Dua bulan sejak kakiku menapak tanah Jepang, aku tidak bekerja. Pemerintah lewat aturan asuransi pengobatan memang menggratiskan seluruh biaya untuk penyakit berat; kanker, jantung, yang mendera anak di bawah usia dua belas tahun. Tapi, untuk biaya hidup, kami diharuskan mencarinya sendiri. Biaya hidup di Tokyo sangat mahal. Harga sewa apartemen di daerah Shinjuku, area dekat dengan Tokyo Medical Hospital, sangat mencekik. Walaupun kami sudah berusaha hemat, biaya kehidupan kota metropolitan menguras habis tabungan kami.
Pasien hanya bisa ditunggu satu orang saat malam hari. Saat siang hingga sore, kami berdua menemani Hana. Ratna memaksa dia yang tidur di rumah sakit. Apartemen hanya tempat untuk mandi dan sekedar istirahat sebentar. Waktu kami lebih banyak terluang menemani si buah hati.
Dua bulan lalu, kuputuskan untuk bekerja hanya di malam hari. Tidak banyak pilihan pekerjaan yang bisa kulakukan di tengah krisis ekonomi yang sedang melanda Jepang. Banyak perusahaan gulung tikar atau tidak ada penambahan karyawan. Angkatan kerja yang meluber membuat pekerjaan kantoran diperebutkan, dan hanya menyisakan perkerjaan berat di malam hari. Cuci piring di restauran, pekerjaan kasar di kontruksi, pembagi tisu di jalan, atau pelayan di cafe kecil. Upah pekerjaan sampingan itu jauh dari panggang. Tidak cukup untuk biaya makan kami berdua beserta biaya sewa apartemen.
Pernah suatu ketika muncul keinginan untuk menelepon papa. Terakhir aku bertemu dengan laki-laki yang pernah menjadi bagian dari hidupku itu adalah saat penandatanganan akte pemecatan diriku. Awalnya kubuang jauh-jauh keinginan itu. Namun ketika tabunganku semakin menipis dan pengeluaran tak bisa ditolerir lagi, kuputuskan mencoba peruntungan. Aku tidak ingin meminta bantuan uang, atau belas kasihan. Yang kubutuhkan adalah pekerjaan yang lumayan layak untuk sekedar hidup.
Saat jemariku menekan angka nomor telepon genggamnya dari kotak telepon umum, nomor itu tak bisa tersambung. Berkali-kali kucoba, tak tetap tidak tersambung. Papa sudah ganti nomor. Aku mencoba menelepon rumah, tidak ada yang mengangkat. Setelah mencoba berkali-kali menghubungi papa, dan tak bisa menemukan apa yang kuinginkan, aku menyerah. Aku kembali berkutat dengan pekerjaan apa pun asal bisa sekedar menyambung hidup.
Meminta bantuan Hiroshi? Tak ada pilihan itu dalam otakku. Lebih baik aku membusuk di tengah dinginnya malam bersama pekerjaan beratku, daripada aku mengemis belas kasihannya. Toh, istriku tidak banyak menuntut. Dia bahkan sering puasa. Di samping menghemat biaya makan, bagus untuk menentramkan dan menguatkan hati, katanya. Dua bulan aku berkutat dengan pekerjaan yang dulu saat aku di Jepang tak pernah sedetik pun terpikir mengerjakannya. Hingga suatu hari, takdir berkata lain.
Sebagai bagian dari pencatatan data kependudukan, aku harus mendaftarkan anak dan istriku ke kantor pemerintah setempat, sekaligus untuk mendapatkan fasilitas pengobatan dan perpanjangan visa bagi istri dan anakku.
Suatu hari, seseorang menyapaku di kantor itu. Keiko, teman wanitaku masa SMA. Aku berusaha mencari sosok itu di lembaran masa laluku, namun sosok Keiko tidak muncul di ingatanku. Keiko tertawa saat mengatakan, dia termasuk cewek yang pernah kecewa karena tak mendapat perhatianku. Kami tertawa mengingat masa lalu. Dia memaksa mengajakku makan siang di kantin kantor, memaksaku menceritakan perjalanan hidupku. Aku mengiyakan.
