Rumah sederhana itu masih sama seperti saat kutinggalkan beberapa menit yang lalu. Terlihat penuh kesedihan. Kepergian kami telah meninggalkan lubang menganga di hati penghuni rumah ini. Pilihan pemuda ini tepat. Kembali menemui keluarganya merupakan obat jiwa yang mereka butuhkan.
Aku mengiringi Misto dari belakang. Langkahku tercekat di balik pintu yang setengah terbuka. Isak tangis tertahan dari seorang gadis terdengar lirih diselingi kalimat-kalimat penghibur yang terlontar dari bibir seorang lelaki. Isak tangis Tuti dan kata-kata bijak Aliman. Agaknya guru spiritualku itu tidak tega membiarkan keluarga ini tenggelam dalam kepiluan. Dadaku mengembang penuh. Kalau boleh gede rumangsa, aku merasa keluarga ini sedang menangisi kepergianku. Untuk pertama kali keberadaanku di dunia ini dibutuhkan.
Dari daun pintu yang setengah terbuka, kulihat Bu Misna menubruk anak lelaki satu-satunya itu ketika muncul. Tangis ibu itu tumpah ruah. Misto memeluk balik perempuan yang punya andil besar dalam kehidupannya itu. Hentakan jantungku mengeras. Langkahku tertahan oleh keharuan yang merebak. Membuatku mematung di balik pintu.
"Ibu tak tak tahu sampai kapan bisa melihat matahari terbit ... Jangan tinggalkan Ibu lagi, Nak...."
Anak lelaki pemimpin keluarga itu mengangguk tegas. Air mata bercucuran di pipinya yang tirus. "Misto berjanji akan selalu di samping Ibu...." Bisiknya lirih.
"Makan nggak makan yang penting kumpul, Nak."
"Iya, Bu...."
Isak Tuti mengeras melihat kemunculan kakaknya. Ia berlari menubruk tubuh Misto, memeluknya erat seperti pelukan ibunya yang masih lengket pada anak lelaki satu-satunya itu.
"Jangan tinggalkan kami lagi, Kak!" teriaknya.
Kepedihan yang terlontar dari nada kalimat itu tak urung merasuk pula ke hatiku.
"Setelah lulus SMA, Tuti berjanji akan berjuang keras membantu Kakak di ladang," cetus gadis remaja itu di tengah isaknya.
Misto menggelengkan kepala sambil tersenyum teduh. "Tidak. Kamu harus melanjutkan sekolah."
"Tidak mau! Aku di sini saja. Aku hanya ingin jadi ibu rumah tangga yang berbakti pada suami...."
Kalau saja aku tidak mengenal gadis ini sebelumnya, hatiku akan luruh mendengar cita-citanya. Untuk seorang gadis milenial manja yang suka bermedsos ria, cita-cita itu tak urung membuatku menahan tawa.
Lelaki pemimpin rumah tangga kecil itu menghela napasnya berat. "Baiklah. Tapi, tetap kamu harus ikut kursus-kursus untuk menambah kemampuanmu. Jaman sekarang, lelaki dan wanita berkedudukan sama dalam menuntut ilmu."
Kepala Tuti bergerak ke bawah ke atas, mengiyakan sarat yang diajukan kakaknya. "Tapi Kak Misto janji tidak pergi lagi, kan?"
"Kakak berjanji tidak akan pergi lagi. Selama kita bersatu dalam usaha, Kakak yakin Tuhan akan membuka pintu rejekiNya."
Mata pemuda itu menerawang menatap tembok seolah mencari kepercayaan diri bahwa keputusan yang akan diambilnya sanggup membawa keluarga kecil ini keluar dari jerat kehidupan finansial yang membelit.
"Apalagi dibantu Kazuki san!" Kala menyebut namaku, nada kalimatnya dinaikkan penuh semangat.
Tentu saja keputusanku sudah bulat. Aku akan berjuang bersama keluarga baruku untuk mencapai hidup yang lebih baik.
"Kak Kazuki?!" Tanya Tuti dengan nada kalimat tak percaya.
Kulangkahkan kakiku mantap masuk ke dalam rumah. "Ya! Kalau keluarga ini mengijinkan, aku ingin ikut memanen buah kol!"
