Chereads / ai (LOVE) / Chapter 35 - BAB 35 ; Merajut Kenangan

Chapter 35 - BAB 35 ; Merajut Kenangan

Langkahku gontai mendekati rumah panti jompo itu. Hawa dingin musim gugur di akhir bulan Nopember mulai menggigit. Resliting jaket kurekatkan. Tubuhku yang kehilangan berat dalam tiga bulan terakhir membuat gigitan hawa dingin itu serasa menyelusup langsung ke tulang.

Berjarak tidak lebih dari empat puluh lima menit perjalanan dengan kereta, alamat panti jompo yang kudapat dari Keiko sudah di depan mata. Bangunan berwarna coklat muda tiga lantai itu sangat sederhana untuk ukuran mantan Presiden Direktur yang pernah mengguncang Jepang. Tidak ada pemandangan indah sebuah taman di tengahnya air mancur berputar, tidak ada pepohonan rindang dan sebuah hutan kecil yang sengaja ditata indah untuk tempat bercengkerama, tidak pula lalu-lalang perawat mendorong pasien tua di atas kursi roda. Panti jompo ini lebih tepat disebut apartemen murah untuk karyawan muda dengan gaji pas-pasan. Tidak banyak fasilitas yang bisa ditemukan di sini. Kekayaan dan gaya hidup papa saat berkuasa berbanding terbalik dengan cara dia menghabiskan masa tuanya.

Pintu kaca otomatis bergeser terbuka menyambut kedatanganku. Perempuan muda dengan celemek dan pakaian seragam merah muda menyambut. Kancing jaket tipis yang dikenakannya dibiarkan terbuka dibagian depan. "Michiko" nama yang tertera di seragam celemeknya. Wajahnya ramah walau terlihat kelelahan. Rambut belakangnya diikat menyerupai simpul ekor kuda. Poni di dahinya bergerak turun naik saat memberi salam.

Aku mengenalkan diri dan menyampaikan niatku. Dia terlihat gugup mengetahui aku berkunjung ke salah satu kliennya tiba-tiba. Wanita setengah baya itu memintaku menunggu di ruang serba guna. Tidak ada meja resepisonis layaknya panti jompo mewah. Hanya sebuah ruang tempat berkumpul yang masih sepi, menjorok ke dalam bersinggungan dengan ruang lain. Ruang ini cukup menampung dua puluh orang tua dengan meja dan kursi berderet berhadapan. Sebuah televisi menyala menyiarkan berita Jepang memasuki musim dingin.

Di luar, hawa musim gugur yang akan berlalu terasa lekat. Menurut prakiraan cuaca, pemanasan global dunia membuat salju akan cepat turun di awal musim dingin. Dari jendela besar yang tersibak gordennya, dahan dan ranting yang telah ditinggal dedaunan terlihat enggan menempel di batang pohonnya. Daun yang luruh itu menumpuk di bawahnya. Menggunung. Seperti itulah kepahitan yang kurasakan saat ini. Menumpuk antara perasaan ditelantarkan dan kerinduan. Papa tidak mengajarkanku bagaimana cara untuk hidup. Dia hidup dengan dunianya sendiri, dan membiarkan aku melihat cara hidupnya.

"Tuan Yonekura siap menerima Anda," kata Michiko membuyarkan lamunanku. "Ikuti saya," lanjutnya.

Tanpa kuminta detak jantungku bergerak cepat. Perpisahan terakhir dengan papa tujuh tahun lalu membayang di pelupuk mata. Pertemuan terakhir yang menyakitkan. Walau sakit itu saat ini sudah mengendap bersama lautan pasir Gunung Bromo, namun bekasnya masih mengental di pembuluh darah.

Gemetar aku beranjak dari tempat dudukku. Setapak demi setapak kakiku menyusuri anak tangga naik ke lantai dua. Michiko berjalan cepat tanpa banyak kata. Tujuh tahun berlalu tanpa kabar sepotong pun. Bayang wajah terakhir papa saat menandatangani dokumen pemecatan diriku terekam jelas di benakku. Saat itu hatiku diliputi kemarahan. Keterasingan yang akut. Membiarkan satu anaknya terbuang dengan memberi kekuasaan penuh pada anak lainnya membuat dendam membara di hatiku meledak tak karuan. Orang tua macam apa yang sanggup membedakan kasih dua anak kandungnya?

