Malam itu, untuk pertama kali sejak Hana sakit, aku bisa tidur nyenyak. Michi mengantarku hingga apartemen. Dengan nada bercanda dia memintaku meluangkan waktu semalam dengannya. Demi masa lalu, katanya. Aku menolak halus. Demi masa depan, jawabku.
Pagi hari aku sudah mandi, bercukur, merapikan rambutku, menunggu waktu bezuk di rumah sakit. Kudapati Ratna berwajah kuyu. Matanya sembab. Rambutnya membuntal tak tersisir. Aku yakin semalaman dia tidak bisa memicingkan mata, menatap terus buah hatinya yang semakin lemah. Hana masih tertidur. Tubuhnya semakin kurus tergerus sel leukemia yang kejam.
Ratna menatapku aneh. Penampilanku berbeda seratus delapan puluh derajat dengan penampilannya. Aku mendekapnya erat. Tulang tubuhnya terasa keras. Tubuh sintal dan penuh yang pernah dimilikinya tergerus derita. Dia menangis sembari matanya tak lepas dari tubuh anaknya. Aku membisikkan kata ajaib di telinganya. "Bila Tuhan mengijinkan, besok akan ada titik cerah. Keajaiban Tuhan telah tiba."
Ratna menatapku, kemudian menangis lagi. Kalimatku masih belum bisa meyakinkannya.
"Percayalah padaku. Besok Hana akan menemukan donor yang tepat," tegasku.
Dalam isaknya dia merengek, "Aamiin."
Bibirnya membuka lemah memintaku tidak memberi harapan terlalu tinggi. "Aku tahu Mas juga sedih. Tapi, jangan memperlakukanku seperti anak kecil. Aku tak minta dininabobokkan. Realitalah yang seharusnya kita hadapi, bukan harapan semu."
Kutengadahkan wajah itu, kukecup matanya yang berlinang. Rasa asin menggumpal di bibirku, membuat hatiku semakin leleh melihat kesedihan yang ditanggungnya.
"Aku tidak sedang berkhayal, Istriku. Entah bagaimana mengatakannya padamu. Tapi, suatu saat aku akan menceritakan semuanya. Saat ini mari kita khusyuk berdoa. Semoga, besok keajaiban itu benar-benar datang."
Ratna memelukku. Dadaku basah oleh air matanya. Bidadari kecilku menggeliat. Matanya perlahan terbuka. Dalam kepedihan yang mengerogoti ketahanan tubuhnya, senyum manisnya masih tersisa.
"Mama, naiteta?"
Ratna menggeleng. Segera dihapus sisa air matanya. "Unn. Mama no me ga itai no."
Bibir anaku pecah-pecah. Rengek kuat yang biasa terlontar saat merajuk tak terdengar lagi. Dari sudut matanya menetes air mata tanpa rengekan manja. Bahkan untuk menangis pun Hana sudah tak punya tenaga.
"Hana chan, yume miteta. Tante Tuti, Om Aliman, Pak de Misto, Nenek to atta. Hana chan kangen...."
Kupeluk tubuh malaikat kecilku. Kudekatkan bibirku ke telinganya. Selang oksigen di hidungnya menganggu alunan kalimatku. "Gambatte, ne. Papa to mama zutto Hana chan no soba ini iru kara. Ato sukoshii, gambatte, ne!"
Hana meraih tanganku, meremasnya tanpa tenaga. Matanya kembali tertutup. Nafasnya kembali turun naik.
Aku dan istriku tenggelam dalam tangis. Tidak ada daya dan kekuatan selain pertolongan Tuhan. Semoga apa yang kuharapkan dikabulkan.
Seharian aku tidak keluar kamar. Malamnya, aku memohon dengan sangat pada pihak rumah sakit, untuk malam ini saja mengabulkan keinginanku untuk bermalam bersama istri dan anakku. Pihak rumah sakit mengiyakan. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, kami bisa tidur bersama dalam satu ruangan.
Keesokan hari, ketukan pelan di pintu membuyarkan rasa kantuk yang menyergap di pagi hari. Dokter Takayama muncul diiringi dua perawat yang selama ini merawat Hana. Dia mendekap amplop coklat yang tertutup. Bertiga mereka memakai masker penutup mulut. Eskpresi yang ditampakkan wajah-wajah yang tersembunyi di balik kain itu tak terdeteksi.
Kubuka pintu perlahan. Istriku berdiri di sampingku. Dokter Takayama membuka maskernya, kemudian mengulurkan tangan ke arahku.
"Selamat! Akhirnya kita mendapat donor yang tepat!"
Dia menjabat tanganku berkali-kali. Dua perawat yang mengikutinya juga ikut menyalami kami. Kuucapkan terima kasih pada ke tiganya. Foto anak kecil berdiri tegap dalam seragam sekolah membekap erat kelopak mataku. Wajah kecilnya yang mirip dengan wajahku kala kecil menari-nari dalam benakku. Dalam hati aku mengucapkan terima kasih padanya. "Kau telah menolong adikmu," batinku.
Setelah menjabat tangan mereka, tubuh Ratna melorot. Kakinya tak sanggup menopang tubuh. Dia menangis. Bersujud mengucapkan terima kasih berulang kali pada Yang Maha Kuasa.
"Satu jam lagi tolong temui saya. Kita akan bahas protokol pelaksanaan transplantasinya," kata Dokter Takayama. Dia tersenyum melihat kebugaran hinggap cepat di wajahku dan wajah istriku.
Sebelum menutup pintu, dokter meminta, "Lebih baik Anda berdua makan dulu. Mengabaikan kesehatan tidak baik untuk anak Anda. Perjalanan masih jauh. Jaga kesehatan." Dokter Takayama tersenyum ramah, menutup pintu, berlalu diikuti kedua perawat itu.
