Hari-hari meluncur cepat bak anak panah melesat dari busurnya. Setiap sore agenda tetap menunggu; menyiangi tanaman kol. Sejak pagi hingga lepas maghrib, Aliman tak nampak sosoknya. Dia semakin susah di dapat kecuali di malam hari. Seolah guru tetap yang mempunyai kewajiban membimbing muridnya, dia datang selepas maghrib, mengajariku dengan sungguh-sungguh. Dia merasa harus menuntaskan banyak pelajaran dalam waktu singkat sebelum waktu melepas kepergian sang murid beranjak dewasa. Aku pun bersungguh menyerap ilmu yang diajarkannya.
Agenda pagi hingga sore bertambah. Misto mengajariku menyetir jeep gardan empat yang dipinjam dari pak Manaf. Dia menyuruhku membelah lautan pasir, kemudian naik mendaki jalan tajam menuju puncak penanjakan. Tangan dan kakiku gemetar saat tikungan tajam di depan mata. Semula aku minta dia yang menggantikanku sementara. Misto menolak. Dia memberi semangat agar aku sanggup menaklukkannya. Setelah melalui tiga etape penuh guyuran adrenalin, aku sanggup menaklukkan jalan menuju puncak penanjakan. Tentu saja di siang hari.
Ratna dan Tuti mengekor di belakang saat Pak Manaf mengajariku naik kuda. Kuda Pak Manaf paling terawat baik di antara kuda-kuda lainnya. Kuda itu tinggi besar, sehat, berbeda jauh dengan kuda pemilik lain yang ringkih dan kurus. Alasanku tak ingin naik kuda saat pertama melintasi lautan pasir menuju tangga gunung Bromo, adalah karena aku tak tega memberi beban berat pada hewan kurus nan ringkih itu. Untuk kuda pak Manaf, aku sama sekali tak keberatan.
Bukan hal mudah menundukkan kuda asli pulau Bima itu. Beberapa kali tubuhku hampir terlempar saat menaikinya. Membutuhkan pijakan yang kokoh untuk bisa duduk anggun di tubuh binatang berkaki empat ini. Bulu surainya yang panjang menghantam mukaku berkali-kali, melecut bibir dan keningku hingga menimbulkan bekas pada kulit wajahku yang putih. Ratna dan Tuti terkekeh melihat kakiku menggigil kecapekan, mulutku menggerutu. Pak Manaf dengan sabar membimbingku hingga pantatku berakhir di pelana, berjalan pelan hingga sanggup menguasai kestabilan, kemudian mencoba mengepak punggung kuda untuk berlari kecil. Tanganku erat memegang tali kendali mengikuti irama kepala kuda saat berlari. Aku mengerahkan konsentrasi agar posisi pantatku tidak melenceng ke kanan kiri.
Ketika menjelang sore hari, aku sudah bisa membawa kuda berlari agak cepat. Dua kaki kurapatkan ketat pada tubuh kuda, mengapit tubuh kuda tepat di bawah pelana. Ketukan panjang suara kaki kuda disesusaikan dengan irama kepala kuda yang maju mundur sembari tanganku memegang erat tali kendali. Dengan sekali geprak, kuda berlari lebih cepat dari biasa. Setelah seharian berlatih, Ratna dan Tuti bertepuk tangan, Pak Manaf tersenyum puas. Kakiku kram tak bisa digerakkan.
Lima hari berjalan sejak hari raya. Hari terakhir sebelum kepergianku esok, Ratna dan Tuti tak pernah lepas dari sisiku. Keduanya berebutan menjamuku, melayaniku makan siang, hingga membuat Misto terbakar cemburu.
