Esoknya, Hana dipindah ke ruang khusus. Selama satu minggu dia akan menerima obat kemoterapi yang lebih intensif, kemudian sumsum tulang kakaknya akan dimasukkan. Dua minggu setelah observasi, bila tidak ditemukan dampak yang buruk akibat transplantasi, Hana akan meninggalkan ruang khusus. Dia akan berbaur dengan pasien anak-anak lainnya di ruang biasa untuk mengetahui seberapa kuat tubuhnya menerima pengaruh dari luar.
Di dalam ruang khusus saat proses transplantasi dan observasi selama tiga minggu, hanya seorang penunggu yang diperbolehkan. Ruangan khusus dilengkapi kamar mandi, penghangat ruangan dan fasilitas lainnya. Untuk itu penunggu pasien tidak boleh meninggalkan ruang itu selama tiga minggu penuh. Ketahanan mental terpenjara tanpa melihat dunia luar menjadi pertaruhan.
Ratnalah penunggu itu. Selama dia di dalam ruang khusus menemani Hana, aku ada tugas lain yang tak kalah penting; menyelamatkan nyawa anak dan istriku. Waktu dua minggu telah terpotong dua hari. Dua belas hari mencari data penting yang bisa menghancurkan Hiroshi seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Untuk mendapatkannya, aku membutuhkan pertolongan. Papa satu-satunya harapanku.
Kakek Hana itu kegirangan saat kuhubungi lewat telepon genggam. Sejak pertemuan kami, papa memiliki ponsel untuk memantau langsung perkembangan kesehatan cucunya. Kuminta waktunya untuk bertemu dan bicara empat mata. Mulanya dia mengusulkan bicara di dalam ruang panti, atau bicara di dalam kamarnya. Berat hati kutolak. Dinding dan semua peralatan bisa menjadi pendengar. Aku tidak ingin mempertaruhkan keselamatan anak dan istriku. Bicara di luar sambil mendorong kursi roda papa di tengah musim dingin adalah pilihan satu-satunya. Papa menyetujui usulku. Siang hari di tengah udara mulai membeku, kudorong perlahan kursi roda papa menyusuri pedestrian.
"Kenapa papa memilih panti jompo sangat sederhana itu sebagai tempat labuhan di masa tua? Dengan tabungan Papa, kukira bisa mendapat tempat yang lebih baik. Apakah Hiroshi yang menghendaki ini?" Sambil mendorong perlahan kursi rodanya, kuawali percakapan tentang pertanyaan yang selama ini mengusik.
Orang tuaku itu merekatkan jaket tebalnya. Syal membelit leher. Sarung tangan kulit membungkus seluruh jemarinya. Badanku sedikit gemetar saat angin dingin bertiup dari atas bukit. Para pejalan kaki berjalan setengah berlari. Mobil melintas membuang hawa panas dari knalpotnya.
Jemari tanganku tanpa sarung memegang erat lengan kursi yang terbuat dari logam. Membuat dingin yang dihantarkan partikel bahan bakunya menusuk pori-poriku. Papa tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dahinya melipat. Papa menjawab pertanyaanku dengan panjang lebar.
"Pemilihan panti itu tidak ada hubungannya dengan Hiroshi. Aku sendiri yang menentukan tempat itu. Setelah pergumulan puluhan tahun dalam dunia yang dihuni manusia-manusia penuh keserakahan, aku memutuskan tempat yang sangat sederhana ini sebagai pelarian dari rasa bersalahku. Mereka, para penghuni panti, bukanlah orang-orang yang berkucukupan saat mudanya. Mereka adalah laki-laki dan perempuan yang menghabiskan masa mudanya dengan mengais rejeki penuh kerja keras. Dengan gaji yang tidak seberapa. Tetapi saat berkumpul bersama mereka, kutemukan kebahagian yang tidak pernah kudapat. Mereka orang-orang jujur. Manusia-manusia sederhana tanpa berpikir untung rugi dalam hubungan antar manusia. Ya, aku bahagia di sini."
"Sukurlah." Rasa malu membelit. Kukutuk diriku yang masih terbelenggu penilaian sebuah hubungan antar manusia berlandaskan hitungan untung rugi. "Bagaimana dengan Hiroshi? Apakah dia menyetujui pilihan Papa di sini?" lanjutku.