Kuceritakan semua awal kisahku dengan menyunting bagian cerita yang tak layak untuk konsumsi masyarakat umum. Dia tersenyum hangat saat ceritaku tentang Bali, tentang gunung Bromo dan kisah bertemu Ratna dan keluarganya. Keiko diam termangu saat aku bercerita tentang anakku dan penyakit yang dideritanya. Temanku itu ikut berduka kala mendengar tentang alasanku meninggalkan tempat indah di sisi dunia lain untuk menapakkan kaki kembali ke Negeri ini. Kami mengakhiri pertemuan dengan saling bertukar nomor telepon. Keiko memintaku untuk tidak sungkan meneleponnya bila berharap bantuan.
Pada Keikolah aku meminta bantuan untuk mencari kabar terakhir tempat tinggal papa. Mulanya dia keberatan membocorkan data pribadi seseorang, walaupun itu ayah kandungku. Setelah aku meyakinkan bahwa apa yang dia lakukan sangat berarti bagiku, demi masa depanku, demi masa depan anak istriku, dia berjanji akan menghubungi bila sudah menemukan. Satu minggu-dua minggu aku menuggu. Ketika dua bulan berlalu tanpa ada kabar dari Keiko, aku menyerah.
Hingga siang itu, saat aku menunggu di Rumah Sakit bersama Ratna, seorang perawat mengatakan ada telepon dari seseorang. Ketika kutanya apakah dari Indonesia? Dia menggeleng. Dari Tokyo, dari seorang perempuan bernama Yasuda Keiko, katanya. Bergegas kuterima telepon dari satu-satunya orang di Jepang yang ingin kudengar suaranya itu.
"Ada apa, Mas?" tanya Ratna mendapati wajahku kusut setelah menerima telepon dari Keiko.
"Papa tinggal di rumah jompo," kataku lemas.
"Ha? Sudah setua itu kah?"
"Masih enam puluh tujuh. Kata Keiko, dua tahun lalu dia terkena stroke. Setelah sembuh, separuh badannya lumpuh. Karena tidak ada yang merawat, Hiroshi pasti mengirimnya ke panti jompo," kataku geram.
Aku merasa berdosa menemukan orang tua itu berjuang sendiri tanpa anak-anak di sampingnya. Menurut perkiraanku, Papa masih punya banyak uang untuk menggaji perawat di rumah daripada memilih panti jompo sebagai pelabuhan terakhir di saat usia yang belum juga tua. Bukan pilihan terbaik. Pasti ada alasan tertentu yang membuat papa mengiyakan saja keinginan Hiroshi.
Aku tercenung membayangkan diriku pada posisi papa. Dua anak laki-laki tak berguna! Batinku.
Ratna membetulkan selimut yang melingkupi tubuh Hana. Anakku tidur dengan nafas memburu. Pagi tadi dia mendapat suntikan di tulang punggungnya. Saat bangun, dia akan mual, tak mau makan. Ujung-ujungnya akan muntah. Ratna akan kerepotan menjaga Hana sendirian.
"Lebih baik Mas jenguk papa sekarang."
"Tapi, kau sendirian?"
"Aku akan baik-baik saja. Hana masih tidur. Aku sudah mulai terbiasa dengan keadaannya setelah mendapat perawatan."
"Kau yakin?"
Ratna mengangguk. Tersenyum mesra. Tulang pipi istriku yang dulu ranum dan penuh sekarang terlihat menonjol. Sepuluh kilo menyusut dalam waktu tiga bulan membuat dia menua sebelum waktunya. Aku mencium lembut pipi dan bibir istriku.
Kami menempati kamar tersendiri bukan karena kami membayar lebih, tetapi karena protokol pengobatan mewajibkan seperti itu. Tubuh Hana dalam keadaan rentan terhadap infeksi. Sistem pengobatan menempatkannya di ruang khusus untuk menjaga agar dia tidak terserang penyakit dari luar dengan mudah.
"Pergilah, papa membutuhkanmu."
Kucium lembut dahinya. "Terima kasih untuk pengertianmu. Aku mencintaimu," bisikku mesra.
"Aku juga mencintaimu," balas istriku.