Selepas makan siang, Misto pergi ke kota untuk persiapan keberangkatnya besok. Siang hingga sore kami habiskan bertiga dengan menyiang tanaman kol, diakhiri dengan baju basah kuyup penuh lumpur. Kami tertawa lepas tanpa jeda, saling meledek, saling melempar lumpur. Saat senja merebak malam, Ratna dan Tuti tetap tak rela melepasku. Aku yakin Tuti hanya mengangapku sebagai kakak tampan yang baru dimilikinya. Entahlah dengan Ratna. Melihat dia menatapku, menarik tangannya dengan wajah memerah saat kulit kami bergesekan, dan perhatiannya berlebih akan penampilanku, bisa kurasakan rasa lain itu.
Aku pun suka, dan merasakan getar kebahagian saat berada di dekatnya. Yang membuatku sangsi, apakah getar itu hanya refleksi hati karena dia serupa dengan Michi? Kalau pun aku menempatkan cintaku yang kembali bersemi, aku ingin menempatkannya pada Ratna seutuhnya. Bukan Ratna sebagai bayangan Michi. Malam itu, hingga kami berpisah di ujung jalan, kesangsianku masih belum bisa menemukan pencerahan.
Malam selepas Aliman memberi pelajaran tentang hukum Agama dan latihan doa-doa pendek, dia menatapku tak seperti biasanya. Aku menutup buku tulis, menyimpan pensil, dan menunggu apa arti tatapan itu.
"Sebelumnya aku mohon maaf bila bertanya tentang masalah pribadi. Kalau Kazuki san tak ingin menjawabnya, aku pun tak akan memaksa."
Aliman mengawali dengan kalimat pembuka yang langsung menohok. Jantungku berdebar lebih keras, aku berharap dia tidak mengorek keterangan tentang masa laluku.
"Tidak apa-apa, kita bersaudara. Aliman san bebas bertanya apa pun tentang aku. Kalau sanggup, aku akan menjawabnya dengan jujur," timpalku.
Dia berpikir sejenak. Kemudian menghela nafas berat. "Bagaimana hubungan Kazuki san dengan Ratna?"
Ganti aku menghela nafas berat. Lega. Aku akan menjelaskan jujur tentang rasa yang kumiliki terhadap Ratna pada laki-laki yang sudah kuanggap saudara sekaligus guru spiritualku itu.
"Ratna gadis yang menarik. Aku suka dengannya."
"Hanya itu?"
Aku diam sejenak. Entah bagaimana menjelaskan rasa ini. "Untuk saat ini, ya. Aku masih sangsi tentang perasaanku yang sesungguhnya pada Ratna."
Sebelum Aliman membebaniku dengan pertanyaan lanjutan, aku menyela," Kenapa Aliman san bertanya tentang itu?"
Pandangan laki-laki muda di hadapanku ini menerawang ke depan. Jalan setapak di depan rumah sepi. Kelopak ngengat memberi suara indah di tengah keheningan malam. Lamat, suara ringkikan kuda milik Pak Manaf menyela. Lampu neon di teras berpijar terang, selarik cahayanya menimpa wajah Aliman. Pemuda itu sedang tepekur sedang mencari jawaban.
"Aku, Ratna dan Misto tumbuh bersama. Sejak kecil aku mengenal adik Misto itu. Mengenal betul sifatnya, kepandaiaan dan keras kepalanya, kegigihannya dalam meraih cita-cita. Seiring berjalan waktu, pada suatu ketika, rasaku sebagai teman berubah menjadi rasa cinta antara pria terhadap wanita. Aku berharap suatu hari dia bisa menjadi pendampingku, menjadi ibu dari anak-anakku. Aku berusaha mendekatinya. Suatu hari kuberanikan diri melamarnya."
Pemuda lugu itu diam sejenak. Dia sedang berusaha mengumpulkan kebaraniannya. Dia melanjutkan, "Namun, Ratna tidak punya rasa yang sama. Dia hanya menganggapku sebagai teman, sebagai kakak. Tak lebih. Cinta tak bisa dipaksa. Aku menerima keputusannya dengan besar hati."
Aliman mengerjap. Gerahamnya terkatup rapat. Dia sedang berusaha menahan luka yang pernah diembannya. Kini luka itu terlihat berdarah lagi. Aku tahu rasa itu dalam bentuk lain. Sangat menyakitkan.
