Pandangan Aliman fokus ke depan. Misto duduk di sebelahnya. Lampu mobil terpancar terang menembus kabut. Jalanan sekitar gelap gulita. Aku merasa berada di sebuah lorong gelap, hanya sinar lampu dari mobil sebagai petunjuk arah. Mobil meliuk saat tikungan tajam, menurun, kemudian berlari landai. Debu beterbangan menggumpal. Menutup lekat jalan. Jarak pandang tak lebih dari dua meter.
"Kita berada di lautan pasir," terang Misto.
Di sekeliling gelap gulita. Gambaran pasir luas menghampar yang terekam di otakku melintas. Pemandangan yang hanya pernah kudapat di internet sekarang menjadi nyata. Aku berkendara di atasnya.
"Dimana gunung Bromo?" tanyaku.
Misto menunjuk arah kiri. "Tidak kelihatan, masih tertutup kabut."
Mobil melonjak saat melewati undukan, kami terguncang bersama. Dari arah belakang, sinar dari lampu mobil belakang berkedip disusul klakson berteriak berkali-kali. Aliman memperlambat laju mobil, menepi ke kiri, memberi jalan mobil belakang menyalip. Klakson dua kali menyalak saat mobil tepat di samping. Aliman membalas. Jeep di samping berguncang, kemudian menderu keras meninggalkan kami menyisakan debu pasir mengepul.
"Siapa?" tanya Misto.
"Gimin," jawab Aliman.
"Kenapa tergesa?"
"Turis bule. Mereka ingin mendapatkan tempat yang pas untuk mendapat gambar terbaik."
"Kazuki san bawa kamera?" tanya Aliman dari belakang kemudi.
Aku menepuk tas ransel. "Bawa. Pakai lensa jarak jauh. Tapi aku nggak bawa tripot."
"Tidak apa-apa. Itulah gunanya kita berangkat pagi sekali. Agar dapat tempat yang tepat. Semoga cuaca tidak berubah."
Tiga puluh menit melintas lautan pasir dalam kegelapan, pergerakan jeep berubah naik. Dalam gulita aku menangkap bayang jurang terjal di sebelah kanan, sedang di sebelah kiri lereng batu cadas menghadang. Seperti punya indra ke enam, Aliman lincah menggerakkan kemudi. Seolah mobil otomatis yang dikontrol robot, setiap mendekati tikungan tajam, dia mengubah arah kemudinya tepat waktu. Sedikit salah perhitungan, nyawa akan dipertaruhkan.
"Turis Jepang juga banyak yang datang?" Pertanyaan bodohku membelah keheningan. Tentu saja tempat ini sudah sangat terkenal di manca negara.
"Banyak. Hampir semua warga negara asing pernah ke sini. Daya tarik tempat ini menimbulkan suasana magis. Bukan hanya sekali, mereka bisa berkunjung dua-tiga kali. Selalu ada yang beda dalam setiap kunjungan." Dada Misto mengembang bangga saat menjelaskan.
Mobil naik melambat. Di depan, beberapa mobil menunggu giliran menepi. Para turis rela bangun pagi untuk momen terbaik mereka.
"Kenapa padat sekali?" tanyaku.
"Menurut informasi BMKG, cuaca hari ini cerah sekali. Mereka tentunya memantau dari internet untuk mendapat data. Dunia makin canggih," jawab Aliman.
Jeep bergerak lirih. "Kita hanya sampai di sini. Selanjutnya harus jalan kaki." Misto mengisyaratkan aku untuk bersiap.
Aliman menghentikan mobilnya di tempat yang tak jelas bagiku. Larik sinar mobil berbaur dengan larik sinar senter. Hawa beku menerpa keras. Jaket tebal musim dingin beserta syal dan sarung tangan yang kupinjam dari Pak Manaf melindungi tubuhku. Hanya wajahku yang tersisa tanpa penutup. Setahun lebih aku tidak merasakan gigitan musim dingin. Bibirku membeku sesaat. Untunglah cambang yang belum kucukur melindungi.