Kali ini papa menghela nafas panjang. Matanya nanar menatap bukit yang ujungnya mulai terselimuti benang putih. Salju telah turun di awal musim pada tempat tertinggi di daerah ini.
"Dia tidak tahu aku di sini. Dua tahun lalu, setelah pamit mengundurkan diri dari perusahaan, kuserahkan semua kekuasaanku padanya. Untuk seorang pemimpin perusahaan yang telah berjuang keras membesarkan perusahaan, uang pesangonku layaknya manajer rendahan di sebuah perusahaan kecil."
"Kenapa Papa menerima?" selaku.
"Setelah kau menghilang, Hiroshi semakin menggila. Harus kuakui, ide-ide awalnya sangat cemerlang untuk membuat Yonekura Corporation menggurita. Dia mengeksekusi semua deal-deal bisnis dengan sempurna. Ada masa di mana aku sangat bangga dengan kemampuannya. Sebagai anak tertua, dia sanggup mewarisi kemampuan kakeknya sebagai pendiri, sekaligus kemampuanku sebagai penerus generasi ke dua."
"Beda dengan anak ke dua ya, Pa?" Aku mencoba bercanda.
Papa mendongak ke belakang. Tersenyum melihatku. "Saat itu, aku memang menyesali keberadaanmu yang tak selihai kakakmu. Namun, jauh di lubuk hatiku, kau adalah permata terbaik yang pernah kumiliki. Wajahmu, sifatmu, menurun dari wanita yang sangat kucintai. Setelah mamamu meninggal, ada masa di mana aku sangat merindukannya. Saat itu, saat kau sudah lelap dan aku baru pulang kerja, aku duduk berjam-jam di sisi tempat tidurmu. Meluapkan rasa rinduku dengan memandangi wajahmu."
Ada gelombang panas tiba-tiba menerpa mataku. Kalimat pengakuan orang tua yang selama ini kuanggap pilih kasih itu membuatku terharu. "Maafkan aku. Selama ini aku salah menilai Papa," desisku.
Kursi roda berjalan pelan. Langkahku semakin tegas membawa orang tuaku satu-satunya ini untuk menjauh dari tempat istirahatnya.
"Semakin tahun, perangai dan cara berbisnis Hiroshi semakin ngawur. Dia tidak mau lagi menerima masukan dariku. Dua tahun setelah pengambil alihan saham Fujioka Corporation, melalui Rapat Umum Pemegang Saham yang dipaksakannya, anak itu mengambil alih tongkat kepemimpinan dariku. Dia memberi tugas baru untukku sebagai penasehat perusahaan. Tapi ironisnya, nasehatku tidak pernah didengarnya."
Papa tertawa getir. Roda kursi yang kudorong pelan menyusuri aspal. Langkahku menuju taman terdekat yang terlihat sepi.
"Sebagai Presiden Direktur Yonekura Corporation yang baru, keserakahan Hiroshi menjadi-jadi. Lewat penyandang dana yang besar, dia menghalalkan segala cara untuk mengakusisi banyak perusahaan. Tujuanku membesarkan Yonekura Corporation agar kehidupan karyawanku lebih sejahtera. Namun, di bawah kendali Hiroshi, dia memotong semua kesejahteraan karyawan. Harapanku semakin menjauh. Ketika segala nasehatku tidak diindahkan lagi, aku berhenti bicara. Kubiarkan dia semaunya mengurus perusahaan. Dua tahun lalu, saat dia semakin melenceng mengendalikan roda perusahaan, kuputuskan mengundurkan diri. Tanpa omong kosong rayuan agar aku tetap mendampinginya, Hiroshi melepasku dengan kelegaan."
Aku menghela nafas panjang membayangkan kesedihan pria yang berjuang keras di masa mudanya membangun kerajaan bisnis, berakhir didepak darah dagingnya sendiri. "Apa yang dilakukan Hiroshi sehingga Papa mengundurkan diri?"
Pembicaraan kami mulai masuk pokok pembahasan. Setelah mengetahui pendapat papa tentang Hiroshi, saatnya aku mengutarakan maksud inti pembicaraan ini. Papa menepuk tangan kananku, memintaku mengarahkan kursi rodanya ke gerbang masuk taman. Tidak ada penikmat taman pada jam kerja seperti ini. Hanya kami berdua. Dia meminta berhenti tepat di meja kecil taman dengan dua kursi kayu berhadapan. Papa memintaku duduk di hadapannya.