Hela nafas berat keluar dari hidungnya pemuda ini. "Aku sudah berusaha melupakan penolakan itu, berusaha menjauh, menjaga jarak. Tapi, melihat dia memandangmu, melihat bagaimana gerak-geriknya saat di dekatmu, harus kuakui aku cemburu. Dan yang lebih menyakitkanku, aku yakin gadis itu mencintaimu," bisiknya parau. Ada rasa kalah dari nadanya yang melemah.
Aku tidak tahu harus bagaimana bersikap. Jalan yang paling baik adalah menunggu dia menyelesaikan ungkapan hatinya.
"Bagiku, penolakan adalah hal yang wajar dalam sebuah hubungan. Aku bisa menerima walau itu sakit. Yang sulit kuterima adalah melihat Ratna terluka! Melihat dia merasakan sakit akan cinta yang tak bersambut. Aku memohon padamu, jangan sia-siakan dia, jangan buat dia merana seperti aku...."
Kalimat terakhir yang meluncur dari bibir Aliman nyaris tak terdengar. Harapan yang ditimpakannya padaku tak sanggup kutahan, karena aku belum yakin akan rasaku pada gadis itu. Mudah untuk mengatakan cinta, tapi sulit untuk memupuknya jika rasa itu hanya sebuah pelarian dari cinta lain.
Aku meraih tangan Aliman, menjabat tangan kanannya erat. "Maafkan aku. Aku harus jujur mengatakan ini padamu. Sampai detik ini, aku masih dibalut keraguan. Besok aku akan pulang ke Bali. Kan kubawa pertanyaanmu seperti pertanyaan pada diriku sendiri. Kalau memang jodoh, aku akan kembali ke sini bersama jawaban yang pasti."
Aku berdiri, meminta ijin mengundurkan diri. Kutinggalkan Aliman dalam ketermanguan. Diriku bukan Kazuki yang dulu, yang akan dengan mudah memuntahkan kalimat cinta tanpa berpikir akibatnya . Penebar pesona itu sudah mati. Aku akan merenungi perjalananku kali ini. Menimbang takdir yang membawaku ke tempat ini hingga kemunculan ufuk matahari esok hari.
Semua barang sudah masuk koper. Kembali kupastikan tidak ada barang yang tertinggal. Puluhan lembar ratusan ribu kumasukkan dalam dua amplop; satu amplop untuk Bu Aminah, satu Amplop untuk Bu Misna. Aku yakin mereka akan menolak pemberianku. Sekeras apa pun mereka menolaknya, aku akan berusaha memaksa mereka menerima. Uang bukanlah pembayaran atas budi baik dua keluarga ini. Sampai mati pun aku tak akan sanggup membalas ketulusan mereka. Namun, aku pun ingin sedikit membalas budi mereka walau apa yang akan kuberikan tidak seberapa.
Bu Aminah, Pak Manaf, Aliman sudah menungguku di teras rumah. Tepat seperti dugaanku, Bu Aminah menolak keras pemberianku. Aku memaksanya menerima. Kugenggam erat ke dua tangan ibu baik hati ini, kusongkan amplop ke dalam genggamannya. Kemudian kucium pungung tangannya. Air mata membasahi dua matanya yang keriput.
Pak Manaf menepuk bahu kananku. Lelaki yang sudah kuanggap papa itu menjabat erat tanganku. Bibirnya terkatup rapat. Dia hanya mengangguk, menahan air mata agar tidak jatuh merembes.
Aku memeluk Aliman. Dia balas memelukku. "Aku hanya bisa mengantar sampai di sini. Tak tahan aku melihat perpisahan kalian," bisiknya. Aku mengangguk, mengerti arti ucapannya. Berkali-kali kuucapkan terima kasih.
"Kita bersaudara. Doaku selalu menyertai jalanmu." Ucapan lembutnya menentramkan hatiku.
