Chereads / ai (LOVE) / Chapter 26 - BAB 26 ; Anak Remaja

Chapter 26 - BAB 26 ; Anak Remaja

Esok pagi setelah makan sahur, aku kembali berjalan menyusuri lereng bukit di sekitar rumah. Kucari tempat yang tepat untuk mendapatkan Sang Fajar merekah. Memang tidak seindah puncak penanjakan, tapi cukup bagus untuk sekedar melepas rindu akan hayalan bersama Michi.

Aliman sejak pagi sudah pamit ke kota. Pemuda itu sedang merintis sebuah organisasi nir laba dalam bidang keagamaan dengan teman-temannya di kota terdekat. Mendekati hari raya, dia semakin sibuk mempersiapkan diri. Dia berjanji akan cepat pulang. Masih ada tugas yang belum terselesaikan denganku, katanya. "Janji pahala yang semoga akan kudapatkan," terangnya malam itu sambil menyeringai canda.

Setelah mencuci muka, menggosok gigi dan berganti pakaian, aku sudah siap di depan rumah Misto. Janjiku untuk mengantar Tuti harus kulaksanakan, sekalian melihat wajah segar Ratna. Kakak beradik itu keluar bersamaan, beruruk salam saat melihatku. Keduanya berwajah segar. Tetes air masih tersisa di rambut mereka yang hitam pekat. Dalam cuaca pagi nan dingin, kebiasaan masyarakat Indonesia pada umumnya masih dijunjung tinggi; mandi pagi. Keramas lagi.

Tuti mengeluarkan motor matic. Dia memintaku untuk menyetir motor itu. Surat Ijin Mengemudi yang kudapat di Pulau Bali entah terpakai atau tidak di sini. Ratna menyusul Misto yang sedari pagi sudah berada di lahan. Waktu untuk menanam bibit. Sebelum ditanam, mulsa plastik harus dilubangi dulu, sedangkan tenaga berdua saja akan kurang. Setelah mengantar Tuti, kami berjanji akan segera meluncur ke lahan.

Jarak dari rumah ke sekolah Tuti tidak terlalu jauh. Butuh lima belas menit untuk mengantar gadis itu, tapi butuh satu setengah jam untuk melayani permintaan teman temannya. Bercakap, bercanda cekikikan ala remaja, diakhiri foto bersama. Seperti artis dadakan, aku dikerumuni lautan remaja. Semalam tanpa kusadari, Tuti diam-diam mengambil beberapa foto wajahku. Dengan kemampuan editingnya, dia menyandingkan fotoku dengan foto Fukuyama Masaharu saat berusia tiga puluhan. Dia menggunakan aplikasi terjemahan untuk memberi kutipan terjemahan dalam Bahasa Jepang. Jadilah mereka mengira aku adalah Fukuyama Masaharu yang kesasar sedang pariwisata ke Gunung Bromo. Keteranganku bahwa ini hanyalah candaan Tuti tetap tidak didengarkan. Oh, gadis remaja, se-hoax apa pun beritanya, kalau itu bisa membuat mereka menjerit kegirangan, mereka menganggapnya menjadi sebuah realita.

Setelah selesai acara artis dadakan, dalam perjalanan pulang, aku menjewer telinga Tuti. Gadis itu terbahak manja. Bukannya takut, dia bahkan melingkarkan pelukannya saat aku memboncengnya. Seolah tidak ingin melepasku, Tuti meminta untuk diantar ke tempat berikutnya. Dia ingin membeli baju baru untuk lebaran. Jadilah aku keluar masuk pasar baju, sabar menunggu dia memilih, memberi komentar mana warna yang cocok, mana style yang bagus untuk tubuh bongsornya. Tuti menolak keras saat aku ingin membayar pakaiannya. Berkali aku membujuknya, dia tetap pada pendiriannya.

"Kak Misto pasti marah kalau tahu aku dibayari laki-laki lain."

"Aku kan bukan orang lain, sudah seperti kakak bagimu. Aku juga nggak akan bilang Misto"

Tuti menjulurkan lidahnya. "Nggak, ah. Kak Kazuki masih orang lain, kecuali kalau suatu hari nanti jadi bagian dari keluarga kami."

Hatiku tersentak. "Ya sudah. Terserah kau saja." Aku enggan meneruskan percakapan yang menjurus pada hal pribadi.

Setelah dari pasar baju, kami tidak pulang ke rumah, melainkan langsung menuju lahan. Matahari sudah beranjak tepat di atas kepala. Sinarnya menjamah seluruh permukaan lereng, tapi panasnya tertahan cuaca dingin. Tidak menyengat walau kami berada tepat di bawahnya. Perjalanan memakan waktu satu jam dari kota. Mendaki, menurun, mendaki lagi hingga motor matic yang kami tumpangi terbatuk menahan beban. Tuti semakin lengket, tangannya melingkar erat di pinggangku.