Mata tua itu menatap langsung ke mataku. Sorot matanya tajam. Tak mampu aku membalas tatapan itu.
"Sudah saatnya mengutarakan keinginanmu. Pengalamanku bertahun-tahun mencium kecurigaan akan permintaanmu. Jujurlah padaku. Barangkali aku bisa membantumu."
Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Perlahan tanpa menyembunyikan peristiwa secuil pun, aku bercerita semuanya. Tentang tekanan yang kuterima dari keluarga Michi sehingga aku harus menghilang dari Jepang, tentang keadaan Michi yang mengandung anakku, tentang pertemuan kami beberapa hari yang lalu, tentang siapa donor yang telah menolong Hana. Plus, tentang syarat yang diajukan Michi.
Papa mendengar takzim semua ceritaku tanpa menyela sedikit pun. Terkadang dahinya berkerenyit. Sesekali senyumnya melebar. Dia mengangguk berkali-kali setelah aku mengakhiri ceritaku. Mata tuanya lama menatap bunga di taman yang kuncupnya terkatup, pengaruh musim dingin membuatnya enggan membuka kelopaknya. Papa menarik nafas panjang, mengisi kantung paru-parunya dengan udara bebas, kemudian menghembuskannya keras.
Ya, papa harus memilih. Pilihan sulit seperti tujuh tahun lalu. Dulu, dia memilih Hiroshi, mencoret diriku demi kekuasaan yang diberikan pada anak tertua. Sekarang, papa harus memilih; Menghancurkan anak tertua yang pernah menjadi kebanggaannya, berarti menghancurkan kerajaan bisnis yang telah dibangunnya sejak muda. Atau, memilih kebahagian anak keduanya yang telah memberinya dua cucu. Dan, pilihan apa pun yang akan diambil papa akan berimplikasi langsung pada takdir kedua anaknya ke depan.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, papa mengeluarkan ponselnya, mencari nama di antara nama-nama yang tertulis. Dia menekan sebuah nama. Sebuah mesin penjawab otomatis memberitahu nomor sudah tidak dipakai pemiliknya. Penasaran, papa mengulang lagi. Kembali mesin penjawab yang muncul.
Jemari papa mencari nama lain, menekannya saat didapati nama yang diinginkan. Nada dering terdengar pelan, diakhir dengan sebuah suara laki-laki terdengar pelan, berbisik seakan ketakutan. Ketika papa menyebutkan namanya, suara itu berubah akrab. Aku tidak mengerti pembicaraan yang mereka lakukan, kecuali nama Goto Tomoyasu disebut-sebut. Tidak lama, dua menit kemudian papa menutup ponselnya. Dia menyuruhku mendekat. Nada suaranya tidak sama lagi seperti sebelumnya.
"Goto Tomoyasu menghilang tiga bulan lalu. Kabar dari temanku, dia lenyap bersama data-data penting perusahaan. Hiroshi panik dan sedang mencarinya."
"Apa yang sudah dilakukan Goto san?" tanyaku berbisik.
"Secara pasti aku tidak tahu. Tetapi, melihat gelagatnya, dia dalam bahaya. Goto sudah terlalu banyak tahu. Data-data yang dibawanya adalah asuransi bagi kelangsungan hidupnya."
"Segenting itu kah?" tanyaku penuh kekhawatiran. Aku teringat pesan Michi untuk berhati-hati.
Mata papa menerawang jauh melampaui bukit yang tertutup salju. Suaranya bergetar penuh nada getir. "Dua tahun lalu sebelum aku mengundurkan diri, aku bertengkar hebat dengan Hiroshi karena cara bisnisnya sudah melampaui batas. Tidak hanya melanggar norma, dia juga melanggar batas-batas hukum. Selain melakukan pemalsuan keuangan perusahaan, yang sangat kutentang adalah dia bekerja sama dengan Kawaguchi-gumi"
Kepalaku serasa dihantam godam. Tujuh puluh persen orang Jepang tahu siapa dan apa kelompok Kawaguchi-gumi. "Ha? Untuk apa?"
"Hiroshi terlalu serakah, kesilauannya akan harta membuat hatinya buta. Dia menabrak semua aturan yang ada, membahayakan perusahaan, sekaligus membahayakan dirinya sendiri." Bibir papa bergetar mengingat perbuatan anak tertuanya.
