Your children are not your children
They are sons and daughters of Life's longing for itself
They come through you but not from you
And though they are with you yet they belong not to you
(Anakmu bukan hak mutlakmu
Mereka darah daging kehidupan yang rindu diri sendiri
Kamu melahirkannya, tetapi bukan berasal darimu
Walau bersamamu, namun bukan milikmu)
(Khalil Gibran, On Children)
****
"Papa, mizu," rengek malaikat kecilku.
Tanganku lemah meraih gelas kecil berisi air, mendekatkan pada bibir mungilnya. Aku mengangkat pelan kepalanya dengan tangan kiri, tangan kananku menuntun sedotan plastik ke mulutnya. Rambut hitam legamnya bergerak terangkat. Dia menyereput pelan. Bibirnya yang pucat menghisap air itu hampir tanpa tenaga.
"Yukkuri nonde, ne"
Tiga, empat, kali hisap dia menggelengkan kepala. Hana-ku merebahkan kembali kepalanya dengan lemah. Mata bulatnya terbuka setengah, kemudian tertutup. Bulu matanya yang lentik merapat. Gadis kecilku itu tenggelam pulas dengan nafas berat.
Aku meletakkan punggung tanganku ke dahinya. Panas membara. Kulit putih wajahnya pucat pasi, sedangkan selang infus menancap di pergelangan tangan kanan. Tetes demi tetes cairan yang terdapat dalam kantong plastik yang teronggok diam di sebelah tempat tidurnya mengalir pelan. Menyelesup ke urat nadi, terbawa dalam aliran darahnya.
Dia sesekali mengerang kesakitan dalam mimpinya. Wajah tanpa dosa yang terbaring lemah di tempat tidur itu membuat seluruh kekuatan yang kumiliki tergadaikan. Ingin kugantikan tempatnya, membiarkan tubuhku yang sudah letih dalam kubangan umur kehidupan ini menerima segala penyakit itu.
Kudekap pelan tubuh anakku. Kucium lembut kedua pipinya. Air mata yang sedari tadi kutahan merembes pelan membasahi pipi mungil itu. Aku tak sanggup melihat pemandangan di depanku. Kuhapus cepat air mataku sebelum menetes ke wajah Hana dan membuat mimpinya terganggu. Beban berat menekan dadaku, menghimpit ketat seluruh organ dalam tubuhku, membuat darah mengucur dari setiap pori-poriku yang terbuka. Penderitaan dan kepahitan hidup yang selama ini kuterima tidak sebanding dengan melihat tubuh anakku terdiam dalam sakitnya.
Dalam usianya yang baru menapaki lima tahun, Hana harus berkutat dengan Acute Lymphoblastic Leukemia ( ALL ), Leukemia Lifositik Akut, penyakit yang dimulai dari pembentukan awal limfosit di sumsum tulang belakang. Sel-sel utama yang membentuk jaringan limfoid-bagian utama dari sistem kekebalan tubuhnya-terhambat, membuat tubuh Hana berpotensi mengalami berbagai macam infeksi dan serangan penyakit lain.
Sedari kecil, bidadari kecilku ini memang tumbuh lemah. Saat musim diare atau flu, dia gampang terserang. Pun, dia gampang lelah. Badannya ringkih. Demam berkali-kali disertai pembengkakan kelenjar getah bening. Pertumbuhan tinggi badannya pun tidak seperti aku dan ibunya. Untuk ukuran perempuan Indonesia, tinggi Ratna di atas rata-rata. Tetapi, Hana tumbuh perlahan. Berbanding terbalik dengan tumbuh tanaman hasil rekayasa genetika yang sukses dalam setiap ekperimen ibunya.
Terlepas dari segala kelemahan yang dimilikinya, Hana adalah makhluk kecil paling lucu dan menggemaskan yang hadir dalam hidupku. Dia adalah kasih Tuhan yang terlimpah walau masa laluku penuh kebiadaban. Anak semata wayangku itu merupakan bintang di keluarga kami. Celotehnya, tingkah lakunya yang menggelitik tawa, keramahannya, membuat dunia kami berpendar saat bersamanya.
