Aku menatap gundukan tanah seluas setengah hektar yang menghampar di depanku. Gundukan tanah hitam itu membentuk bedengan-bedengan selebar satu meter dan tinggi dua puluh senti. Jarak antar bedengan sekira tiga puluh senti meter. Jarak yang cukup agar petani bisa menyemai. Bau pupuk kompos bertebar menyengat. Di sebelahku, Misto dan Ratna berdiri dalam pakaian petani. Sepatu bot setinggi tulang kering ikut menenami. Kami membawa cerek besar berleher angsa.
Setelah turun dari gunung Bromo, tanpa mandi, aku menemani Misto mengurus kebunnya. Aliman ada giat lain yang tak bisa ditinggal. Misto menanyakan kesanggupanku. Menyarankan aku untuk istirahat. Aku menolak. Alasanku sebenarnya adalah ingin bertemu adiknya.
"Kak Kazuki yakin ingin ikut? Tidak istirahat saja?" tanya gadis itu.
"Aku masih kuat. Lagipula rasa hausku sudah tereliminir. Suhu udara dingin membuat tenggorokanku bisa berasimilasi," jawabku sekenanya.
"Tidak lapar?" imbuh Misto.
Aku menggeleng. "Sedikit lapar. Tapi dengan berkegiatan rasa lapar bisa terlupakan."
"Baiklah kalau begitu. Ikuti kami."
Misto memimpin di depan, Ratna dan aku di belakang. Ratusan bedengan siap menerima air agar lebih lembab. Cerek penuh air bergerak teratur membasahi bedengan. Kami berderet masing-masing dalam satu jarak. Kami memuntahkan seluruh air dalam cerek, mengisinya kembali dari tandon besar di sebelah bedengan yang sudah di siapkan. Tandon berisi seratus liter air yang dialirkan dari sungai terdekat dengan mediasi bambu, sebentar saja berkurang drastis. Seolah berlomba menghabiskan air dalam cerek, kami mengisi lagi, menghabiskan lagi. Gerakan Ratna lebih lincah dari pada Misto. Dua tahun tidak mengurus kebun membuat kakaknya kikuk saat menyemai.
Aku mengagumi kecekatan langkah dan gerak tangan gadis itu. dia bergerak gesit dari kiri ke kanan, kembali lagi memuntahkan air dari cerek. Butuh dua jam menuntaskan penggemburan tanah. Alhasil, Ratnalah yang lebih banyak menghabiskan air dari pada kami, para lelaki. Peluh bertaburan di seluruh tubuh. Otot di kedua lenganku merintih. Pundakku serasa kaku. Aku membutuhkan istirahat sebelum memulai tugas baru. Misto mengerti keadaanku.
"Kita istirahat dulu," ajaknya.
Aku segera menyetujui. Keengganan melintasi wajah Ratna. Kelelahan tidak nampak di wajah cantiknya. Tubuh semampainya segan diajak untuk tetirah sejenak. Peluh yang membasahi dahi dan lehernya membuat anak-anak rambut yang mengelantung tak terikat menempel erat di tengkuk dan dahinya. Gadis ini terlihat sangat menarik.
"Baru juga dua jam, masak sudah istirahat. Payah para lelaki," ejeknya.
"Iya, kamu kuat karena tidak puasa. Kami juga baru saja turun dari Gunung Bromo dan Penanjakan. Capek tahu!" balas Misto.
"Alasan! Sukanya mengkambing-hitamkan puasa."
Mata Ratna dipelototkan, mulutnya mengerucut. Persis saat Michi merajuk. Michi lagi! Aku berusaha menepis nama dan bayangan itu, tapi masih tak mampu. Bahkan, aku menikmati pemandangan wajah yang sedang bersungut itu. Wajah Ratna saat sedang pura-pura marah mengingatkanku akan Michi yang selalu kalah dalam permainan "Knight Hunter". Biasanya, aku akan memeluk tubuhnya, mencium ringan pipinya, membisikkan kalimat sayang.
Mimik Ratna seperti magnet kuat yang membuat mataku tak bisa lepas dari wajahnya. Aku menatapnya tanpa lepas, hingga yang punya wajah merasa jengah.
"Kenapa Kak Kazuki menatapku seperti itu?"
