Hidupku semakin terpuruk ditemani berliter-liter minuman keras sebagai pelampiasan. Tiap hari, siang malam, hidupku berkutat dari pub ke pub, dari pesta murahan hingga pesta berkelas tuk menuntaskan kesedihan dan kesepihan. Luka di hatiku meninggalkan lobang besar yang menyakitkan. Bayangan Michi dan keputusan yang akan diambilnya terus berkutat tak berkesudahan. Namun, penolakan dan bermacam ancaman tidak menyurutkan keinginanku. Bahkan, aku semakin nekat. Tiap hari kerjaanku berkeliaran di lingkungan apartemen orang tuanya. Berusaha mencari nasib baik, siapa tahu bisa berjumpa dengan Michi walau hanya sekejap. Sialnya, nasib baik tidak pernah singgah lagi.
Seperti hari-hari sebelumnya, dini hari itu langkahku sempoyongan meninggalkan pub. Di tanganku sebotol vodka isi separuh. Dalam cuaca beku di wilayah Shinjuku seperti saat ini, cairan memabukkan ini memiliki nilai kebahagian tersendiri. Jiwaku melayang jauh. Setiap tapak langkahku beriring kekosongan tak berarti.
Tiba di ujung jalan menuju arah apartemenku yang kumuh, aku berbelok ke jalan kecil. Penerangan jalan hanya terpantau lewat lampu yang meredup. Toko dan kios yang menyebar di sisi kanan kiri sudah tutup. Sesekali dua tiga orang berjalan dengan langkah lebar. Dingin malam dan sendunya suasana membuat kemalasan pejalan kaki menguap. Tidak ada satu pun mobil yang melintas. Jalanan lengang layak kota mati tak berpenghuni. Langkahku terseok mengais gundukan salju di samping-samping jalan. Butirannya menyelusup lewat kaos kaki yang terbuka, menggigit kecil kulit kakiku, menyisakan kebekuan yang dungu. Aku mengibaskan butiran salju layaknya anjing kurap terkena air, kemudian kembali melangkah semakin dalam menyusuri gang sempit yang seolah tak berujung.
Sekelompok anak muda berjalan beriringan mendekat. Lima anak muda dengan penampilan layaknya gerombolan pengacau itu berjalan tanpa arah. Saling dorong, terbahak-bahak sambil melempar candaan kotor. Dari penampilan dan gayanya, kuduga mereka sama denganku; manusia-manusia kalah yang tersisa di sudut kota metropolitan yang kejam. Semakin mendekat, mereka berjalan menyebar tak memberi ruang. Salah satu dari mereka sengaja menyenggol botolku hingga jatuh, menumpahkan sisa isinya. Gairahku meluap, kemarahan yang selama ini menggumpal tak terbendung. Tangan kananku yang bebas melayang cepat ke mukanya. Pukulanku telak mengena. Dia jatuh terjengkang.
Empat pemuda lain tanpa dikomando mengerubutiku. Mereka melayangkan pukulan dan tendangan bersamaan. Dalam keadaan normal saja aku belum tentu bisa menghadapi mereka, apalagi dalam keadaan mabuk. Tubuhku menjadi bulan-bulanan. Aku laiknya anak anjing dipermainkan anak-anak kecil yang nakal. Kepalaku berkunang-kunang, perut, bahu, dan seluruh bagian tubuhku menjerit kesakitan. Ketika kekuatanku tak mampu lagi bertahan, aku ambruk layaknya karung kosong. Badanku melingkar seperti udang kepanasan. Sebuah tendangan keras di perutku membuat isinya mengegelak tumpah ruah memenuhi jalan. Teriakan umpatan masih tersisa di telinga saat sebuah tendangan lain mampir ke punggung, pinggang, dan paha. Setelah puas, mereka membiarkanku terbaring lemah di hamparan aspal cadas.
Aku berusaha bangkit, namun gigitan di organ dalam tubuh membuatku kembali menunduk. Kesadaranku lambat laun semakin menjauh. Tapi kulawan sekuat tenaga. Salju yang turun dini hari akan membuat tubuhku terserang hiportemia. Aku masih belum ingin mati. Aku tak ingin perjalanan hidupku berakhir di gang sempit seperti ini, terkubur salju dini hari.
