi mereda kembali tersulut. Kebencian yang terlontar dari sorot matanya menghujam. Aku tak peduli. Tidak ada kesempatan lain selain saat ini. Dendam dan kebenciannya padaku biarlah menggumpal sekalian.
"Kita keluar!" bentaknya.
Fujioka Ichiro berdiri, menundukkan kepala ke semua pihak, beranjak penuh kekesalan. Tangannya memberi isyarat pada dua pengawalnya untuk tidak mengikuti. Kuberi senyum ejekan pada dua laki-laki yang telah beberapa kali menghadiahiku pukulan itu. Salah satu pengawal yang bertubuh paling dempal dengan otot tangan menonjol, yang saat ini terbungkus jas, mengeratkan gigi gerahamnya. Bola matanya melotot ingin melumatku hingga menjadi serpihan bubuk gergaji.
Segera kuikuti langkah Ichiro ke luar ruangan. Orang tua itu menungguku di balik pintu. Hanya kami berdua.
"Apa yang ingin kau tanyakan?!" bentaknya.
"Tolonglah beritahu saya. Dimana Michi? Saya ingin menemuinya."
Fujioka Ichiro semakin geram. Permintaanku ditanggapinya dengan jawaban semaunya. "Setelah apa yang kau lakukan, kamu masih punya nyali bertanya tentang anakku? Bajingan kamu! Aku tak akan memberitahumu! sampai mati pun kau tak akan bisa menemukannya!"
Sukmaku terbetot. Michi memang bukan siapa-siapa bagiku dalam hukum Negara, Tapi, dalam hukum cinta, dia adalah wanita yang mengandung buah kasih sayangku.
"Bagaimana dengan anak yang dikandungnya? Anak kami?"
Orang tua itu memberi isyarat padaku untuk mendekat. Aku memajukan kepalaku. Dia mendekatkan wajahnya di samping kepalaku. Bibirnya tepat di telingaku. Kalimat dingin penuh ancaman keluar bersama dengus nafasnya yang menderu. Dia menahan kemarahan yang sangat menghimpit.
"Ini peringatan terakhir buatmu. Menghilanglah dari kehidupan kami, dari Negeri ini. Atau, keselamatanmu menjadi taruhannya!" Masih dalam nada ancaman yang sama, dia meneruskan, "Kami. Aku dan anakku, tak sudi punya keturunan dari laki-laki bajingan seperti kamu. Michi akan menggugurkan kandungannya!"
Kalimat terakhirnya membuat separuh jiwaku menghilang. Bayang mengerikan yang akan terjadi pada calon anakku sering melintas dalam benakku. Kalaulah memang harus terjadi, aku akan berusaha menerima keputusan terburuk itu dengan lapang dada. Namun, ucapan langsung dari calon kakek anakku ke telinga, tak urung membuat hatiku meranggas. Searasa remasan bersama sayatan sembilu merajam hatiku, membuatnya berdarah-darah hingga tak ada lagi rasa takut yang tersisa.
Aku mencengkeram krah baju Fujioka Ichiro. Tinggi laki-laki tua ini hanya sepundakku. Sekali angkat, tubuhnya kupepetkan ke dinding. Kakinya sedikit terangkat berjinjit. Mulutku tepat di mukanya hingga dia bisa mencium bau mulut sisa minuman keras. Mataku menatap langsung matanya. Lelaki tua itu menatap balik tanpa ada rasa takut walaupun aku lebih muda dan tenagaku lebih kuat. Sebaliknya, senyum ejekan terus menghias bibirnya.
"Jangan pernah berpikir untuk mengugurkannya! Aku bisa berbuat nekat. Aku akan memburumu!"
Bola mata tanpa kenal takut itu mengingatkanku akan bola mata Michi. "Aku tidak takut ancamanmu! Akan kita buktikan, siapa yang berkuasa atas calon bayi itu!"
Dalam marah dan ketegangan, kami harus berusaha menekan nada kalimat hingga tak ada orang yang tahu. Kami tak ingin berita tentang kehamilan Michi menjadi santapan majalah gosip di tengah perebutan bisnis. Cukup sudah kekacauan yang telah kutimbulkan pada keluarga ini. Kulepas cengekeramanku. Fujioka Ichiro membenahi pakaiannya. Nafasnya diatur agak tidak ngos-ngos an. Tanpa mempedulikanku lagi, ia beranjak menuju ruang di mana semua orang sudah gelisah menunggunya. Kusandarkan tubuh ke dinding, kuratapi nasib. Cairan beralkohol memintaku untuk kembali mendekapnya lagi.