Enam tahun lalu, pernikahanku dengan Ratna berlangsung sederhana. Hanya dihadiri kerabat dekat, tetangga, dan tetua adat. Selepas pernikahan, kami berkutat dengan dunia pertanian. Bulan madu kami adalah menyiangi kol, dan memanennya bersama. Tempat pariwisata kami adalah lereng pegunungan sembari menyulam kol yang terkena hama. Kebahagian kami adalah melihat tanaman tumbuh kembang, kemudian menanti tangan-tangan keluarga kami memetiknya.
Aku menguras sebagian besar tabunganku untuk menambah lahan pertanian. Kubeli peralatan mesin pertanian modern. Berbekal pendidikan yang didapat dari Universitas, Ratna mendirikan laboratorium pertanian kecil. Tempat itu menjadi ekperimen rekayasa genetika tanaman yang sedari kuliah ingin didirikannya. Sisa tabungan kupakai untuk membangun rumah mungil tak jauh dari rumah keluarga, dan membantu masjid satu-satunya di kampung kami sedikit lebih layak.
Sejak senyum bahagia Ratna merebak menyambut kedatanganku kembali, bayangan Michi lenyap bersama kepulan asap gunung Bromo. Mimpi-mimpi burukku terkubur dalam lautan pasir. Bagiku hanya ada satu wanita, Ratna, gadis lereng gunung Bromo dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Serasa hidup di nirwana, kebahagianku datang silih berganti. Berbagai macam tanaman tumbuh sehat hingga dipanen. Harga stabil dari komoditas yang kami jual membuat pundi-pundi keuangan kami juga menggelembung. Sebuah pabrik Jepang menerima hasil tanaman kami dengan puas.
Perusahaan kami kelola bersama secara professional. Misto bergabung sebagai manajer produksi, aku bertugas di bidang marketing, Tuti di bagian keuangan. Ratna, istriku yang tangguh, sebagai pemimpin perusahaan.
Kebahagian kami semakin lengkap ketika Hana, bidadari kecilku yang cantik, muncul menyemarakkan dunia kami. Kuberi dia nama "Hana", dalam bahasa Jepang mempunyai arti "Bunga". Gadis kecilku adalah bunga indah yang tumbuh di antara keluarga. Dia adalah presentasi dari bunga Edelweis, bunga abadi, yang memiliki kandungan hormon etilen yang berperan agar bunganya tidak mudah gugur. Pun, Hana adalah lambang dari bunga "Sakura", bunga khas Jepang yang kadang kala masih menyambangi mimpiku.
Sejak meninggalkan Jepang, tak sekali pun kakiku menapak tanah kelahiranku itu. Perpanjangan paspor kulakukan di Surabaya. Visa kudapatkan di singapura. Ada kemalasan akut yang membelenggu hatiku untuk berkunjung ke sana. Keluargakulah rantai pengikatnya.
Dua tahun lalu Misto naik ke pelaminan. Dia memilih adik kelas sekolahnya sebagai pendamping. Sebagai manajer produksi, dia dalam perintah adiknya. Tetapi, sebagai seorang kakak yang paling tua, kami menghormati kedudukannya. Aku, mantan majikannya saat di Bali, berhormat pada kharismanya sebagai kakak yang sanggup membesarkan dan melindungi adik-adiknya.
Aliman bergabung sebagai anggota besar keluarga kami. Keteduhannya, kesabarannya, kebaikan sifatnya, kepandaiannya dalam bidang Agama, sanggup menaklukkan Tuti yang kekanak-kanakan.
Tiga tahun setelah pernikahan Misto, Aliman dan Tuti menyusul dua kakaknya itu. Berbeda dengan pernikahan kami yang sederhana, pernikahan terakhir anggota keluarga kami dan sahabat terbaik yang kumiliki itu kuusulkan dibuat lebih meriah. Lebih besar. Aliman dan Tuti keberatan. Aku sedikit memaksa, dan memastikan mereka agar tidak khawatir dengan biayanya. Kakak-kakaknya akan bersinergi untuk kebahagian adik yang sangat disayangi.