Istriku menubrukku. Air mata berderai membasahi wajahnya. Kali ini, yang mengalir deras adalah tangis bahagia. Untung Tuhan menciptakan air mata tak pernah mengering. Dia berbisik,"Apa yang Mas katakan kemarin menjadi kenyataan. Suatu hari nanti, saat ada kesempatan, tolong ceritakan siapa donor itu. Untuk saat ini, biarlah rahasia itu kita simpan saja."
Mataku menerawang jauh. Otakku berusaha merangkai alur cerita.
Dokter Takayama menyambut kami. Kesegaran merebak menyeliputi wajah tampannya. Senyumnya terus tersungging di bibir. Kembali dia memberi selamat, menyalami kami, mempersilahkan kami duduk di kursi. Di tembok, layar projector menyorotkan gambar organ tubuh, tulang belakang, serta proses transplantasi. Pen kecil di tangannya mengarah ke layar. Sinar laser merah memantul bergerak sesuai keterangan Dokter Takayama.
"Ini disebut sel induk hematopoietik, yaitu sel-sel belum matang yang terkandung di dalam tulang. Materialnya lunak. Biasa kita namakan sumsum tulang. Sel-sel ini hasil perkembangan dari tiga jenis sel darah; sel darah putih, sel darah merah, dan trombosit. Tranplantasi sumsum tulang yang akan kita lakukan adalah prosedur bedah untuk mengganti sumsum tulang ananda yang rusak akibat leukemia dengan sel induk sehat milik donor."
Ratna manggut-manggut. Aku yakin bahasa Jepangnya belum mampu mencerna kosa kata khusus dalam bidang kedokteran. Walaupun selama anaknya sakit, dia telah banyak berselancar mendapatkan informasi lewat internet. Keterangan yang disampaikan dokter Takayama adalah ulangan saat pertama kami bertemu. Aku masih hapal keterangan yang disampaikan. Untuk menghormatinya, aku tidak menyela.
"Hana chan sudah menjalani kemoterapi intensif. Tinggal pengambilan sumsum tulang dari pendonor, kemudian memasukkan sumsum tulang belakang pendonor ke dalam infus dan memasukkannya ke tubuh Hana chan melalui jalur intravena. Setelah sumsum tulang pendonor dimasukkan, sel-sel induk baru akan menemukan jalan ke sumsum tulang belakang pasien. Dan ia akan kembali memproduksi sel darah."
Tanganku terangkat. Membayangkan Kazuki yunior berjuang kesakitan dalam proses operasi pengambilan sumsum tulang belakangnya membuatku tidak tega.
"Berapa lama proses pengambilan sumsum tulang belakang pendonor? Apa efek samping bagi pendonor?"
"Seluruh proses memakan waktu sekitar satu jam. Pendonor tidak akan merasa kesakitan karena dia diberi anastesi total. Sumsum tulang yang diambil dari pendonor dalam jumlah kecil. Tidak akan berdampak bagi pendonor. Hanya saja, dia perlu opname sekitar tiga hari untuk observasi setelah anastesi dan penyembuhan luka. Sumsum tulang pendonor akan diganti oleh tubuh dalam beberapa hari. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Aku bernafas lega. Ratna yang sedari tadi duduk terdiam mengangkat tangannya. "Bagaimana dengan Hana? Apa dampaknya bagi dia? Berapa persen tingkat kesembuhannya?"
Dokter Takayama menahan nafas sebelum melanjutkan kuliahnya. "Setiap proses pasti ada risiko. Pendarahan yang berlebihan, peningkatan risiko infeksi, anemia atau kurang darah, adalah dampak transplantasi yang akan timbul. Untuk transplantasi alogenik, dimana pasien menerima sel induk dari anggota keluarganya, risiko penyakit Graft Versus Host Disease bisa saja terjadi. Yaitu, ketidaksesuaian HLA pada sel induk pendonor yang ditanamkan ke penerima. Biasanya terjadi setelah seratus hari setelah transplantasi. Peradangan kulit, ruam adalah risiko terkecil. Hepatitis, gagal hati, entetiritis atau peradangan pada saluran pencernaan bisa juga terjadi."
Ratna terkesiap. Sesuai rumus fisika umum, setiap aksi pasti ada reaksi. Hanya, berapa persen reaksi yang timbul dari aksi prosedur transplantasi itu yang belum diketahui.
Seolah tahu pertanyaan Ratna yang belum dikemukakan, Dokter itu melanjutkan penjelasannya, "Berapa persen tingkat keberhasilannya? Sejauh ini lebih banyak keberhasilan dari pada kegagalan. Tapi, kami hanyalah manusia biasa. Semua keberhasilan ditentukan yang di atas." Telunjuk dokter Takayama mengarah atap.
Dia menjatuhkan badannya di kursi. Menatap kami bergantian. "Saya tahu, Yonekura san dan Istri adalah muslim yang taat. Saya adalah penganut kristiani. Tidak ada yang bisa dilakukan setelah sumsum tulang dimasukkan kecuali berdoa. Hanya pada Tuhanlah kita menyandarkan hasilnya."
Kami mengangguk setuju. Tidak ada lagi yang perlu ditanyakan. Waktu sangat berharga menjelang menit-menit terakhir.
Ratna mengajukan pertanyaan terakhir sebelum kami meninggalkan ruangan. "Siapa pendonornya? Kami ingin bertemu dan menyampaikan terima kasih. "
Jantungku berdetak lebih kencang. Harapanku, aku sendiri yang akan memberitahukan kepadanya. Suatu hari nanti. Nafasku bergerak teratur kala Dokter itu menggelengkan kepala. "Maaf, saya tidak bisa memberitahu. Orang tua pendonor meminta kami merahasiakannya."