Untuk kedua kali tubuhku berderak-derak di dalam taksi. Membutuhkan lima jam dalam cuaca beku dari Danau Kanayama hingga kota Sapporo. Dan, lima puluh ribu yen. Setara satu minggu upahku menjadi pelayan restauran. Untunglah hotel bintang lima dengan fasilitas mewah di pusat kota Sapporo sebagai gantinya.
Seperti arahan Michi, aku meneleponnya setelah mendapat mini disk yang dibutuhkan. Dia menyuruhku membeli cambang palsu, rambut palsu, dan melesakkan topi hingga menutup kepala. Sebuah hotel bintang lima di kota Sapporo yang dipesan atas namanya menjadi labuhan sementara sebelum pertemuan. Michi dan teamnya segera berangkat dengan helikopter ke Sapporo, katanya. Taman Odori sebelah barat, pukul sembilan malam, adalah tempat dan waktu yang ditentukan untuk pertemuan.
Setelah beristirahat sejenak, dan mematut diri dalam penyamaran dengan cambang dan rambut palsu, aku memasuki dinginnya malam di taman terbaik di kota itu. Taman Odori sedang bersolek menyambut festival musim dingin yang diadakan tiap bulan februari. Dua bulan lagi turis manca negara dan turis lokal berbaur menikmati patung-patung es yang dibuat oleh pemahat internasional. Geliat taman Odori dalam menyambut pesta tahunan sudah terasa hingga daerah teramai, Susukino.
Televisi tower di belakangku mematung dalam balutan lampu warna warni. Penunjuk cuaca digital menayangkan angka nol derajat celcius. Jaket downtown menghangatkan tubuhku. Menahan gigitan hawa beku. Aku berdiri mematung sembari sesekali membetulkan cambang dan jenggotku yang berkibar.
Tepat pukul sembilan malam, sebuah Mercedes Benz warna hitam berhenti tepat di depanku. Pintu belakang kiri terbuka. Sosok wanita dalam balutan blazer dan celana hitam membayang. Dia menggeser tubuhnya mendekat pintu kanan, berteriak perlahan.
"Masuklah," perintah Michi.
Kujatuhkan tubuhku ke atas jok mobil yang empuk. Mobil sama, warna sama, dengan sopir yang sama. Laki-laki tinggi dempal itu sepertinya penjaga abadi keluarga Fujioka. Wajahnya diam mematung tanpa ekpresi. Begitu pantatku menjejak bantalan kursi, pintu mobil menutup cepat. Tanpa diperitah, si sopir menggerakkan kemudinya. Arah yang dipilih adalah selatan taman Odori, wilayah tersibuk di kota Sapporo, Susukino.
Dipangkuan Michi sudah siap laptop. Ruang dalam mobil gelap gulita. Cahaya yang keluar dari layar itu menjadi satu-satunya petunjuk. Kuserahkan mini disk pemberian Goto. Cekatan Michi memasukkannya ke port di bagian kanan laptop. Sebentar kemudian, deretan layar berubah tampilan.
Tidak ingin terlibat dan tahu tentang apa isinya, aku bergeser mepet ke jendela mobil. Selama Michi fokus dengan data dan angka itu, mataku menikmati ramai suasana jalan Susukino. Seperti pusat kota besar di Jepang pada umumnya, Susukino adalah jalan teramai yang menawarkan berbagai kemewahan dan pesta semalaman. Kabukicho di Tokyo, Nakasu di Fukuoka, dan Susukino adalah perwakilan kota Sapporo. Puluhan restoran berdiri berjajar bersama bar, pub, hotel dan tempat bermain laki-laki dewasa. Tujuh tahun lalu, aku akan berteriak kegirangan. Larut dalam pelukan jalan ini. Kali ini aku hanya menikmati suasananya sambil mengutuki kebodohan masa laluku.
"Sempurna! Terima kasih," kata Michi. Dari cahaya yang memancar dari layar laptop, wajahnya terlihat sangat puas.
"Sama sama. Aku juga berterima kasih kau telah menyelamatkan anakku."
Michi tertawa masam. "Bukan aku. Darah dagingmu sendiri yang menyelematkannya."
Anak kecil dalam seragam sekolah yang menatap kamera itu menyeruak benakku. Entah kapan aku bisa menemuinya. "Apa yang terjadi selanjutnya?"