Kini, semua rasa marah dan dendam itu sirna. Keindahan gunung Bromo beserta kenangan manis yang telah kureguk mengeliminir semua rasa pedih itu. Mengecap pengalaman sebagai orang tua saat ini mengajarkanku banyak cinta kasih. Entah apa yang mendasari orang tua yang berperan melahirkanku ke dunia itu mengambil tindakan seperti itu. Aku yakin papa pasti punya alasan yang kuat membiarkanku merana sendiri.

Ketukan di pintu dibalas sapaan berat dari dalam. Pintu bertulis nomor kamar dan penghuninya membuat jantungku berdetak mengencang.

"Silahkan." Michiko membuka pintu berbahan kayu laminasi.

Di depanku, sesosok pria berambut putih terbalut kardigan krem duduk di kursi roda menghadap jendela. Korden tersibak seluruhnya dari jendela, menampilkan pemandangan berpuluh pohon menghiasi bukit. Pohon-pohon itu berdiri tegak tanpa daun. Rantingnya menjorok ke segala penjuru, siap menerima kucuran bunga salju yang akan menutupi satu bulan lagi.

Kuberanikan diri melangkah melewati batas pintu luar. Michiko menutup pintu, meninggalkan ruangan sepi dihuni sosok anak dan orang tua. Keheningan mencekam tanpa kata. Tempat tidur single berseprei putih, di atasnya bantal dan selimut tertata rapi. Di sudut ruangan, lampu baca bertengger kesepian di atas meja. Sebuah kursi kayu bernuansa klasik sandaran tinggi ikut menemani. Satu satunya perkakas yang terbesar di ruang itu adalah almari baju. Ia berdiri kokoh di samping pintu kamar mandi. Ruang berluas sekira delapan belas meter persegi itu terkesan sangat sederhana untuk seorang mantan Presiden Direktur.

"Ehm, ehm." Kulonggarkan tenggorokanku membuka sapa. "Papa, hisashiburi," salamku.

Alih alih membalas, tangan kanan orang tua itu terangkat, memberi isyarat padaku untuk mendekat. Sandal milik panti yang kukenakan terasa melekat di lantai kayu. Enggan terangkat. Aku berdiri di belakang kursi rodanya. Kharisma orang tua ini masih membekas, menularkan hawa sungkan menyelusup ke dalam kenanganku. Pada masanya, dia adalah penentu kehidupanku.

"Kau lihat pohon-pohon itu." Tanpa menoleh ke arahku tangan tua itu menunjuk ke jendela luar. Suara beratnya masih sama seperti dulu.

Mataku tak berkedip menatap pemandangan yang dituju. Tanpa menunggu komentar balasanku, dia menyusulkan kalimat berikutnya.

"Pohon-pohon itu meranggas. Semua daunnya berguguran. Kalau pun ada yang tersisa, gumpalan salju yang akan meruntuhkannya. Itulah yang kurasakan saat tangan ini menggoreskan pena, kala stempelku memutus hubungan kita. Ketika itu, isi kepalaku hanya dipenuhi kekuasaan dan nama besar. Untuk semua itu, aku harus membayar mahal. Kehilangan darah dagingku, kehilangan anakku...."

Nada suara berat papa berubah serak dilingkupi kegetiran dan penyesalan.

"Betapa pun kerasnya aku mencoba menghilangkan rasa bersalah yang membekap, kata hatiku tak bisa memungkiri. Seperti pohon itu dengan rantingnya yang luruh. Guyuran salju bersama ribuan alasan hanya menyisakan kedukaan yang membeku."

Aku mendekatinya. Kurubuhkan tubuhku sejajar dengan posisi duduknya. Tujuh tahun berlalu. Wajah papa berubah menjadi orang tua berumur delapan puluhan. Keriput menghias mata, dahi, hidung, mulut. Flek hitam mencuat di mana-mana menghiasi wajah yang pernah memiliki ketampanan pada masanya. Tangannya kurus. Kulitnya pucat dengan noda hitam di sekujur jemarinya.

Tangan itu meraih pundakku, menarikku mendekat. Dia menatap lekat wajahku, meneliti sekujur tubuhku dari rambut hingga kaki. Keriput di punggung tangannya menyusuri pipiku.