Ketahuan! Otakku berpikir keras mencari jalan keluar. "Eee ... anoo...." Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Jemariku yang tadi menggaruk tanah memindahkan tanah itu ke rambutku yang memanjang dan menggumpal. Ratna menunggu jawabanku. Aku semakin salah tingkah. Tanpa sadar aku mengelus berewokanku, cambang yang melingkupi dagu, pipi, dan bibirku ikut belepotan. Naluriku sebagai penebar pesona telah mati. Otak playboy-ku berhenti. Tidak ada lagi Kazuki yang cepat mengeluarkan kalimat improvisasi.
Sekenanya aku mengeluarkan apa yang terbersit di otak. "Memang perempuan tidak wajib puasa?"
Misto menahan tawa. Wajah Ratna memerah seperti udang direbus. Alih-alih menjawab, dia menghentakkan kakinya, membanting cerek di tangannya, berlalu mencari tugas berikutnya. Misto meledak tebahak melihat kelakuan adiknya.
"Tuh, ditanya kok nggak jawab?" candanya
Ratna semakin merajuk. "Masa bodoh dengan kalian!"
Aku tidak tahu apa yang salah dari pertanyaanku. Ratna benar-benar berlalu meninggalkan kami. Misto juga enggan menjelaskan. Ketika malam kutanyakan hal itu pada Aliman. Wajahku bersemu merah saat tahu jawaban kenapa Ratna merajuk. Gadis itu malu ketahuan sedang menstruasi.
Matahari sudah tinggi diatas kepala. Misto minta ijin mundur diri untuk sholat dhuhur, dan kujawab akan menyusul setelah ia menjalankan perintah Tuhannya. Dia menyerahkan tugas berikutnya pada kami berdua. Tentu saja dengan senang hati aku menerima. Misto percaya aku tak akan macam-macam berdua dengan adiknya.
Mulsa plastik penutup bedengan sudah siap. Puluhan tonggak kecil dari kayu terkumpul dalam satu keranjang. Pemasangan mulsa plastik sebenarnya bisa dikerjakan Ratna sendirian, tapi Misto tak sampai hati membiarkan adik perempuannya bekerja tak ditemani. Pemasangan mulsa plastik harus cepat dilakukan sebelum tanah benar-benar mengering. Kutancapkan tonggak yang sudah terbungkus ujung plastik. Menekannya keras saat Ratna membentangkan plastik gelondongan itu. Gadis itu menarik plastik melingkupi seluruh bedengan dari ujung ke ujung. Tepat di ujung sisi paling luar bedengan, Ratna memotong plastik dengan gunting, kemudian plastik kembali dililitkan pada tonggak dan ditancapkan di beberapa tempat.
Kami mengulangi seluruh pekerjaan hingga selesai dalam waktu dua jam. Ratna bekerja seperti robot tanpa henti. Dibalik tubuh semampainya tersimpan kekuatan besar yang bisa mengalahkan kekuatan laki-laki. Empat jam berlalu penuh tenaga dan peluh.
"Selesai! Terima kasih, Kak!" Bibir Ratna merekah lebar.
Aku mengangguk, membalas senyumnya. Matahari sudah bergeser ke barat. Misto tak kunjung datang juga. Alih alih memakinya, Aku berterima kasih telah memberi waktu untuk mengenal lebih dekat adiknya. Pantat kuhempaskan di sisi luar bedengan. Tubuhku serasa tak bertenaga. Otot tangan, kaki, pinggul kaku dan ngilu. Belakang kelapaku berdenyut menyakitkan. Darah yang membawa oksigen berjalan tersendat ke otak, membuat tenggorokanku tercekat. Rongga mulutku serasa lelah memproduksi air saliva. Kering, pahit.
"Kak Kazuki pasti sangat capek dan haus. Maaf ya, Kak." Ratna menghenyakkan tubuhnya di sampingku. Celana, baju dan sepatu botnya lengket dengan lumpur dan air.
"Capek, iya. Tapi kakak senang," kataku jujur.