Gontai kuseret koperku. Pagi buta berderak seiring roda koper menimpa jalan paving. Ransel di bahuku terasa berat. Langkahku seakan mati kutu. Rumah Misto yang hanya berjarak puluhan meter terasa berkilo-kilo. Saat mendekati rumah dengan halaman luas itu, Misto dan keluarganya sudah siap menyambut. Wajah-wajah kusut berbanding terbalik dengan ufuk timur yang mengeluarkan semburat penuh warna. Bibir kutarik lebar. Aku berharap senyum mereka juga mengembang menyaingi kilau pagi. Namun, yang kudapat adalah bulir-bulir air mata deras mengucur.
Tuti lari menubrukku. Memelukku erat. Bau sabun wangi semerbak memenuhi hidungku, sementara air mata terus mengguyur pipinya yang merah.
"Jangan pergi, Kak ... Jangan pergi," rengeknya.
Tanganku merapatkan kepalanya ke dadaku. Kuelus pelan rambutnya yang tergerai. "Kakak akan segera kembali. Janji," kataku menenangkannya.
"Kapan?" sergah Tuti.
"Secepatnya"
"Aku ingin memanen kol yang kita tanam bersama. Berjanjilah, Kakak akan kembali memanen kol kita!"
"Insya Allah," bisikku.
Tangisnya semakin keras mendengar janjiku. Pelukannya semakin erat.
Mobil yang dipesan Misto hari sebelumnya sudah datang. Mobil yang sama dengan sopir yang sama saat mengantar kami kapan hari. Dia melongo melihat perubahan suasana keakraban kami.
Ratna menghampiriku perlahan. Ditangannya bungkusan terbuntal sapu tangan warna merah. Seperti adiknya, matanya sembab. Pipinya yang tirus itu menampakkan bekas aliran air mata. Dia terlihat menangis semalaman. Gadis itu menarik tangan kananku, menggenggamnya erat. Disorongkan bungkusan itu ke tanganku.
"Untuk bekal Kakak. Jangan lupakan kami...."
Setelah menyerahkan bungkusan itu, Ratna berlari ke belakang. Terdengar jeritan tertahan sebelum kakinya membawa hilang tubuhnya di balik rumah. Tuti mengikuti kakaknya ke dalam rumah.
Tak ada kata perpisahan yang terucap dari dua gadis itu. Mulutku tak sanggup berkata. Tenggorokanku tercekat. Setiap perpisahan membuat jantungku serasa dihantam palu yang berat. Aku menahan agar tidak ikut terbawa suasana. Berusaha menahan keras air mataku agar tidak ikut berjatuhan.
Semua tidak akan sama lagi. Duniaku yang dulu akan berbeda dengan duniaku sekarang. Begitu pula duniaku ke depan. Tapi, persamaanya adalah masih terbekap kesedihan.
Bu Misna sama seperti Bu Aminah, menolak keras pemberianku. Kembali aku harus memaksa seorang ibu untuk meringankan beban budi yang tak mungkin bisa kubalas. Dia memelukku seperti memeluk anaknya. Aku membalas pelukan itu seolah dia adalah ibu kandungku. Saat melepas pelukannya, aku seperti kehilangan kasih sayang seorang ibu untuk kedua kalinya. Tangisnya pecah saat Misto melambaikan tangannya. Misto meminta koperku untuk dimasukkan ke mobil. Aku menolaknya. Dia bukan lagi sopirku. Hubungan kami tidak akan sama lagi seperti yang dulu. Entah bagaimana kami akan menyikapinya di sana.
Wanita pengganti mama itu melambaikan tangannya saat mobil bergerak turun. Hingga tikungan awal, Ibu itu seolah tak rela melepas dua anaknya sekaligus meninggalkannya.
Di dalam mobil, kami tidak saling bertukar kata. Misto duduk di samping Pak Sopir. Aku duduk di jok belakang. Mata pemuda itu menatap lurus ke depan. Saat mobil mendekati gapura batas desa, dia menepuk bahu sopir di sebelahnya.
