Chereads / ai (LOVE) / Chapter 28 - BAB 28 ; Iedhul Fitri Pertama

Chapter 28 - BAB 28 ; Iedhul Fitri Pertama

Hari raya umat Islam di desa ini layaknya pesta tahunan yang meriah. Semua penduduk memakai baju baru, sarung baru, sandal baru. Semakin matahari meninggi, semakin banyak laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak berdatangan. Para wanita mengenakan mukena sambil menyandang sajadah. Para pria dalam balutan sarung dan baju muslim. Jaket membalut tubuh mereka agar tetap hangat.

Sejak prosesi pengucapan kalimat syahadat, berlanjut sholat shubuh berjamaah hingga sholat Iedhul Fitri, aku tidak meninggalkan masjid sebentar pun. Gerakan sholat bisa kulakukan, tapi doa dalam sholat hanya surah Al Fatihah yang kukuasai. Itu pun tersendat-sendat tak sempurna. Saat pembelajaran malam bersama Aliman, dia memberi satu surah untuk kuhapal. Dalam lafal bahasa aslinya dan terjemahan bahasa Indonesia. Dia memintaku untuk meresapi terjemahannya, mengejawantahkan dalam pencarian Tuhan di alam semesta.

Selepas sholat Ied, Misto mengajakku ke rumahnya. Dia juga mengundang Aliman dan ke dua orang tuanya untuk bersantap pagi. Dengan berat hati Aliman menolak undangan sarapan pagi itu. Ibunya khusus membuat masakan kecintaan keluarga mereka. Tetapi dia mengijinkanku untuk bersantap bersama keluarga Misto.

Ratna terbelalak melihat penampilanku dengan baju muslim dan peci hitam. Memujiku, mengatakan inilah penampilan terbaik yang pernah dilihatnya dari diriku. Tuti terkikik penuh arti. Mereka sudah tahu dari Misto kalau aku telah mengucapkan dua kalimat syahadat dini hari tadi. Sebelum makan pagi dilakukan, Bu Misna duduk di kursi kayu. Satu persatu anak-anaknya bersimpuh, mencium pungung tangannya, mencium ke dua kakinya, memeluknya erat diakhiri kecupan di kedua pipi. Ibu itu berlinang air mata. Mulutnya komat-kamit mengucapkan rasa syukur, plus doa bagi almarhum suaminya. Aku hanya bersalaman dengan mereka, saling meminta maaf sebagai adat kebiasaan sebuah hari raya Iedhul Fitri di Indonesia.

Makan pagi hari ini adalah opor ayam, sayur lodeh, tahu, tempe, ikan bakar, telur bumbu bali dan setoples krupuk udang. Tak lupa sambal cobek sebagai pelengkapnya. Serasa aneh, untuk pertama kalinya, aku ikut makan di pagi hari bersama keluarga ini. Membuatku seolah telah menjadi bagian keluarga ini.

Setelah matahari bersinar terang, wajah-wajah segar keluarga ini terlihat jelas. Ratna sempurna dengan penampilannya. Baju lengan panjang bermotif bunga kuning dipadu celana kain warna putih. Rambut lurusnya tergerai sampai bahu, dilingkupi secarik kain penutup kepala. Bedak tipis bertabur di pipinya yang ranum. Bibir itu merah merekah terpoles gincu. Tulang rahangnya kokoh dengan dagu runcing menggantung. Kulitnya kuning bersinar layaknya pualam. Untuk pertama kali mataku menikmati wajahnya tanpa bayangan Michi berkelebat.

Suasana sarapan pagi berlangsung meriah. Tuti berceloteh kian kemari laiknya remaja penuh aktivitas. Misto melahap semua masakan yang disajikan tanpa ampun. Setelah tiga puluh hari puasa tanpa putus, seolah dia ingin balas dendam akan nafsu makannya. Ratna berkali-kali mencuri pandang ke arahku. Sesekali bola mata kami saling terkait.

"Sudah hafal doa apa, Kak?" tanya Tuti tiba-tiba.

Pandanganku yang masih menempel erat pada wajah ayu Ratna membuatku gelagapan. "Ehm, baru surat Al Fatihah. Itu pun masih tersendat-sendat."