Bau sangit rem terbakar dan gesekan ban semburat menyengat. Seperti berdiri di pantai di malam hari tanpa penerangan dengan gelombang menggulung, dari kanan-kiri-belakang puluhan wisatawan bergerak naik. Jalanan macet penuh manusia. Tidak ada petunjuk yang mengarahkan. Layaknya zombie dalam film walking dead, kami berjalan beriringan ke satu titik, kemudian naik ke atas menuju puncak penanjakan. Beragam bahasa asing seliweran menerpa telinga. Lamat, terdengar Bahasa Jepang.
"Gila. Dingin sekali," gerutu Misto.
Tubuhnya menggigil, giginya gemeletuk menahan dingin. Jaket dibalut kain sarung yang melingkupi seluruh tubuhnya tak sanggup menahan terkaman hawa dingin.
Aliman tertawa. "Kamu mulai lembek, Bro. Tubuhmu sudah terbiasa dengan panasnya pantai pulau Bali. Kau sudah melupakan hawa pegunungan yang membesarkanmu."
Tanpa mempedulikan ejekan Aliman, Misto bergerak menaiki tangga. Satu demi satu langkah kami menapak tangga batu. Perjalanan naik melambat berjubel. Uap hangat diselingi tarikan nafas berat keluar dari pendaki, serasa kuda dipenuhi beban. Pukul empat dini hari, sebagian besar pelancong sudah memadati puncak penanjakan. Aliman bergerak lincah menyibak kerumunan tubuh tinggi besar para bule. Aku mengikutinya dari belakang. Di sebuah tempat, tepat di pinggir pagar pembatas kami berdiam diri menunggu Sang Surya memancarkan ufuknya. Aliman berhenti bergerak, kemudian bergeser ke samping, mempersilahkan aku menempati posisinya.
"Silahkan tunggu di sini. Tiga puluh menit lagi matahari akan keluar. Saya turun sebentar. Mau sembahyang shubuh."
"Terima kasih. Saya akan menunggu di sini", kataku.
Aliman menggamit bahu Mistio. Dua sahabat itu kemudian tenggelam berlawanan arah dengan lautan manusia yang terus berdatangan. Pandanganku lekat ke arah timur. Menunggu dalam dingin yang mengiris sepotong demi sepotong hawa panas tubuh, membuat tubuhku kembali menggigil. Seperti kata Aliman ke Misto, tubuhku pun berubah cengeng setelah satu tahun bermandikan panasnya pantai Bali.
Ketika ufuk timur pecah mengeluarkan semburat merah, kuning, jingga, dan puluhan warna, teriakan tertahan keluar dari para pelancong. Setiap fragmen perubahan cakrawala yang berubah, kuabadikan dalam tekanan tuts kamera. Teriakan berbareng tepukan membahana saat sang mentari benar-benar menampakkan tubuhnya. Perlahan, bersinar, mengeluarkan sulur-sulur cahaya laiknya tangga warna warni dari langit ke bumi. Bunyi puluhan tombol kamera berbarengan menikmati pemadangan alam.
Setelah mendapatkan banyak gambar, aku menyimpan kembali kameraku. Saatnya menikmati dengan mata telanjang. Otakku berhenti berpikir. Sejenak aku melupakan semua persoalan, kenangan masa lalu, dan harapan masa depan. Waktu berhenti bergerak. Aku terkungkung dalam buaiannya hingga Aliman dan Misto menyentuh bahuku. Memutus untai keterasingan yang mencengkeram kalbuku.
Jeep kembali berderak lirih. Jalanan turun sama dengan saat naik, berjubel menunggu antrian. Decitan ban dan gesekan rem membuat hawa dingin berbau sangit. Aku menutup hidungku dengan sapu tangan. Aliman masih sigap dengan kemudinya. Misto meletakkan kepalanya di sandaran, matanya mengatup, dadanya bergerak turun naik beraturan. Dalam guncangan menurun dan berkelok, bisa-bisanya dia tertidur pulas.
