Berlomba dengan waktu, kujelajahi semua rumah sakit yang bisa menerima pengobatan anakku. Pilihanku jatuh pada Tokyo Medical University Hospital. Bukan hanya karena fasilitas yang memadai, letaknya di daerah Shinjuku juga menarik hati. Pengobatan Hana membutuhkan waktu lama, berbulan-bulan, bisa saja setahun lebih. Selama waktu itu aku harus bekerja. Shinjuku adalah tempat yang tepat untuk mencari kerja sambilan. Apa pun pekerjaan dan berapa pun upahnya tidak masalah. Yang penting aku bisa mendapat kerja paruh waktu yang elastis.
Tanpa berpikir lagi, kuhubungi rumah sakit itu. Petugas penerima telepon menyambut ramah. Kuceritakan semua masalah dan kesulitanku. Dia menghubungkan dengan petugas yang berwenang. Tanpa menunggu lama, aku mendapat informasi yang lengkap. Petugas berwenang akan mengirim dokumen yang dibutuhkan lewat email, katanya. Hatiku mencelos saat mengetahui biayanya. Tidak ada biaya sepersen pun untuk anak orang Jepang berpenyakit berat di bawah umur dua belas tahun! Untuk pertama kali dalam hidupku aku bersyukur dilahirkan berkebangsaan Jepang.
Hari itu juga aku mendapat mail berupa beberapa lembar dokumen yang harus diisi dokter yang merawat. Pihak rumah sakit sangat kooperatif. Tiap lembar dokumen yang kami butuhkan disiapkan dengan cepat. Dalam kurun sepuluh hari sejak aku bergerak, rumah sakit Tokyo, dokumen, paspor untuk Ratna dan Hana, visa dari konsulat, semuanya sudah di tangan. Ketika hari perpisahan tiba, tangisan dan pelukan tak bisa dihindari.
Bu Misna, Bu Aminah, Pak Manaf tidak ikut mengantar sampai ke bandara. Perjalanan dari rumah hingga ke bandara membutuhkan waktu lima jam pulang pergi. Mulanya Bu Misna berkeras mengantar, tapi Misto membujuk untuk tidak ikut. Perjalanan jauh, usia, dan hati yang terbebani akan berdampak pada kesehatan beliau.
Dalam perjalanan yang membawa kami ke bandara Surabaya, tidak banyak kata terucap. Hana dalam dekapan Tuti. Dia tak mau melepas ponakannya itu barang sedetik pun. Berkali-kali dia mengelus perutnya yang membuncit, mungkin berharap dikarunia anak selucu Hana. Misto duduk di depan di samping Pak Sopir. Istrinya tidak ikut mengantar, menjaga Ibu mertua. Aliman duduk di sampingku di kursi paling belakang. Nasehatnya tentang cobaan dan kasih Tuhan terus meluncur. Beberapa nukilan ayat Qur'an disebutkan untuk meredam kesedihanku. Di saat kesedihan mendekap, nasehat tentang hidup dan kehidupan, tentang takdir, tentang mukjizat dan kebesaran Tuhan sangatlah berarti. Ratna yang duduk di sebelah Tuti juga mendengar dengan seksama.
Saat berpisah tiba. Waktu boarding semakin mendesak. Tuti memeluk kakaknya erat. Pipi Hana diciuminya seolah tak akan bertemu lagi. Ketika melepas Hana ke pelukan Ratna, tangisnya meledak. Kembali dia menciumi wajah Hana hingga wajah keponakannya itu ikut bersimbah air mata. Gadis kecilku mengusap air mata di pipi tantenya. Dia terlihat lebih dewasa dari umurnya.
"Tante jangan sedih. Hana akan pergi ke Jepang. Berobat. Setelah sembuh, Hana pasti pulang. Hana akan bawa oleh-oleh kesukaan Tante. Pisang goreng, kan?"
Kami tersenyum bersanding tangis. Air mata Tuti semakin berderai. "Hana harus sembuh, Hana harus pulang. Janji ya sayang?" kata Tuti di sela tangisnya.
Sambil menyeka derai air mata, Tuti menyorongkan jari kelingkingnya. Hana mengaitkan jari kelingking Tantenya itu ke jarinya sendiri. Setelah melepas jari Hana, adik iparku itu meraih tangan kananku, mencium punggungnya.
"Jaga Kak Ratna, Kak. Jaga pula keponakan saya. Kami menunggu Kakak. Pulang semua ya, Kak," pintanya memelas.
"Insya Allah," jawabku yakin.
Dia melepas tanganku. Menyeka air mata yang turun kembali. Suaminya yang berdiri di samping mengelus pundaknya, kemudian mengelus perut Tuti yang membesar, mengingatkan istrinya untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan. Aliman menjabat tangan Ratna, mencium kedua pipi Hana, kemudian memelukku erat. Bisikan terakhir di telingaku menenangkan.
"Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi kekuatan hambanya. Dia sedang ingin menaikkan derajatmu. Bersabarlah, Kakakku."
Giliran Misto mencium pipi adiknya, ponakannya, menjabat erat kedua tanganku. "Jaga Adik dan Ponakanku. Mereka adalah mutiara sangat berharga bagi kami."
Aku mengangguk, mengguncang genggaman tangannya "Akan kujaga dengan nyawaku."
Misto tersenyum puas, melepas tanganku. Sebelum berlalu, aku berbisik harapan padanya. "Tolong jaga tanaman kita. Bisnis kita."
Dia tersenyum, memberi acungan dua ibu jarinya. Panggilan dari pengeras Bandara meminta kami menuju ruang tunggu. Kugendong Hana. Ratna melambaikan tangan ke saudara-saudaranya. Tuti kembali tersedu. Ratna berlinang air mata. Untuk pertama kali istriku meninggalkan jauh keluarganya dalam waktu yang lama. Ikatan keluarga sangat berharga. Aku bersyukur telah menjadi bagian dari ikatan itu. Kasih dan cinta Tuhan diberikan dalam bentuk yang berbeda-beda. Akan kah kasihNya tercurah lagi kali ini?