Mesin pencari alamat di ponselku menunjuk Danau Kanayama di kota Furano, sembilan puluh sembilan kilo meter dari Kota Asahikawa, dua jam perjalanan dengan mobil, sebagai tujuanku berikutnya.
Menyewa mobil dan mengendarai sendiri adalah pilihan terbaik. Tapi, Surat Ijin Mengemudi-ku telah lewat batas, dan tidak sempat kuperpanjang. Tidak ada cara lain kecuali menyewa taksi. Tanpa melewatkan waktu lagi, kuhentikan taksi yang melintas. Sopir taksi itu orang tua sekira umur enam puluhan tahunan, penduduk asli Asahikawa. Dia tersenyum bahagia mendapat carteran dua jam. Dengan ramah dia mempersilahkan aku naik, dan akan mengantar kemana pun tujuanku. Danau Kanayama bukan lah tempat asing baginya.
Kala kukatakan aku ingin memancing di danau itu, dari balik spion tengah dia menatapku aneh. Memancing tanpa membawa peralatan pancing. Setelah kubenahi kecurigaannya, dia terkekeh. Kukatakan aku ingin menemui temanku yang sedang memancing. Bertemu teman yang sedang memancing dengan menghabiskan puluhan ribu yen sebagai ongkos taksi adalah karunia baginya, sebaliknya kebodohan bagiku kalau saja Goto Tomoyasu hanya teman biasa.
Taksi bergerak pelan menyusuri jalan bersalju. Aspal berselimut gunung es sebagian telah mengeras. Sesekali ban berdecit menggelinding keluar dari jalan utama saat meliuk di tikungan tajam. Setengah hati aku berharap sopir taksi berkendara pelan, setengah hati kuperintahkan dia untuk memacu kecepatan.
Dua setengah jam disuguhi pemandangan yang sama sejak kemarin terasa membosankan. Tidak ada yang bisa dinikmati kecuali lereng perbukitan yang memutih. Pemanas di dalam mobil menderu. Tubuhku menghangat, membuat mataku berat. Oksigen yang semakin tipis membuatku tertidur pulas. Entah berapa jam aku tertidur, saat terbangun, di hadapanku terhampar dataran luas memutih. Sepanjang mata memandang, hanya putih salju yang mengeras. Di tengah dataran, dari jarak seratus meter tempat taksi berhenti, tenda-tenda kecil warna-warni mengumpul. Danau Kanayama, surga tersisa di dunia untuk para penikmat ice fishing menungguku.
Setelah membayar argo taksi yang membuat mataku terbelalak, aku menyewa sepatu boat untuk melintasi danau Kanayama yang memutih. Pada tahun-tahun sebelumnya, ice fishing di danau Kanayama diadakan akhir Desember hingga akhir Maret. Musim dingin tahun ini lebih beku, dan salju pun lebih cepat menderas dari tahun-tahun sebelumnya. Pihak mengelola mengajukan jadwal buka ice fishing dua minggu lebih awal melihat kesempatan bisnis di depan mata.
Penjaga persewaan menawarkan alat pancing, namun kutolak. Tujuanku hanya ingin menemui teman lama, yang saat ini entah berada di tenda yang mana. Dia berada di antara ratusan penikmat hobi yang sedang asyik memasukkan umpannya ke dalam lubang es yang digali.
Perlahan kususuri permukaan air yang telah berubah menjadi es. Penunjuk cuaca yang terongok di tepi danau menunjukkan angka minus 5 derajat celcius. Gigi runcing di telapak boat yang kupakai menjejak kulit es, membentuk lingkaran kecil. Lima puluh lebih tenda berwarna warni membuatku terus berucap doa, semoga langkahku tepat mengarah ke seseorang yang kutuju. Matahari sudah bertengger tepat di kepala, aku berlomba dengan tenggelamnya sang surya. Terlambat menemukan Goto Tomoyasu, maka kegelapan akan membuat perjalananku hari ini sia-sia.
Ratusan manusia terbalut dalam jaket downtown duduk mendekam di depan tenda. Wajah mereka menunduk mengarah tepat ke lubang, sambil tangan kanan memegang senar bergerak perlahan mengulur dan menarik umpan. Menggunakan naluri yang selama ini terus kupertajam, kuarahkan kaki ke tenda kecil yang usang. Tenda warna biru kecil dan tidak mencolok di antara tenda-tenda lain menjadi buruanku.
Pucuk dicinta ulam tiba, sebuah teriakan dari jarak tiga meter tempatku berdiri menarik perhatianku. Tujuh tahun berpisah, aku tidak akan melupakan suara serak tua yang telah membuat hidupku berubah. Dia tidak melihatku. Bibirnya yang diselimuti cambang putih terbuka lebar, topi menutup seluruh rambutnya hingga telinga. Tidak salah lagi, aku menemukan teriak suara yang berhasil mendapatkan buruannya.