Gigi geraham kukerat kuat-kuat. Sisa-sisa tenaga kukerahkan hingga batuk menyerang rongga dada. Perlahan kakiku kembali terisi tenaga, tanganku menopang berat tubuh, nafasku satu-satu menderu. Dari lubang hidung dan mulutku hawa panas mengepul dalam udara dingin. Tubuhku berhasil berdiri. Setiap aku melangkah, rusuk, dada, dan pinggulku bergesekan menimbulkan sakit tak terkira.
Jantung kota Shinjuku tak pernah mati. Setiap saat berdenyut keras dengan limpahan manusia yang enggan menghabiskan malamnya. Di balik kemegahan Kota Shinjuku, di sinilah aku, tertatih menyisir lorong sempit. Setapak demi setapak langkah kakiku berat mengusung derita tubuhku. Perjalanan dini hari ini menjadi perjalanan panjang yang menyakitkan. Kukuatkan hatiku. Kubulatkan tekadku untuk tidak menyerah. Akhirnya perjalanan panjangku tertuntaskan.
Di depan jalan besar menyambutku. Kudekati halte taksi yang berjarak kurang dari sepuluh langkah. Perlahan dengan sisa tenaga yang ada, aku memaksakan diri menyeret kakiku yang mulai kehilangan rasa. Beberapa pasang mata yang berpapasan menatapku. Mereka melengos pura-pura tak melihat. Sifat individu akut yang melingkupi penghuni kota besar akhirnya keluar sebagai pemenang; tak ingin melibatkan diri yang bukan urusannya. Mereka membiarkanku sempoyongan mengerang kesakitan.
Akhirnya langit masih berbaik hati padaku. Kebaikannya masih tersisa untuk kesalahan-kesalahan yang pernah kuperbuat. Sebuah tangan kokoh memapahku. Membantuku melangkah.
"Kelihatannya Anda sakit. Biarkan saya menolong. Anda butuh perawatan di rumah sakit."
"Terima kasih, terima kasih sekali," kataku di sela nafasku yang memburu.
Laki-laki itu entah dari mana datangnya. Tingginya sama dengan tinggiku. Kelopak mataku yang bengkak tak dapan mengidentifikasi wajahnya. Tubuhnya terbalut setelan jas lengkap dengan mantel tebal. Dia melingkarkan tanganku ke pundaknya. Aku bisa merasakan otot otot bisep yang sering dilatih menguatkan tulang pundaknya. Tangan kirinya menggapai tubuhku, menuntunku pelan.
"Itu mobil saya. Ayo sedikit lagi"
Laki-laki itu mengarahkan langkahnya ke sebuah sedan putih yang terpakir di pinggir jalan. Dia membuka pintu samping untukku, meletakkan tubuhku yang lemah ke jok tempat duduk samping sopir, memasangkan seat belt, menutup pintu dengan lembut. Kemudian setengah berlari menuju pintu mobil sisi lainnya. Dia melakukan semua aktivitasnya dengan sangat hati-hati, seolah takut menambah luka di tubuhku.
Perlahan mobil melaju pelan membelah jalan raya. Memutar di beberapa kelokan, berhenti di lampu merah, kemudian melaju perlahan di jalan besar yang masih lengang. Mataku melirik speedo meter. Kecepatan tetap pelan walau di depan taka ada mobil yang menghalang. Sepertinya dia menikmati pemandangan kota Tokyo yang sedang menggeliat penuh kesibukan. Hatiku lega. Mulutku berkali-kali mengucap terima kasih. Dia tidak membalas. Tatapannya ke depan mengurut jalan, kedua tangannya mencengkeram gagang stir. Wajah yang tadi ramah mendingin. Sapa pertolongan yang akrab menguap.
"Nama saya Yonekura Kazuki. Terima kasih sekali lagi. Anda telah berbaik hati menolong saya," kataku memperkenalkan diri, berusaha mencairkan suasana yang menegang.
