Chereads / ai (LOVE) / Chapter 44 - BAB 44 ; Surga di Bumi

Chapter 44 - BAB 44 ; Surga di Bumi

Epilog;

Tiga minggu setelah transplantasi sumsum tulang, Hana bisa berkumpul dengan kami di apartemen kecil yang kami sewa. Satu minggu sekali kami membawanya untuk melakukan kontrol kesehatan. Selama empat bulan dia harus melakukan tes darah untuk memastikan sel induk donor tidak berdampak buruk. Keajaiban Tuhan, tidak ada efek samping sama sekali. Tubuh anakku menguat. Rambutnya tumbuh, celotehannya semakin menjadi-jadi. Hari-hari menunggu kepulangan kami ke Indonesia terisi tawa dan candanya.

Selama masa penantian itu, aku kembali menjadi pelayan di "American Shirai". Michi menelepon Shirai san. Meminta maaf, dan berharap dia memperkerjakan aku kembali. Tentu saja bosku itu menerimaku dengan tangan terbuka.

Semangat papa untuk sehat menggelora. Wajahnya berubah segar. Tubuh tuanya berevolusi menjadi muda kembali. Tiap hari dia berusaha bangkit dari kursi rodanya, menjalani rehabilitasi tanpa kenal lelah. Celetuk dan kemanjaan cucunya memberi tenaga. Satu minggu sekali di akhir pekan, papa menghabiskan waktunya dengan kami. Terutama dengan Hana. Mengajaknya bermain, menghirup udara segar di taman dekat apartemenku, sesekali Hana juga ikut membantu papa agar cepat meninggalkan kursi rodanya.

Awal tahun menjadi kado pahit bagi Hiroshi dan kelompoknya. Polisi menangkap Hiroshi atas berbagai tuduhan. Penyidikan mengindikasikan Hiroshi dan kelompok Yakuza Kawaguchi-gumi melakukan kejahatan pemalsuan keuangan perusahaan, penyelundupan, pencucian uang dan seabrek kejahatan lainnya. Berbagai mass media marak dengan berita yang menggegerkan. Seperti tujuh tahun yang lalu, kembali masyarakat Jepang mengelengkan kepala melihat konspirasi jahat dalam dunia bisnis. Nara sumber ahli ekonomi dan ahli kejahatan bisnis lalu lalang di berbagai media memberikan tanggapannya. Wajah Hiroshi dan wajah bos Kawaguchi-gumi hampir tiap hari menghias layar televisi dan halaman koran.

Saat berita itu muncul di televisi, aku selalu mengganti channel. Semula Ratna protes dan bertanya lebih jauh. Marga kami yang sama membuatnya berpikir Hiroshi adalah bagian dari keluarga kami. Aku tidak menjawab. Segera kualihkan pembicaraan. Rencanaku, sebelum pulang, aku akan menjelaskan semua hal kepadanya tentang masa laluku. Tentang siapa Hiroshi, hubunganku dengan Michi, pun tentang siapa donor yang menyelamatkan Hana.

Tetapi, keinginan itu gagal total. Satu bulan setelah Hiroshi dan kelompoknya ditahan, giliran wajah Michi yang kerap menghuni layar televisi, koran, dan majalah. Wanita besi itu berhasil menguasai saham mayoritas Yonekura Corporation. Dia tampil sebagai pemenang. Membalaskan sakit hatinya tujuh tahun yang lalu sekaligus mengutip bunga dari hutang dendam itu. Melalui sumber dana dari asing yang tidak terbatas, dia mengakusisi semua bisnis Yonekura beserta cabang-cabangnya.

Aku tak bisa lagi menahan gempuran pertanyaan Ratna. Perempuan mirip dirinya yang kerap muncul di media setelah kemunculan Yonekura Hiroshi, plus, kalimat papa yang terpeleset saat kami meluangkan waktu bersama, membuatnya merajuk.

Malam itu, saat Hana sudah tidur, aku menjelaskan detail semua masa laluku. Mengobral semua kebobrokanku tanpa ada satu pun yang kututupi. Sekaligus menjelaskan siapa donor yang telah menyelamatkan buah hati kami itu. Diakhir cerita, aku bersimpuh di hadapan Ratna, meminta ampun atas segala masa laluku. Istriku adalah belahan jiwaku. Dengan mudah dia memaafkan semua kesalahan masa laluku, kecuali satu hal; dia mempertanyakan kemurnian cintaku padanya.

Ratna merajuk selama seminggu. Aku kembali bersimpuh, membujuknya. Kunyatakan bahwa dia bukan pelarian cinta. Michi dan dia memang memiliki kemiripan bentuk fisik, namun bukan berarti aku mengalihkan cinta dari Michi kepadanya. Rasa bukan benda yang gampang dipindah tangankan. Semirip apa pun dia dengan wanita lain, beauty is only skin deep, penampilan fisik berbeda dengan sifat yang dimiliki. Aku mencintainya bukan karena dia mempunyai penampilan fisik yang mirip dengan kekasihku yang dulu, namun aku mencintainya karena sifat dan karismanya sanggup meluluhkan hatiku. Ratna akhirnya mencair. Seperti pepatah Jepang; Mizu ni nagasu, semua hal yang telah lampau biarlah hilang bersama air mengalir.

