Chereads / ai (LOVE) / Chapter 27 - BAB 27 ; Manusia Baru

Chapter 27 - BAB 27 ; Manusia Baru

Hari-hari berikutnya adalah hari-hari terakhir puasa. Seperti hari-hari sebelumnya, setiap selesai membantu bercocok tanam, aku dihadiahi buka puasa bersama. Seperti malam-malam sebelumnya, untuk kesekian kalinya aku duduk terpekur di tangga lantai masjid melihat masyarakat desa sholat berjamaah. Malam ini pun aku menunggu Aliman selesai mengajar dan mengaji.

Di sela menunggu di teras, laptopku terus bergerak mencari segala informasi tentang ajaran Islam dalam Bahasa Jepang. Beberapa malam terakhir, pengetahuanku tentang Islam semakin banyak. Pertanyaan-pertanyaan kritis yang melintas di kepala kutanyakan semuanya ke Aliman. Pemuda itu hebat sekali. Di luar kepala dia menjawab segala pertanyaanku dengan menukil ayat-ayat Al Qur'an yang dihapalnya. Semakin banyak bertanya dan mendapat jawaban yang masuk akal, hatiku semakin goyah. Setiap malam melihat ketertundukan manusia menghadap Tuhan, membuat keyakinan yang selama ini kuyakini kebenarannya semakin pudar. Aku berada pada ambang keraguan tentang dunia dan penciptanya. Manakala sebuah mimpi menghampiri tidurku malam itu, aku tahu, tak ada lagi keraguan yang harus dipertahankan.

Aku berada di sebuah gurun. Sepanjang mata memandang hanyalah sebuah gundukan pasir berbukit-bukit. Gelombang panas menyapu seluruh wilayah, gemuruh angin membawa pasir panas beterbangan menerpa wajah. Mengigit kulit, menusuk pahit ke segala bagian tubuhku yang terbuka. Terik matahari membuat kain tipis yang membungkus tubuhku lengket oleh keringat. Tenggorokanku tercekat. Kepalaku berdenyut keras. Perutku melilit menahan lapar.

Aku melangkah. Namun kakiku tersedot gumpalan pasir. Aku berusaha menariknya, tetapi hisapan pasir menguat, membuat kakiku semakin terbenam. Aku berteriak dan berontak saat hisapan itu membenamkan tubuhku hingga pinggul. Semakin aku meronta, tubuhku semakin terbenam lebih dalam. Saat tenaga tak ada lagi yang tersisa, pasir mengubur tubuhku hingga sebatas leher menyisakan kepala. Setiap angin bertiup kencang, butiran pasir masuk melalui mulutku, lubang hidungku, melukai mata. Tak sanggup lagi membuka kelopak mataku.

Dari dalam pasir yang membenamkan tubuh, seolah ada ribuan binatang menyengat setiap inci tubuhku, menimbulkan sensasi sakit yang tak tertahankan. Mulutku berusaha terbuka, berusaha berteriak. Namun, di saat itu pula ribuan partikel kecil menerobos masuk menyumbat mulutku. Aku menyerah. Dalam keterputusasaan, telingaku menangkap jerit burung-burung pemakan bangkai. Mereka tak sabar menunggu nyawaku meninggalkan tubuh.

Ketika tak ada lagi usaha yang bisa kulakukan tanpa sadar bibirku berkecumik berharap sebuah pertolongan dalam alunan doa. Sebuah doa yang selama seminggu ini terus-terusan menggempur gendang telingaku dari pengeras suara yang mengalun dari sebuah masjid kecil di lereng Gunung Bromo. Tanpa mengenal arti doa itu, mulut dan hatiku selaras mengucapkannya.

Di tengah penggalan jantungku yang semakin susah berdegup, telingaku menangkap sebuah gesekan terompah halus. Suara itu terdengar bersama desiran pasir dan jeritan burung gagak. Semakin lama, gesekan terompah itu semakin mendekat dan semakin mendekat. Suara terompah itu berhenti tepat di sebelah kepalaku.

Mataku terpejam. Pasir yang bercampur keringat membuat kelopak mataku lengket. Yang tersisa dari indraku hanyalah pendengaran. Sebuah tangan bertelapak halus mengusap kepalaku. Kemudian tangan itu menjambak rambutku. Tenaga yang besar membuat tubuhku terangkat. Himpitan kuat bumi tak sanggup menahan tarikan tenaga itu. Tubuhku melayang naik, dan jatuh ke pasir keras kala tangan itu melepaskan genggaman pada rambutku.