Alhasil, desa Wonojati seolah berpesta tiga hari tiga malam. Lautan manusia tumpah ruah di sepanjang jalan desa. Ribuan kata selamat, ribuan doa dipanjatkan untuk mempelai. Pengajian, wayang kulit, pesta desa, bergantian mengisi malam. Kami sebagai kakak, berusaha memberikan yang terbaik untuk adiknya. Tuhan sebagai Sang Pencipta menganugerahkan titipan. Enam bulan lalu Dia meniupkan sebuah ruh ke dalam kandungan Tuti.
Hari-hari berlangsung dalam tawa, canda, kerja dan kerja. Kami larut dalam kebahagiaan hingga sebulan lalu, ketika sebuah vonis Tuhan lewat ucapan dokter merampasnya. Hana menderita Leukemia! Dunia serasa terbalik. Langit seakan runtuh. Kebahagian enam tahun yang kami reguk berganti menjadi kesedihan.
Ratna tak henti menangis. Dekapan dan kharismaku yang selama ini sanggup membuatnya tertawa tak berarti lagi. Air matanya kering bak tanaman kol dimakan ulat. Dua minggu menunggu anaknya opname membuat tubuhnya yang dulu semampai hanya tertinggal tulang terbalut kulit. Matanya cekung dengan buntalan besar di bawahnya. Bibirnya yang dulu penuh, berubah pecah-pecah tanpa tersentuh lipstik. Vonis itu juga membuatku lunglai. Aku luruh laiknya edelweis kehilangan hormon etilen-nya.
Ketukan pelan di pintu menggugah anganku. Perawat perempuan berwajah segar membawa seperangkat alat periksa. Dia tersenyum, berkata lembut padaku.
"Waktunya periksa, Pak. Adik sudah makan?"
Aku membalas senyumnya. Mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Dia memakai kembali masker yang tadi menyangkut di dagunya.
"Obatnya sudah diminumkan?"
Kembali aku hanya mengangguk.
Tangan perawat itu cekatan mengganti infus yang sudah habis, memeriksa tekanan darah Hana, kemudian memeriksa derajat panasnya.
"Jam berapa visit dokter, Suster?"
Tanpa menoleh, masih sibuk dengan alat ukurnya, dia menjawab, "Setengah jam lagi." Suster ramah itu mengengok ke arahku. "Ibu juga datang?"
"Istri saya sebentar lagi datang. Dia tadi pulang sebentar untuk mengganti baju. Kenapa?"
"Kata Dokter kemarin, beliau akan membacakan hasil laborat hari ini. Untuk itu Bapak dan Ibu diminta hadir berdua."
"Bagaimana hasilnya?" Pertanyaan bodoh. Tentu saja perawat tak akan memberitahukan karena dia sendiri pun belum tentu tahu hasilnya.
Dalam maskernya dia tersenyum tak menjawab. Dibenahi peralatan medisnya. Setelah mengucap salam, suster itu berlalu dengan menutup pintu perlahan.
Kamar yang kupilih untuk perawatan anakku adalah kamar terbaik di rumah sakit ini. Vip room, sangat berkelas. Kamar berukuran empat kali enam meter, ruang mandi dalam, pendingin ruangan, kulkas, televisi dan tempat tidur untuk penunggu pasien. Sebagai salah satu rumah sakit swasta terbaik di kota Surabaya, kamar ini layaknya hotel bintang lima. Yang membedakan, dokter, obat dan perawatnya lebih mahal dari pelayanan vip hotel berkelas. Aku dan istriku bergantian menunggu Hana. Kami menyewa satu kamar kecil apartemen di sebelah gedung rumah sakit untuk beristirahat. Malam hari hanya diperbolehkan satu penunggu.
Belum juga setengah jam, ketukan di pintu membuatku terjaga. Masih terlalu cepat untuk kunjungan dokter. "Dokter sudah datang?"
Ratna muncul dalam balutan celana panjang coklat dan baju bermotif bunga kuning. Aku ingat, baju inilah yang dipakainya enam tahun lalu saat hari raya. Baju yang membuat dia terlihat sangat cantik di mataku. Kini pun, dalam keadaan tertekan dan kesedihan membekap wajahnya, istriku masih terlihat indah.
"Belum. Mungkin seperempat jam lagi," jawabku serak.
