Gedung warna putih krim milik Tokyo Medical University Hospital itu menjulang tinggi di antara gedung-gedung lain. Tulisan mencolok di lantai lima membagi gedung itu menjadi dua bagian. Mobil pengantar pasien berlomba dengan ambulan memasuki halaman parkir. Laki-laki dan wanita dalam balutan kemeja putih doker dan perawat berjalan cepat. Untuk sebuah gedung megah di tengah kota, Tokyo Medical University Hospital merupakan bangunan megah, canggih dan sangat sibuk. Sebuah pemandangan yang kontras dibanding penghuni gedungnya. Wajah muram di sela sengguk tangis mengubah wajah gedung menjadi muram. Terletak di Nishi Shinjuku, Tokyo, Tokyo Medical University Hospital menjadi rumah sakit rujukan pasien dari penjuru dunia.
Sesaat setelah roda pesawat mendarat di Bandara Narita, ambulan beserta petugas medis sudah siap menunggu. Kami menemani Hana di ruang belakang ambulan hingga rumah sakit yang dituju. Dokter laki-laki ramah menyambut. Tanpa mengabaikan waktu lagi, Hana masuk dalam ruang observasi. Peralatan medis paling moderen tersambung ke badannya. Selang infus tersambung dengan berbagai mesin, jarumnya menancap erat ke pergelangan tangan bidadariku. Angka-angka di layar monitor penunjuk detak jantung, tekanan darah, jumlah cairan, berkedip tanpa lelah.
Menempati kamar tersendiri, semua yang serba asing bagi anak berusia lima tahun itu membuatnya menangis ketakutan. Kutenangkan gadis kecilku. Kuberi dia semangat.
Setelah mejalani observasi awal, Hana dipindah ke kamar khusus. Tidak seperti kamar VIP Rumah Sakit di Indonesia yang mewah, kamar untuk Hana lebih sederhana. Lebih berukuran kecil. Tidak ada kamar mandi pribadi, tidak ada pula tempat tidur untuk penunggu, kecuali bangku berbantal keras yang cukup untuk menyelonjorkan tubuh. Tentu saja tidak ada guling. Hanya sebuah bantal berisi kapuk keras sekedar penopang kepala. Televisi adalah satu-satunya hiburan yang menemani. Ponsel dilarang pemakaiannya di dalam kamar karena daya jelajah roamingnya dapat mempengaruhi mesin-mesin kesehatan yang terpasang. Dokter dan perawat yang ramah, peralatan yang canggih, pengobatan gratis, membuat kami sangat mensukuri fasilitas ini.
Di malam hari, hanya salah seorang dari kami yang diijinkan menunggu. Aku dan Ratna bergantian menjaga Hana. Untuk malam pertama saja kami diijinkan menunggu berdua. Esoknya, setelah aku dan Ratna menjalani serangkaian tes untuk menentukan apakah sel darah kami sesuai dengan sel darah Hana, aku mencari apartemen sanagt sederhana di daerah dekat rumah sakit.
Namun, tak kunjung mendapat apartemen murah di tengah kota Shinjuku, aku memutuskan mencari tempat yang lumayan terpisah jauh. Sangat berbeda dengan fasilitas dan kemewahan apartemen yang pernah kutempati enam tahun lalu. Tabunganku yang sudah habis untuk investasi lahan perkebunan tidak mencukupi lagi untuk sekedar menyewa apartemen terdekat.
Malam-malam berganti, yang kami tunggu tiba. Hasil tes membuat kami tersedak. Dokter Takayama diam terpekur. Kertas hasil uji laboratorium sel darah kami di tangannya. Sesekali Dokter sekira lima puluh tahunan itu membaca hasil tes HLA anakku, kemudian beranjak mengarahkan tatapannya pada kami berdua. Dia membetulkan letak kaca mata yang tidak bertengger tepat di hidungnya.
"Berdasarkan hasil tes HLA, sel induk Yonekura-san dan Istri tidak cocok dengan sel induk anak Anda."
Kami terpaku. Ratna meremas jemariku. Tanganku gemetar merespon remasannya. Kami sudah mengumpulkan informasi sebanyaknya tentang transplantasi sumsum tulang dan cara pelaksanaanya. Hana memerlukan donor untuk untuk keberhasilan transplantasi, dan donor terbaik adalah anggota keluarga. Pada permukaan sel-sel darah putih terdapat HLA yang merupakan protein, untuk membedakan sel milik donor dan sel milik pasien. Diperlukan tes HLA untuk membedakan sistem kekebalan tubuh.
"Tidak adakah donor yang saat ini mempunyai HLA yang mirip dengan HLA anak saya?" tanyaku.
Dokter Takayama menggeleng. "Kami sudah memeriksa donor yang saat ini terdaftar. Masih belum ada."
"Apa tindakan medis selanjutnya?" lanjutku.