Kubersihkan kelopak mata hingga pasir berguguran. Diterangi terik matahari, sebuah wajah tua yang bersih bercahaya menyembul. Kakek tua tampan dengan wajah timur tengah. Keriput yang menghiasi wajahnya tak sanggup menyembunyikan ketampanan itu. Dia tersenyum ramah. Tanpa berkata apa pun dia membersihkan pakaianku. Menyingkap pakaianku di bagian dada, kemudian meletakkan telapak tangannya yang lembut itu ke dadaku. Telapak tangan itu mengusap dadaku perlahan. Senyumnya mengembang.

"Sudah waktunya. Bersihkan dirimu," ucapnya.

Sebelum aku bertanya, kakek tua itu menghilang. Meninggalkanku seorang diri kembali di tengah gurun tandus. Yang berbeda, tidak ada rasa takut seperti sebelumnya. Angin bertiup lemah. Butiran pasir tunduk. Sinar matahari bersinar kordial. Di saat itulah sebuah suara merdu yang sering kudengar dari pengeras Masjid mengalun perlahan. Ucapan kakek tadi kembali terngiang di kepala. "Sudah waktunya. Bersihkan dirimu."

Aku terbangun dengan peluh bertetesan. Jarum jam menunjukkan angka dua dini hari. Detak jarumnya terdengar jelas di telingaku. Selain detak itu, di dalam ruangan yang terdengar hanyalah desahan nafasku sendiri. Saat ini nafas itu sedang bergerak memburu. Ucapan kakek tadi terdengar kembali. Memenuhi seluruh rongga yang terdapat di dalam setiap inci tubuhku. "Sudah waktunya. Bersihkan dirimu."

Aku mengelepar. Kutarik selimut. Kukenakan pakaian sepatutnya. Aku bergegas keluar kamar. Tujuanku adalah kamar sebelah. Kamar Aliman. Suasana rumah masih lengang. Mungkin para penghuninya masih melesakkan tubuhnya di dalam selimut. Kuketuk kamar Aliman pelan berkali-kali, Namun, tak ada suara sahutan yang terdengar dari dalam. Ketika ketukan kuperkeras, dari belakangku terdengar suara yang beberapa malam ini sering terdengar.

"Ehm, ada apa, Kazuki san?"

Aliman berdiri tepat di belakangku. Dia mengenakan sarung dan pakaian sholat, peci hitam bertengger di kepalanya. Matanya teduh walau saat itu memancarkan ribuan pertanyaan.

Aku menubruk tubuh itu. Mengguncangnya. "Sudah waktunya. Bersihkan dirimu!" teriakku meracau.

Berkali-kali aku mengulang kalimat itu. Aliman memegang bahuku, memintaku menenangkan diri.

"Sudah waktunya. Tolonglah, bimbing aku! Aku ingin mengucapkan dua kalimat syahadat!" teriakku kembali.

Sesegera mungkin ingin kusudahi gelombang yang bergetar hebat menyerang hati. Suara kakek tua itu terus mengalun di setiap nadi, di setiap aliran darah. Sensasi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata membuatku ingin mengikuti arahan itu.

"Alhamdulillah," bisik Aliman. Dia memelukku. "Selamat datang saudaraku. Akhirnya, Allah memberikan hidayahnya padamu."

Aku balas memeluknya. Pertahananku bobol. Hatiku menjerit. aku menangis keras di dada laki-laki sederhana ini. "Katakan padaku, Saudaraku. Apakah Allah akan mengampuni seluruh dosa-dosaku?"

"Insya Allah. Semoga kau istiqamah di jalanNya."

"Terima kasih, terima kasih," bisikku parau. Kubiarkan air mataku terus berderai. Aliman pun membiarkan dadanya sebagai tempat sementara labuhan hatiku.

Setelah menguasai debur jantungku, kuseka air yang berurai itu dengan lengan bajuku. Pintu kamar sebelah terbuka. Pak Manaf dan Bu Aminah muncul dengan wajah khawatir.

"Ada apa?" tanya Bu Aminah.

"Kazuki san ingin mengucapkan kalimat syahadat."