Laki-laki yang duduk di sebelahku itu tidak menjawab. Pandangannya masih terkonsentrasi ke depan. Ufuk timur meledak bersama semburat pelangi warna-warni. Terbantu sinarnya, sosok wajah tanpa senyum melintas di bola mataku.
Aku menunjuk sebuah tempat yang lengang. "Maaf jika saya telah menyulitkan Anda. Tolong berhenti di sana saja."
Lelaki itu tidak menghiraukan perintahku. Dia melewatkan tempat yang kuinginkan. Detak jantungku semakin tidak menentu. Kecurigaan merayap dahsyat, membuatku terbelenggu syak prasangka. Nalarku berbisik, "Keluar mulut harimau, masuk ke mulut buaya."
Mataku liar mencari kemungkinan untuk meloloskan diri. Tidak ada celah. Seperti tahu apa yang kupikirkan, laki-laki itu mempercepat laju mobilnya. "Hentikan! Saya turun di sini saja!" bentakku lemah.
Aku mencoba berontak, tapi segera mengurungkan diri ketika semua urat nadiku berteriak kesakitan. Dia tidak menggubris. Ban berdecit saat kemudi diputarnya cepat di belokan. Kami semakin menjauh dari kota. Pikiranku semakin kalut. Otakku berpikir keras mencari celah. Namun semua buntu. Nekad melompat dari pintu samping sama dengan menyerahkan nyawaku dijemput aspal keras. Kulihat sekeliling dalam mobil, mencari senjata yang mungkin bisa kugunakan untuk membela diri. Tak kudapati. Memukulnya dari sebelah adalah pilihan terkonyol saat ini. Dengan tangan kirinya yang bebas, dia bisa menangkis, dan balas memukuliku.
Mobil semakin cepat melaju. Alkohol yang tadi menggenggam jiwaku lambat laun menguap. Aku memilah, menganalisa dengan otak yang mulai jernih. Tak ada gunanya melawan. Aku yakin dia bagian dari ancaman yang telah dilontarkan Fujioka Ichiro. Kalau dia ingin membunuhku, sejak awal lelaki ini bisa melakukannya dengan mudah. Kubiarkan mobil melaju membawaku ke takdir berikutnya.
Setelah lima belas menit tanpa percakapan, laki-laki itu menurunkan kecepatan mobilnya. Dia memutar melewati jalan yang tadi kami lalui, kembali ke kota, melewati perumahan, gedung-gedung pencakar langit, hingga dari kejauhan lantai tertinggi gedung rumah sakit mulai kelihatan. Seratus meter sebelum mencapai rumah sakit, dia menghentikan mobilnya di sisi jalan yang sepi.Tanpa mematikan mesin mobil, tukang pukul keluarga Fujioka itu menatapku lekat. Matahari menyembul sempurna. Remang dini hari tersibak seluruhnya, memberiku gambar sebuah wajah yang menyeramkan.
Tebakanku tepat. Suaranya serak, dingin, sangat mengancam. "Aku hanya mengatakan sekali saja. Kalau kau masih sayang nyawamu, jauhi keluarga Fujioka. Menghilang dari kota ini, pergilah kemana saja kau suka. Jangan pernah kembali lagi!"
Aku mendengus, kemudian tertawa pahit. Bibir yang kupaksa terbuka membuat luka di sudutnya kembali berdarah. "Kalian tidak punya hak mengatur hidupku. Aku tak takut mati!"
Laki-laki itu tertawa sumbang. Sebuah suara lenguhan sadis. "Kau benar-benar keras kepala anak muda! Kau tidak akan mati dengan mudah. Aku akan mengerat bagian demi bagian tubuhmu hingga kau minta disegerakan menemui ajal. Setelah nyawamu meninggalkan tubuhmu, aku akan mencincang tubuhmu hingga tak berbentuk. Bagian-bagian tubuhmu itu akan kuberikan pada anjing peliharaanku!"
Saat mengungkapkan ancamannya, dia memberi detail bagaimana melaksanakannya, sengaja memberi bayangan padaku tentang proses terbentuknya makanan anjing yang terbuat dari daging dan tulangku. Tak urung itu membuatku bergidik. Membuat mulutku terkunci.