"Bagaimana keadaan Hana pagi ini?"
Aku menghela nafas ringan. Kutatap anakku yang masih terlelap di pagi hari. Nafasnya yang memburu membuat dadanya turun naik. Bentuk wajahnya yang lugu mengingatkanku akan wajah Ratna. Seolah pinang dibelah dua dengan ibunya. Rahang kokoh dengan dagu menggantung, bentuk mata dan alis yang serasi, bibir tipis seksi. Hana tidak memiliki bentuk kemiripan dengan wajahku sama sekali kecuali hidungnya. Aku yakin hidung mancung yang menghias wajahnya itu akan membuat gadis kecilku menjelma menjadi bidadari sungguhan saat besar nanti.
Aku menggeleng lemah. "Masih sama seperti biasanya. Tidak mau makan. Separuh obat dimuntahkannya."
Ratna mendekat. Dia duduk di tempat tidur samping, menatap anaknya dengan ribuan rasa. Bola matanya mulai bergerak perlahan. Terbayang kesedihan nan getir. Aku meremas tangan istriku, memberinya kekuatan.
"Kau cantik sekali dengan pakaian itu. Mengingatkan aku akan gadis tangguh di hari suci. Enam tahun lalu."
Ratna tersenyum, membalas remasan tanganku. Bibir tipisnya yang pucat merekah. Aku senang bisa sedikit menghiburnya.
"Ya. Hari itu Mas pertama kali sholat Ied. Waktu makan sering mencuri pandang ke arahku."
Sejak menikah, Ratna mengganti panggilan untukku. Dia memanggilku "Mas". Mas Kazuki.
"Tentu saja aku tak mampu mengalihkan pandangku. Kalau saja tak ada keluargamu, aku ingin melukismu saat itu."
"Kok melukis?"
Aku menatap langsung ke mata Ratna. "Agar aku bisa menikmati wajahmu sepuasku. Menuangkannya dalam kanvas, mematrinya dalam hatiku."
Ratna tertawa pelan. Dia mencubit punggung tanganku yang ada di genggamannya.
"Gombal. Sudah tua, masih saja suka merayu."
Aku bahagia melihat wajah istriku berubah sedikit cerah. Kesedihan yang tadi membekap sedikit terkuak.
"Awas kalau merayu perempuan lain!"bentaknya manja.
Giliranku tertawa pelan. "Aku mencintaimu, Yonekura Ratna Kumalasari. Sungguh mencintaimu," kataku sambil mendendangkan nada sebuah lagu.
Hana menggeliat. Ratna membuat isyarat pada telunjuk di bibirnya menyuruhku diam. Candaku membuat Hana terbangun. Matanya membuka lebar, senyum merekah menghias wajahnya. Tangan kanannya menggenggam tangan Ibunya, tangan kiri yang terpasang slang infus mencari tanganku. Kusorongkan tanganku. Kucium kedua pipi dan ke dua matanya.
"Papa to mama, nan o hanashi shiten no?" tanya Hana. Suaranya lemah walau bibirnya terbuka. Lidahnya cedal mengucapkan laval Bahasa Jepang.
"Papa to mama wa ne, mukashi banashi o shiteru no. Saisho ni Papa ga mama wo suki ni natta toki,"jawab Ratna.
Mata kecil Hana beralih ke arahku, mencari kepastian apakah aku yang pertama suka dengan mamanya. Aku mengangguk. Mengiyakan.
"Papa to mama wa Hana no koto ga suki?"
"Mochiron suki da yo, sugoku suki," kataku haru.
"Mama mo, Hana chan o sugoku ashiteru," susul Ratna.
Kelopak mata anakku mengedip. Bibirnya tersenyum lebar. Kemudian mata itu kembali terpejam. Kedua tangannya masih erat menggenggam tangan kami. Bibirnya terbuka pelan, "Arigatou. Hana chan mo, Papa to Mama no koto ga suki. Suuugoku suki."
Mulut mungilnya meluncur lembut ungkapan kalimat cinta. Hana kembali terlelap. Suasana menyorongkan keheningan yang sendu. Kami menatap wajah kecil itu sepuasnya.