Tawaku renyah melihat mata sembab penuh air mata itu terbelalak tak percaya. Gadis yang masih dalam pubertas itu meloncat, meraih dua tanganku, mengguncangnya ke sana kemari seolah mengajakku menari. Kalau saja tidak ada orang selain anggota keluarga, aku yakin dia akan memelukku erat.
Aliman melihat kemunculanku dengan mulut menganga. Kukedipkan sebelah mataku beriring senyum lebar.
"Kakak benar-benar kembali untuk kami?" Tanya Tuti masih tak percaya.
"Tentu, kalau kamu tidak keberatan."
Tuti mencubit gemas lenganku. "Ih! Kak Kazuki. Tentu saja Tuti senang sekali!"
Kuacak-acak rambut gadis itu sambil tertawa. Kudekati Bu Misna yang melihat keakraban kami dengan mata berkaca-kaca. Kuambil tangan kanan yang penuh keriput itu. Kubungkukkan tubuhku, kucium punggung tangan wanita yang telah melahirkan sebuah cinta pengobat jiwaku itu.
"Ijinkan saya, Yonekura Kazuki, menjadi bagian dari keluarga Ibu," kataku takzim penuh kesungguhan.
Telapak tangan yang kapalan itu menepuk bahuku. "Ibu senang bisa mempunyai anggota keluarga baru seperti Nak Kazuki."
"Terima kasih, Bu."
"Sekarang bagianku!" sodok Aliman. Lengan dan senyum teduh itu mengembang penuh.
Kutarik bibirku merekah lebar. Kupeluk dia erat. Dia membalas pelukanku hangat. Dunia berhenti berputar sejenak. Mata kami basah penuh teriak keheningan. Kami telah disatukan dalam sebuah ikatan jiwa.
"Ajari aku bagaimana lebih mengenal Tuhan," bisikku pelan.
Dia menepuk punggungku. "Kita belajar bersama, Brother!"
Setelah kulepas pelukannya, mataku nyalang mengitari ruangan. Sosok yang menjadi alasan terbesarku kembali ke hariban keluarga ini tidak kutemukan. Tuti tahu siapa yang kumaksud. Bibirnya disodorkan manyun, tangannya menunjuk arah tempat cintaku bersemi. Gadis itu belum selesai dengan kepuasan mendapat anggota keluarga baru.
"Huh! Dia di tempat biasa!"
"Terima kasih," jawabku malu.
Tawanya meledak melihat wajahku memerah.
Aku semakin kikuk. "Ijinkan saya...." Kataku jengah pada semua.
Misto dan Bu Misna mengangguk sambil tersenyum lebar. Tuti tertawa bahagia, mendorong punggungku agar keluar ruangan. Namun, kala mataku bersirobok dengan tatapan Aliman, walau sekejap, sepercik dian cemburu sempat terlihat.
Lelaki yang ditakdirkan untuk membimbingku dalam kelindan pencarian sebuah Zat Yang Maha Besar itu membuka bibirnya lebar. Tangannya diacungkan ke udara terkepal menyemangatiku, "Good Luck, Bro!"
Kujawab kalimatnya dengan anggukan tegas. Kuyakinkan Aliman bahwa gadis yang yang telah menolak cintanya itu tak akan kusia-siakan. Bergegas kutinggalkan mereka. Kukejar separuh jiwaku itu di tempat pertama kali kutemukan episode hidupku yang baru.
Gadis yang telah mengubah jalan hidupku itu sedang duduk menatap bedengan tertutup mulsa plastik. Tatapannya kosong. Sesekali tangan kanannya bergerak menghapus air yang keluar dari sudut mata dengan ujung kaos lengan panjangnya. Kuhentikan langkahku sejenak. Bidadariku sedang dibekap pilu.
Dari samping kunikmati sebuah maha karya pahatan wajah yang sempurna. Sinar mentari pagi mengguyur sosok cantik itu. Rambut hitam mengkilap dikuncir kuda dengan poni menutup dahi. Alis tebal di atas kelopak pelindung bola mata indah yang sedang berair itu terlukis melengkung berbentuk bulan sabit. Di atas bibir penuh kemerahan itu, bertahta hidung kecil mancung bak selundang. Hasratku meluap ingin mencubit mesra dagu menggantung itu.