"Sambil menunggu donor dengan HLA yang mirip, kami hanya bisa menjalankan protokol kemoterapi. Tapi...." Dia tidak meneruskan kalimatnya.
"Apa yang terjadi, Dok?"
"Sel jahat leukemia sudah menjalar ke semua bagian organ anak Anda. Tanpa transplantasi, kami takut tidak bisa menyelamatkannya. Kemoterapi hanya sanggup memperlambat saja. Tidak menyembuhkannya."
Ratna menatapku meminta penjelasan. Kemampuan Bahasa Jepang-nya hanya cukup untuk percakapan sehari-hari. Sangat sederhana. Aku menerangkan perlahan apa yang telah disampaikan Dokter Takayama.
"Pasti ada cara lain. Please ... tolong Dokter, selamatkan anak kami. Pasti ada cara lain...."
Istriku menghiba. Merengek layaknya anak kecil. Aku menekan punggung tangan Ratna yang ada dalam genggamanku. Memberinya kekuatan untuk tabah.
"Kami akan terus berusaha. Saat ini hanya kemoterapi, sambil menunggu donor yang tepat," tegasnya.
"Tidak adakah jalan lain, Dok?"
Dokter itu terlihat ragu. Namun, ide sekecil apa pun bisa sangat berguna. Kuanggukkan kepala menyetujui apa pun usulnya.
"Pada suatu kasus, suami istri yang masih muda berusaha mengandung, melahirkan, dan berharap darah tali pusar si bayi cocok HLA-nya."
"Maksud Dokter, kami harus menjalani program untuk mendapatkan bayi?" tanyaku dengan nada meninggi.
Dia menenangkanku. "Itu hanya sebuah contoh kasus," desis Dokter Takayama.
"Apakah bisa menjamin bayi yang akan dilahirkan memiliki HLA yang sama?" tuntutku.
"Tidak pasti juga. Hanya itu yang bisa dilakukan jika tidak ada donor yang sama."
"Misal kami berusaha, apakah anak saya masih sanggup menunggu dengan mengandalkan kemoterapi saja? Bisa setahun, dua tahun."
"Seperti saya bilang tadi, kemoterapi hanya memperlambat sel leukemia yang saat ini sudah menyerang seluruh organ anak Anda. Saya tidak bisa memastikan dia bisa bertahan berapa lama. Menurut perhitungan saya sebagai dokter, Hana-chan mungkin masih sanggup bertahan satu tahun hanya dengan kemoterapi"
Dokter Takayama menekan suku kata "Dokter" pada kalimatnya. Dia bukan Tuhan. Dia hanya manusia biasa yang menerka.
Pipi Ratna bersemu merah. Bukan saat yang tepat untuk mengisi malam-malam romantis di tengah perjuangan hidup-mati yang dijalani Hana. Namun, tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Mencoba segala cara adalah bagian dari ikhtiar.
"Gambarimasu!" bisikku. Jika itu yang harus dilakukan, kami akan berusaha sebaik mungkin. Secepat mungkin.
Dokter Takayama mengangguk. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Dia mengantar kami ke luar, sekaligus memberi semangat.
Empat bulan sejak percakapan dengan Dokter Takayama kala itu, tidak ada tanda-tanda Ratna berbadan dua. Kami sudah berusaha. Tekanan kesedihan dan suasana yang tidak mendukung membuat hormon kesuburannya tidak berjalan dengan baik. Tidak ada jalan lain kecuali kemoterapi sambil berdoa semoga ada donor yang cocok.
Tetapi, bidadari kecilku semakin lemah. Kepak sayap celotehannya semakin meredup. Rambut yang dulu tebal dan panjang habis plontos. Bulu alis dan bulu matanya ikut tergerus. Tubuhnya semakin ringkih. Lemah. Kulitnya yang dulu kemerahan saat tertimpa guyuran sinar matahari lereng Gunung Bromo berubah putih. Pucat pasi. Urat dan otot kebiruan menyembul. Yang tersisa dari gadis kecilku adalah senyum dan ketabahannya menerima rasa sakit kala jarum suntik yang menusuk daging hingga tulang belakangnya.
Tatkala pengobatan sedang dilakukan, aku meringkuk di sudut ruang yang kosong. Menangis sesenggukan membayangkan gadis kecilku berjuang menahan siksa. Setelah proses memasukkan obat ke tubuh, Hana seharian lemas. Tidur merintih. Saat terbangun, dia mual dan muntah. Beberapa jam kemudian setelah obat kemoterapi bereaksi, wajah anakku kembali terlihat ceria walau masih pucat pasi. Dia kemudian berceloteh tentang rasa kangen akan tantenya, om Misto, nenek Misna. Tentang kerinduan bermain di ladang, kerinduan akan makanan kesukaannya. Tentu saja aku juga merindukan kenangan itu. Bergelut dengan lumpur bermandikan guyuran sinar matahari.