Ratna menolak saat ingin kutemani. Dia meminta waktu berdua saja dengan Hana. Istriku mendekap tubuh lemah anaknya. Dielusnya kepala tanpa rambut itu. Ibu anakku itu tidur disampingnya seolah waktu tak akan berpihak pada kami lagi. Semua rasa yang dimilikinya terakumulasi dalam belaian romatisme yang menyedihkan.
Sendirian, aku tak tahu kemana melangkahkan kaki. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali berangkat kerja. Pulang sendiri ke apartemen tidak akan menyembuhkan luka. Bahkan gores kepedihan semakin menggurat.
Tersuruk langkahku menggapai jalan pedestrian menuju tempat kerja. Udara dingin akhir bulan november mengingatkanku kisah tujuh tahun yang lalu. Yang membedakan, saat itu segala rasa menyakitkan yang terkumpul bisa kucurahkan dalam larutan cairan alkohol, menghanyutkannya hingga tertidur pulas, dan terbangun dengan seruak rasa pedih. Kali ini, ada ruang di hatiku yang menolak berlakunya kembali pelarian itu. Nasehat Aliman dan ajaran yang dihembuskannya membuatku melarikan diri pada helaan nafas panjang dan penyebutan nama besar-Nya. Kalaulah memang ini yang digariskan, tak ada kuasa manusia untuk bisa mencegah. Kepahitan dan kebahagian hakikatnya sama di sisi-Nya; Cobaan.
Waktu shift pergantian kerja belum dimulai. Shirai san menyambut kedatanganku ramah. Dia menepuk bahuku hangat, seolah ingin menyalurkan energi yang dimilikinya. Papa meneleponnya dan memberi tahu permasalahan yang kuhadapi.
"Kalau kau ingin istirahat, tidak apa-apa. Yayoi bisa menggantikanmu."
"Terima kasih," kataku. Kutolak bentuk perhatiannya. "Aku ingin bekerja. Kesibukan sejenak bisa melupakan segala kekalutan."
"Baiklah, kalau itu maumu. Berhati-hatilah."
Aku menarik bibirku lebar. "Jangan khawatir, aku adalah pemain sandiwara yang baik. Senyumku akan terus menghias bibirku walau hatiku menangis."
Dia tertawa ringan. "Gambare!"
Kuberi dia pose tangan kanan terangkat penuh. Menunggu pergantian kerja, aku menyendiri di sudut ruang loker. Kulepas sepatu, menghadap kiblat. Kujatuhkan dahiku sejajar dengan ubin dingin. Dalam sujudku, kupasrahkan semua garis hidupku sesuai kehendak-Nya. "Tuhan, kalau memang Engkau ingin mengambil anakku, tolong beri aku kekuatan untuk menghadapinya."
Semakin malam tamu semakin penuh. Silih berganti laki-laki dan perempuan dalam pakaian pesta. Jas lengkap dan pakaian pesta wanita bertabur perhiasan mengkilap. Musik klasik mengalun perlahan dibawakan grup Band anak-anak muda. Bau harum wewangian tubuh para pengunjung lebur bersama teriakan ceria. Wajah-wajah mereka penuh kebahagian tertawa bersama.
Seperti janjiku pada Shirai san, di wajahku tak nampak sedikit pun kepedihan. Buah hatiku yang sedang meregang nyawa tak mampu meruntuhkan tanggung jawab profesiku. Bayangan Ratna yang sedang menangis sambil memeluk erat Hana tak membuat senyumku berganti kegalauan. Aku melayani para tamu sebaik-baiknya dengan sikap tegap. Wajah terangkat dan senyum terus menghias wajah. Kalau saja piala oscar diadakan saat ini di tempat ini, aku yakin bisa memenangkannya.
Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Dua jam lagi suasana kerja yang menyedihkan akan berakhir. Setelah gelas, piring dan peralatan dirapikan, setelah pintu restoran ditutup, setelah semua pegawai pulang, aku akan menunggu pagi di depan rumah sakit. Kamarku yang dingin bukan tempat yang tepat untuk menanti bergantinya hari. Hatiku sedang labil. Lebih baik kususuri sudut-sudut kota Tokyo sambil berteman kenangan masa lalu daripada membiarkan setan mengusikku untuk kembali menjamah cairan yang memabukkan.
Sesaat kesadaranku hilang dalam gelombang lamunan. Aku berdiri termangu dengan tatapan kosong. Colekan Shirai san di pinggang menyadarkanku. Dia memberiku isyarat dengan menunjuk tamu yang baru masuk.