Sejak menikah, kami sudah berkomitmen akan mendidik anak-anak kami dalam dua bahasa. Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia. Anak-anak akan mendapat pengaruh Bahasa Indonesia di sekolah dan Bahasa Jawa saat bergaul dengan temannya. Agar dia juga sadar bahwa darah Bangsa Jepang juga mengalir dalam darahnya, aku meminta Ratna untuk bicara dalam Bahasa Jepang dengan anak kami. Untuk itu kami saling belajar. Tiap ada kesempatan, aku mengajar Ratna Bahasa Jepang, dia mengajariku Bahasa Indonesia agar lebih fasih. Sesekali menyelinginya dengan Bahasa Jawa.
Sejak Hana bisa bicara, kami sudah mengenalkan kosa kata Bahasa Jepang. Anak kecil memang lebih cepat mengerti dan terbiasa dalam soal bahasa. Seiring waktu, kosa kata yang dimiliki Hana semakin banyak. Intonasinya dalam bercakap semakin mendekati native, walau sesekali muncul nada medok dalam bahasa Jepangnya. Semakin besar dia seperti mesin penterjemah otomatis. Saat bicara dengan kami dia menggunakan Bahasa Jepang. Saat bicara dengan paman, tante, nenek dan keluarga lainya, dia seperti mengubah tombol di otak Bahasanya, mengubahnya menjadi Bahasa Indonesia diselingi Bahasa jawa.
Saat kelurga besar kami berkumpul mesin penterjemah itu sering ngadat. Akhirnya kalimat yang keluar dari bibirnya diubahnya semua dalam bahasa Indonesia. Ketika aku mengingatkan, dia menggeleng kepala. "Mendokusai!" jawabnya kala itu. Aku tergelak.
Ketokan di pintu membuat keheningan terpecah. Perawat wanita yang tadi memeriksa Hana kembali muncul. Dia melangkah perlahan, takut menimbulkan kegaduhan yang membangunkan anakku.
"Dokter sudah menunggu," bisiknya.
Kami meninggalkan Hana sendirian yang masih terlelap. Kuikuti perawat itu meninggalkan ruangan. Lorong kamar Rumah Sakit di kanan kiri menyembulkan rasa aneh. Pintu-pintu kamar tertutup rapat. Sandal dan sepatu menunggu di luar, menyisakan kepedihan bagi pemiliknya. Mereka yang ada di balik pintu itu adalah manusia-manusia senasib dengan kami. Tepekur dalam balut kesedihan menunggu anak, orang tua, atau kerabat yang sedang diuji. Kesehatan adalah salah satu anugerah terbaik dari Tuhan bersanding dengan cinta, kasih, dan kedamaian. Harta benda tak bernilai apa pun tanpa kesehatan yang prima.
Perawat mengetuk pintu yang bertuliskan "Prof.DR.dr. Pramoedya Sp.A". Terdengar suara jawaban suara serak dari dalam. Perawat mempersilahkan kami masuk, kemudian menutup pintu dari luar setelah kami berada di dalamnya. Bau obat dan pembersih ruangan menyergap. Berbeda dengan kamar Hana yang didesain penuh warna, ruang dokter spesialis anak ini penuh kekakuan. Tembok putih tanpa corak, tanpa foto, meja besar dengan top kaca warna hitam. Di atas kaca meja tertulis nama pemiliknya beserta deretan gelar akademisnya.
Di depan meja, dua kursi kosong berpelitur gelap menunggu. Dokter tua itu berdiri, menyorongkan tangan kanannya. Rambut putihnya tinggal beberapa helai menghias kulit kepalanya. Nampaknya otak brilan di dalam kepala itu membuat keriput di seluruh bagian wajahnya meraja lela. Di balik kaca mata tebal, bola matanya menyorot tajam penuh keprihatinan kala menatap kami. Baju putih lengan panjang khas dokter berkibar tertiup pendingin udara yang bekerja keras di ruangan. Aku menerima uluran tangan dokter Pramoedya. Giliran Ratna menyambut uluran tangannya.
Dia mempersilahkan kami duduk. Lengan kursi yang terbuat dari alumunium mengkilat serasa dingin di telapak tanganku. Dokter Pramoedya memulainya dengan basa-basi. Dudukku resah, aku ingin secepatnya mendengar hasil berikutnya. Dia memadamkan lampu ruangan. Projector di sampingnya diarahkan ke layar.