"Alhamdulillah." Kedua orang tua itu serempak berucap.

"Ayo, kuantar sekarang ke Masjid. Kebetulan ini malam takbiran. Aku yakin pengurus Masjid sudah siap di sana. Hari ini momen yang spesial. Kazuki san mendapat hidayah tepat pada hari Iedhul Fitri. Mandi besar dulu, setelah mengucap syahadat, kita sholat shubuh berjamaah. Dilanjutkan takbir dan tahmid. Selepas pagi, kita sholat Iedhul Fitri."

Aku mengangguk mengiyakan.

Masjid kecil satu-satunya di desa Wonojoyo terlihat ramai pada pukul tiga dini hari. Berdiri di area seluas seratus meter persegi, Masjid ini adalah bangunan indah paling mungil dari tempat ibadah yang pernah kutemui. Halamannya yang tidak seberapa luas tak sanggup menerima kepadatan penduduk yang ikut sholat berjamaah. Terutama saat sholat tarawih. Lima pilar yang menopang bangunan terkelupas catnya, senada dengan dindingnya yang terlihat kusam. Karpet yang melapisi lantai keramik adalah sumbangan yang didapat bertahun-tahun yang lalu. Kain tebal pelapisnya koyak di beberapa tempat. Tempat berwudhu sudah tak layak lagi, sehingga bekas air wudhu meninggalkan kelembaban sebagai tempat bersemayam jamur.

Yang berbeda dari Masjid lain yang pernah kulihat dari kejauhan adalah masjid ini tak pernah sepi dalam berbagai waktu. Dini hari, siang, sore, malam, tetap menjadi tujuan penduduk sekitar untuk melaksanakan kewajibannya. Bahkan maghrib dan isya' adalah waktu di mana tempat ini berubah laiknya pasar. Masyarakat datang bergelombang memenuhi panggilan sebuah acara seolah panggilan pesta gratis.

Pagi dini hari ini, kumandang takbir dan tahmid mengalun terus menerus, menandakan hari raya yang dinanti tiba. Guyuran air es di tengah pagi buta tidak menyurutkan langkahku. Setiap senti kulitku terbilas air, sabun, shampo, air lagi hingga tak tersisa kulit kering. Seperti yang selama ini diajarkan Aliman tentang cara bersuci, tubuhku bertahan melawan gigilan yang mengigit. Gigiku gemeletuk menahan dingin. Namun hatiku panas membara.

Aliman memberiku sarung, baju muslim, sajadah, dan peci. Semua pakaian dan peralatan sholat itu baru, seperti diriku yang telah terlahir kembali menjadi "Manusia Baru". Pengurus Masjid yang telah dihubungi Aliman berkumpul. Semuanya sekitar lima belas orang. Mereka menyalamiku, mempersilahkanku ramah memasuki teras Masjid. Tetua desa sekaligus merangkap modin duduk berhadapan denganku. Aliman di sampingnya. di belakangku, duduk seluruh pengurus Masjid. Termasuk Misto.

Sebelum prosesi ikrar kalimat syahadat meluncur, mantan sopirku itu tergopoh datang. Seseorang atas suruhan Aliman memberi kabar tentang apa yang akan kulakukan. Dia duduk di deretan ke dua, memberi isyarat padaku untuk melanjutkan prosesi. Saat dua kalimat syahadat dalam Bahasa Arab dan diikuti dalam Bahasa Indonesia meluncur lancar dari bibirku, semua yang hadir bertakbir. Mereka menyalamiku kembali, memelukku, membisikkan kalimat peneguhan untuk istiqamah di jalanNya. Hatiku bergetar hebat. Pelukan dari mereka yang menjadi saudara baruku dalam iman menyalurkan getaran haru yang tak bisa kubendung. Aku menangis sesenggukan di bahu Misto. Sopirku di kehidupan kerja ini memelukku erat. Berkali-kali dia mengucapkan kata "Saudaraku".

Selepas perjalanan ini, setelah kembali ke dunia kerja di Bali, akankah hubungan antara bawahan dan majikan bisa berlangsung seperti sedia kala. Tak sanggup aku menerima ucapan "Mister" lagi darinya. Tak mungkin aku tega melihat saudara baruku ini mengangkat tas, menunggu di parkiran hingga larut malam.