"Pria asing dan kekasihnya itu meminta kamu yang melayani mereka," bisiknya.
Sepasang pria dan wanita duduk berjarak sepuluh meter dari tempatku berdiri. Seorang pria bule dalam balutan jas lengkap dan seorang wanita dengan baju sepundak duduk berdua saling menghadap. Si wanita duduk membelakangiku. Rambutnya disanggul ke atas, memperlihatkan tengkuk bak pualam berhias kalung emas. Baju putih bermanik kuning serasi dengan kulit pundaknya yang bersih. Tubuh wanita itu bercahaya kala lampu hias yang menggantung di atap menerpa.
Pria asing itu menatapku sekilas, kemudian mengajak teman wanitanya bicara tanpa mempedulikanku. Dia adalah seorang pria bule yang tampan sekira belum tiga puluh tahunan. Hidungnya mancung, rambutnya pendek mengkilap terbalut jelly, kulitnya putih kemerahan. Sekilas dia mirip Tom Cruise saat berlaga di film Top Gun.
Aku bergegas mendekati keduanya dengan daftar menu di tangan. Saat berdiri di antara mereka, sosok wanita itu membuat dua kakiku tak mampu menopang berat tubuh. Jantungku berdetak keras. Aku menyapa mereka sebagai petugas yang akan melayani. Tanganku gemetar saat meletakkan daftar menu di meja. Wanita itu Fujioka Michi! Dia tersenyum sinis melirikku.
Kenangan masa lalu berkelebat. Melintas cepat berganti-ganti. Kerinduan yang pernah singgah di mimpi-mimpiku kembali membekap atas nama masa lalu. Aku mencoba tersenyum. Michi tidak menanggapi. Wajahnya beku setara udara di luar yang meniupkan angin awal musim dingin. Hati kecilku mengagumi penampilannya. Tidak banyak berubah setelah tujuh tahun. Masih semuda saat pertemuan kami dulu. Yang berbeda, saat ini wajahnya terpoles make up tebal. Gincu merah darah, alis kecil panjang bak bulan sabit, bulu mata palsu. Eye shadow tebal warna biru terlihat mencolok menghias kelopak matanya. Sorot mata itu menakutkan saat melirik ke arahku. Dendam yang belum terbayar tersirat jelas.
"What do you wanna eat, Babe?" tanya teman prianya.
"It's up to you, darling," erang Michi manja. Seolah memamerkan kemesraannya padaku.
Sejenak bayang Ratna dan anakku yang sedang bertaruh nyawa lenyap bersama kemesraan mereka. Di relung hatiku yang paling dalam, ada gejolak hangat yang membakar. Tak bisa kupungkiri, aku cemburu. Setelah tujuh tahun berpisah, sisa-sisa cintaku belum hilang sempurna.
Pemuda asing itu memilihkan masakan untuk Michi. Aku menuliskan pesanannya. Pensil di tanganku menggurat kertas, membentuk huruf-huruf yang tak beraturan.
"Ok, First, give me red wine bourbon," pinta Michi.
Aku mengangguk. Pria asing itu memintaku mengulang apa yang dipesannya. Suaraku menghilang entah kemana. Peraturan yang mengharuskan pelayan mengulang pesanan masakan tak mampu kusebutkan. Wajah tak puas tersirat dari wajah putih kemerahan itu. Bule itu mendengus kesal.
Tangan kanan Michi meremas tangan pendampingnya, sementara tangan kirinya memberi isyarat mengusirku. Lamat dia berbisik ke arah kekasihnya. Masih jelas kutangkap kalimatnya. "He's just a stupid asshole."
Lelaki itu tergelak. Hatiku meradang. Kutinggalkan mereka dengan geram. Bayangan anak dan istriku kembali merayap. Kukutuki diri karena membiarkan kenangan masa lalu menggantikan cinta kami. Michi yang dulu telah mati. Wanita yang hadir malam ini hanyalah tamu sombong sok kaya.
Kuminta Shirai san menggantikanku dengan Yayoi. Dia bertanya alasan keenggananku melayani mereka. Aku tak punya alasan pasti. Hanya karena rasa enggan melayani. Pemilik restoran itu menolak keinginanku. Permintaan tamu sudah jelas; memintaku untuk melayani mereka. Tamu adalah raja, titah sang raja harus dilaksanakan.
Tanpa banyak perdebatan lagi, aku kembali mendekati keduanya dengan sebotol red wine bourbon dan dua gelas kosong. Aku berdiri di antara mereka. Ke duanya cekikikan melihatku kikuk meletakkan botol dan dua gelas. Pria bule itu memintaku menuangkan isi botol ke dalam gelasnya, kemudian menyuruhku menuangkan ke gelas Michi. Tanganku sedikit gemetar saat mengangkat botol.
