Chereads / ai (LOVE) / Chapter 41 - BAB 41 ; Kidung Pencarian

Chapter 41 - BAB 41 ; Kidung Pencarian

Takahashi Itsuo, laki-laki seumuran papa itu kutemukan di sebuah flat kecil dan pengap di pinggiran kota Tokyo. Mencarinya seperti mengaduk-aduk kota kecil. Tidak banyak orang mengenal lelaki kurus dan bercambang lebat itu. Misal dia mati sekali pun, tidak ada tetangga yang turut berduka.

Kuhabiskan dua hari menunggunya dengan menginap di sebuah hotel satu-satunya di kota itu. Pekerjaannya tak menentu. Kadang ikut membongkar bangunan, kadang jadi kuli angkut di pelabuhan Tokyo, kadang bila tak ada kerjaan, dia mengais sisa-sisa makanan dari tempat pembuangan mini market. Dia menatapku penuh curiga saat aku menunggunya di tangga flat kumuh yang disewanya.

Pria dekil itu menatapku curiga saat aku memperkenalkan diri sebagai anak dari Yonekura Kazuo. Dia membuka amplop pemberian papa, membacanya dengan seksama, kemudian tergelak. Setelah membaca surat itu, dia merobeknya hingga potongan kecil tak terbaca.

"Tunggu di sini!" perintahnya ketus.

Takahashi menghabiskan tiga puluh menit di dalam kamarnya, meninggalkan aku termangu di tengah dinginnya malam musim dingin. Dia menemuiku kembali dengan surat dalam amplop yang sama. Direkat seperti papa merekat amplopnya. Pada mulut surat yang terekat, setempel miliknya menandai surat itu agar orang yang tidak diinginkan membukanya.

Dia tergelak saat menyerahkan surat itu padaku. "Tua bangka itu telah menciptakan monster. Dia telah menggali kuburnya sendiri. Kalau saja aku tak pernah berhutang budi padanya, tak sudi aku terlibat dalam konflik keluargamu. Temui adikku, Naoko. Dia akan memberitahumu di mana menemukan orang yang dimaksud papamu itu"

Kuterima angsuran amplop darinya. Sebelum bertanya lebih lanjut, tanpa berucap salam, dia menaiki tangga flat, meninggalkan aku sendiri. Sejenak aku tertegun. Kukira dengan menemukan orang tua aneh itu aku segera bisa menemukan tempat persembunyian Goto. Kubalik amplop itu. Tertulis alamat yang dimaksud. Sebuah kota di pulau paling utara, Kota Asahikawa, Hokkaido. Sembilan ratus dua puluh enam kilo meter dari sini!

Melakukan perjalanan di musim dingin ke Hokkaido, layaknya perjalanan menuju kutub utara. Aku harus membeli jaket tebal untuk memastikan tubuhku tidak beku. Permasalahan lain yang timbul selain hawa dingin pulau Hokkaido adalah mobil wagon biru yang terus menguntitku.

Menurut ensiklopedia, naluri atau insting adalah suatu pola perilaku dan reaksi terhadap suatu rangsangan tertentu yang tidak dipelajari, tetapi telah ada sejak kelahiran suatu makhluk hidup, dan diperoleh secara turun temurun. Instingku adalah instrumen penting dari indera yang kumiliki. Sering menolongku di saat ada kejadian aneh.

Aku tidak paranoid. Dahulu, sensitifitas yang sering kulatih saat mendekati wanita, banyak memberi pelajaran tentang keinginan mereka sebelum terucap. Sebuah gerakan tubuh yang tidak sewajarnya, atau situasi yang tidak mendukung akan tertangkap oleh indera ke enamku. Naluriku laiknya naluri singa yang sanggup mencium buruannya dari jarak ratusan meter. Hanya saja, tujuh tahun lalu, naluri yang kubanggakan itu menjadi tumpul saat patah hati. Cairan alkohol sebagai pelarian akan cinta yang tertolak membuat insting yang kumiliki mati kutu. Tetapi, Hawa dingin Gunung Bromo beserta dekap kasih Ratna telah menyembuhkanku. Naluriku itu berjalan normal kembali. Kali ini instingku meneriakkan keanehan.

Sejak meninggalkan panti jompo tempat papa dirawat, instingku mengatakan aku diikuti. Sebuah mobil wagon warna biru. Sesekali dua hingga tiga orang berjas lengkap berjalan menguntitku membaur di antara kerumunan masa. Lagak dan gerak gerik mereka saat melihatku, saat berjalan di belakangku, berhenti saat aku menghentikan langkah, menimbulkan berbagai syak wasangka.