Aku memang senang bisa mengerjakan pekerjaan ini berdua saja dengan Ratna. Ada waktu dimana aku puas menikmati wajah dan sifatnya tanpa ada orang lain yang memperhatikan. Ratna meraih botol minuman dari tasnya, membuka tutup botolnya, dan siap mereguknya. Jakunku turun naik menatap botol dengan cairan warna kuning. Jeruk manis segar pastilah enak di saat tenggorokan kering kerontang seperti ini.
Saat mulut botol sudah mendekati bibirnya, tangan itu berhenti. Ratna mengurungkan diri. Menutup kembali tutup botol, menyimpannya ke dalam tas.
"Kenapa tidak diminum?"
"Nggak, ah. Kakak juga gak minum."
"Aku kan sedang puasa." Senyumku ikhlas memberi ijin dia untuk membasahi tenggorokannya.
"Menghormati Kak Kazuki yang sedang puasa," jawabnya enteng.
"Terima kasih," balasku.
"Kenapa Kakak ikut puasa? Kakak kan bukan muslim? Puasa berat lho, Kak."
"Menghormati Misto san, Aliman san." Aku mengkopi jawabannya.
Ratna tertawa lepas. Giginya putih berderet rapi, rahangnya yang kokoh bergetar, dagu dan pipinya tertarik menyamping. Sisa anak rambut yang menempel di leher, dahi, tengkuk, menggumpal bersama peluh. Wajahnya memerah segar. Sejenak dejavu kembali menyergap. Michi sedang duduk di sampingku, menikmati pemandangan indah lereng gunung bromo bersamaku, bercerita tentang anak-anak kami yang sudah menginjak dewasa. Ketika realita kehidupan menghentak jiwaku kembali pada kesadaran, kuhela nafas panjang.
"Kenapa Kakak diam?" tanya Ratna menyadarkan.
"Tidak. Aku hanya teringat pekerjaanku yang membosankan."
"Kalau bosan, kenapa dilanjutkan?"
"Itulah. Entahlah," helaku. Kalau saja Ratna tahu pekerjaanku di Bali hanyalah sebagai pelarian dari rasa sakitku.
"Omong omong, kau sudah punya pacar?"
Ratna tersentak. Matanya menerawang ke lereng gunung, ke hijau pepohonan. Dia diam sejenak. Aku menunggu dengan harap cemas.
"Tidak ada pacar. Belum pernah pacaran juga sampai sekarang," jawabnya lirih.
Aku kaget sekaligus gembira. Entah kenapa, di sisi relung hati yang paling dalam, aku mengharapkan jawaban itu.
"Tidak mungkin. Kau gadis yang cantik dan menarik. Pasti banyak laki-laki yang mengharapkan jadi pacarmu, jadi suamimu."
Wajah Ratna memerah tajam. "Beberapa pria memang ingin mendekati saya. Tapi entah kenapa, saya tidak bisa merasakan seperti apa yang sering dikatakan teman-teman. Perasaan bergetar, rindu, atau ... kata mereka, sih, apa pun yang dikerjakan selalu teringat dia."
"Ha ha ha...Betul kata temanmu! Itulah cinta. Ketika jatuh cinta, segala apa yang kita lihat, bayangan orang yang kita cintai terpantul di dalamnya."
Ratna meraih bongkahan lumpur lembek, melemparkannya jauh di antara bedengan. "Saya belum pernah punya rasa itu. Dua puluh dua tahun di usia ini, saya sudah mencoba mencari. Namun sampai sekarang tak pernah memiliki."
"Suatu saat nanti kamu akan menemukannya," kataku. Tanpa sadar hatiku berteriak, semoga akulah orang itu.
"Apakah saya normal, Kak?"
Bibirku tertarik lebar. "Tentu saja kau normal," jawabku lugas. "Hanya saja kau belum menemukannya. Dan, itu tak bisa dipaksakan. Cinta akan berjalan mengikuti takdir kehidupan."
"Kalau Kakak sendiri?"
Pertanyaan Ratna membuatku tersentak. Kelebat ruwet dan menyakitkan kisah asmaraku tak layak untuk diceritakan. Aku mengelak dari pertanyaan itu. "Ah, tak ada yang menarik dari kisah cintaku," kataku singkat.
Sebagai bentuk pengalihan kisah asmara, aku memancingnya dengan pertanyaan yang sangat disukainya. Tentang pertanian. "Dari mana kau belajar bercocok tanam?"