"Kau terlihat semakin dewasa. Tubuhmu lebih kurus dari yang kuingat. Wajahmu tirus penuh duka kelelahan. Namun, sorot matamu bersinar penuh kebijakan. Entah apa yang terjadi dalam kehidupanmu selama ini. Ia telah merubahmu. Menjadikanmu lebih baik."

Kubawa tangan yang menyusuri pipiku itu ke bibirku. Kucium punggung tangan itu seperti Hana mencium tanganku saat berpamitan. "Bukan darah dan daging yang membuat hubungan kita menjadi orang tua dan anak. Tetapi hati. Papa telah memberiku harta terbesar yang tak mampu diberikan oleh siapa pun. Kepercayaan Papa bahwa aku bisa melewatkan masa suramku adalah harta terbesar itu. Maafkan aku. Selama ini tak pernah berkunjung pada si pemberi harta itu," balasku serak.

Right or wrong He's my father! Cinta seorang papa akan terus terekam di relung hati anaknya.

Dia menggeleng pelan. Kedua sudut matanya air mata berlinang. Suara papa semakin parau, bergetar penuh haru. "Aku yang seharusnya minta maaf. Aku telah bersikap tidak adil padamu."

Kuhapus air mata di pipi keriput itu dengan ujung ibu jari. "Papa selalu memaafkan aku seburuk apa pun hal yang telah kulakukan. Kasih papalah yang telah memperbaiki sayap jiwaku yang patah, membantuku menemukan tapak kehidupan yang terang. Kasih itu melebihi semua kegetiran yang terjadi di antara kita. Dan, aku telah membawa kasih itu menyatu dengan hatiku."

"Oh, Anakku...." Orang tua di depanku itu menarik leherku. Memeluk erat kepalaku. Tangis kami pecah. Perjalanan hidup yang kelam telah membawa kami kembali sebagai anak dan papa terbalut dalam kasih baru. Ruang sederhana itu menjadi saksi rebak keheningan yang hanya diisi dua isak tangis keharuan.

Setelah menguasai diri, kutarik kepalaku dari dekapan papa. Kutatap mata keriput penuh air mata itu dengan senyum keakraban baru. "Sudahlah, Pa. Semua sudah berlalu. Aku sudah kembali. Menemukan papa, menemukan kasih yang selama ini berjarak. Banyak hal yang perlu kita bicarakan."

Papa tersenyum lebar. Dia menyeka sisa air mata dengan sapu tangan yang dimintanya dari tanganku. "Kita bicara di luar. Sebelum salju melingkupi tempat ini, aku ingin anakku mendorong kursiku, seperti apa yang dilakukan keluarga lain."

Kubuka pengunci roda kursi itu. Perlahan kuarahkan arah kursi roda ke luar. Papa tertawa renyah saat Michiko menyapa dengan canda. Ruang berkumpul yang tadi sepi berubah ramai. Laki-laki dan perempuan tua duduk memenuhi bangku kosong, sofa, hingga lantai yang berselimut karpet tebal. Pagi mendekat siang, semua mata memandang bahagia ke arah kami.

Setelah dua tahun tanpa seorang pun yang berkunjung, papa membanggakan aku ke teman-teman pantinya. Di luar matahari bersinar cerah, sinarnya sanggup menghangatkan udara dingin, sanggup mencairkan dua hati yang selama ini penuh sekat nafsu. Setelah melewati puluhan tahun, melewati ribuan duri, melewati tembok tebal pelapis, aku menemukan papaku kembali hari ini.

Kursi roda berjalan pelan keluar dari area panti. Setelah dua tahun berkutat hanya di kamar dan lokasi gedung, untuk pertama kalinya papa melihat dunia luar. Geliat ekonomi mulai bergerak, mobil dan pejalan kaki lalu-lalang melintas.

Secara detail, perlahan, kuceritakan perjalanan hidupku semenjak meninggalkan Jepang, mendapatkan istri, hingga cobaan yang sedang kujalani. Papa terlihat bahagia mendengar aku mendapatkan istri yang kucinta, sekaligus sedih mendengar cucunya didera penyakit mematikan.

"Suatu hari aku akan menengok cucuku itu. Jika diperlukan, aku akan minta dokter untuk memeriksa sel indukku juga. Semoga cocok."

Papa berharap setelah sehat dan mampu berjalan kembali bisa berkunjung ke Indonesia menikmati guyuran matahari pantai kuta, dilanjutkan menghisap udara segar di lereng Gunung Bromo bersama anak, menantu dan cucunya.