Tanpa menunggu kalimat persetujuan kami, dokter itu membuka penjelasannya. "Ini adalah hasil X-rays dari organ-organ vital anak anda. Ada beberapa fungsi organ yang sudah mulai terganggu."
Tangan dokter Pram mengganti slide lainnya. Layar berganti dengan tulisan dalam bahasa kedoteran, menunjukkan angka-angka yang tak kupahami.
"Ini hasil dari pemeriksaan Cerebro Spinal Fluid yang kami dapatkan dari sample sumsum tulang belakang dan tulang pinggul Hana."
Kemudian dari bibir Dokter tua itu meluncur Bahasa kedokteran yang sulit kupahami. Tentang sistem trombosit, tentang leukosit, tentang klasifikasi sel-sel leukemia menjadi penyakit sel-B atau sel-T, tentang perubahan kromosomal atau molekular pada tingkatan DNA, yang semua itu membuat kepalaku pusing untuk mencerna. Setelah setengah jam berkutat dengan angka dan bahasa kedokteran, dia mematikan layar projector-nya. Menghidupkan lampu di dinding. Dahi dokter itu berlipat. Kaca matanya menurun sehingga kantong tebal di bawah matanya terlihat menggelembung. Wajahnya terlihat lelah untuk pagi yang seharusnya ceria.
"Jadi, apa kesimpulan untuk anak saya, Dokter?" tanyaku. Sebuah kalimat yang seharusnya bisa mempersingkat keterangan panjangnya. Aku hanya butuh itu.
Dokter Pramoedya melipat tangannya di atas meja. Kaca matanya masih menurun. Bola matanya bergantian menatap aku dan istriku. Kulirik Ratna, dia mempunyai pertanyaan yang sama.
"Anak Anda menderita Acute Lymphoblastic Leukemia stadium empat. Plus, ada pembengkakan kelenjar getah bening juga di lehernya. Harus di operasi juga selama proses pengobatan."
"Bisa diobati kan, Dok?" tanya Ratna tak sabar.
"Bisa. Dengan kemoterapi, transplantasi sel punca, terapi radiasi, dan juga imunoterapi. Tapi...."
"Tapi apa, Dokter?"
Dia menghela nafas sebentar, kemudian melanjutkan, "Sel-sel leukemia yang terdapat dalam tubuh anak Anda berkembang dengan sangat cepat dan telah menggantikan sel-sel sehat. Sel leukemia jahat itu sudah terbawa ke aliran darah, ke organ lain dan jaringan. Termasuk ke otak, hati, dan kelenjar getah bening, di mana mereka tumbuh pesat dan membelah. Anak Anda harus cepat ditangani. Semakin lambat penanganannya, semakin pesat sel leukemia tumbuh dan membelah."
"Apakah rumah sakit ini bisa melakukan pengobatan?"
"Bisa, dengan kemoterapi. Tetapi untuk transplantasi sel, kami belum punya fasilitas yang memadai. Dibutuhkan juga donor yang tepat untuk transplantasi."
"Bagaimana tingkat keberhasilan kemoterapi tanpa transplantasi?" susulku.
Dokter itu meremas tangan kiri dengan tangan kanannya. "Seperti saya bilang tadi, sel leukemia anak Anda sudah mengenai banyak organ vital. Sulit hanya dengan kemoterapi. Saya menyarankan transpantasi. Tapi...."
Ya! Sebelum Dokter mengungkapkan lebih lanjut, aku sudah tahu jawabannya. Rumah sakit ini tidak punya fasilitasnya. Kemoterapi hanya menahan, memperpanjang nyawanya, tidak membuatnya sembuh.
"Berapa lama anak saya bisa bertahan?" tanyaku mulai jengkel. Pertanyaan yang sulit, namun membutuhkan jawaban.
"Semua tergantung Tuhan Yang Maha Kuasa. Menurut ilmu kedoteran, dari hasil tes, anak Anda hanya sanggup bertahan dua bulan jika tidak secepatnya mendapat perawatan intensif."
