Chereads / ai (LOVE) / Chapter 38 - BAB 38 ; Kasih Tuhan

Chapter 38 - BAB 38 ; Kasih Tuhan

Tapak kakiku melangkah gontai menyusuri jalan kota Shibuya. Aku menengok ke atas, mencari letak lantai restoran "American Shirai" berada. Kaca besar yang melingkupi gedung pencakar langit tempat restoran itu berada telah redup. Aku tidak tahu apakah besok Shirai masih mau menerimaku bekerja lagi. Udara malam yang dingin berkibar menyentuh kulit wajahku tanpa cambang. Menyapu rambutku yang mulai memanjang. Kueratkan kancing jaketku. Dua tangan kumasukkan ke kantong jaket, berjalan lemah menuruti arah kaki melangkah. Otakku kosong. Kejadian hari ini membuat separuh jiwaku melayang entah kemana.

Masih jam sepuluh malam. Kendaraan lalu lalang tanpa henti bergumul dengan sirine ambulan dan mobil polisi. Laki-laki dan perempuan dalam balutan kemeja kerja berjalan cepat ingin segera tiba di tujuan. Mereka bergegas menghindar dari sengatan udara beku, berkelit dari segala tetek bengek pekerjaan yang menekan. Dalam pelan langkahku, bayangan Hana yang mendekati ajal, bayangan Ratna yang terkulai oleh kesedihan, bayangan keindahan gunung Bromo yang tak akan sama lagi bila aku kembali tanpa keluarga utuh, melintas bergantian. Sesekali bayang Michi ikut menyela.

Setelah kutemukan kedamaian dan kebahagian di lembah pertanian, bertahun-tahun sosok Michi menghilang bersama turunnya matahari di ufuk barat. Kini, sosok itu kembali menghantui. Jejak masa lalu mengiringi langkahku. Kugoyangkan kepalaku mengusir bayangan mantan kekasihku itu, kuganti ia dengan orang-orang yang kucinta.

Seratus meter berlalu meninggalkan gedung "American Shirai", di sebuah ujung jalan yang akan memasuki gang sempit, sebuah Mercedes Benz warna hitam dengan kaca gelap memotong langkahku. Terkejut aku bergerak menghindar ke samping. Instingku merasakan bahaya. Otakku bergerak cepat.

Bertahun yang lalu, aku pernah merasakan sakitnya tulang rusuk patah dan memar di sekujur tubuh. Saat itu aku dikelilingi banyak orang yang membenci perbuatanku. Kali ini, tidak ada kejahatan dan perbuatan tercela yang pernah kulakukan semenjak kakiku menapak Jepang. Kutentramkan hatiku. Kurapal doa-doa pendek yang kuhapal.

Laki-laki tinggi besar dalam balutan setelan jas dan bertopi baseball itu keluar dari balik pintu mobil. Dia berdiri tepat di hadapanku. Menghadangku. Menatapku tanpa kata. Sorot matanya tajam, dingin tanpa ekspresi. Aku mencoba tersenyum mencairkan suasana. Dia tidak membalas. Mulutnya mengatup rapat. Terlihat jelas dia sedang tidak ingin bercanda.

Dalam keremangan malam dibantu sorot lampu mobil yang melintas, otakku mengenali wajah itu. Ya, sekian tahun yang lalu, dialah yang mengantarku ke rumah sakit setelah mengancam akan meremukkan kepalaku. Belum juga aku bereaksi, kaca mobil bagian belakang itu terbuka. Suara wanita terdengar dingin penuh nada perintah. "Masuk! Kami tak akan menyakitimu."

Kepala Michi menyembul dari balik jendela mobil. Matanya terlindung kaca mata hitam walau hari gelap malam. Setelah kujilati sepatunya, masih kah dia belum puas merendahkanku? Ingin mengambil nyawaku?

Kuputuskan mengikuti perintahnya. Dari nada kalimat yang kutangkap, tidak ada ancaman yang perlu dikhawatirkan. Sopir merangkap tukang pukul itu membuka pintu belakang. Michi bergeser ke samping memberiku ruang duduk. Kuhempaskan tubuhku ke jok empuk di sampingnya. Tanpa menungguku memakai seat belt, tatkala pintu tertutup, mobil terbaru keluaran Eropa itu melesat membelah malam. Berlari zigzag, bergerak liar di antara mobil lainnya.