Aku tidak menyinggung sedikit pun tentang kehamilan Michi dan calon anak yang digugurkannya. Biarlah itu menjadi rahasia antara aku dan keluarga Michi.

Papa selalu mengalihkan pembicaraan saat nama Hiroshi kusebut. Dan, aku tidak memaksa. Selebihnya kami bicara tentang masa-masa indah saat mama masih bersama. Papa banyak bercerita tentang kenangan manis bersama mama yang baru pertama kudengar. Tentang kebaikan mama, tentang kelembutannya, tentang perhatiannya pada keluarga. Dia memuja mama, mencintai satu-satunya wanita yang dinikahinya itu hingga akhir hayatnya.

"Kau kerja apa sekarang?"

Aku terdiam. Ada rasa sungkan menjawab pertanyaan papa. Di jalan sepi di depan kami, sebuah sepeda motor besar berlari cepat meninggalkan suara dentuman. Suara itu memberi kekuatan padaku untuk tidak menutup-nutupi keadaanku saat ini.

"Kerja seadanya. Kuli bongkar gedung, penyebar tisu di jalan, pengatur kendaraan. Tidak banyak pilihan bekerja di malam hari. Siang hari aku harus menunggu anakku bersama istri. Bahasa Jepang Ratna masih belum mampu mencerna keterangan dokter."

Papa menepuk tanganku yang mendorong kursi roda, memberi semangat akan kewajiban sebagai kepala rumah tangga. "Kau bersedia bekerja sebagai pelayan restoran? Upahnya memang tidak terlalu besar, tapi lumayan banyak dibanding pekerjaan yang kau lakukan selama ini. Pun, berkelanjutan, tidak kotor. Juga tidak di jalanan."

Seolah digelontor air hangat di musim dingin, tanpa berpikir panjang aku mengiyakan. Sebentar lagi musim dingin. Bekerja di luar ruangan saat salju turun mendera layaknya berdiri mematung di kutub utara. Jikalau badanku kurang sehat, cengkeraman salju akan membuatnya berantakan.

Papa meminta telepon genggamku, mengeluarkan dompetnya, mencari kertas kecil di sela selanya. Deretan nomor telepon dan nama pemiliknya berjajar tertulis rapi di catatan kecil itu.

Dia terkekeh memperlihatkan hasil karyanya. "Dua tahun ini aku tidak menggunakan telepon genggam. Semua nomor penting kutulis di kertas."

Mata tuanya mencari nomor yang dimaksud. Ketika menemukannya, tangannya lincah menekan angka-angka di layar ponselku. Satu kali nada dering namun tidak terangkat. Dia menekannya lagi. Tersambung. Kali ini sebuah suara laki-laki terdengar menjawab teleponnya. Papa menyebutkan namanya, menerangkan maksud teleponnya. Shirai san, pemilik restoran mengiyakan. Dia menungguku malam ini.

Berkali-kali kuucapkan terima kasih. Setelah puas bercakap, aku mendorong kursi roda papa menyusuri pedestrian, membawa tubuhnya kembali dalam dekapan panti jompo. Michiko, pengurus panti dan teman-teman papa gembira melihat perubahan yang terjadi pada papa. Mereka mengangguk ramah padaku, memberi semangat padaku untuk sering mengunjungi orang tua yang selama dua tahun ini dibekap kesepian. Aku mengucapkan ribuan terima kasih pada mereka. Kumohon mereka juga ikut menjaga dan menemani papa.

Saat kembali ke dalam kamar, papa menanyakan nomer rekeningku. Tapi dengan sopan kutolak tawaran bantuan keuangan itu.

"Jikalau tangan dan kakiku sudah tak sanggup lagi untuk bekerja, aku akan mempertimbangkan tawaran Papa."

Papa terlihat bangga mendengar jawabanku. Tujuh tahun yang lalu, aku akan berjingkrak mendapat tawaran emas seperti itu.

"Kawah gunung Bromo telah mengubah anakku," katanya sambil tergelak.

Aku tertawa menanggapi gurauannya. Kunaikkan tubuhnya ke tempat tidur, menyelimutinya, mencium punggung tangannya, mengucapkan janji akan berkunjung kembali secepatnya. Papa tersenyum bahagia.