"Saya belajar di Universitas, Jurusan Pertanian."
"Dari banyak tanaman, kenapa memilih menanam kol?"
"Selain rasanya enak, kol banyak memiliki kandungan gizi yang sangat bermanfaat bagi tubuh. Vitamin A dan B Kompleks, zat besi, kalium, ripoflavin, dan asam folat. Dengan banyak mengkonsumsi kol secara rutin, sel darah merah dapat terbantu pembentukannya, juga bisa mengontrol tekanan darah tinggi dan mencegah kanker. Plus, harga kol relatif stabil, sehingga kami bisa mudah menghitung harga pokok produksi, harga jual dan laba."
Aku terantuk-antuk berusaha keras memahami keterangan tentang dunia yang masih asing itu. Kalau saja bukan wanita ini yang bercerita, aku lebih memilih tidur di atas bedengan. Namun, aku tidak ingin kehilangan suara Ratna. Mendengar kalimat demi kalimat meluncur dengan nada tekanan yang sama dengan nada yang dimiliki Michi, membuatku terlempar ke masa lalu. Seolah aku mendengar Michi berbicara panjang lebar tentang bisnis keuangan yang juga tak kumengerti betul. "Bagaimana cara menanam kol yang baik?" lanjutku.
"Pertama, persiapan lahan tanaman kol. Lahan harus dibersihkan dari gulma terlebih dahulu, kemudian menggemburkan tanah dengan alat bajak atau cangkul dengan kedalaman dua puluh hingga empat puluh senti meter. Setelah dibajak, kita buat bedengan, seperti yang bedengan di depan kita itu."
"Ada standar ukuran bedengan?" tanyaku. Aku berusaha mengikuti dan menimpali keterangan Ratna agar dia tahu aku juga cukup tertarik.
"Bisa berubah sesuai luas tanah. Tapi lebih baiknya lebar sekitar satu meter, tinggi dua puluh hingga tiga puluh senti meter. Setelah bedengan selesai, jangan lupa mengukur Ph tanah."
"Ada standar ukuran Ph tanah?"
"5,5. Jika kurang, perlu dilakukan pengapuran tanah menggunakan dolmit."
Jawaban Ratna malah membingungkan. Jangankan dolmit, ukuran Ph tanah pun aku tak mengerti. Kepalaku mengangguk antara bingung dan sok tahu. Aku masih berusaha memancingnya untuk terus bercerita. "Langkah apa setelah persiapan lahan?"
"Pemupukan. Setelah Ph tanah sesuai dengan syarat tanaman kol, setelah itu baru dilakukan penyiraman dan pemasangan mulsa plastik yang telah kita lakukan hari ini. Besok akan kita lakukan pembuatan lubang di mulsa plastik dan penanaman bibit kol. Saya sudah menyiapkan bibitnya minggu lalu."
"Setelah ditanam, tinggal tunggu panen saja?"
Ratna menoleh ke arahku. Gadis itu tersenyum manis. "Kak Kazuki termasuk orang yang tak sabaran ya?"
"Maksudmu?"
"Kalau setelah tanam kemudian tinggal tunggu panen, semua orang juga bisa. Harus dirawat dong, Kak."
Aku tertawa lepas. Tentu saja harus ada perawatan. "Susah merawatnya?" tanyaku naif.
"Tergantung, sih. Bila hama dan penyakit tidak sedang menyerang, tentu saja lebih mudah. Ulat, kutu daun, akar bengkak, penyakit busuk hitam adalah hama tanaman kol."
Aku tertunduk masgul membayangkan kerja keras para petani akan buyar ketika tanaman mereka hancur dimakan hama penyakit.
"Ada cara mengatasinya?"
"Tentu saja. Dengan penyulaman. Ambil tanaman yang terkena penyakit dan hama secepat mungkin, ganti dengan tanaman kol yang baru. Tentu saja setelah itu harus tetap dilakukan pemupukan lanjutan, penyiangan, hingga setelah enam puluh hingga sembilan puluh hari setelah masa tanam, kol siap untuk dipanen."