Interior Benz S-500 itu sangat mewah. Ruang dalamnya luas, cukup memberi ruang bagi kami untuk tidak saling berdekatan. Instrumen musik Rhapsody in Blue mengalun. Michi sudah berganti pakaian. Gaun pestanya berganti celana jeans dipadu baju merah lengan panjang. Sepatu kulit tanpa hak membuatnya lebih santai. Riasan wajahnya tipis tanpa bulu mata dan eye shadow. Bahkan pelapis bibirnya sudah berganti dengan warna pink tipis serasi dengan kulit warna kulit pipinya yang ranum. Dia terlihat lebih natural. Seperti Michi yang kukenal.

"Maafkan sikapku tadi." Michi memecah kebuntuan.

Aku menggeleng. Pandangan kuarahkan keluar menembus jendela kaca yang terbalut warna hitam pekat. Aku menikmati mobil dan keramaian lalu-lintas tanpa mempedulikan permintaan maafnya. Mata sopir nyalang ke depan. Tangannya menggenggam erat kemudi, kaki kanannya menginjak gas stabil.

"Tulang keringmu masih sakit?"

Mataku beralih ke arahnya. "Tidak sesakit yang di sini." Tanganku kuletakkan di dada.

Michi tertawa sengau. "Sepakanku di tulang keringmu untuk pencurian data perusahaan, sedangkan jilatanmu di sepatuku untuk pengkhianatan cinta kita."

Aku membalas kalimatnya dengan tawa pahit." Ya. Kesalahanku adalah mencuri datamu. Tapi, aku bukan pengkhianat cinta. Aku sungguh mencintaimu waktu itu."

"Waktu itu? Sekarang cinta itu sudah lenyap?" Michi mendengus keras. Tekanan suku kata "Waktu itu" membuatnya berang.

Tidak kutanggapi kegusaran mantanku itu. Karena cintaku padanya memang sudah tergantikan cinta istriku.

"Bukankah kau sudah punya kekasih baru?"

"Siapa?"

"Bule tadi."

"Peter? Anak muda yang tadi menemaniku di restoran?"

Aku mengangguk.

Michi tertawa keras. "Dia hanya anak muda yang kutemukan di bar gaijin"

"Sialan!" umpatku pelan. "Kau sendiri yang memintaku untuk menghilang dari Negeri ini."

"Sementara! Bukan menghilang selamanya!"

Kudenguskan tekanan di hati perlahan. "Setelah kedatangan ayahmu, aku terus mencarimu. Segala rintangan kuhadapi tuk sekedar bertemu denganmu. Justru kau menghindar. Hingga tukang pukulmu itu mengancamku untuk tidak mendekatimu." Kepalaku mendongak ke arah sopir. Laki-laki yang pernah akan membunuhku itu tidak menanggapi. Mata dan tangannya terus fokus ke depan.

Sorot lampu mobil dari depan membuat wajah Michi terlihat jelas. Aku mengarahkan mataku ke wajahnya, mencari mata yang pernah berbinar saat menatapku. Saat kutemukan, aku berbicara langsung ke mata itu. "Aku memang bukan lelaki yang baik. Waktu itu banyak wanita yang pernah singgah dalam petualangan cintaku. Tapi, aku tidak main-main dengan perasaanku padamu. Aku sungguh mencintaimu."

"Kalau kau benar-benar mencintaiku, kenapa kau kawin dengan wanita lain?"

Serasa disengat ribuan kalajengking, detak jantungku berhenti berdegup. "Ba—bagaimana kau tahu?" tanyaku gagap.

Hari ini adalah pertemuan pertama kami. Tidak mungkin dia tahu secepat itu tentang keadaanku. Wanita yang duduk di sampingku tertawa sengau penuh kemenangan. "Satu minggu yang lalu, temanku memberitahu kalau ia bertemu denganmu di restoran itu. Aku penasaran. Kucari informasi tentang keberadaanmu. Tidak terlalu sulit. Kau menikah dengan orang asing, dan saat ini anakmu sedang sekarat di rumah sakit."

Jantungku serasa dipukul palu mendengar setiap kalimat yang meluncur dari bibir Michi. "Jadi ... peristiwa di restoran tadi?"

Michi tergelak. "Ya. Aku hanya ingin menghukummu. Seperti kataku tadi, sepakan dan jilatan di sepatuku adalah hukuman yang layak untukmu."