Di tengah red wine meluncur mengisi gelas, sebuah tendangan keras menerpa tulang keringku. Tanpa bisa kutahan aku mengaduh. Rasa sakit yang menyengat tiba-tiba, membuat arah mulut botol berubah haluan. Separuh isinya tumpah di meja, selebihnya mengenai gaun Michi. Cairan warna merah itu terus meluncur membasahi tas hermes yang tergeletak di meja, dan merembet memerahkan sepatu yang tadi mampir di tulang keringku. Keduanya berdiri bertolak pinggang. Aku menunduk dalam-dalam sambil memegangi botol yang isinya tinggal separuh.
"Fuck you! Stupid bastard!" teriak si bule. Jari tengahnya menunjuk tepat ke mukaku.
Dalam sikap ketertundukan, kuucapkan permintaan maaf berkali-kali. Tidak ada mata yang menjadi saksi sepakan sepatu itu di tulang keringku. Tanpa saksi, aku hanyalah seorang tertuduh tanpa pembelaan. Semua mata mengalihkan pandangannya ke arah kami. Si bule terus mengeluarkan sumpah serapah kotor. Segala sampah dan binatang dalam bahasa Inggris meluncur dari mulutnya, sangat tak cocok dengan restoran mewah tempat dia memilih makan malam.
Michi mendelik. Bibirnya ditarik lebar penuh senyum hinaan. Melihat aku dimaki-maki, kepuasan terlihat mencolok di senyum itu. Shirai dan Yayoi berlari tergopoh mendekati kami. Di tangannya terbelit serbet dan tisu. Shirai menundukkan tubuhnya dalam-dalam, berpuluh kali permintaan maaf meluncur dari bibirnya. Sorot matanya tajam menguliti penampilanku yang tetap berdiri tegang. Pandangan itu menyiratkan kalimat "Omae wa kubi da!"
Wanita penendang tulang keringku itu berkacak pinggang sambil mendelik ke Shirai. Wajahnya memerah. Mata kecilnya yang dulu sanggup meluluhkanku itu mendelik. Di sebelahnya, si bule ikut-ikutan berlagak sok.
"Kau tahu berapa harga gaun ini? Tas? Sepatu? Jam tangan?" bentak Michi.
Majikanku hanya menunduk. Dari bibirnya meluncur berkali-kali kalimat permintaan maaf.
Michi melanjutkan gempurannya,"Puluhan juta yen! Aku akan menuntutmu!"
"Maafkan kami, Nona. Pelayan bodoh ini akan kupecat. Tolong ... jangan perpanjang masalah ini," katanya terbata.
"Enak saja katamu! Mau kau pecat atau kau pekerjakan, itu bukan urusanku! Karena kebodohanmu memilih pelayan tolollah kau harus menanggung semua ini!"
"Tolong, Nona ... maafkan kami," rengeknya.
Band pengiring berhenti memainkan alat musiknya. Para pelayan lain terlihat kikuk. Semua mata tamu memandang ke tempat kami, saling berbisik sambil mendengungkan gerutuan. Entah pihak siapa yang mereka bela.
"Tidak ada maaf bagi kalian! Kecuali...." Kalimat Michi tertahan di udara.
Shirai menyambarnya cepat. Laki-laki seusia papa itu melihat sepercik harapan.
"Kecuali apa Nona? Kami akan mengerjakan semua perintah Nona, asal jangan diperpanjang masalah ini." Shirai menjatuhkan tubuhnya bersimpuh di bawah kaki Michi, tangannya menarik aku dan Yayoi untuk mengikuti gerakannya.
Aku ikut bersimpuh di hadapan wanita yang dulu pernah mencintaiku itu. Wanita yang pernah mengandung calon anakku. Yayoi bersungut kesal. Merasa tidak ikut makan buah kesemak, namun kena getahnya.
"Berdiri kalian!" bentak Michi.
Kami mengangkat tubuh. Belum juga kakiku tegak, bentakan Michi kembali menyerbu. "Bukan kamu pelayan bodoh!"
Shirai menekan tubuhku untuk tetap bersimpuh.
Masih dalam nada meledak, Michi menyemburkan perintahnya. "Aku tidak akan menuntutmu. Asal pelayan bodoh ini mau membersihkan sepatuku!"
