Aku duduk terpekur di lantai. Pandanganku lekat menikmati pemandangan di depan sementara telingaku dimanjakan alunan kalimat-kalimat yang selama ini hanya kudengar dari jarak jauh. Suara Aliman mengalun merdu dalam bahasa yang sama sekali tak kumengerti artinya. Tubuh puluhan pria dewasa dan anak laki-laki berbaris di depan, dan puluhan lagi tubuh perempuan dalam balutan kain putih di baris belakang, bergerak bersama dalam satu komando. Saat Aliman mengucapkan aba-aba untuk ganti gerakan, semua orang di belakangnya mengikuti tanpa sanggahan. Gerakan-gerakan itu terus berkelanjutan, diulang-ulang, hingga aku semakin hapal dari gerakan pertama mengangkat ke dua tangan sampai gerakan terakhir; duduk bersimpuh dengan ke dua kaki di tekuk, mulut komat kamit, diakhiri kepala menoleh ke samping kanan kemudian ke kiri.
Setelah buka puasa, Misto, Tuti dan Bu Misna bergeser ke Masjid. Ratna tidak ikut karena masa bulanan kewanitaannya datang. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali ikut rombongan Misto. Mereka tidak akan mengijinkan aku berdua saja dengan Ratna di rumah. Aku pun tahu diri. Setelah meminta ijin pada pengurus Masjid untuk ikut "melihat" orang Islam berdoa bersama, aku duduk bersimpuh di tangga paling luar, melepas sepatu dan kaos kaki, ikut bersama membasuh muka, tangan, rambut, kaki, mengikuti gerakan yang diajarkan Misto.
Setengah jam duduk sendiri sambil terus memperhatikan semua gerakan mereka, tidak ada rasa kebosanan. Setiap gerakan yang dikomadoi Aliman sebagai pemimpin sembahyang, memberi efek ketenangan dalam hatiku. Berdiri dengan ke dua tangan bersedekap, membungkuk sembilan puluh derajat seperti orang Jepang saat berhormat dan minta maaf, meletakkan dua tangan di atas lantai kemudian menjatuhkan tubuh hingga dahi bersentuhan dengan karpet, refleksi sebuah kepasrahan diri pada zat yang sangat besar. Zat yang sangat berkuasa.
Dari tujuh milyar lebih penduduk dunia saat ini, delapan puluh persen dari mereka adalah orang-orang yang percaya akan Tuhan, sedangkan dua puluh persennya menafikan keberadaan sang Pencipta. Terlepas apa pun agamanya, kepercayaan akan adanya zat yang sangat besar dan layak disembah sebagai pencipta alam adalah prosentase besar keniscayaan akan adanya Tuhan. Aku dulu termasuk dalam bagian dua puluh persen yang tidak percaya itu. Setelah berbagai macam permasalahan dan kesedihan yang mendera, setelah bersentuhan dengan orang-orang yang tunduk akan Zat Yang Maha Baik, kepercayaanku akan keberadaan Tuhan mulai berubah. Temtu saja rasa itu masih tipis. Aku butuh banyak informasi.
Malam setelah Aliman turun dari Masjid, aku menunggunya di teras rumah. Pisang goreng sepiring penuh, kopi dan teh hangat mengepul buatan Bu Aminah siap menemani. Pukul sepuluh lima belas menit, sosok yang kutunggu itu baru muncul. Pisang sepiring sudah habis sejak tadi. Cerek berganti baru, beberapa kali aku harus ke kamar kecil setelah menghabiskan banyak minum.
"Kazuki san tadi duduk di Masjid, ya?" tanyanya enteng.
Dia menghenyakkan tubuhnya di kursi di depanku. Tangannya langsung menjumput pisang goreng yang sudah dingin. Aku menuangkan teh yang masih baru ke gelas kosong, menyorongkan gelas itu ke arahnya. Sembari mengucap terima kasih dia menyeruput teh hangat hingga habis.
"Aliman san tadi terlihat sibuk memimpin sembahyang bersama."