Aku menggeram. "Puas?"

"Belum. Masih ada lagi," kata Michi dingin.

Detak nadiku berubah cepat. "Apa lagi?"

"Aku akan menjelaskannya di sana."

Dia menunjuk tempat yang tak asing lagi bagiku. Tujuh tahun yang lalu, aku membuatnya terpana. Membuat wanita di sampingku itu bertekuk lutut. Mobil berhenti tepat di depan pintu pub yang sepi. Hanya ada dua-tiga pasang laki-laki dan wanita masuk ke dalamnya. Pub "Rakuen" tidak seperti tujuh tahun yang lalu. Saat akhir pekan seperti ini, pada jam di atas sepuluh malam, gelombang manusia berpasangan akan membanjiri tempat ini. Suara hiruk pikuk gebukan drum beserta cuitan sound system meluber ke halaman.

Seperti di rumah sendiri, Michi melangkah mantap. Dua petugas pembuka pintu mempersilahkan kami masuk. Michi melenggang bebas. Aku menyusulnya dari belakang. Tidak seperti tujuh tahun yang lalu, bukan dentuman live music yang menyambut. Hanya alunan musik klasik lirih dari sebuah recorder yang disambungkan dengan speaker yang menggantung di setiap sudut. Meja kursi, counter bar masih sama seperti yang dulu. Hanya saja dekorasi dindingnya kini mengelupas tanpa perbaikan. Sejumput kesedihan merayapi. Pub kebanggaanku ini sedang sekarat tergerus perubahan jaman.

Kami melangkah menuju counter bar. Pemiliknya masih tetap sama. Yang beda, ia terlihat menua sebelum waktunya. Rambut kuncir kudanya memutih. Kaca mata minus tebal bertengger di hidungnya.

Wakayama memicingkan matanya menyambut kami. "Konban wa, Fujioka san,"sapa Wakayama.

Michi membalas salamnya. Mata keriput itu terbelalak mendapati siapa pengunjung yang berjalan bersama Michi.

"Kazuki kun?! Lama tak jumpa! Sehat kah?"

Kuterima sorong jabat tangan Wakayama. "Sehat! Bagaimana denganmu?"

"Seperti yang kau lihat, aku semakin menua! Ha ha ha." Tawa keras pemilik pub mengalahkan alunan musik. Dia melanjutkan, "Silahkan, silahkan! Seperti jaman dulu kah? Pesta semalam suntuk?"

Aku menggeleng. Michi memesan wine satu botol. Aku meminta diet coke. Wakayama menatapku aneh. Tanpa bertanya dia meletakkan minuman yang kami pesan di meja bar. Michi meraih botol dan gelasnya. Kubawa sendiri minumanku. Kami mencari tempat duduk di pojok terpisah dari keramaian. Lampu sorot di atap cukup menerangi tempat duduk yang kami pilih. Kali ini bukan sebuah momen untuk berasyik-masyuk.

"Kau tidak minum?" tanya Michi. Dia mengucurkan sendiri anggur dari botolnya, menuangkannya ke gelas di hadapannya hingga penuh.

"Aku sudah tidak minum-minuman keras lagi sejak menikah."

"Waow, Kazuki tanpa alkohol layaknya ikan tuna di air tawar."

Aku tertawa ringan membalas sindirannya. Michi mengangkat gelas berisi wine penuh, mengarahkannya ke arahku. Kutetak gelas itu dengan botol diet coke.

"Untuk masa lalu."

"Ya, untuk masa lalu," ulangku.

Seperti minum air putih, dia menggelontorkan isi gelas penuh itu hingga habis. Dalam sekali tarikan nafas!

Kusesap manis gula diet minuman bersoda sambil menggelengkan kepala melihat cara dia minum.

"Huuuh ... nikmat nian. Kau yakin tidak mau?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk tegas meyakinkannya. Sedikit pun tidak ada lagi keinginan untuk membasahi kerongkonganku dengan minuman yang dulu pernah mengakrabi hidupku itu.

Michi kembali mengisi gelas. Kali ini setengahnya. Dia membuka tasnya, mengeluarkan rokok dan korek api. Dia memantik api dan menghidupkan sigaretnya. Menghisap dan memasukkan seluruh asap ke dalam paru-parunya, kemudian menghembuskan keras asap itu keluar dari mulutnya seolah menghempaskan beban berat yang menekan hatinya.