"Hehm, hehm!" dehemku. Kucoba menghapus nestapa yang menggantung di pelupuk mata itu dengan kemunculanku.
Ratna tersentak. Kepalanya menoleh ke samping. Diiringi bola mata terbelalak kala melihatku, kuberi dia senyum terindah laiknya semburan sinar surya. Namun, alih-alih meloncat dan menubrukku seperti kelakuan adiknya, bidadari itu malah menutup wajah dengan sayapnya. Isaknya mengeras. Bulir air matanya menderas. Kedua tangannya basah oleh air mata.
Perlahan kudekati dia, kuhenyakkan tubuhku duduk di sebelahnya. Kubiarkan gadis perebut hatiku itu mencurahkan air matanya hingga kering. Setelah puas mencurahkan seluruh perasaanya, Ratna melirikku sekilas, kemudian menunduk dengan hidung berair. Kuangsurkan sapu tanganku. Dia mengangguk menerima.
"Kenapa kau menangis?" tanyaku, setelah kupastikan tidak ada lagi bulir air mata yang turun membasahi pipinya yang ranum.
Gadis di sebelahku itu termangu. Pandangannya lurus ke depan. Dia mencari jawaban di jejeran buah kol yang terhampar.
Tanpa mendapat jawaban pasti, kulanjutkan kesangsianku langsung ke pokoknya, "Apakah karena kepergianku?"
Helaan nafas berat meluncur dari bibirnya yang penuh. Tanpa melihatku bibir merah tanpa warna polesan itu terbuka. "Semula aku mengira ada yang janggal. Di usia seperti ini, aku belum pernah merasakan getar-getar aneh yang sering menjadi perbincangan teman-teman. Wajah lelaki tak pernah mampir di mimpi-mimpiku, tak pernah ada sebuah nama yang kurindukan," katanya lirih.
Kembali helaan nafas berat menyembur dari paru-parunya. Kalimat yang keluar berikutnya dari gadis ini semakin membuatku limbung.
"Namun, sejak kemunculan Kak Kazuki di kehidupan kami, aku merasa ada perubahan besar di hatiku. Rasa menjerat yang membuatku tak nikmat lagi makan, tak pulas lagi tidur. Wajah Kakak terekam dalam setiap pemandangan yang kulihat. Kalimat dan sikap Kak Kazuki tak pernah lepas sedetik pun dari benakku. Dan, itu sangat meresahkanku, Kak...."
Kegalauan yang terungkap semakin meninabobokkanku. Tak bisa kupungkiri, aku menikmati kegalauan itu. Gadis ini untuk pertama kalinya jatuh cinta. Dan dia menempatkan hati sucinya untukku. "Apa yang kau rasakan adalah hal normal bagi seorang gadis. Percayalah padaku, rasamu itu bukan sesuatu yang meresahkan."
"Tapi, Kak...."
"Kenapa? Tidak perlu malu dan takut menyimpan rasa itu."
"Saya takut...."
"Tak ada yang harus ditakuti."
Ratna mengarahkan pandangannya ke arahku, menatap langsung bola mataku. Skleranya yang bersih laiknya telaga berair jernih, mengundangku untuk berenang di dalamnya. Bola matanya yang hitam memantulkan bayangan wajahku yang berbinar. Di wajah itu, kulihat pupilku membentuk daun cinta. Ya, aku cinta mati pada gadis ini! Dan, aku berharap Ratna bisa menangkap rasa itu lewat tatapanku.
Bibir itu terbuka, berbisik pelan, "Saat pertama kita bertemu, aku melihat kepedihan yang menyayat di bola mata Kakak. Kepiluan akut yang membuatku ingin menangis. Kepiluan itulah yang terus terekam di benakku. Membuatku takut...."
Kalimat gadis ini menghujam jantungku laiknya tusukan ujung runcing stalagtit. Entah bagaimana, gadis ini bisa merasakan nestapa pandanganku kala menatapnya. Kalau saja sklera putih itu tidak menentramkan, sungguh ingin kualihkan tatapanku. Bayangan Michi berkelebat. Tatapan itu milik Michi yang ingin menguliti penghianatanku. Sorot matanya mengisyaratkan sebuah ketakutan akan masa depan yang tak pasti.
