Chereads / ai (LOVE) / Chapter 24 - BAB 24 ; Fukuyama Masaharu

Chapter 24 - BAB 24 ; Fukuyama Masaharu

Aku menatap sosok dalam pantulan cermin itu. Wajah bersih tanpa cambang. Rambut tersisir rapi mengkilat tertimpa pomade. Hidung mancung, dagu runcing, bibir menekuk seksi. Di atas mata yang menyorot tajam, alis panjang bak bulan sabit menghiasi. Wajah itu tersenyum rekah menampakkan gigi putih rapi mengkilat. Sebuah wajah milik penyanyi dan artis terkenal; Fukuyama Masaharu. Bahkan, tahi lalat di bawah mata kiri persis seperti tahi lalatnya.

Lima belas menit kuhabiskan waktu di depan kaca. Waktu terlama selama setahun ini sejak kencan terakhirku dengan Michi. Aku mencoba berbagai paduan baju yang tak banyak kubawa. Celana jeans, kaos putih ketat dipadu blaser hitam dan sepatu sneaker putih belel ikut menemani. Harum wangi sabun cair yang khusus kubawa membuar sekeliling ruangan. Kugosokkan kedua telapak tanganku mengusir dingin malam.

Setelah berpisah dengan Misto, aku langsung menuju kamar mandi. Setiap bilasan air, serasa es menerpa tubuh. Aku meloncat beberapa kali untuk mendapatkan hawa panas. Kubilas lagi, loncat lagi, menggosok sabun, meloncat, hingga tubuhku terbiasa dengan dingin. Sambil menggigil kaku, tanganku bergerak cepat menuangkan foam, mengerok habis berewokan. Kalau saja malam ini bukan berbuka puasa spesial, tak sudi aku menghabiskan waktu dalam guyuran beku.

Setelah puas menatap penampilan yang terpantul di cermin, aku siap untuk menebar pesona. Sekali lagi. Selama ini pesonaku berlaku bagi wanita Jepang, apakah kali ini juga akan berlaku untuk wanita Indonesia?

Saat keluar kamar, Bu Aminah menatapku lama. Ibu Aliman ini seolah tak percaya bahwa aku adalah laki-laki yang tadi malam menginap di rumahnya.

"Nak Kazuki?" tanyanya masih tidak percaya melihat penampilanku.

"Iya saya, Bu"

"Wah, Ibu pangling. Mau kemana?"

"Ke rumah Misto-san, buka bersama di sana."

Pandangan Bu Aminah berubah penuh arti. "Ooo ... Makanya penampilannya berubah."

"Saya masih tetap Kazuki yang sama, Bu," jawabku sambil tersenyum renyah.

Bu Aminah terkekeh. "Pasti nanti dua adik Misto jadi jatuh hati."

Aku tak mampu menahan tawa lagi. "Ibu Bisa saja. Aliman san dan Pak Manaf di mana?"

"Aliman sama Bapak ke Masjid. Nanti setelah sholat mereka akan buka puasa di rumah.

Aku mengangguk pamit. "Saya pergi dulu, Bu. Nanti malam merepotkan lagi, tidur dan ikut sahur di rumah Ibu."

"Tidak apa-apa, Nak. Ibu malah senang. Nak Kazuki sudah Ibu anggap anak sendiri."

"Terima kasih, Bu," jawabku pelan. Setelah jalan panjang kehilangan kasih ibu, pengakuan seorang wanita menjadikan ku anak adalah perhatian yang sangat berarti.

Jalan kampung lengang. Celoteh anak-anak kecil terdengar dari rumah yang kulalui. Pintu-pintu rumah setengah terbuka. Bau sedap gorengan ikan tercium lezat. Memanggilku untuk segera tiba di rumah Misto. Perutku sudah tak bisa diajak kompromi. Segelas teh hangat dan sepotong ketela pohon sebagai pembuka waktu makan yang tadi disajikan Bu Aminah belum cukup menuntaskan lapar.

Ini adalah pengalaman pertamaku dalam hidup; menahan lapar mulai pagi hingga sore. Anehnya, tidak ada kerinduan akan cairan alkohol. Semenjak pagi hingga sekarang, rasa tentram yang membalut sukmaku menghilangkan keinginanku untuk menenggak minuman itu. Dari corong masjid kecil di ujung jalan, alunan nada dalam Bahasa Arab terdengar jelas. Masyarakat sekitar sedang melaksanakan panggilan Tuhannya. Ada rasa tentram melihat mereka tunduk bersama, meletakkan dahinya di lantai bersama, kemudian berdiri lagi dengan sikap sempurna. Begitu patuhnya mereka akan perintah Tuhan, membuat apa yang kuyakini selama ini tentang sosok Pencipta Alam mulai kupertanyakan.

Pintu rumah Misto tertutup. Tapi, ada gerakan suara dari dalam. Kuketuk pintu itu pelan. Suara sandal bergerak menghampiri. Gagang pintu diputar. Daun pintu terbuka separuh. Kepala Bu Misnatun menyembul, menatapku beberapa detik. Kain panjang warna putih masih belum dilepas seusai sholat. Dahinya berkerut, kelopak matanya beberapa kali berkedip.

"Tuan cari siapa?"

Aku berdehem mengusir keinginan tertawa. "Saya Kazuki, Bu Misna."

Pintu terbuka lebar. "Ha? Nak Kazuki?" Bibir Bu Misna terbuka. Dalam keremangan malam yang menyisakan selarik cahaya dari lampu bohlam di teras, wajahku memang sulit dikenali.

"Maaf, maaf, Ibu pangling." Tergopoh Bu Misna mempersilahkan aku masuk. Seperti Bu Aminah, Ibu ini juga tidak mengenali penampilan baruku. Maklumlah, keduanya memang sudah tua.