"Tidak minum, tidak merokok, bekerja keras. Apakah seperti itu seorang laki-laki jika sudah menikah?"

Tawaku terdengar sumbang bergelut dengan kepulan asap rokok dari bibirnya. "Tidak juga. Tergantung pribadi masing-masing."

Michi kembali menghisap rokoknya, mengepulkan asap yang sebentar ditahan di dada itu. "Kau tahu, pub ini menjadi tempat kunjungan tetapku di saat aku ingin sendiri. Di tempat ini tidak ada orang yang mengenalku. Aku bebas menikmati kesendirianku"

Kuarahkan pandanganku berkeliling. "Ya. Tempat yang tepat untuk menyendiri."

Wanita di depanku menyusul kalimatku dalam nada getir. "Selain itu, aku berharap suatu ketika bisa menemukanmu di tempat ini."

Michi mengangkat gelasnya lagi, menghabiskan wine isi setengah itu, kemudian mengisinya lagi hingga penuh. Belum juga minuman bersodaku habis, wanita yang dulu pernah mengisi mimpi-mimpiku itu menenggak kembali isinya hingga tanpa tetes tersisa. Gila! Satu botol wine tandas dalam tiga kali tenggak. Michi melambaikan tangan ke arah pelayan. Jari telunjuknya teracung, meminta satu botol lagi.

"Kau kuat sekali minum."

"Siapa dong gurunya?"

Aku tersenyum pahit. Dia tergelak.

"Kau kabur ke Amerika," kataku mengalihkan rasa bersalahku telah membuat seorang wanita larut dalam kebiasaan buruk.

"Ya. Menghilang sementara sampai permasalahan reda. Dua tahun aku di sana, kemudian kembali lagi kesini. Kutiti karir lagi dari awal sambil menyusuri jejakmu yang lenyap ditelan bumi." Michi menyemburkan kepulan asap kea rah samping. "Kemana saja kau selama ini?" lanjutnya.

Pelayan wanita membawa sebotol wine putih dan gelas baru. Ia bermaksud menuangkan isi botol seperempat saja, tapi Michi meminta memenuhi gelasnya. Dia menyesap pelan kali ini. Menunggu ceritaku.

"Setelah peristiwa itu, aku pergi meninggalkan Jepang seperti yang kau inginkan di video itu."

Mata Michi mengerjap. Ingatannya berusaha memilah peristiwa terakhir sebelum kepergiannya ke Amerika.

Aku meneruskan ceritaku, "Mulanya aku tidak tahu harus kemana. Tapi, percakapan kita terakhir di tempat tidur membuat langkahku berlabuh ke sana. Ke Pualu Bali, Indonesia. Kemudian melanjutkan perjalananku ke Mount of Bromo."

"Oh ya?" Mimik wajah wanita di depanku itu berubah-ubah kala mendengar cerita masa lalu kami. Dagunya yang runcing ditahannya dengan tangan kanan, sementara jemarinya menggapit rokok yang mengepulkan asap.

"Aku menemukan tangga surga itu. Menaikinya, melantunkan harapanku di kawahnya. Kususuri lautan pasir berkuda sambil membayangkan kau duduk di atas pelana bersamaku."

Michi menatapku lekat. Sorot matanya berbinar seperti dulu. Seperti saat aku membuatnya jatuh cinta. Serasa melayang-layang ke awan. Namun hatiku teriris sembilu kala ceritaku selanjutnya menarik jiwa itu kembali ke alam nyata. "Takdir berkata lain. Di saat aku galau dan terpuruk, seorang wanita di lereng gunung sanggup menyembuhkannya. Aku menikah dengannya, dan dikarunia satu anak."

Seolah terlempar dari angkasa, Michi menggelepar. Tawanya meledak. Realita kehidupan membuatnya terbahak parau. Dia mendengus keras. "Huh! Lelaki di mana saja sama! Tak bisa memegang cinta!"

Kepulan asap yang keluar dari bibir tipis itu disorongnya dengan wine. Rokok yang masih belum habis dimatikan ke asbak dengan geram. Michi telah kembali ke jati dirinya yang sekarang. "Kita sudahi bicara cerita masa lalu! Kembali ke bisnis!"