"Aku akan bergerak dengan teamku. Setelah memasang jeratnya, aku akan menghancurkan Yonekura Hiroshi."
Nada kegeraman yang tersirat membuatku bergidik. Kehidupan yang kejam telah mengubah Michiku yang dulu.
Aku menghela nafas panjang. "Terserah apa yang kau lakukan, aku tidak ikut campur dengan urusanmu. Dan, tolong jangan libatkan kami."
"Jangan khwatir. Kamu dan keluargamu aman."
"Terima kasih."
"Bagaimana setelah anakmu sembuh? Kau ada rencana apa? Jika kau mau, perusahaanku membutuhkan pegawai bagian marketing."
Aku tertawa sengau. "Terima kasih atas tawaranmu. Aku lebih memilih menjadi pelayan saja. Lagi pula, setelah anakku sembuh kami akan kembali ke Indonesia. Lereng gunung Bromo terlalu indah untuk dilewatkan."
Michi terdiam. Mendengar tempat yang kusebutkan wajahnya berubah seketika. Kilas balik romatisme yang pernah terjalin di antara kami melesak ke dalam angannya. Keheningan membuncah. Aku memecahkan keheningan itu.
"Kalau sudah tidak ada lagi yang diperlukan, aku turun di sini saja."
Tanpa perintah dari Michi, sopir tidak akan menuruti kemauanku. Michi memegang lenganku. Ingin penegasan. "Kau tinggal di sana?"
"Ya. Aku menemukan stairway to heaven-kita. Menaikinya, menikmati hamparan luas kawah di puncaknya bersama mimpi kita. Kala aku sangat merindukanmu, kuteriakkan rasa itu bersama kepulan asap kawahnya."
Michi menggeram. Cengkeramannya pada lenganku semakin erat. Kami termangu menikmati manis kilas masa lalu. Cengkeraman Michi melembut, beralih mencari tanganku. Lima jemari kanannya menyelusup ke jemari kiriku. Meremasnya hangat. Sejenak aku terbuai. Sebelum terlalu jauh, kuakhiri momen itu. Aku menarik jemariku. Kukeluarkan dompet dari saku belakang celana. Kuperlihatkan foto Ratna dan Hana. "Ini anak dan istriku."
Semula Michi enggan melihat. Rasa penasaran mengalahkan kecemburuannya. Dia menekan lampu di atap mobil, meraih foto anak dan istriku. Matanya terbelalak mendapati dua sosok di perempuan di foto itu. Dia menatapku. Nafasnya sedikit tersenggal. "Wanita ini, istrimu?"
Kuanggukkan kepala.
"Dia mirip sekali denganku. Dan anak ini, aku seperti melihat potret diriku di masa kecil."
Michi mengembalikan foto itu. Aku tak mau lagi berbohong. Bibirku kaku. Kalimatku serasa pengakuan dosa. "Jujur saja, aku masih tak bisa lepas dari bayangmu. Aku menemukanmu dalam tubuh gadis gunung Bromo. Bagiku, kamu hidup di dalam jiwa mereka. Di dalam tubuh anak dan istriku."
Michi menunduk. Dari kaca spion depan, pipi dan matanya terlihat memerah. Cepat dia menggelengkan kepala, memerintah sopir untuk menepikan mobil. Waktu kebersamaan telah usai. Kami akan mengambil jalan sendiri. Kehidupan berbeda arah menanti.
Aku menganggukan kepala, mengucapkan terima kasih sekali lagi. Michi membalas dengan anggukan pelan. Pintu sebelah kiri kembali terbuka. Kakiku mantap menginjak tepian jalan. Mobil melaju pelan. Belum juga terlalu jauh, mobil itu kembali mundur. Pintu jendela terbuka separuh. Michi memberi isyarat padaku untuk mendekat ke jendela.
"Kazuki, bersabarlah sebentar. Jika sudah waktunya, aku akan memberitahu tentangmu. Tentang kita. Aku yakin dia akan mengerti. Aku percaya suatu hari nanti dia akan pergi menemui papanya."
Hawa dingin di luar menerpa kulitku yang tak tertutup kain. Gigit kebekuannya tak sanggup meringankan deburan detak jantungku. Ketulusan dari kalimat yang terucap membuat rasa haru menggelegak. Aku sangat merindukan darah daging yang telah menyelamatkan bidadari kecilku itu.
Aku tak sanggup berkata. Desahan kecil semburat dari mulutku terbawa laju mobil itu.