Dari kursi belakang yang menghadap samping, mataku menikmati setiap guratan pemandangan. Mulutku tak henti-hentinya mengeluarkan desah tertahan kala pemandangan indah yang tersuguhkan. Beberapa kali aku meminta Aliman melambatkan mobil atau berhenti. Sigap lensa panjang kameraku berputar mencari mangsa.
Dari jalan menurun, Gunung Bromo terlihat mengeluarkan asapnya. Puncaknya dikelilingi gelombang mega yang berarak, membuat tepian puncak seolah jalan melingkar di atas awan. Tangga dari bawah merayapi punggung gunung, hilang sebentar ditelan awan, kemudian muncul lagi di tepian puncak. Lautan pasir hitam terhampar luas, di tengan lautan pasir, tempat sembahyang umat Hindu berdiri kokoh. Tempat itu seperti mempunyai daya magis, seolah menarik suasana alam di sekitarnya untuk menjadikannya sebagai pusat bumi. Beberapa kuda berjalan lambat dengan penunggang berbalut sarung dan topi khas suku Tengger. Mereka seperti noktah hitam bergerak pelan di layar radar. Dari sekian puluh penunggangnya, adakah Pak Manaf di antaranya?
Noktah itu semakin mendekat dan menunjukkan ukuran aslinya saat jeep berjalan landai di atas lautan pasir. Debu mengepul beterbangan. Jalan yang sedari tadi gelap gulita saat pendakian dini hari, mulai menunjukkan warna aslinya. Jeep bergerak cepat meninggalkan debu pasir di belakang ban. Sepuluh menit berkendara, Aliman menghentikan jeep-nya di sebuah tempat yang telah ditentukan. Namun, Stairways to Heaven milik Michi terlihat masih jauh.
Aliman memarkir mobilnya, mematikan mesin, turun dari mobilnya. Dia membuka pintu belakang, mempersilahkan aku turun. Saat kakiku menapak pasir, udara berganti lebih hangat. Tapi masih cukup dingin untuk melepas jaket. Sedangkan Misto masih terbuai mimpi sedari tadi.
"Bangun, Bro. Sudah sampai! Tidur terus kau!" Guncang Aliman ke pundak Misto.
Pemuda yang biasa meyopiri itu betul-betul menikmati sebagai penumpang. Masih di atas kursinya, dia menggeliat, menarik punggungnya tegak lurus, menekuk pinggangnya, kemudian mengucek matanya. Sebelum kesadaran benar-benar kembali menyusup otak Misto, Aliman menarik lengan pemuda itu keluar dari jok mobil. Dia terjatuh. Aliman terkekeh. Misto mencerca dalam bahasa daerah yang tak kumengerti. Aliman memeluk tubuh sahabatnya, meminta maaf.
Misto menoleh ke arahku. "Kazuki san sudah dapat banyak gambar kah?"
"Perfect. Semua sudah terekam dengan baik." Aku menunjuk tangga yang terlihat. "Tinggal bagian itu".
"Kita naik?" tanya Misto enggan.
Aku mengangguk berharap mereka menemani. Tangga milik Michi sudah di depan mata. "Jeep tidak bisa sampai ke anak tangga kah?" tanyaku.
"Tidak bisa. Jeep hanya sampai di sini. Perjalanan berikutnya jalan kaki atau naik kuda."
"Jalan kaki saja ya?" usulku.
"Ha?" Misto bertanya tak percaya. Dia menatapku beberapa detik, kemudian menggelengkan kepalanya seolah tak percaya.
"Kenapa? Bukankah kau asli orang sini dan sudah berpuluh kali mendaki tangga itu?" tanyaku penasaran.
"Betul Kazuki san. Tapi, ini hari puasa. Pasti haus dan lapar nanti setelah mendakinya," bisiknya tak percaya diri.
Sambil tertawa ringan Aliman menepuk punggung Misto dari belakang. "Jangan dijadikan alasan, Bung! Bilang saja tubuhmu sudah menua dan mulai ringkih."
"Bukan begitu, tapi...."
"Ayo, kita lari Kazuki san," ajak Aliman.