Ya! Tidak ada yang personal. Semua bisnis belaka. Harusnya aku tahu itu sebelum menguak masa lalu kami.

"Anak perempuanmu sakit leukemia, dan tidak ada donor yang cocok. Bagaimana keadaan dia sekarang?" Tanya Michi tanpa tedeng aling-aling.

Hatiku mencelos. Tentu saja wanita ini tahu semua alasan kedatanganku kembali ke sini. Alih-alih bertanya bagaimana dia bisa mendapatkan informasi itu, bayangan Hana yang lemah dan menunggu waktu "Pulang" membuatku terdiam. Wajahku keruh.

"Dia meregang nyawa. Hanya menunggu waktu jika tidak ada keajaiban...."

"Bagaimana bila aku bisa menolongmu mencarikan donor yang tepat?"

Kudongakkan kepalaku. Kucari kesungguhan kalimat wanita itu di bola matanya. Michi balik menatapku. Tidak ada sorot ejekan dan candaan.

"Aku berhutang nyawa untuk itu. Apa pun sanggup kulakukan untuk mendapatkan donor itu," jawabku tegas.

Bibir tipis yang dulu sering kukecup itu tertarik lebar. "Aku telah menemukan donor yang cocok untuk anakmu!"

Serasa disambar geledek, tanganku gemetar. Tubuhku serasa dialiri ribuan wat listrik hingga semua pori-porinya terbuka. Secercah harapan menyembul dibalik semua keputusasaan. Dibalik selarik dambaan, sebuah rasa sangsi bergelayut.

"Tolong katakan, kau sedang tidak ingin mempermainkan aku, kan? Bagaimana kau tahu data laborat anakku?"

"Uang, kuasa, koneksi! Tidak sulit mengetahui segala informasi tentangmu."

"Dengan melanggar kode etik kedokteran?"

"Sama seperti yang kau lakukan tujuh tahun lalu! Melanggar kode etik cinta!" bentaknya.

Tak kuhiraukan cercaannya. Keselamatan anakku lebih utama dari pada kode etik apa pun di dunia ini. Kukejar sepercik harapan yang terlontar dari mulutnya.

"Tentang sang donor itu, kau yakin dia donor yang tepat? Sudah ada hasil tes HLA?"

"Semuanya. Dia adalah donor yang dibutuhkan anakmu."

Mataku lekat menatap mata Michi, mencari sedikit saja kebohongan yang terlintas di mata itu. Tatkala kutemukan sorot mata itu memantulkan kejujuran seperti pantulan sorot matanya saat mengungkapkan cinta, kujatuhkan tubuhku di hadapannya. Kupegang kedua tangannya. Detak jantungku menguat hingga serasa membuat dadaku meledak. Harapan, asa, haru, dan doa berbaur jadi satu. Tangis tak bisa kutahan lagi. Membayangkan anakku kembali sehat sanggup kutukar dengan nyawaku sekali pun.

"Tolonglah anakku! Aku akan melakukan apa saja untukmu. Kalau kau masih dendam dan ingin membunuhku, aku ikhlas menerimanya. Ambil nyawaku, tukar dengan nyawa anakku!" teriakku tertahan.

Tanpa mempedulikan sekeliling, aku merengek, menghiba, menangis ke haribaannya. Kepala Michi bergerak berkeliling. Wajahnya memerah saat sepasang kekasih yang duduk tidak jauh dari tempat kami berusaha ingin tahu apa yang sedang terjadi.

"Kembali duduk ke tempatmu!" desisnya. Aku tetap bergeming. Tak akan aku bangkit demi nyawa anakku.

"Kau seperti anak kecil saja! Lagi pula, aku tak butuh nyawamu. Bagiku kau telah mati!" bentaknya dengan nada rendah.

Kuseka mataku agar pandanganku tidak kabur. Kuturuti perintah wanita penggengam asa anakku itu. Aku kembali duduk sambil menekuri gurat kayu yang menghias meja. Aku tahu sejak awal, wanita yang duduk di hadapanku ini bukanlah Michi-ku yang dulu. Tidak ada makan siang gratis. Aku harus membayar lunas berikut bunganya jejak masa laluku.

"Apa yang bisa kulakukan untukmu? Katakan, aku akan melakukannya."