"Kenapa kamu berkata seperti itu?" Tanyaku serak. Kutekan debar jantungku agar tidak menggetarkan suara.
Ratna menggeleng. "Entah kenapa, saya merasa masa lalu kakak terus menghantui. Dan apa yang terjadi di masa lalu itu tidak ingin kuungkit. Tapi, Kak ... kepiluan sorot mata itu terus menguntitku, menggelisahkan mimpi-mimpiku, membuatku tak berani banyak berharap."
Bibir penuh itu mengatup sementara. Semilir angin sejuk yang berhembus dari puncak Gunung Bromo mengelus pelan tubuh kami, membawa wewangian tanah humus yang merasuk. Kebekuan suasana membuat hamparan kol sanggup mendengar nafasku yang sesak.
"Kucoba melawan ketakutan itu. Seiring kebersamaan kita, detik-detik berlalu membuat jeda antar waktu tak terasa lagi. Walau tak menguap sempurna, namun rasa yang menggelisahkan itu sedikit demi sedikit menghilang. Bilik-bilik hatiku yang selama ini kosong mulai riuh suara-suara rindu. Aku semakin menikmati setiap perjumpaan, kebersamaan dan semua percakapan kita. Semua itu melebur menjadi keinginan untuk terus kusesap. Tatkala perpisahan mendekat, aku terus berdoa agar detak menyakitkan yang menguat hanya sebuah delusi ... Namun...."
Gadis itu tak mampu melanjutkan kalimatnya. Tarikan nafas berat dihembuskan keras menerobos hidung mancungnya. Air mata yang sejenak tadi berhenti kembali mengalir pelan. Bibir Ratna berkecumik tak beraturan. Kepedihan yang membelit hati gadis yang kucintai ini membuat jantungku serasa diremas sebuah kekuatan dahsyat. Aku tak ingin bidadariku larut dalam kenestapaan. Adat ketimuran yang mengakar di lereng gunung mengajarkan seorang gadis untuk tidak mengungkapkan isi hatinya terlebih dahulu. Bidadari ini sedang menunggu ungkapan hatiku.
Kuangkat dagu yang menunduk itu. Kutatap langsung bola mata beserta telaga sklera-nya. "Ratna Kumalasari, aku jatuh cinta pada kekuatan dan kelembutanmu. Kumencintai senyum dan air matamu. Hatiku telah terpapar keindahan bola mata yang membuat malam-malamku tak pernah sepi dari sorot itu. Ingin kuteriakkan di puncak Gunung Bromo, di bukit penanjakan, dan sekaligus kuumumkan ke seluruh dunia bahwa aku mencintai semua yang ada padamu."
Kepala gadis itu menunduk. Pipinya memerah. Air matanya menderas. Kutahu air mata itu bukan sebuah ungkapan kesedihan, melainkan sebuah harapan akan masa depan. Kutuntaskan sebuah takdir perjumpaan.
"Kasihku, aku harus jujur padamu. Kau bukan wanita pertama yang hadir dalam hidupku. Namun, kuyakinkan dirimu, bahwa kaulah bidadari terakhir yang kudamba untuk hidup bersama mengarungi kehidupan ini."
Kuangkatlembut dagu bak lebah menggantung itu, kutatap langsung bola matanya. "Sayangku,ijinkan aku menjadi pemimpinmu. Sudilah kiranya kamu melahirkan anak-anakku? Berbagibahagia dan nestapa di dunia ini dan di kehidupan lain bersamaku?"
Air mata Ratna semakin menderas membentuk sungai-sungai kecil di pipinya yang ranum. Bibir merah itu bergelora, bergetar, dalam untaian kalimat yang tak kunjung terucap. Tak perlu ungkap persetujuan untuk sebuah rasa yang telah menyatu.
Kupeluk erat kepala Ratna dalam dekapanku. Kubawa telinganya ikut merasakan debar jantungku yang membuncah akan cinta suci. Wangi rambutnya bersekutu dengan aroma tetumbuhan lereng Gunung Bromo.
Dalam dekapanku ia berbisik lirih, "Aku mencintaimu, Yonekura Kazuki...."