"Kamu tidak takut pacarmu cemburu melihatmu duduk seperti ini?" tanyaku sambil mata tetap fokus ke jalan.

"Biarin saja. Kalau cemburu, ya diputus. Masih banyak cowok lain yang ngantri."

Bahuku terguncang menahan tawa. Stang motor sedikit bergerak oleng. Aku masih ingin menggodanya. "Bisa saja kau ini. Kalau Tuti sudah punya pacar, kenapa duduk mepet gini ke Kakak?"

"Kapan lagi bisa dibonceng artis Jepang," katanya dari sadel belakang. Aku kembali terbahak. Jalan menurun curam membuatku menyudahi kelakarku.

Ratna dan Misto sedang membutuhkan tenaga yang ada. Pukul dua belas tepat, motor matic yang kami kendarai bergerak menanjak menuju lereng. Beban berat yang ditanggungnya membuat mesin mengeram. Knalpot berkali-kali terbatuk mengeluarkan asap hitam. Dari jalan besar, Tuti memberi aba-aba belok kiri, ke jalan tanah berbatu. Badan motor tertatih menerima tusukan batu tajam dan tanah bergelombang. Setelah kelokan dua tiga kali, lahan luas berisi tanaman kol terbentang menghampar.

Ribuan gundukan bedengan tertutup mulsa plastik berderet panjang menyambut kedatangan kami, melekuk, membujur seolah sulur gurita raksasa merambah bumi. Puluhan petani laki-laki dan perempuan menyebar laiknya noktah hitam di area lahan. Laju motor matic berhenti tepat di lahan paling ujung. Tanpa harus mematikan mesin, motor tua ini seolah merajuk, menghentikan sendiri pergerakan karburatornya. Memaksa kami turun tepat di pingir bedengan.

Dari jarak puluhan meter Misto melambaikan tangannya, meminta kami mendekat. Di belakang Misto, Ratna sibuk menggunting mulsa plastik, membuat lubang-lubang yang akan kami tanami bibit. Dia tidak mempedulikan kedatangan kami, asyik sendiri dengan dunianya. Dua pasang sepatu botdan dua pasang gunting siap menanti di pinggir bedengan. Tergesa kami mengganti sepatu, tapi tetap dengan pakaian formal. Tuti cemberut. Dia harus merelakan pakaian batik seragam sekolahnya belepotan tanah.

Tanpa canggung aku melangkah mantap mendekati mereka. Misto menganggukkan kepala. Ratna tersenyum cerah. Masih ada sepuluh bedengan yang belum dilubangi, sedangkan dua orang yang sejak pagi bergelut dengan lahan kol sudah terlihat kelelahan. Penambahan dua tenaga baru akan membuat pekerjaan melubangi bedengan cepat selesai.

Belum juga kami bernafas lega, pekerjaan selanjutnya sudah menanti. Ratusan bibit kol berjajar rapi di samping bedengan, masih terbungkus polybag. Cekatan tangan Misto dan Ratna melepas polybag semai. Aku meniru perlahan cara mereka. Tuti terlihat canggung. Remaja tanggung yang sedang memasuki masa pubertas itu tak sabar melepas polybag. Beberapa kerat akar ikut tercerabut, menempel di pastik ploybag semai. Ratna mendelik melihat kelakuan adiknya.

"Lepas perlahan! Jangan sampai merusak akarnya!" bentaknya.

Tuti melengos. Mulutnya mengomel tidak beraturan. Melihat gelagat yang kurang menguntungkan Misto mengajak istirahat.

"Istirahat dulu. Kelihatannya semua sudah capek. Aku sholat dulu."

Ratna menyudahi sementara pekerjaannya. Gadis itu menghempaskan tubuhnya di pinggir bedengan, matanya melirik buntalan besar di sadel motor. Dari tulisan di plastik pembungkus, dia tahu apa isinya. Doppelganger Michi itu mengalihkan pandangannya, menatap lurus ke depan. Tidak mempedulikan lagi kehadiranku. Wajahnya memerah kelelahan, keringat mengucur membasahi dahi, pipi, dan ujung hidungnya. Dia menyeka keringat dengan ujung baju gombong khas petani, membuat sisa tanah di ujung baju menempel di wajah dan lehernya, membentuk garis hitam pada kulitnya yang bersih. Setiap gerakannya tak lepas dari mataku. Untuk hal ini, dia beda dengan Michi.

Michi tidak akan sembarangan menggunakan kain untuk menghapus keringat maupun noda yang menempel. Tidak akan membiarkan wajah dan kulitnya belepotan. Kukibaskan kepalaku. Kuusir dua bayangan yang silih ganti muncul. Michi dan Ratna, dua sosok tubuh yang sama tapi beda sifat.