Aliman tersenyum. "Namanya sholat berjamaah. Sholat tarawih. Setelah sholat tarawih, aku mengajar anak-anak kecil mengaji, kemudian melanjutkan dengan teman-teman tadarus." Pemuda itu berhenti sejenak. Keningnya sedikit melipat. "Tadarus artinya membaca Al Qur'an bersama."
"Aku tadi terus memperhatikan semua orang sholat, eh, tarawih. Baru pertama lihat orang sholat berjamaah lama dan banyak seperti itu."
Aliman tertawa lirih. "Wah, pasti menunggu lama."
Aku tertawa kecil. "Lumayan lama."
"Maaf membuat Kazuki san menunggu. Ada apa?"
Aku menggeleng. Kubetulkan letak dudukku. Keresahan yang sejak lama kupendam semakin membuncah. Pandanganku lekat menatap laki-laki yang duduk di depanku ini. Penerangan dari lampu teras menerpa sosok kami, menghantarkan silhuet di lantai. Suara serangga malam menghiasi. Lamat, terdengar suara Bu Aminah membaca ayat-ayat suci. Kesepian mencekam mencengkeram detak jantungku.
Aku menghela nafas panjang. Kalimat yang keluar dari bibirku perlahan mencurahkan segala kegalauan akan manisfestasi Tuhan.
"Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Sejak kakiku menapak di tanah Negeri ini, dari Bali hingga di sini, pemandangan tentang kehidupan beragama beruntun tersajikan. Melihat penduduk Bali duduk bersimpuh berdoa pada Tuhan, melihat orang Nasrani berbondong ke gereja melakukan pemujaan pada Tuhan, melihat orang Islam bersembahyang tunduk sujud pada Tuhan, semua itu membuat hatiku yang selama ini resah menjadi tenang. Raut tentram, damai dari wajah-wajah sepulang dari berdoa menular padaku. Entah kenapa, aku merasa senang melihat wajah damai mereka. Aku seolah dituntun dari sebuah ketidakpastian hidup pada optimisme yang mencerahkan."
Aliman diam terpekur, menunggu aku menyelesaikan curahan hati.
"Apa yang membuat mereka seperti itu? Apa yang membuatmu lebih tenang dan tenteram dalam menghadapi peliknya kehidupan?"
Dia tersenyum menatapku. Temaram lampu memahat wajahnya, gurat kedamaian terlihat jelas. "Itu, karena kami tidak takut."
"Takut apa?"
"Kami yakin bahwa dunia ini hanyalah tempat singgah sementara sebelum melanjutkan perjalanan ke dunia lain yang lebih kekal. Penat dan peliknya kehidupan hanyalah cara Tuhan menunjukkan rasa kasih sayangnya."
Jawaban filosofi dari Aliman membuatku masih belum mengerti apa yang ingin disampaikannya. Aliman melihat kebingungan yang terpancar di wajahku.
"Kazuki san percaya Tuhan?"
Pertanyaan itulah yang sering kutanyakan pada diriku sendiri. Hingga hari ini aku masih mencari jawabannya.
"Entahlah, aku tidak pernah mengenal pendidikan akan Tuhan sejak aku kecil," jawabku jujur.
"Jawaban itu yang harus ditemukan terlebih dahulu. Kazuki san harus menemukan Tuhan dulu sebelum mencari jawaban lain akan pertanyaan lain."
"Bagaimana mencari jawaban itu?"
"Gunakan akal yang diberikan Tuhan padamu."
"Justru itu. Semakin aku menggunakan akal, semakin aku jauh untuk mendapatkanNya"
"Kenapa?"
"Bila Tuhan itu ada, Maha Pengasih dan Penyayang, mengapa dia membiarkan banyak peperangan, penderitaan, kejahatan di muka bumi ini?"
Laki-laki berwajah teduh di hadapanku tersenyum simpatik. "Pesawat terbang, mobil, televisi ada pembuatnya. Bila benda sederhana yang bisa kita lihat dengan panca indra kita saja ada pembuatnya, mustahil bila bumi, tata surya, jagad raya dengan segala kemegahannya tidak ada penciptanya. Gelombang elektro magnetik, listrik, udara, rasa sakit, tidak bisa ditangkap dengan panca indra, namun bukan berarti kita tidak bisa merasakannya."