Misto, Tuti dan neneknya berteriak gembira mendengar keponakannya sembuh. Mereka mengadakan sukuran di kampung untuk kesembuhan Hana. Mengundang tetangga makan bersama, membagikan sedekah pada panti asuhan. Tuti melahirkan anaknya dua bulan lalu, perempuan. Tidak mau kalah dengan Hana, dia memberi nama anaknya "Sakura". Berharap menjadi bunga pendamping bagi ponakannya. Semua keluarga berharap kami cepat pulang. Kol, wortel, kentang, dan tanaman lain menanti untuk dipanen.

Manakala bunga sakura merebak sempurna dan hawa dingin berubah menjadi hangat, Dokter Takayama memberi ijin kepulangan dengan syarat secara berkala kami harus memeriksa darah dan kesehatan Hana di rumah sakit di Indonesia. Tanpa menunda waktu kami bersiap. Terutama Hana yang paling tak bisa ditahan. Dia berlari mengitari ruangan, meloncat di taman, bersorak gembira. Jiwanya adalah bagian dari kehidupan gunung Bromo. Kini jiwa itu menuntut untuk kembali.

Dari segala kegembiraan itu menyisakan satu kesedihan. Papa akan kembali sendiri. Sejak taksi meninggalkan apartemen hingga ke bandara, Hana tak pernah lepas dari dekapan kakeknya. Perjalanan di dalam taksi hanya diisi celotehan percakapan lucu Hana dan papa.

Empat bulan bertarung dengan rehabilitasi, papa akhirnya sanggup mengatasi penyakitnya. Dia meninggalkan kursi roda, berganti dengan penopang satu tongkat kruk di ketiaknya. Bahkan, papa sanggup menggendong Hana yang menggelayut manja di pelukannya sambil tertatih dengan tongkat kruk dari taksi hingga pintu keberangkatan. Dia menyalami Ratna, mengucapkan terima kasih telah menjaga anak dan cucunya. Pipi, dan dahi Hana mendapat puluhan ciuman hingga cucu perempuan itu jengah.

"Ojiichan, asobi ni kite, ne," kata Hana saat melepas pelukan kakeknya. Anakku menukar air mata yang mengalir membasahi pipi papa dengan senyumnya yang cantik.

"Zettai asobi ini iku kara. Matte te, ne," kata Papa di sela tangisnya.

Papa memelukku erat. Kali ini, tidak seperti tujuh tahun yang lalu saat melepasku dengan tatapan kepedihan, mata papa berbinar bahagia. Satu anaknya telah menjadi sosok manusia yang bisa dibanggakan.

Dia mencium pipiku, berbisik di telinga kananku. "Jaga anak dan istrimu. Bahagiakan mereka."

Aku mengangguk. Kubalas ciuman papa di pipinya yang keriput, sembari membisikkan permintaan. "Tolong, sesekali lihat cucu laki-laki Papa. Jaga dia untukku."

Papa tersenyum. Mengangguk tegas. Air matanya meleleh hingga tubuh kami hilang dari pandangannya.

Pesawat Garuda Air Line membelah awan. Kami duduk bertiga dalam satu deretan bangku. Hana sedang tertidur pulas. Dari sisi jendela, penerbangan day flight Narita-Denpasar menyajikan pemandangan awan berarak membentuk susunan gumpal imajinasi yang melihat.

Ratna menggenggam erat tanganku, menyandarkan kepalanya di bahu, berbisik mesra di telingaku. "Terima kasih. Aku bahagia menjadi istrimu."

Aku mengelus kepala yang tersandar di bahu, berbisik balik, "Cintaku padamu sebanyak awan yang bergerak di luar sana. Tak akan hilang hingga bumi ini digulung oleh Pemiliknya."

Dia mencubit perutku gemas. "Mas memang pandai merayu."

Aku tertawa ringan. Mataku terpejam. Tanganku membelai mesra kepala istriku.

"Mas."

"Apa?"

Ratna melepas pelukanku. Kepalanya bergerak naik mencari telingaku. Dia berbisik mesra, "Aku hamil."

Aku tersengat. Tanpa mempedulikan penumpang yang duduk di samping dan belakang, kutarik wajah Ratna mendekat. Kucium lembut bibirnya. Ratna tersipu melepas pagutanku. Kami tertawa bahagia hingga membuat Hana terbangun. Kubisikkan di telinga anakku, "Hana-chan mau punya adik."

"Horeee...!" soraknya.

The End