Michi tersenyum penuh kemenangan. Ia menyuruh kepalaku mendekat sementara. Bibirnya di dekatkan ke telingaku. Suaranya ditahan agar tidak terdengar oleh pengunjung lain. "Aku ingin kau mendapatkan data keuangan dan segala informasi tentang bisnis Yonekura Corporation. Dari selentingan kabar, kakakmu itu melakukan bisnis ilegal. Aku ingin menghajarnya. Tapi aku tidak punya bukti. Tugasmu untuk mendapatkan bukti itu."

Kuanggukan kepalaku seketika. Aku tak tahu apa yang sedang dimaksud wanita ini. Tanpa pikir panjang kusanggupi permintaanya. Aku tak tahu bagaimana cara mendapatkannya. Otakku terus berkelindan akan Hana yang sedang meregang nyawa. Yang terpenting anakku mendapat pengobatan terlebih dahulu. Selebihnya akan kupikir berikutnya.

"Kamu hanya punya waktu dua minggu. Dari informasi yang kudapat, pertengahan bulan ini Hiroshi akan menjual banyak sahamnya. Dia juga berusaha menghilangkan jejak pembukuannya. Ingat! Waktumu tidak banyak."

"Tapi, anakku juga tidak punya waktu. Bila menungguku mendapatkan data itu, aku takut semua akan terlambat."

Michi tertawa sengau. "Setelah kau sanggupi permintaanku hari ini, besok aku akan membawa sang donor untuk melakukan tes lagi. Memastikan kecocokannya secara formal. Setelah data dan dokumen itu selesai, transplantasi akan segera dilakukan."

"Terima kasih. Aku sanggup!"

Kuyakinkan wanita ini agar bisa mengobati anakku, walau separuh hatiku tidak yakin bagaimana aku bisa mendapatkan data itu. Mata elang Michi menangkap kegamanganku.

"Entah bagaimana caramu, kau harus bisa mendapatkan data itu!"

"Bagaimana bila gagal?"

Sorot mata Michi berubah tajam penuh ancaman. Bibir tipis yang dulu sering kurindukan itu menyeringai menakutkan. Sejak pertemuan pertama di restoran hingga kini, aku tahu dia bukan lagi Michiku yang dulu. Dia berubah. Aku pun berubah. Bagi kami, hubungan masa lalu sudah mati. Yang tersisa pada pembicaraan kali ini hanyalah soal bisnis. Dan, kegagalan dalam bisnis pasti mengandung risiko.

"Bila kau tidak berhasil mendapatkan data itu, atau kau terlambat mendapatkannya setelah Hiroshi selesai dengan bisnis gelapnya, istri dan anakmu tak akan bisa lagi menemanimu di dunia ini," jawabnya dingin.

Sebelum aku bereaksi, ancaman Michi semakin menjadi-jadi. "Kamu? Kami tidak akan membunuhmu. Akan kubiarkan dirimu hidup menanggung bayang kematian orang-orang yang kau cintai. Aku yakin, kau tidak akan sanggup menerimanya. Karena akan sangat-sangat menyakitkan."

Diakhir ancamannya, Michi tertawa sengau. Hukuman yang dijanjikan saat di mobil tadi terlontarkan. Hari ini, Michi benar-benar menagih dendam masa lalunya. Dan aku harus membayar itu lunas berikut bunganya.

Michi menekankan kata "Kami". Artinya dia tidak sendiri. Kelebat beberapa tukang pukul keluarga Fujioka saat menghajarku melintas. Mereka, orang-orang di belakang Michi, telah mengatur semuanya. Aku hanya pion bagi permainan mereka. Kebencian merebak menggantikan sisa-sisa kerinduan yang selama ini tertidur. Seperti yang telah dikatakan wanita ini, baginya aku telah mati. Sekarang saatnya bagiku membunuh Michi dari sisa masa laluku.

Aku menggeram marah. "Baik! Kupastikan padamu, aku tidak akan gagal!"

Michi bernafas lega. "Bagus! Lakukan secepatnya. Waktumu sempit."

Dia menyentuh tanganku. Seujumput arus listrik menggugah kenanganku. Untuk pertama kali dalam kurun tujuh tahun kulit kami bersentuhan. Kutolak rasa itu. Telah kutanamkan dalam hati, aku telah membunuh masa lalu kami.

"Berhati-hatilah. Hiroshi tidak akan memaafkanmu bila tahu kau akan mencuri datanya."

"Bagaimana caraku menghubungimu?"