"Berhenti sebentar, Pak."
Pak Sopir mengeluarkan ban mobil dari jalan aspal. Misto menengok ke jok belakang. "Kazuki san, maafkan aku. Aku tidak bisa ikut denganmu," desisnya.
Sebelum aku bertanya, dia sudah menyusulkan alasannya. "Aku tak sanggup melihat keluargaku terluka karena perpisahan ini. Ibu dan adik-adikku membutuhkan kehadiranku. Untuk sementara aku akan menemani mereka. Setelah tenang, aku akan memikirkan lagi langkah selanjutnya."
Mataku menatap wajah itu lama. Kucari kesungguhan dari ucapannya. Bola mata Misto menunjukkan dia tidak main-main dengan keputusannya. Aku menghela nafas panjang. Kalau jadi dia, apakah aku juga akan memilih jalan yang sama? Lebih memilih keluarga dari pada pekerjaan?
"Kalau itu keputusanmu, apa boleh buat. Semoga Ratna, Tuti dan Ibu gembira melihat kepulanganmu."
Saat menyebut nama-nama mereka, lintasan kuat membekap otakku. Semua momen indah yang telah kami lalui bersama menggeliat memenuhi semua ruang hatiku. Membetot sukmaku untuk kembali menikmati momen itu. Aku berusaha melawannya.
Aku masih termangu di tempat dudukku, hingga tak sadar saat Misto turun dari jok depan dan menurunkan tas bawaannya. Kalimat terakhirnya sebelum menutup pintu belakang membuatku terlonjak.
"Kapan pun Kazuki san ingin kembali, pintu rumah kami akan selalu terbuka."
Aku hanya mengangguk tak berucap. Kesadaran seolah hilang dari tubuhku. Tatkala mobil bergerak pelan, pemandangan di depan menghilang. Barganti dengan kilasan tanaman kol yang akan dipanen, jeep yang menaiki puncak penanjakan, kuda Pak Manaf yang menyintas lautan pasir, kawah gunung Bromo yang selalu mengepulkan uapnya. Semua momen indah itu bergantian terpatri di pelupuk mataku.
Saat mobil benar-benar meninggalkan gapura desa, bayang-bayang itu lenyap. Berubah menjadi bayang Ratna. Sifat kedewasaannya, kasih sayangnya terhadap adik dan keluarga, dedikasinya terhadap dunia pertanian. Wajah Ratna semburat merayap, melingkupi seluruh jiwa ragaku. Senyumnya yang manis, cemberutnya, rengekannya, gerak-gerik langkahnya, semua detail yang selama ini terekam menggumpal di relung hatiku. Menohok sukmaku.
Dia bukan Michi. Dia adalah sosok yang berdiri sendiri. Dan, Ya! Aku mencintainya. Mencintai Ratna sepenuhnya. Bukan pelarian cinta.
"Berhenti, Pak!" teriakku.
Pak sopir menginjak rem seketika. "Ada apa, Mister?"
Aku tertawa mendengar kata "Mister" terlontar. Aku tak ingin jadi "Mister" lagi. Aku ingin jadi petani.
"Maaf, Pak. Tolong kembali. Saya tidak jadi pergi. Tolong kembali ke rumah tadi."
Pak Sopir itu melihatku aneh. Tanpa bertanya alasannya, dia memutar kembali kemudi. Mobil bergerak mendaki. Tidak membutuhkan waktu lama, kudapati Misto berjalan menyusuri jalan aspal. Tas ranselnya bergerak naik turun. Aku meminta sopir memperlambat laju mobil. Memepetnya. Pemuda itu bergerak menyamping menghindar. Kekesalan di wajahnya terlihat jelas. Sebelum keluar makian, kuturunkan kaca jendela. Kubuka bibirku lebar-lebar. Dia terkesiap.
"Apakah tawaranmu masih berlaku? Kapan pun aku bisa kembali?"
Dia tertawa senang. "Tentu saja, Brother!"