Analisaku mengatakan ada tiga kelompok yang ikut serta dalam permainan ini. Kelompok Michi yang ingin memastikan aku menjalankan perintahnya, kelompok Hiroshi yang sudah mencium gelagatku, atau pihak kepolisian yang sudah turun dalam penyelidikan. Aku tidak tahu dari kelompok mana yang penguntitku itu.

Sebelum aku bergerak menuju ke alamat yang diberi Takahashi Itsuo, kupikir alangkah baiknya aku menghilangkan diri dari kuntitan mereka. Perjalanan darat adalah pilihan yang harus kuambil. Kuhindari menempuh perjalanan seribu kilometer lebih dengan pesawat. Mereka akan dengan mudah menungguku di bandara Chitose, Hokkaido, sebelum roda pesawat menjejak aspal pendaratan. Bis, kereta api biasa, dilanjutkan dengan kapal feri penyeberangan adalah pilihan terbaik.

Laiknya cerita novel dan kisah film detektif, perjalanan awal kumulai dari stasiun kereta Shinjuku. Tidak langsung memesan tiket kereta, tetapi aku berjalan melingkar-lingkar dulu memutari Stasiun Shinjuku tepat saat jam kantor bubar. Tepat saat semua pekerja tumplek blek memadati stasiun. Ribuan laki-laki dan wanita dalam balutan jas lengkap berjalan cepat memadati stasiun itu. Aku pun memakai setelan hitam jas lengkap layaknya pekerja kantoran. Menenteng tas kerja sembari berjalan cepat membaur.

Tiga kali aku berganti kereta ikut berdesakan tak tentu tujuan. Saat malam merayap, kepadatan semakin membeludak mengisi semua lantai dan lorong jalan stasiun. Di sebuah tikungan, aku berbelok cepat ke sebuah toilet. Orang tua yang sedari tadi menunggu di depan pintu toilet dan berpakaian belel ikut masuk. Sesuai ciri-ciri yang disebutkan Yayoi, aku memberi kode pada pria tua itu. Tugasnya hanya menyerahkan buntalan plastik padaku.

Buntalan plastik berisi celana jeans, kaos, baju lengan panjang, sweater dan jaket, serta sepatu sniker sudah siap menunggu. Tidak lupa topi baseball menyertai. Lewat telepon umum, aku meminta tolong Yayoi untuk menyiapkan barang-barang yang kubutuhkan. Dia meminta penjelasan. Kuminta ia percaya padaku tanpa pertanyaan. Mulanya dia menolak halus. Setelah kuyakinkan bahwa aku betul-betul belum bisa menjelaskan alasannya, dia menyerah. Siang hari itu dia sudah menyiapkan barang yang kubutuhkan, menyewa pemain drama untuk menyamar sebagai pria tua tuna wisma, memberi instruksi ke "tuna wisma" itu untuk memberikan barang-barangnya langsung kepadaku. Tentu saja kupinta Yayoi berjanji untuk tutup mulut.

Aku tidak menggunakan kereta cepat Shinkansen langsung dari Shinjuku ke Hakodate. Naluriku mengatakan para penguntitku tentunya sudah menanti di peron Shinkansen. Kupilih kereta biasa. Tiap stasiun kereta berhenti, menurungkan penumpang dan menaikkan, kemudian kembali merambat hingga pantatku serasa lengket di bangku.

Kereta api biasa bergerak dari Stasiun Shinjuku menuju Stasiun Aomori. Saat kereta bergerak jauh meninggalkan Kota Shinjuku, pemandangan pergulatan kota berubah menjadi kesunyian desa. Dalam temaram malam diterangi lampu-lampu jalan, gedung-gedung pencakar langit beserta kepadatan lalu lintasnya menjelma menjadi sawah, pedesaan, pegunungan. Kala kereta membelah terowongan, mendaki lereng perbukitan, persawahan, menyusuri sungai-sunga di sampingnya, rinduku akan lereng gunung Bromo menggelegak. Kanan kiri suguhan tanaman yang terbungkus mulsa plastik mengingatkanku buah kol yang siap di panen bulan ini.

Mendekati tengah malam kereta tiba di Stasiun Aomori. Terpaksa kulewatkan satu malam di kota Aomori karena tidak ada kereta yang membawaku ke kota berikutnya. Kulanjutkan perjalanan di pagi hari menggunakan kereta api cepat Shinkansen. Semula dari Aomori akan kuteruskan dengan kereta biasa, namun perjalananku diburu waktu. Ada dua pilihan; melewati lorong bawah laut dengan shinkansen, atau naik feri penyeberangan hingga pelabuhan Hakodate. Aku memilih alternatif pertama.