"Hebat. Kazuki san baru tadi pagi jadi mualaf, sudah bisa baca Al Fatihah," cetus Misto.

"Tiap malam, aku belajar tentang Islam dari Aliman san."

"Pantas," sela Ratna.

Aku mengangguk ke arah Ratna. Mata kami kembali bertemu untuk ke sekian kali. Ratna menunduk. Aku mengambil sepotong tahu di cobek untuk mengalihkan kekakuan. Suapan besar tahu beserta sambal memenuhi mulut. Rasa pedas menggigit lidahku. Sebelum tahu itu sempat kutelan, pertanyaan Tuti membuatku tersedak.

"Kak Kazuki sudah khitan? Orang Islam harus khitan."

Pedasnya cabe membakar tenggorokanku, menghajar hidung bagian dalam. Pertanyaan mendadak tentang organ genital-ku itu membuat zat capsaicin yang terkadung dalam cabe menghentak dada. Batuk tak bisa kutahan. Ratna segera berdiri, mengangsurkan air putih. Sekali tenggak, air putih itu habis menggelontor rasa pedas yang tersangkut.

Semua mata melotot ke arah Tuti. Gadis remaja itu salah tingkah. Dia menunduk berkali-kali meminta maaf kepadaku. Masih berusaha menguasai batuk yang sesekali mendera, aku mengangkat tangan kananku dan menggelengkan kepala, memintanya untuk tidak khawatir.

Aku tidak marah, hanya terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba seperti itu. "Pertanyaanmu ... membuatku tersedak..." Aku masih berusaha mengatasi keadaan.

"Maaf, Kak," pintanya tulus.

Aku tertawa kecil setelah bisa mengatasi kerongkonganku yang terbakar. Aku mencoba bercanda, berusaha mencairkan suasana yang tegang di antara kami.

"Menurutmu ... aku sudah dikhitan belum?" tanyaku balik.

Wajah Tuti memerah. "Nggak tahu, lah." Dia memalingkan wajahnya pada Misto. "Orang Jepang khitan gak, Kak Misto?" tanya Tuti.

Misto merengut. "Sudah, jangan bertanya aneh-aneh. Ayo kita lanjutkan makan!"

Aku terbahak. Misto sedang tidak ingin membahas organ genitalku di meja makan. Tanpa menunggu penjelasan selanjutnya dariku, makanan yang tersaji segera kami santap bersama. Sebentar lagi banyak tamu yang akan datang untuk silaturahmi, Misto dan adik-adiknya pun harus berputar berkunjung ke tetangga yang lebih tua untuk saling memaafkan.

Aliman datang bersama pak Manaf dan Bu Aminah. Kami saling bersalaman. Ada titik kecanggungan yang bisa kutangkap saat Aliman bersalaman dengan Ratna. Ada komunikasi kaku di antara ke duanya. Kuhapus secepatnya prasangka yang sempat melesat di kepalaku. Kalaupun pernah terjadi masalah di antara mereka, bukan urusanku untuk mengoreknya. Setengah jam kemudian, para tetangga berdatangan seolah gelombang pasang menerpa pantai. Anak-anak silih berganti menjabat tangan kami, kemudian duduk atau berdiri menunggu uang saku seperti adat di Jepang saat tahun baru. Otoshidama atau uang saku untuk anak-anak.

Hari itu aku menjadi bintang. Kabar orang Jepang menjadi mualaf di hari raya menyebar secepat angin. Semua menyalamiku, memberiku selamat. Para laki-laki merengkuhku, memelukku hangat sebagai saudara baru dari Negari jauh. Aku ikut mengekor di belakang Misto dan adik-adiknya, menjabat tangan para tetangga. Tidak sebatas tetangga muslim, tetangga yang beragama Hindu juga ikut beramai-ramai saling meminta maaf. Tidak ada sekat di antara kami. Mayoritas penduduk lereng gunung Bromo yang beragama Hindu ikut membaur dalam hari yang suci ini. Kerukunan antar umat beragama bertaut mesra dalam kehidupan sehari-hari mereka. Agamamu bagimu, agamaku bagiku. Hari itu menjadi hari yang tak terlupakan sepanjang hidupku. Sebuah hari di mana aku merasa terlahir kembali.