"Gila! Apa yang dia cari?" teriakku tertahan.
"Entahlah."
Sejenak papa menahan nafas, kemudian melanjutkan kembali keterangannya. "Aku menentangnya habis-habisan. Tetapi dia tidak peduli dan tetap menjalankan bisnis kotornya. Akhirnya aku lepas tangan. Kujual seluruh saham atas namaku dengan harga murah, kemudian mengundurkan diri dari seluruh aktivitas perusahaan. Tidak hanya sampai di situ, galau, kalut, marah, pola hidup masa lalu tak karuan, membuat sistem kekebalan tubuhku terserang. Aku mengalami mutiple sclerosis, rusaknya selaput pelindung saraf pada otak dan saraf tulang belakangku."
Kugenggam tangan kanan papa, kuberi kekuatan agar dia bisa bertahan menghadapi tekanan kehidupan di masa tua. Papa menepuk lembut punggung tanganku dengan tangan kirinya.
"Saat aku sudah tidak punya harapan, pernah terpikir untuk mengakhiri saja hidupku. Hingga, kau muncul hari itu. Kehadiran dan perubahan sikapmu membawa angin segar. Saat bertemu istrimu dan melambaikan tangan ke cucuku, di saat itu pula semangat hidupku kembali mencuat. Kau telah menyelamatkan nyawaku, Nak. Tidak itu saja, hari ini, aku seolah mendapat karunia besar. Tanpa pernah sedikit pun mengira, aku si tua bangka ini dikarunia dua cucu sekaligus." Papa terkekeh.
Dia mentertawakan takdir yang berputar-putar dulu sebelum memberinya kebahagian.
"Antar aku kembali ke kamar. Ada yang akan kuberikan padamu."
Tanpa membantah, aku mendorong kursi roda papa kembali ke panti. Roda terasa ringan saat menyentuh aspal. Beban tugasku mulai melihat titik terang.
Di dalam kamar, Papa menuliskan sesuatu di selembar kertas bergaris, memasukkan tulisannya ke dalam amplop coklat, menulis sebuah alamat di amplop itu. Pria tua yang saat ini lebih banyak tersenyum itu menutupnya dengan lem. Menyegel mulut surat dengan stempelnya. Kemudian, papa mengaduk dua tas besar yang dibawanya.
Tanpa cakap kuperhatikan setiap perubahan mimik wajahnya. Senyumnya merekah saat mendapati barang yang dimaksud. Digenggamnya erat benda itu seolah takut kehilangan. Dia menyuruhku mendekat. Menarik kepalaku hingga mulut papa segaris dengan telingaku. Seperti yang kutakutkan, papa pun khwatir dinding tembok bisa saja mendengar.
"Cari laki-laki bernama Takahashi Itsuo. Serahkan surat ini padanya. Serahkan sendiri ke tangannya. Setelah membacanya, dia akan memberi tahu di mana keberadaan Goto Tomoyasu."
Papa menarik kepalanya, memandangku penuh arti, memastikan aku paham dengan apa yang dimaksud. Aku mengangguk. Dia mengambil tanganku, membuka telapak tanganku. Diletakannya benda yang terbuat dari logam itu dalam genggamanku.
"Jika kamu sudah menemukan Goto Tomoyasu, serahkan benda itu. Katakan padanya, Yonekura Kazuo mengembalikan barang yang pernah diberikan padanya."
Papa menatapku lekat. Dia menekan tanganku, berkata pelan hingga aku harus mengetatkan pendengaran untuk mengerti kalimat yang diucuapkannya. "Kau mengerti? Berhati-hatilah. Aku yakin, bukannya hanya Hiroshi yang mencari Goto. Kawaguchi-gumi juga tidak akan tinggal diam. Kau harus bisa menemukan Goto sebelum mereka."
Papa memelukku, mencium pipiku seperti dia menciumku saat aku kecil. Rasa haru menyeruak. Sebelum meninggalkan papa, aku kembali memeluknya. Kucium punggung tangannya seperti kebiasaan anak Indonesia menghormat orang tua.
"Doakan aku, Pa," bisikku. Papa mengangguk. Aku meninggalkan papa setelah membaringkan dan menyelimuti tubuhnya.
Hanya doa orang tua yang bisa kuandalkan. Terlepas keyakinan yang dipeluk papa, Tuhan Maha Mengerti segala bahasa. Segala keyakinan.