"Saya tunggu di sini saja, Bu" kataku sambil menunjuk kursi rotan di teras.

"Di luar dingin, masuk saja lebih hangat."

"Tidak apa-apa, Bu. Saya tunggu di sini saja," paksaku.

"Silahkan kalau itu keinginan Nak Kazuki. Ibu bikinkan teh hangat dulu."

Aku mengiyakan sambil mengucap terima kasih.

"Misto dan adik-adiknya masih di masjid. Sebentar lagi turun", lanjut Bu Misna.

Sosoknya segera menghilang di balik pintu. Dentingan gelas dan sendok yang beradu membuat kerongkonganku ingin dibasahi lagi. Sebelum teh hangat muncul, tiga pasang sandal yang diseret terdengar mendekat. Aku berdiri menyambut. Sebelum mereka menanyaiku seperti orang tak dikenal, aku mendahuluinya.

"Selamat malam Misto san, Ratna san, Tuti san"

Keinginanku tak bersambut. Ketiganya terpana. Kali ini, Misto dan adik-adiknya mengikuti pola ibu mereka. Setelah beberapa detik menatapku dengan pandangan curiga, ketiganya menutup mulutnya dengan tangan. Misto mempersilahkan aku masuk. Tuti melonjak seperti anak SMA melihat bintang film pujaannya, sambil berkali-kali mendekatkan wajahnya ke wajahku. Gadis SMA itu ingin memastikan bahwa aku adalah pria yang tadi sore bergumul dengan lumpur di bedengan. Dia menggandeng tanganku, menarikku ke dalam rumah sambil sesekali bergelayut manja. Misto tertawa melihat ulah adik remajanya itu.

Mata Ratna sempat terbelalak melihat penampilanku yang baru, namun dengan cepat berubah melihatku dengan pandangan yang sama ketika awal bertemu; datar. Harus kah aku kembali berjibaku tuk mendapatkan perhatian seorang wanita?

Meja makan bundar dengan lima kursi berdentang ramai. Tuti melayaniku bak tamu agung. Mengambilkan nasi, menyorongkan lauk, sayur, memaksaku menambah nasi yang juga belum habis kumakan. Bu Misna menegur anak bungsunya itu. Tuti sebentar saja berubah, kemudian kembali ramai. Gadis remaja ini benar-benar terpesona dengan kemunculan wajah baruku.

"Kak Kazuki besok ke mana?" tanya Tuti.

"Belum tahu. Mungkin membantu kakak-kakakmu melanjutkan pekerjaan tanaman yang belum selesai tadi," kataku sambil melirik Misto dan Ratna. Keduanya tersenyum mempersilahkan.

"Memang kenapa?" tanyaku.

"Antar Tuti sekolah, dong."

"Bukannya kamu libur?" sela Ratna.

"Libur sih, tapi ada kumpul-kumpul membahas halal bi halal setelah libur hari raya."

Berharap aku mengiyakan, Tuti kembali menuangkan teh ke dalam gelasku hingga penuh. "Mau kan Kak?" Pandangannya meminta.

"Diantar Kak Misto saja ya?" potong Misto.

"Nggak mau. Tuti ingin sekali diantar Kak Kazuki, Please Kak...." Pintanya dengan nada dibuat memelas.

Aku melirik Misto. Kakaknya itu mengangguk mengiyakan.

"Boleh," jawabku.

Tuti berjingkrak kegirangan. Dia melompat, hampir memelukku. Tangannya berhenti di udara saat mata ibunya melotot.

"Kamu seperti anak kecil saja! Pasti Kak Kazuki akan kamu pamerkan ke teman-temanmu," ejek Ratna.

"Kalau iya memang kenapa? Jarang lho ada cowok Jepang setampan Kak Kazuki."

Ratna melengos, Misto tergelak.

"Bisa saja, kamu," kataku jengah.

"Pasti Kakak mirip bintang film Jepang. Siapa Kak?"

Aku berdehem. Sedikit bangga mengucap, "Coba cari di google tentang 'Fukuyama Masaharu'."

"Tuh kan, Kak Kazuki seperti bintang film Jepang." Tepuk tangan Tuti menggema. Tebakannya tepat. Bibirnya berkali-kali mengulang nama yang kusebutkan.

Pertanyaan Tuti berikutnya membuatku menggelepar. "Kakak betul belum punya pacar?"

Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaan yang sama saat pertama bertemu.

"Masak cowok seperti bintang film tidak punya pacar? Atau, Kakak sedang patah hati?"

Seketika ruangan berubah sunyi. Semua mata memandangku, berharap keterangan yang tak ingin kuterangkan. Mataku mencari mata Ratna. Gadis itu sedang menatapku. Menunggu jawabanku. Kali ini ada kilau penasaran dalam tatapannya. Sedangkan aku tidak ingin membuka luka hatiku. Tiga kakak beradik ini menunggu jawabanku.

"Ehm ... boleh saya tambah nasi lagi? Hari ini adalah pengalaman pertama buat saya. Puasa memang berat, tapi saat waktu berbuka tiba, semua haus dan lapar serasa terbayarkan. Semua makanan dan minuman terasa lezat. Besok saya berencana puasa lagi. Saya pasti kuat walaupun besok bekerja di kebun membantu Misto san dan Ratna san, bla, bla, bla...."

Misto, Ratna, Tuti kembali menekuni masakan di piring mereka. Gerutuan tak jelas meluncur dari bibir masing-masing. Aku terus menerangkan makna puasa sebagai pengalaman pertama bagiku. Mereka makin tak acuh. Bu Misnatun terkekeh melihat anak-anaknya mati kutu.