Sekilas percikan kasih semburat di bola mata itu. Aku menyusul dengan penjelasan agar dia tidak salah paham. "Maksudku, jika aku sudah mendapatkan data itu, bagaimana caraku menghubungimu."

Percikan itu segera menghilang. Berganti sorot kekecewaan. Michi mengambil bolpoin dan kertas, menuliskan nomor telepon yang bisa dihubungi, memberikannya padaku.

"Setelah kau mendapatkan data itu, telepon nomor ini. Pakai telepon umum, jangan ponsel. Siapa tahu ponselmu tersadap. Hapalkan. Jika sudah terekam di kepalamu, hancurkan kertas ini."

Kertas yang berisi nomor telepon mengisi dompetku. Aku akan menghapalnya ribuan kali sebelum menghacurkannya.

"Bagaimana dengan sang donor? Siapa donor itu?" Aku harus memastikan sang donor yang disebut Michi bukan bualan semata.

Michi membuka tas, mengeluarkan selembar foto ukuran 2R. Pelan diletakkannya foto itu tepat di depanku. Di foto itu tertulis tanggal tiga hari yang lalu. Terpampang seorang anak kecil memakai seragam sekolah dasar berdiri menatap pemotretnya.

"Namanya Fujioka Kazuki. Anakku. Aku memberi nama seperti nama bapak biologisnya."

Dunia serasa berputar. Belakang kepalaku berdenyut keras seperti telah menghabiskan berliter-liter minuman keras. Mendadak telingaku seperti tuli. Dua kali dalam rentang beberapa menit mendapat berita mengagetkan, membuatku seperti disambar petir. Jiwaku terganggu. Otot punggung, perut, dada, berdetak bersamaan menimbulkan nyeri tak terkira. Satu lagi tekanan berat menindih, aku yakin jiwaku akan terguncang selamanya.

Tanganku gemetar memegang foto itu. Mataku meneliti inci demi inci wajah anak kecil itu. Akulah anak kecil itu. Dia dan aku adalah dua manusia beda usia yang terperangkap di jaman yang sama.

Kutatap Michi. Kutuntut penjelasan darinya. "Kk—kau bilang waktu itu akan mengugurkan kandunganmu...."

Michi mendengus kesal. "Aku bukan monster tanpa hati! Aku mencintai benih yang kau tanam di kandunganku seperti aku mencintaimu. Walaupun kedua orang tuaku menolak, aku tetap mempertahankan anakku. Untuknya kupertaruhan hidupku. Aku meregang nyawa melahirkannya sendirian di Negeri asing."

Kelebat bayangan Michi melahirkan anak kami dalam kondisi sendiri, kesepian, dan patah hati, mengoyak seluruh kebahagian yang pernah kureguk bersama Ratna. Hatiku berdarah-darah membayangkan anakku membuka mata untuk pertama kalinya tanpa sosok papa di sampingnya. Tanpa bisa kutahan air mataku mengalir pedih. Kutahan suaraku agar tidak merintih saat bertanya tentang anak laki-laki yang hanya bisa kulihat lewat foto setelah bertahun-tahun kuanggap dia mati sebelum dilahirkan.

"Dia bersedia mendonorkan sebagian sumsumnya?" isakku tertahan.

Michi mengambil foto itu dari tanganku. Dia mengeser tempat duduknya mendekati tempat dudukku. Berdua kami melihat foto itu seperti keluarga bahagia yang sedang membicarakan anak kesayangannya.

"Dia hebat sekali. Aku menceritakan padanya kalau ada seorang anak kecil sedang sakit keras dan membutuhkan pertolongan. Membutuhkan darah yang tepat untuk menolongnya. Sebelum aku memintanya, dia mengajukan diri. Hatinya suci, penuh empati pada sesama," terang Michi.

Isakku semakin keras tak tertahan lagi. Darah dagingku yang tak pernah tersentuh kasih sayangku bersedia menjadi penolong anak kecil yang tak pernah ditemuinya. Aku bangga sekaligus bersyukur anakku tumbuh menjadi calon manusia yang bisa dibanggakan. Aku menatap Michi dengan pandangan memohon.

"Bisa kah aku...."

Sebelum aku meneruskan kalimatku, Michi memotong dengan kalimat yang tajam. "Singkirkan pikiran itu dari benakmu! Baginya, kau telah mati!"