Tanpa mempedulikan Misto lagi, Aliman menggamit lenganku. Dia bergerak cepat berlari menuju arah anak tangga. Aku mengikutinya dari belakang. Sebentar saja kami sudah terpisah puluhan meter dari tempat Misto berdiri.
"Sialan kau! Tunggu aku!" teriak Misto. Tertatih masih dalam dekapan rasa kantuk, dia memaksakan diri melangkah.
Aliman menghentikan larinya, menunggu sahabatnya. Aku berdiri tegak di sampingnya. Nafasku mulai menghambur satu persatu. Dadaku bergerak cepat turun naik, keringat bercucuran di dahi setelah sejak pagi mengigil kedinginan. Misto berhasil mencapai tempat kami. Dia mengatur nafasnya. Tubuh mudanya mulai terbiasa.
"Kita jalan biasa saja. Simpan tenaga untuk mendaki tangga," kata Aliman. Dia melirik keadaanku.
"Apa kubilang. Sok sekali kau mengajak lomba lari!" Masih dengan nada jengkel Misto mencerca,"Puasa tinggal empat hari lagi, sayang kalau bolong!"
"Iya, deh. Oh ya, Kazuki san juga puasa lho. Dia tadi ikut sahur," jelas Aliman.
Misto beralih menatapku. "Oh ya? Kuatkah?" tanya Misto.
"Insya Allah," jawabku menirukan beberapa teman Indonesia-ku saat berjanji.
Dua pemuda itu terbahak.
Stairways to Heaven berdiri kokoh tepat di depanku. 250 anak tangga terbagi menjadi dua jalur; mendaki dan menurun. Bau belerang bercampur bau kotoran kuda merangsek hidungku. Debu pasir menderu ketika angin bertiup keras membawa butir-butirnya beterbangan menyesakkan. Pendaki anak tangga tidak terlalu banyak. Pelancong asing yang tadi bergerombol menikmati sunrise di penanjakan, menuruni bukit dengan berjalan kaki. Akan tiba saatnya anak tangga ini akan penuh. Sebelum itu terjadi, aku harus sudah mencapai puncaknya.
Tanpa mempedulikan aku lagi, Misto dan Aliman bergerak lincah menaiki tangga. Seolah ingin membuktikan kekuatan masing-masing, keduanya mengerahkan tenaga. Kadang berjalan cepat, kadang setengah berlari. Langkah mereka terhenti saat pelancong bule tua bergerak lambat. Lomba berakhir tanpa pemenang.
Langkah kuatur sedemikian rupa agar tidak ikut kegilaan mereka. Usia kami memang tidak terpaut jauh. Namun gaya hidup kami berbeda. Alkohol, begadang, kurang olah raga membuat nafasku ngos-ngosan. Bau belerang menyengat meledakkan paru-paruku. Aku berhenti sejenak, mengatur nafas, mengatur detak jantung, dan memaki ketololan gaya hidupku selama ini. Umurku baru tiga puluh tahun, jangankan mencapai mimpi yang pernah ingin kurajut bersama Michi di sini, bergerak mendaki anak tangganya saja aku sudah kelelahan.
Aliman dan Misto menunggu di mulut kawah. Asap mengepul semakin terlihat jelas. Tinggal dua anak tangga lagi. Nafasku semakin memburu. Ketika tangan kanan Misto terulur, aku menggapainya. Aliman menarik lenganku satunya. Bule tua dengan rambut keemasan duduk santai menikmati minumannya. Dia tersenyum menatapku. Berewok yang menghias wajahku menyembunyikan usiaku. Mungkin dipikirnya aku seusianya.
Kuhempaskan tubuhku di tanah berpasir. Kepulan asap hasil pembakaran magma semakin membuat nafasku memburu. Seluruh tubuhku bermandi peluh walau cuaca dingin. Aku melepas jaket. Kubiarkan tubuhku hanya dilapisi baju lengan panjang dan kaos dalam. Tenggorokanku kering tercekat. Lidahku pahit, kelu, tanpa saliva.