Aku memutar melewati satu buah tenda. Dari belakang, tubuh ringkih yang dulu kukenal terlihat semakin kurus dalam balutan jaket tebal. Dia duduk santai di sebuah kursi rendah sementara tangan yang terbungkus sarung karet bergerak lincah melepas bait pengait. Di depannya, tiga lubang menganga dengan dua lubang terisi senar pancing dan umpannya. Saking asyiknya, Goto Tomoyasu tidak menghiraukan seseorang yang berdiri tepat di belakangnya.
"Tangkapan bagus untuk hari ini, hah?" Aku menyapanya dari belakang.
Seperti mendengar auman beruang kutub, tangan Goto Tomoyasu menegang. Sejenak dia tak beranjak menggerakkan tubuhnya. Diam terpaku. Membeku mengikuti hawa dingin yang menyelimutinya. Butuh setengah menit agar tubuhnya terbiasa dengan kedatangan seseorang dari masa lalunya.
Tanpa menoleh lelaki tua itu terbahak. Dari mulutnya menyembur asap mengepul. "Hari ini benar-benar hari keberuntunganku. Selain ikan, sebuah kenangan masa lalu juga ikut menyertai."
Goto meraih satu kursi lipat kecil di sebelah kursinya, membukanya, menyuruhku duduk di depannya.
"Ke sinilah. Aku ingin melihat lagi wajah tampanmu," katanya sambil terkekeh.
Kuhenyakkan pantatku di kursi yang dimaksud. Wajah penuh keriput di depanku itu dipenuhi jenggot dan cambang panjang yang memutih. Goto Tomoyasu terlihat seperti penyihir Dumbledore dalam film Harry Potter.
Dia meraih gelas kosong, menuangkan cairan putih seperti air, menyorongkan ke tanganku. Aku menolaknya.
"Maaf, aku tidak minum minuman keras lagi."
Tanpa mempedulikan orang-orang di sekeliling yang sibuk menggali lubang, dia tertawa keras. Aku mendiamkannya hingga bibirnya capek terbuka.
"Yonekura Kazuki tanpa sake?" Dia menggelengkan kepala sambal berguman, "Seperti ikan tanpa air. Kau akan segera mati."
Bibir kutarik tipis. Aku tidak sedang ingin membahas masa kelamku. Pun, aku sedang tak ingin berbasa-basi. Waktuku berlari secepat Shinkansen. Kurogoh saku celanaku. Telapak tanganku menyentuh pin dasi pipih panjang terbuat dari logam. Pin dasi pemberian papa itu terasa beku di genggamanku.
Goto meletakkan cangkir plastik berisi sake di depanku. "Hanya ini yang kupunya. Aku tak punya kopi atau teh"
Dia diam sejenak, kemudian melanjutkan, "Kalau kau suruhan Hiroshi, tinggalkan aku. Lebih baik aku membusuk di neraka dari pada menyerahkan data itu!"
Kugelengkan kepala. Tanganku terulur ke depan. "Aku tidak mewakili Hiroshi. Aku kesini hanya menyerahkan ini. Papa menyampaikan salam."
Goto tersenyum pahit. Dia menerima pin yang kusorongkan, menggenggamnya erat, kemudian membuka telapak tangannya. Matanya nanar menatap pin itu. Kilau logam yang tertimpa sinar matahari membuat angannya sejenak melayang ke masa lalu. Goto menghela nafas panjang. "Kami telah menciptakan monster," helanya.
Kepala Goto berputar, beredar mengawasi puluhan tenda beserta ratusan orang yang duduk menghadapi lubang-lubang kecil tempat buruannya. "Lihatlah sekelilingmu."
Aku mengikuti arah ucapannya.
Goto melanjutkan, "Sebagian di antara mereka akan berhenti memancing saat matahari tenggelam dan sekelompok kecil lainnya akan tetap bertahan hingga larut. Bahkan hingga pagi hari. Walaupun hasil tangkapan sudah cukup, mereka berani mempertaruhkan nyawa untuk tangkapan lebih besar yang dapat dibeli di pasar. Kenapa? Bukan karena harga. Tapi karena kesenangan dan keserakahan."
Goto menghentikan napasnya yang tersenggal akibat hawa dingin merangsek paru-parunya. Orang tua itu sedikit terbatuk, mengeluarkan kegalauan hatinya seiring kebekuan yang mengeras. "Seperti itulah yang terjadi pada kakakmu. Tidak cukup dengan mengakusisi sebuah perusahaan, keserakahan telah mengubah cara pandangnya. Saat papamu berusaha mencegahnya, dia mendepaknya."