"Aku menghargai keberanian laki-laki dalam mencapai tujuannya. Terutama laki-laki yang ingin mempertahankan prinsipnya. Tapi, kali ini kau berhadapan dengan kekuatan yang tak mampu kau lawan. Sebuah kebodohan bila kau melanjutkannya. Keberanian tanpa strategi adalah kematian konyol!" desisnya.
"Aku tak butuh ceramahmu! Aku hanya ingin bertemu Fujioka Michi. Sesederhana itu!"
Dia melenguh lagi. Kemudian tertawa keras hingga genggaman kedua tangannya pada kemudi berderak-derak. "Cinta memang buta! Cinta membuat orang bodoh! Ha ha ha!"
"Terserah bagaimana penilaianmu!"
Laki-laki itu merogoh saku jaketnya, mengeluarkan ponsel, mencari sesuatu di layar, kemudian menyorongkan ponsel itu kepadaku. "Lihat! Setelah ini apakah kau masih mengagungkan cintamu!"
Kuterima ponsel keluaran terbaru itu. Layarnya menampilkan bentuk file video. Jantungku berdetak kencang, wajah Michi sebagai layar pengantarnya. Video ini dibuat dua hari yang lalu. Jemariku bergerak cepat menekan perintah "Play". Michi muncul setengah badan dengan latar belakang sebuah ruangan yang tak penah kukenal.
Kekasihku itu terlihat pucat, kurus. Di bawah matanya yang kecil, terlihat kantung mata menggantung. Dia terlihat sangat tertekan, penuh kesedihan. Jantungku serasa diremas melihat wanita yang sangat kucinta ini jatuh dalam kesengsaraan akibat pengkhianatanku
"Maafkan aku, sayangku," bisikku.
Layar video bergerak perlahan, Michi memanggil namaku, "Kazuki...." Hanya itu. Isak tangis menghentikan kalimatnya.
Ketika kembali melanjutkan, derai air mata menutupi semua wajahnya. Pipinya yang pucat basah mengkilat tertimpa lampu. "Lupakan aku ... kita tak mungkin bersatu. Satu pintaku, untuk sementara waktu menjauhlah dulu dari masalah ini. Menghilanglah. Tolonglah, aku tak sanggup melihatmu celaka...."
Michi mengusap air mata, mengusap hidungnya. Namun, kembali air mata membanjiri wajahnya. "Tentang kandunganku, aku tak tahu bagaimana menghadapinya. Semua tekanan ini, semua beban ini, entahlah ... jangan terlalu berharap...."
Video terputus. Aku masih belum puas. "Play" kutekan lagi. Video itu muncul sedari awal. Tetapi berakhir tanpa kelanjutan. Bahkan, salam perpisahan pun tak terucap. Aku terdiam, jiwaku melayang entah kemana. Dunia terasa sepi. Yang tersisa dari tubuhku saat ini adalah kematian masa depan yang menyesakkan.
"Kalau kau memang mencintai dia, turuti keinginannya. Semakin kau berontak dan melawan, semakin dia tersakiti."
Ceramah yang meluncur dari laki-laki ini seperti mata tombak yang langsung menghujam ulu hatiku, membuatnya berdarah-darah. Laiknya tamparan keras menyadarkan diriku, membawa jiwaku yang tadi melayang kembali ke raga. Tidak ada lagi yang tersisa di bumi yang sekarang kupijak. Orang tua, kerabat, teman, hingga belahan jiwa sudah meninggalkanku sendiri.
"Tolong aku sekali lagi," pintaku memelas.
"Apa?" tanyanya curiga.
"Antar aku ke rumah sakit."
Dia tersenyum lebar, memacu mobilnya riang. Tugasnya terselesaikan tanpa menimbulkan korban.