Teriakan lega terdengar tipis dari mulut kami. Wajah Shirai yang tadi tegang berubah mencair. Dadaku serasa plong. Kalau cuma membersihkan sepatunya saja, tanpa disuruh pun dengan ringan tangan aku akan melakukannya. Yayoi menyorongkan kain pengelap padaku.
"Enak saja! Bersihkan dengan lidahmu! Jilati hingga tidak ada noda anggur yang melekat!"
Gerutuan mengaung berikut desah celaan memenuhi ruangan. Menumpahkan anggur pada tamu memang kesalahan yang besar, tapi menyuruh pelayan yang bersalah itu membersihkan noda tumpahan di sepatu dengan menjilatinya adalah sebuah perintah yang menjijikan.
"Tapi, Nona, ini sudah keterlaluan. Seperti perbudakan," desis Shirai.
"Oh ya? Kita buktikan di pengadilan! Pengacaraku atau pengacaramu yang akan menang!"
"Nona, aku akan memecatnya. Tapi tolong jangan perlakukan dia seperti itu."
Shirai masih sayang padaku. Mungkin dia teringat kebaikan papa dan beban yang sekarang kuderita.
Namun, Michi semakin galak. "Cepaat! Aku tidak punya waktu untuk berdebat!" Suaranya tinggi melengking. Semua tamu kembali menekuni makanan sembari telinga tetap terbuka. Menunggu adegan apa yang akan terjadi.
Shirai tetap tak setuju. Dia berusaha akan menawar lagi. Tetapi tanganku menyentuh kakinya. "Tidak apa-apa. Ini memang kesalahanku. Kalau apa yang akan kulakukan bisa memuaskan hatinya, sanggup membuka pintu maafnya, akan kulakukan."
Suaraku terdengar mantap. Ya! Kalau menjilat sepatu Michi bisa menghilangkan noda di hatinya, sanggup membuat kesalahanku termaafkan, akan kulakukan.
"Jangan banyak bicara! Pelayan tolol sepertimu pantas menerima perlakuan seperti ini!"
Michi menyorongkan sepatu high heel warna putih bersemu merah akibat muntahan anggur merah ke mukaku. Tanpa mempedulikan puluhan pasang mata yang mendelik, tanpa mempedulikan raut wajah keprihatinan Shirai dan Yayoi, aku mendekatkan mukaku ke sepatunya. Bau khas kulit sapi yang tersamak bercampur aroma manis. Mulutku terbuka lebar. Lidahku terjulur. Kujilat semua bagian yang terkena anggur hingga bersih. Debu beserta sisa tumpahan anggur bercampur ludah kutelan lahap bersama kepahitan hati. Lamat terdengar teriakan tertahan dari tamu lain.
Setelah empat kali jilatan, semua noda itu hilang bersama ludahku. Terakhir, kain pembersih kugosokkan cepat membersihkan sisa saliva yang menempel di sepatu itu
Aku berdiri tegak. Mataku menyorot tajam ke muka Michi. Dia tersenyum puas. Teman bulenya tergelak melihat aku menjilati sepatu kekasihnya seolah anjing kurap.
Wanita yang dulu kuanggap berpendidikan itu mendengus kesal. "Huh! Tempat sialan! Tak akan lagi aku menginjakkan kaki di sini!" teriak Michi.
Dia melangkah cepat meninggalkan restoran. Pemuda bule kekasihnya mengikut dari belakang laiknya anjing pudel penjilat tuannya. Sesaat senyap menghimpit. Kemudian teriakan permintaan maaf dan perintah Shirai pada pelayan dan pemusik untuk kembali bekerja seperti sedia kala mengisi ruangan. Semua tamu kembali menekuni makanan. Musik pengiring kembali terdengar. Suasana berganti seperti sedia kala.
Shirai meninggalkan aku yang masih berdiri termangu. Yayoi menarik tanganku, mengajakku ke ruang dalam. Tukang masak, teman-teman pelayan lain berdiam diri. Suasana berubah dingin tanpa canda tawa. Semua masih shock dengan peristiwa yang baru saja kualami. Shirai san tidak kelihatan di antara mereka, meninggalkan kami dengan segenap harga diri sebagai pemilik restoran yang terkoyak.
Suasana yang tidak menentu membuatku enggan melanjutkan pekerjaan pelayanan hingga selesai. Aku menunggu hingga jam kerja berakhir. Tidak banyak yang bisa kuperbuat kecuali mencuci piring dan membantu membereskan peralatan masak. Pertemuan tak terduga dengan Michi berikut penampilan dan perlakuannya padaku tumpang tindih dengan kilasan masa lalu.