"Kenapa Goto san masih bertahan saat papa mengundurkan diri?"
"Aku seperti masuk dalam lingkaran setan. Sekali masuk, sulit untuk keluar. Aku terlalu banyak tahu. Tiga bulan lalu, ketika kesadaranku timbul, aku menghilang. Ya, lenyap begitu saja."
Dia tekekeh mentertawai takdir kehidupan masa pensiunnya.
"Mereka mencarimu."
"Aku tahu itu. Sebagai asuransinya, aku membawa data keuangan mereka bersamaku. Pun, sudah kugandakan datanya. Jika terjadi sesuatu denganku, mereka akan menerima akibatnya."
"Apakah aku akan pulang dengan tangan hampa?"
Goto terdiam. Dia menuangkan sake ke gelas kosong hingga penuh. Sekali tenggak, cairan alkohol persentase tinggi itu lenyap di mulutnya. Dia menatap gelas yang kosong di tangannya. Bola matanya menerawang jauh melewati masa lain di kehidupan lain.
"Kalau bukan karena pin itu, ya, aku tak sudi melepasnya."
"Untuk itu papa memberikannya padaku," kataku gamang.
Aku tahu betul watak mantan Direktur Keuangan Yonekura Corporation ini. Tidak akan ada yang bisa memaksanya. Dia akan membawa data-data yang dicurinya ke liang kubur.
"Dia sehat kah?"
"Stroke membuatnya duduk di kursi roda. Selain itu, sehat. Masih penuh semangat hidup."
Kembali orang tua di hadapanku itu terkekeh. "Si rubah tua itu memang hebat. Entah apa yang membuatnya bertahan setelah kejadian pahit beruntun menimpanya."
"Entahlah. Mungkin rasa bersalahnya padaku?" tukasku.
Goto menatapku. Bola mata kami beradu. Dia mengalihkan pandangannya pada senar yang bergerak-gerak. Namun, pemancing itu tak menggubrisnya. Ikan buruan yang sudah menggondol umpannya dibiarkannya lewat. Pandangannya kosong. Jiwanya terbang melintasi dimensi lain. Mungkin rasa bersalah padaku telah menggugat hati nuraninya.
Lelaki tua bagian dari masa laluku itu membuka tas ransel hitam kusam yang tergeletak di sisinya. Dia mengeluarkan sebuah mini disk, menarik tangan kananku, membuka telapak tanganku, dan meletakkan barang itu di atasnya. Goto menggenggam kepalan tangan kananku dengan dua tangannya.
Dia berkata pelan tapi tegas, "Kalau saja bukan pin ini yang muncul, aku akan membawa mini disk ini bersama nyawaku hingga ke dasar Danau Kanayama. Pun, aku menyesal telah ikut menghancurkan hidupmu. Saatnya bagiku membayar kesalahan itu."
Tangan kiriku yang bebas menepuk punggung tangannya. "Yang lalu biarlah berlalu. Terima kasih kuucapkan untuk mini disk ini. Tapi, data ini...." kataku gamang.
"Ya. Menyerahkan data ini padamu seperti aku menyerahkan nyawaku. Kalau aku bisa selamat dari Hiroshi dan kelompoknya, tetap saja penjara yang akan menantiku."
Rasa haru membalut hatiku. Laki-laki yang kukenal sejak kecil dan kuanggap paman sendiri ini telah menyerahkan kebebasannya padaku.
Goto melepas genggamannya. Menepuk bahuku. "Tidak apa-apa. Semua orang akan mati. Aku lega bisa memberi barang ini langsung kepadamu."
Didorongnya perlahan bahuku. "Cepat tinggalkan tempat ini sebelum menarik perhatian banyak orang. Ke sini tanpa alat pancing seperti mendaki gunung tanpa sepatu."
Ingin kupeluk orang tua di depanku ini untuk terakhir kali. Namun hanya anggukan kepala yang bisa kulakukan. Sebelum beranjak meningalkannya, sebuah pertanyaan yang terus mendesak tak bisa kutahan. "Apa arti pin itu bagimu?"
Dia menatap logam itu, kemudian tersenyum lemah. "Yonekura Kazuo telah menyelamatkanku dari lobang keputusasaan. Tanpa pertolongannya, aku telah mati sejak dulu. Sebagai balas budi, aku memberikan pin dasi milik ayahku ini. Pin ini adalah satu-satunya benda paling berharga yang kupunya. Jika dia memberikan pin itu balik padaku, artinya dia telah membebaskanku dari hutang budi."
Aku mengangguk pelan. Kubungkukkan tubuhku dalam-dalam. Dia mengangguk membalas salamku dalam posisi duduk. Tanpa menoleh lagi, langkahku kembali menyusuri lautan es.