Nafasku terasa lega saat mendengar kata'Panen'. Ratna mengakhiri ceritanya dengan kalimat puitis. "Apa pun tanaman kita, harus ditanam, dipupuk, dijaga dengan baik. Kalau pun suatu hari hama dan penyakit menyerang, tanaman yang dirawat dengan baik akan sanggup mengalahkannya."
Aku tak mau kalah. "Begitu pula dengan cinta. Setiap cinta yang dijalin, dirawat dengan baik, manakala prahara datang menerjang, kekuatan cinta akan sanggup mengalahkannya."
"Kakak bisa saja." Ratna terlihat jengah.
Cinta yang belum pernah hinggap dalam hati membuatnya seperti aku yang tak kenal akan cara bercocok tanam.
"Lanjutkan. Aku ingin mendengar lebih banyak tentang pertanian. Semakin banyak mendengar keteranganmu, semakin aku ingin tahu kelanjutan tentang cara bertani," pintaku.
Berikutnya aku banyak mendengar cerita Ratna tentang bertani, tentang cita-citanya menjadi petani profesional, tentang harapannya bagi para petani Indonesia, tentang bagaimana cara menanam kol, kenapa menanam kol, bagaimana setelah bedengan ditutup muksa plastik. Kalau saja Matahari tidak bergeser lebih ke barat, kalau saja sebuah teriakan wanita tidak membuyarkan, aku yakin Ratna akan bercerita tentang tehnik bercocok tanam dan segala harapannya lebih dalam.
"Cie, cie ... pacaran nih, yee...."
Kami menoleh ke belakang, Misto dan Tuti berjalan mendekat.
"Kau! Anak kurang ajar!" balas Ratna sewot. Wajahnya memerah, bersaing dengan semburat jinga di ufuk barat.
Kami segera berdiri, mengibaskan sisa tanah yang menempel di celana. Senyum Misto merekah melihat semua bedengan tertutup plastik. Dia mengulurkan tangan kanannya, menjabat tanganku.
"Terima kasih sudah dibantu, Kazuki san. Maafkan saya, tadi harus ke pasar menjemput Ibu sekalian mengantar barang pesanan orang."
"Bukan aku. Ratnalah yang banyak bekerja. Dia seperti tak punya rasa lelah."
"Benar kata Kak Kazuki. Kak Ratna memang seperti robot."
Aku mengiyakan perkataan Tuti. "Benar, Tenaga Ratna kuat sekali, seperti Robot."
"Tuh kan, Kak Kazuki juga bilang seperti itu. Robot kan nggak bisa jatuh cinta."
Ratna benar-benar sewot kali ini. Dia melempar adiknya dengan bongkahan lumpur gembur. Tuti berlari menjauh. Ratna mengejar dan berkali-kali melemparkan bronggalan lumpur. "Awas kau di rumah! Anak nakal!"
Aku dan Misto tergelak. Matahari sebentar lagi masuk ke peraduan, sekeliling mulai gelap. Lamat, terdengar alunan ayat suci mengalun. Mendekati berbuka puasa, rasa haus dan lapar hilang entah kemana. Nafsu kadang berbanding terbalik dengan kenyataan.
"Kazuki san nanti buka puasa di rumah saya, ya?"
Aku tidak enak untuk menjawab. Kalau diperbolehkan, aku ingin membayar makanan. Tapi aku yakin mereka akan menolak. Melihat kegamanganku, Misto menegaskan.
"Sahur silahkan makan di rumah Aliman, tapi kalau buka puasa harus makan di rumah saya."
"Terima kasih. Terima kasih atas budi baik, Misto san"
"Sama-sama. Kami juga merasa berterima kasih atas bantuan Kazuki san ikut berkebun. Jadi kita impas."
Aku tertawa. "Setelah mandi dan membersihkan diri aku ke rumahmu."
Misto mengangguk. Kami membenahi semua peralatan dan sisa plastik yang tadi ditinggal begitu saja oleh Tuti dan Ratna, kemudian berjalan berdampingan meninggalkan plastik yang menutup bedengan dalam diam. Deretan puluhan bedengan akan tertidur hingga esok hari. Di ujung jalan kami berpisah. Langkahku mengarah ke rumah Aliman. Aku akan membersihkan seluruh tubuhku, mencukur licin kumis dan berewokanku.