Kalimat Dokter Pramoedya seolah palu hakim mengetuk keras meja. Pemberian vonis dua bulan, walaupun semua masih memerlukan campur tangan Tuhan atas nyawa manusia, tidak urung membuat Ratna meraung. Air matanya luber, membasahi pipi, hidung, dagu, turun hingga membasahi baju. Aku menggeram, mengepalkan kepalan tanganku. Dadaku serasa meledak. Air mata yang akan merembes kutahan sekuatnya. Ikut menangis akan membuat kepanikan Ratna bertambah.
"Apa saran Dokter?" tanyaku serak.
Dia berpikir sebentar. "Anda orang Jepang?"
"Ya."
"Jepang adalah Negara dengan fasilitas dan pengetahuan yang tinggi dalam ilmu kedokteran. Lebih baik Ananda dirawat di sana. Saya pikir kesempatan untuk sembuh Ananda lebih besar bila dirawat di Jepang. Tapi, saya tidak tahu bagaimana prosedur membawa Ananda ke sana."
Saran Dokter Pramoedya seolah oase di tengah gurun pasir. Darahku terpompa, semangatku kembali timbul. Ratna yang tadi bersimbah air mata seolah mendapat energi baru. Dia bangkit dari duduknya, bersimpuh di bawah tempatku duduk. Digenggamnya erat kedua tanganku. Bola mata sayu dan basah itu menatapku lekat.
"Mas, tolong anak kita ... Kaulah harapan kami. Berat bagiku meneruskan hidup ini tanpa Hana...."
Aku menarik tangan Ratna. Kududukkan wanita yang telah memberiku kebahagaian itu di kursi dengan lembut. Kutahan desakan di dada yang semakin membuncah. Kutatap lekat istriku. "Sayang, tanpa kau minta pun aku akan berbuat terbaik untuk anak kita. Jangankan membawanya ke Jepang, ke ujung dunia pun aku akan mencari tempat di mana anak kita bisa sembuh. Tenangkan hatimu. Aku bersumpah, apa pun yang terjadi, aku akan berjuang untuk kesembuhan anak kita."
Ratna menubruk tubuhku. Aku hampit terjengkang dari tempat duduk. Dia mendekapku erat, mencium pipiku berkali-kali.
"Terima kasih, suamiku. Terima kasih."
Dokter Pramoedya berdehem, matanya berkaca-kaca. "Saya berharap Tuan Yonekura segera bertindak. Kita tidak punya banyak waktu. Semakin cepat ananda terbang ke Jepang semakin baik. Apabila ada dokumen yang diperlukan dari rumah sakit ini, segera kami siapkan."
Aku beranjak dari kursiku. Kujabat erat tangan Dokter itu. Berkali-kali kuucapkan terima kasih.
Kami berjalan cepat kembali menyusuri lorong. Di depan kamar, beberapa pasang sandal dan sepatu berserakan tertata rapi. Celoteh gelak tawa terdengar. Tawa Hana berseling dengan tawa lepas tantenya.
Misto dan istrinya, Aliman, Tuti, dan Ibu mertuaku hadir. Pak Manaf dan Bu Aminah juga turut tersenyum melihat kemunculan kami. Aku dan Ratna menyalami mereka satu persatu. Hana duduk riang di tempat tidurnya. Jarum infus yang tertancap tidak menghalagi gerakannya yang menimbulkan kegemasan. Wajahnya terlihat riang mendapat kunjungan dari orang-orang yang menyanginya. Dia tertawa lepas. Dua gigi depannya yang tanggal terlihat jelas. Aku memeluk anakku. Hana memeluk balik, seolah memberiku kekuatan untuk berjuang.
"Bagaimana, Kak?" bisik Tuti.
Ratna memberi isyarat ke Tuti. Diajaknya keluar ruangan. Tuti, suaminya, Misto dan istrinya mengikuti. Aku menemani nenek Hana, Bu Aminah dan pak Manaf bercengkerama menghibur Hana. Di tengah celoteh Hana, teriakan tertahan diiringi jeritan tangis sesenggukan terdengar dari luar kamar. Tuti menangis hebat mendengar penjelasan kakaknya.