Butuh satu jam perjalanan dari Aomori ke Hakodate. Pagi tatkala Shinkansen membawa mataku menggeliati seluruh area yang dilingkupi salju, kakiku sudah menapak lantai Stasiun paling utara di Jepang itu. Udara beku menyambut kedatanganku. Hamparan salju memutih menyelimuti perbukitan. Tahun ini, musim dingin lebih cepat menggugurkan saljunya. Aku mengutuk para perusak lingkungan yang membuat musim berganti tak menentu. Tanpa mengindahkan gigitan udara, aku bergerak cepat menuju Kota Asahikawa dengan bis.

Sepanjang mata memandang, hamparan salju melingkupi jalan, melingkupi pepohonan. Gundukan salju setinggi dua meter di kanan kiri jalan. Seharian kuhabiskan perjalanan berteman warna putih nan beku. Saat bis bergerak pelan mendekati tujuan, keremangan malam kota Asahikawa menyambut.

Sepuluh jam perjalanan di dalam bis membuat tubuhku penat. Kota terbesar ke dua di Hokaido setelah ibu kota Sapporo itu menawarkan pemandangan indah di malam hari. Kilatan warna-warni lampu memantul. Berpendar indah menyinari hamparan salju. White illumination yang tersaji di taman kota menyambut kedatanganku. Jikalau waktu dan keadaan memungkinkan, aku ingin membawa anak dan istriku ke tempat ini. Selain penuh taman indah, keberadaan kebun binatang terbesar di Jepang di kota ini membuat kota Asahikawa masuk dalam daftar kota tujuan wisata.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tak elok berkunjung menemui seseorang yang belum dikenal selarut ini. Aku memutuskan melepas penat semalam di hotel pinggiran kota Asahikawa, sambil mencari tahu letak alamat yang tertulis di amplop. Besok pagi aku akan mengetuk pintu rumah adik perempuan Takahashi Itsuo itu. Malam ini, setelah malam-malam penuh ketegangan, kumanjakan diriku dengan onsen, dan hidangan terlezat pulau paling utara di Jepang; Tarabagani-Kepiting besar-dimasak dengan saus tiram.

Setelah makan pagi, aku berkemas. Tidak banyak pakaian yang kubawa. Aku sudah mengganti jaket yang kupakai dari Tokyo dengan jaket downtown dari bulu angsa. Dengan kewaspadaan yang tinggi, kutelusuri perumahan yang terletak di pinggiran Kota Asahikawa itu. Naluriku mengatakan tidak ada penguntit.

Setelah berjalan dua ratus meter dari jalan besar, sesuai dengan alamat yang dimaksud, aku mendapati sebuah rumah sederhana bertuliskan "Rumah Keluarga Kishikawa". Adik Takahashi Itsuo itu telah menikah dengan laki-laki bermarga Kishikawa.

Perlahan kutekan bel. Tanpa menunggu lama, perempuan seumuran mertuaku menyambut. Dia hanya melongokkan kepala tanpa membuka daun pintu lebar-lebar. Wajah asing tak dikenal yang muncul tiba-tiba membuat mimik muka wanita itu mengandung tatap curiga. Aku mengenalkan diri, memberikan surat yang ditulis kakaknya. Masih dalam keadaan pintu terbuka seperempat, dia menerima surat yang kusorongkan dengan tatapan tidak percaya.

Kelopak matanya mengerjap berkali-kali saat membaca isi surat itu. Ditatapnya berkali-kali penampilanku dari ujung kaki hingga kepala. Setelah merasa yakin bahwa akulah orang yang dimaksud dalam surat itu, wajahnya berubah ramah.

Kishikawa Naoko memintaku menunggu di luar. Beberapa menit kemudian wanita itu keluar sambil memberiku secarik kertas bertuliskan alamat dan peta kecil.

"Dia sehari-hari berada di sini. Anda bisa menemukannya saat hari masih terang. Setelah gelap, saya tidak tahu di mana Goto san tinggal. Saya dengar dia memiliki pondok kecil di sebuah tempat tersembunyi. Lebih baik Anda berangkat sekarang jika ingin bertemu dengannya."

"Terima kasih atas informasinya"

Kututup pintu rumah itu sambil mengangguk berkali-kali. Sebelum tubuhku lenyap dari halaman rumah itu, sang pemilik rumah membuka kembali pintunya, dan berteriak, "Apakah kakakku hidup bahagia di sana?!"

Sorot mata itu mengerjap berkali-kali. Dalam pertanyaan itu terhimpun beribu harapan. Tak tega aku harus membagi realita dengan wanita yang baik itu.

"Ya! Dia hidup sejahtera dan berkecukupan!" jawabku tegas.