"Kazuki san, masih kuat kah? Lebih baik minum jika tidak kuat." Misto menatapku khawatir.
Aku tidak menjawab. Tangan kananku terangkat, memberi isyarat bahwa aku masih kuat. Hanya butuh sedikit istirahat.
"Iya, Kazuki san. Tidak baik memaksakan diri berpuasa jika tidak kuat. Beda dengan Kazuki san, kami sudah terbiasa puasa dan mendaki sejak kecil," timpal Aliman.
Aku hanya menggeleng. Tubuhku menggeletak tengadah. Mataku terbuka menatap awan yang bergerak. Bermacam bentuk awan memberi warna tersendiri pada imajinasiku. Pada gumpalan awan putih yang berarak kutemukan wajah Michi sedang tersenyum padaku. Mata kecilnya mengedip penuh arti, mulutnya mengerucut ingin menciumku. Aku membalas kecupannya. Masih dalam bentuk wajah yang sama, hidung yang sama, bibir yang sama, hanya matanya kini berubah lebih besar. Kulit putih Michi berubah redup. Wajah itu menjelma menjadi wajah Ratna. Tatapannya bukan lagi tatapan Michi yang penuh cinta. Tapi, berubah menjadi tatapan datar tak punya arti. Seperti ditarik dari lamunan gelap tak berkesudahan, aku tersentak bangun. Misto dan Aliman duduk di sampingku, menatapku dengan pandangan aneh.
"Kazuki san, betul tidak apa-apa kah? Perut kosong dan dehidrasi bisa menimbulkan halusinasi," sergah Aliman.
"Iya, tadi mimik Kazuki san berubah-ubah. Bisa jadi ketika berhalusinasi, Kazuki san bertemu jin penunggu kawah gunung Bromo," imbuh Misto.
Tak urung bibirku tertarik ke samping. Ucapan Misto tentang jin penunggu gunung Bromo membuat urat tertawaku tergelitik. Bukan bayangan Jin, tapi bayangan adikmu, batinku.
"Tidak apa-apa. Aku sudah kembali sehat. Tenagaku pulih kembali. Jin penunggu gunung Bromo sudah menyuapi makanan dan minuman dalam halusinasiku," candaku.
Misto merajuk. Sorot matanya tidak sedang bercanda. "Jangan bercanda tentang Jin, Kazuki san. Jadi seram, ah."
Aliman tergelak. Dia menepuk keras bahu sahabatnya. "Ah, kau masih juga percaya takhayul, Bro!"
"Sudahlah, aku ingin berjalan menyusuri kawah ini sendiri. Boleh kah?" tanyaku setelah kurasa nafasku sudah kembali teratur.
Misto mengangguk. "Hati-hati. Patuhi petunjuk yang tertulis di papan."
"Kami tunggu di sini. Kita turun sama-sama," ajak Aliman.
Aku menyusuri bibir kawah dengan langkah gontai. Setiap inci bayangan Michi terlukis dalam kepulan asap, dalam dinding, dalam hijau daun pohon yang terserak di bukit penanjakan, dalam lembah dan ngarai yang bertaut dengan kaldera dan lautan pasir. Sejauh memandang, gerak-gerik Michi menggelayut manja di antara kawah dengan garis tengah delapan ratus meter yang membujur dari utara ke selatan. Manakala mataku memandang ke timur dan barat, garis tengah sepanjang enam ratus meter berubah melukiskan wajah Ratna.
Harapan untuk menuntaskan perjalanan dan menghapus bayangan Michi di kawah gunung Bromo menjadi harapan tak tersampaikan. Harapan itu kini menjelma menjadi wajah gadis yang baru sekali kutemui kemarin sore. Wajah Michi dan doppelganger berubah silih berganti. Menusuk kalbuku, membuat rasa kangen membetot sukmaku. Kuputuskan segera meninggalkan kawah ini. Aku tak kuat lagi menahan rindu. Kalau tak ada Michi yang bisa menuntaskan dendam tak teredam ini, biarlah doppelganger-nya yang mengobati.