Otakku mulai bergerak berpikir menurut apa yang diinginkan Aliman. Menggunakan akal. Aku bisa memahami keterangannya. Tapi, untuk pertanyaanku yang kedua tentang kasih sayang Tuhan, kenapa Dia membiarkan manusia harus menderita jika Dia bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan penderitaan itu?
Aliman masuk ke rumah sebentar, kemudian keluar lagi dengan buku tebal. Terjemahan Al Qur'an dalam bahasa Indonesia. Dia menatapku, menerangkan pertanyaan yang selama ini terus berkecamuk.
"Derita memang selalu menimbulkan dilema bagi orang-orang yang sedang mencari jalan Tuhannya. Apakah penderitaan yang ditimpakan pada manusia hanya untuk menghibur Tuhan, permainan bagi Tuhan? Apakah ini hanya sebuah kebetulan belaka yang harus terjadi di alam semesta tanpa campur tangan Tuhan? Dari kitab suci yang kuyakini, menyatakan, bahwa penderitaan ini adalah bagian dari proses penting yang harus dilalui manusia. Terlepas apakah dia baik, jahat, beragama atau tidak. Setiap manusia akan mengalami sakit, kerugian, kesulitan"
Aku mengejar dengan pertanyaan lagi. "Kenapa kita harus melewati penderitaan? Kalau Tuhan berkehendak, bukankah lebih baik tidak ada penderitaan? Sehingga manusia bisa hidup berdampingan, bahagia, sejahtera?"
Sebelum Aliman menjawab, kukejar dia dengan pertnayaan berikutnya, "Apakah kita harus mengalami malapetaka dan kesengsaraan dulu supaya bisa masuk sorga? Supaya bisa bahagia?"
"Entah kebetulan atau memang itulah kehendak Tuhan, manusialah yang bisa memikul perjuangan itu. Bukan Malaikat, hewan, atau setan. Sepanjang sejarah umat manusia, tragedi peperangan, permusuhan, persaingan telah menempa kita sepanjang kita berevolusi. Anehnya, tatkala kita tak ditimpa penderitaan, kita menciptakan persaingan dan penderitaan itu dalam bentuk persaingan yang kita buat di antara kita sendiri." Aliman berhenti sejenak. Dia menarik nafas panjang, menghebuskannya bersama kepul kabut yang turun menggelap. "Itulah manusia," desahnya.
Aku termangu dalam diam. Apa yang telah disampaikan Aliman sangat membekas, mengurai segala pertanyaan yang selama ini mencengkeram.
"Cukup untuk malam ini. Otakku tak sanggup lagi berputar," kataku. Otakku berusaha keras menangkap apa yang tadi diutarakan. "Darimana Aliman san bisa mengerti tentang semua ini?"
Pertanyaan yang sedari tadi ingin kusampaikan menutup pembicaraan kami malam ini.
"Sejak SMP hingga SMA aku masuk pesantren."
Aliman menjelaskan tentang sekolahnya ketika melihatku bingung. "Sekolah Islam. Tinggal di asrama, selain belajar ilmu umum, juga belajar ilmu Agama, dari pagi hingga malam. Setelah SMA aku melanjutkan ke Universitas Agama Islam."
Aku mahfum. Sepuluh tahun dihabiskan untuk mempelajari bidang Agama tentunya mengerti betul detailnya.
"Boleh aku belajar padamu?" pintaku.
Senyum Aliman merekah lebar hingga gigi depannya yang putih rapi terlihat jelas. Dia terlihat gembira mendapat seorang murid. Bola matanya bersinar terang tertimpa lampu.
"Tentu saja dengan senang hati aku akan berbagi ilmu Agama kepadamu."
Malam ini pelajaran darinya masih belum memuaskan segala pertanyaanku. Aku berharap malam-malam berikutnya menjadi malam penuh pembelajaran.