***
Dua tulang rusuk patah, bibir pecah, memar di dada, perut, punggung, membuat dokter memaksaku untuk menginap di rumah sakit selama dua minggu. Dokter dan perawat curiga dengan pengakuanku. Luka yang ditimbulkan bukan karena jatuh tertimpa benda keras. Awalanya mereka berusaha memaksaku menerangkan secara jelas. Aku bergeming tetap merahasiakannya. Kutolak mentah-mentah keinginan mereka agar aku membuat laporan ke polisi. Mereka menyerah. Membiarkan aku menahan sakit seorang diri selama perawatan. Tinggallah aku sendiri tanpa keluarga dan teman yang menjenguk. Luka raga dan jiwa ini akan kutanggung sendiri.
Derita di tubuh cepat membaik dibanding luka di hatiku. Hari-hari kelam perawatan kulalui dalam kesendirian. Sehari sebelum keluar rumah sakit, berita akusisi Fujioka Corporation meledak. Televisi, media on line dan surat kabar menguliti prahara bisnis itu habis-habisan. Spekulasi, intrik dibumbui cerita konspirasi merebak, menambah berita hoax yang melebar. Para pekerja media layaknya detektif swasta dadakan, memburu apapun berita yang bisa dikaitkan.
Wajah Hiroshi, papa, Fujioka dan para Board of Director dua perusahaan kerap muncul di berita. Hiroshi tersenyum lebar penuh kemenangan saat menjabat tangan Fujioka Ichiro. Wajah tua Fujioka yang kerap menghuni kehidupanku akhir-akhir ini terlihat kusut. Matanya memerah, keriput di wajahnya semakin berlipat-lipat. Permasalahan perusahaan dan anak perempuannya membuat dia terlihat menua sangat cepat.
Wajah-wajah tak dikenal mulai mengendus keberadaanku. Selepas keluar rumah sakit, aku harus berpindah tempat dalam rentang waktu yang sangat dekat. Kelebat orang-orang yang mencurigakan seolah membayangi setiap langkahku. Serasa tidak ada lagi tempat aman, bahkan tempat tersembunyi untuk sekedar melewati sepi bersama wiski. Hari-hari berlalu dalam kecurigaan. Aku memutuskan secepatnya meninggalkan Negeri ini.
Ketika mereka mulai mencium keberadaanku, aku sudah duduk di kursi pesawat yang membawaku pergi meninggalkan kekacauan di belakang. Tidak ada lagi yang tersisa di bumi Jepang. Perjalanan berikutnya adalah membiarkan nasib yang akan menuntunku. Sedikit petunjuk yang masih terus terngiang; Pulau Bali, Indonesia. Tempat di mana bulan madu yang seharusnya dikemas dalam kebahagian berakhir dengan penderitaan. Kalau pun Michi tidak bisa bersamaku, setidaknya kenangan tentang dia akan menemaniku.
Beribu rasa bercampur silih berganti membebat hatiku saat pesawat lepas landas meninggalkan Bandara Narita. Di tanganku, sebuah tabloid bisnis mengulas tajam peristiwa akusisi. Tanggal 15 Februari, Yonekura berhasil menguasai dua puluh lima persen saham Fujioka Corporation, dan menjadikannya sebagai pemegang saham mayoritas.
Drama sebuah perusahaan kecil yang bisa membuat perusahaan raksasa takluk dan duduk setara dalam satu meja berakhir klimaks. Namun, dibalik drama itu dua cinta harus terpisah akibat keserakahan manusia.
Sambil menikmati wine yang disediakan pramugari, mataku menjelajah berita koran di tangan. Hatiku mencelos saat mendapati sebuah tulisan kecil di bagian paling sudut, bagian yang paling tidak menarik untuk mendapat atensi pembaca. Tetapi bagiku, tulisan kolom kecil itu adalah berita terbesar dan terpenting dari rangkaian drama akusisi yang melelahkan. Foto Michi ukuran tiga kali empat senti terpampang jelas bersama sekelumit narasi.
"Fujioka Michi, anak mantan Presiden Direktur Fujioka Corporation, terlihat di bandara Narita. Dari sumber yang bisa dipercaya, wanita itu sedang menunju Amerika dan berencana menetap di sana dalam jangka waktu yang tak bisa ditentukan. Apakah ada hubungan antara kepergiannya dengan akusisi perusahaan? Saat dimintai keterangan, nona Fujioka Michi hanya membisu."