Mengisi kekosongan yang kaku, aku membiarkan dua perempuan ini duduk di samping bedengan. Kakak beradik itu tak bertegur sapa. Aku tidak terlalu capek walau tenggorokanku tercekat rasa haus. Meneruskan pekerjaan sendiri lebih baik dibanding berada di antara dua perempuan yang lagi sensi.

"Aku ikut Kak Kazuki," kata Tuti meninggalkan kakak perempuannya sendiri termangu.

Dia menyusul langkahku. Sambil berjongkok tangannya perlahan melepas polybag. Bentakan Ratna membuat Tuti memperlakukan bibit kol layaknya bayi yang baru lahir. Kami bekerja tanpa bicara. Satu jam lebih separuh polybag terlepas dari bibit. Misto yang selesai sholat mendekat bersama Ratna, ternganga melihat pekerjaan kami.

"Bagus, rapi," puji Misto.

Tuti tidak menanggapi. Wajahnya cemberut, mulutnya terkunci rapat, hatinya masih terluka akibat bentakan kakaknya. Ratna mendekati adiknya, memeluk tubuh Tuti dari belakang, menggosokkan bajunya ke baju Tuti yang bersih.

"Kamu masih marah ya? Nih aku kasih bonus lumpur."

Tuti meronta. "Kak Ratna jahat!"

"Maafkan aku, ya Dik. Kakak tadi kelelahan. Sekarang sudah segar kok."

"Ogah, ah. Capek kok aku yang jadi sasaran."

Tuti berhasil melepaskan diri dari pelukan kakaknya. Ratna mengejar adiknya. Tuti lari ke arahku. Bersembunyi di balik punggungku.

"Ayo, kejar ke sini kalau berani?" ejeknya.

Tanpa ragu Ratna bergerak ke arahku. Dua wanita muda ini mengerumuni, berputar mengelilingiku. Tangan Ratna berhasil meraih tangan Tuti, menariknya menjauh dari tubuhku. Tuti berusaha menolak. Tarikan Ratna begitu keras membuat kakiku yang tak tegak menapak ikut terseret tarikannya. Tubuh Tuti terdorong menubruk tubuhku. Tubuh kami menubruk tubuh Ratna yang juga tidak meyangka gerakannya membuat keseimbangan tubuh kami terganggu. Bertiga kami terjerembab menimpa bedengan yang siap untuk disemai. Panjang dua meter gundukan tanah beserta mulsa platiknyanya ambyar berhamburan. Pakaian, kulit, tubuh, semua berlepotan tanah lembab. Mulut Misto ternganga, matanya mendelik, wajahnya mengerut. Sambil berkacak pingang mulutnya siap mengeluarkan sumpah serapah.

Tuti, Ratna sigap berdiri. Dua gadis itu melompat mendekati kakak lelakinya. Kedua tangan wanita itu meraih tangan Misto yang sedang berkacak pinggang.

"Maaf, Kak," rajuk Ratna seperti anak kecil.

Tuti menggelayut manja di bahu kakaknya. "Iya, maafkan kami, Kak. Orang puasa tidak boleh marah lho, Kak."

Kepala Misto tengadah. Seolah melampiaskan amarahnya pada gumpalan awan yang sedang bergerak cepat. Dihembuskan nafas beratnya ke langit, berharap sinar matahari yang memancar menggerus kegusaran melihat hasil kerja berjam-jam cerai berai. Beberapa detik kemudian wajah Misto berubah normal. Kepalanya menggeleng ke kanan ke kiri. Bibirnya ditarik lebar.

"Kalian memang nakal. Sudah besar tapi kelakuan kalian masih seperti anak kecil. Kalian benahi sendiri bedengan yang rusak itu."

Ratna, Tuti tersenyum lega.

"Maafkan aku," kataku sambil menundukkan tubuhku dalam-dalam ke hadapan Misto.

Kakak dua perempuan muda itu menepuk bahuku. "Justru aku yang minta maaf pada Kazuki san. Adik-adikku itu memang kebangetan."

Kami tertawa bersama. Tanpa dinyana, Ratna dan Tuti menubruk tubuh Misto, menularkan pakaian mereka yang penuh tanah gembur ke pakaian kakaknya. Misto mengelak, berlari ke pinggir bedengan. Ratna dan Tuti mengejar. Dua gadis itu menubruk kakaknya ketika berhasil mendapatkan tubuhnya. Ketiganya berpelukan. Tergelak. Dari tengah bedengan yang ambrol aku ikut terbahak. Tanpa sadar, dari sudut mataku sejumput air mata mengembang. Aku ikut bahagia melihat kebahagian mereka. Sebuah hubungan bahagia antara kakak dan adik yang tak pernah kurasa.