Shirai san, pemilik restoran ala Amerika, menerimaku bekerja tanpa syarat. Ketika papa berjaya dengan bisnisnya, dia sering membawa tamu-tamunya makan malam di tempat ini. Bahkan, saat Shirai san ingin mengembangkan tempatnya, dia meminta bantuan pinjaman pada papa. Tanpa bunga, tanpa agunan. Restoran mewah yang sekarang menghuni lantai dua puluh lima sebuah gedung megah di Roppongi Hills, dulu hanyalah sebuah kedai kecil menjual soba dan tempura di pinggir jalan.
Saat ekonomi Jepang menggelembung tahun delapan puluhan, diiringi pertemanan dengan papa semenjak Sekolah Menengah Atas, membuat pemilik restoran itu mendapat kucuran bantuan keuangan tanpa proses bertele-tele. Shirai san membesarkan kedai kecilnya menjadi restoran, dan mengubah menu soba dan tempura menjadi masakan ala Amerika. Seiring pesatnya bisnis papa, restoran Shirai san juga mengikutinya sebagai tempat makan malam sekaligus tempat perjamuan saat deal bisnis diputuskan. Berkah dari kerja keras, relasi dan nasib baik membuahkan hasil. Lima tahun yang lalu restoran Shirai san di pinggiran kota berpindah tempat menempati salah satu lantai di gedung mewah di pusat Kota Tokyo.
Walaupun Shirai san berteman baik dengan papa, tidak ada perlakuan berbeda antara aku dan pegawai lainnya. Lowongan yang ada untukku adalah pelayan. Di samping belum membutuhkan tenaga baru, kemampuan marketing yang kumiliki tak berguna bagi bisnisnya.
Aku bersyukur dan menerima dengan senang hati pekerjaan yang ditawarkan. Bekerja di malam hari dengan waktu yang relatif tidak panjang, tidak berjibaku dengan udara dingin di jalanan, bebas meminta ijin jika anak dan istriku membutuhkan pertolongan tanpa pemotongan gaji, membuat pekerjaan sementara ini adalah anugerah Tuhan yang terbaik setelah bulan-bulan penuh cobaan.
Setelah beberapa minggu bekerja, berbekal kemampuan Bahasa Inggrisku yang selama ini terasah di Bali, penampilanku yang lebih dandy dibanding pelayan lain, dan kemampuanku membaca macam-macam tamu serta melayaninya dengan istimewa, Shirai san menempatkanku menjadi pelayan pilihan terbaik saat menjamu tamu penting.
Waktu berjalan cepat saat bekerja, namun berjalan sangat lambat kala menemui kenyataan akan kesehatan Hana yang semakin menurun. Empat bulan berkutat dengan segala macam obat kemoterapi dan pengobatan yang menyiksa, kesehatan Hana tak kunjung membaik. Sebaliknya, hari demi hari hanya dipenuhi keluhan yang mencekik. Tubuh anakku semakin kurus. Semua bulu yang ada di kulitnya tidak tersisa selembar pun. Wajahnya sepucat kapas. Sorot matanya terlihat putus asa.
Setiap sore, sebelum meninggalkan Hana untuk bekerja, aku dan Ratna bergantian memberi semangat Hana untuk bertahan, sekaligus memberi semangat pada diri kami masing-masing untuk tidak menyerah. Tak tega hati ini melihat si buah hati menderita sendiri. Kalaulah Tuhan mengijinkan, biarlah kami yang mengantikannya. Biar kami yang menerima suntikan itu di tulang punggung itu. Namun, dera teriakan kesakitan Hana adalah realita yang sesungguhnya. Kami hanya bisa pasrah.
Seminggu yang lalu, Papa berkunjung ke rumah sakit. Dengan tertatih dan memohon bantuan petugas panti, untuk pertama kali papa melihat Hana dari luar ruang observasi. Kesehatan Hana yang semakin memburuk membuat dokter tidak mengijinkan kakek yang belum pernah bertemu cucunya itu bertegur sapa. Papa melambaikan tangannya dari luar. Hana membalasnya lemah. Kuterangkan siapa kakek tua yang datang itu. Seolah terpompa kekuatan baru, Hana tersenyum melambaikan tangan mungilnya. Sejenak dia ceria. Kemudian melemah. Kembali bergulat dengan sel jahanam yang menggerogoti tubuhnya.
Papa memaksa ikut tes HLA. Semula dokter menolak dengan alasan kesehatan papa yang tak mendukung. Tapi, papa memaksa. Hasilnya, tidak ada kecocokan sel induk. Untuk kesekian kali kami harus berkutat lagi dengan harapan yang tak pasti. Donor yang diharapkan belum juga bisa ditemukan.
Sore itu, Dokter Takayama kembali memanggil kami. Secercah harapan timbul. Langkah kaki kami saat menyusuri lorong rumah sakit berbareng dengan doa, semoga panggilan kali ini adalah kabar adanya donor yang cocok. Tanganku bergetar saat mengetuk pintu. Gagang kunci yang terbuat dari metal meresap dingin. Dokter Takayama berdiri menyambut. Dia menyalami kami. Doa yang kami panjatkan menguap tak terkabul saat melihat wajah itu kusut penuh keprihatinan.
Seperti kebiasaanya saat menerangkan hal berat pada keluarga pasien, dokter itu membetulkan letak kaca matanya terlebih dahulu. Dia menahan desah nafas, kemudian mengembuskan keras bersama tekanan di dadanya.
"Mohon maaf. Kami sudah berusaha keras. Tapi, sel jahat leukemia yang terdapat dalam tubuh Hana chan, lebih kuat dari pengobatan yang telah kami lakukan. Tanpa ada donor yang tepat, dia tidak bisa bertahan lama," katanya lemah. Kalimat penutupnya terasa sebagai kekalahan telak bagi seorang dokter.
"Berapa lama, Dok?" tanyaku parau.
"Menurut data saat ini, anak Anda hanya bisa bertahan paling lama satu minggu. Jika ada kerabat, atau orang yang ingin ditemuinya, alangkah baiknya datang secepatnya. Sebelum terlambat."
Kali ini aku tak kuasa lagi menahan air mata yang semenjak di Indonesia berusaha kubendung. Pertahananku bobol. Tubuhku melorot dari kursi. Kupeluk istriku. Kami menangis berderai. Keyataan hidup yang sangat pahit membuat kami lunglai tak bertenaga. Terbersit dalam hati kecilku, apakah ini karma dari hasil kejahatanku yang telah lalu? Keboborokan perbuatanku yang banyak menyakiti manusia lain? Dosa-dosa masa lalu yang terus menghantuiku? Kalaulah memang Tuhan ingin menghukum, kenapa Dia tidak menghukumku saja?
Aku tersungkur, tengadah berteriak menembus atap kepada Dia yang sedang berkuasa di sana. "Tuhan! Kalau memang ini hukumanMu, timpakan padaku. Jangan libatkan anakku! Kenapa Kau sejahat ini pada anak kecil yang tak berdosa?!" teriakku
Kali ini, akulah yang membutuhkan nasehat dan semangat. Ratna mendekapku, membekap mulutku. Tak hentinya ia mengingatkanku untuk tidak melawan kehendak Sang Kuasa. Wanita yang kucintai itu terus menghiburku. Dipilinnya kalimat-kalimat suci untuk menyadarkanku. Tepukan di bahu dari Dokter Takayama menyadarkan ke murtadanku. Dia meninggalkan kami berdua merajut kalimat pengampunan dan kepasrahan.