Kuguyur tubuhku dengan air dingin. Satu gayung, dua gayung, seinci demi seinci. Setiap rembesan air membasahi kulit tubuh. Pasir pantai Kuta yang menempel selepas surfing tadi terbilas habis. Kulitku yang dulu cerah, berangsur gelap. Sengatan matahari pulau Bali membuat kulit tangan, kaki dan wajahku terbakar kecoklatan. Rambut lurusku menutup leher belakang walau tetap tersisir rapi. Cambang dan kumis kubiarkan memanjang hingga membuat usiaku terlihat tua dari aslinya. Bukan tidak ada waktu untuk bersolek, aku hanya tidak ingin tampil perlente seperti dulu. Hatiku sudah mati untuk wanita. Melewati satu hari tanpa mimpi buruk dan sergapan bayangan Michi merupakan kemewahan. Aku terus berkutat dengan masa lalu. Kenangan pahit dan manis bergantian merobek semua keindahan yang harusnya kureguk di pulau ini. Saat ini, wanita bukan lagi sejuta kenangan, melainkan sejuta rupiah per malam!
Teriring debur air yang jatuh dari gayung, ketukan di pintu kamarku terdengar lamat. Semakin lama, ketukan di pintu semakin mengeras.
"Tunggu sebentar!" teriakku.
Sesegera mungkin aku mengelap air yang masih menetes di sela sela tubuh. Entah kenapa, aku trauma dengan ketukan pintu. Aku bahkan tidak ingin memasang bel. Setiap ketukan di daun pintu seolah membawaku pada kenangan pahit. Menggiringku menemui orang-orang yang telah membuat hidupku merana.
"Siapa?"
"Maaf Mister. Saya, Misto," teriak suara dari luar.
Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Untuk apa sopir ini muncul di malam hari kerja. Setelah mengenakan celana pendek dan kaos oblong, aku menarik gagang pintu. Wajah Misto muncul di tengah temaram sinar lampu teras. Cahaya dua puluh watt menerangi wajah adem pria muda di depanku ini.
"Ada apa, Misto?"
Dia menyorongkan sebuah dompet. "Tadi tertinggal di jok belakang."
"Ah, terima kasih."
Aku menerima dompetku, membukanya, mengeluarkan satu lembar seratus ribu. Aku tidak banyak membawa uang cash, sekilas menghitung, masih ada enam lembar ratusan ribu. Masih utuh sesuai saat aku menghitungnya tadi pagi.
"Ini, buatmu."
Misto mengangkat tangannya tengadah. Ia menolak pemberianku. "Tidak usah, Mister."
Aku sedikit memaksa. "Sudahlah, terima saja. Aku ikhlas, kok"
Misto bersikukuh. "Mister sudah baik sama saya. Kali ini, tidak usah. Saya juga ikhlas mengembalikan," jawab Misto.
Dia tersenyum renyah. Aku tertawa ringan.
"Kalau begitu saya pamit dulu."
Misto beranjak membalikkan tubuh setelah mengangguk hormat. Aku terkesan dengan makhluk satu ini. Sebulan lebih bersentuhan dengannya, semakin aku mengenal pribadinya, semakin besar keinginan tahuku untuk mengorek latar belakang kehidupannya. Di tengah carut marut dunia yang keras dan penuh intrik, masih ada manusia jujur, ramah, sopan seperti dia. Yang membuatku semakin ingin mengenalnya adalah jalan hidup kepasrahan yang diyakini.
Semenjak aku mengijinkannya sembahyang di hari Jumat, kami semakin akrab. Sering aku bertanya pada Misto tentang keyakinan dan pengetahuannya tentang Tuhan di sela menunggu kemacetan. Misto tidak banyak bisa menjawab pertanyaanku. Kata "Entahlah" "Tidak tahu" "Tidak mengerti", lebih banyak diberikan daripada menuntaskan rasa ingin tahuku. Hanya saja, kepasrahan dan keihlasannya yang tersurat di pancaran matanya yang teduh membuatku semakin penasaran. Apakah ada hubungannya dengan riwayat masa kecilnya? Keluarganya? Asal usulnya? Dia bilang dari pulau Jawa. Aku mengenal beberapa orang Jawa di sini. Tidak semua orang Jawa baik seperti Misto. Tentu saja, tanpa melihat suku, ras dan agama, semua orang pasti ada baik dan ada buruknya.
Sebelum Misto beranjak pergi, aku menahannya. "Misto, tunggu. Kau pernah bilang dari pulau Jawa?" tanyaku.
Misto menghentikan langkahnya, membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku. "Betul Mister. Dari Jawa Timur, Kabupaten Probolinggo."
Aku tahu Jawa Timur, tapi aku tidak familiar dengan wilayah kabupaten yang disebutkannya.
"Dimana itu?"
Misto berpikir sejenak. Dia berusaha menerangkan wilayahnya segampang mungkin. "Dekat Gunung Bromo. Mountain of Bromo"
Pendengaranku serasa digigit ular berbisa. "Ha? Mana?" Aku terlonjak.
Penyebutan tempat wisata itu membuatku tak bisa menahan kaget. Bayangan Michi menyergap. Tempat wisata terakhir yang ingin kami kunjungi melintas cepat di benakku. "Suatu hari aku pasti akan ke sana. Melihat langsung kawahnya, menapakkan kakiku di lautan pasirnya, menancapkan jejak-jejak langkahku di stairs of heaven, tangga surga. Dan, menghabiskan masa tuaku bersamamu," bisik Michi saat itu.
"Kenapa Mister?" Misto balik bertanya.
Aku tidak menjawab. Benakku masih penuh dengan malam terakhir bersama Michi sebelum kebahagian itu hancur dengan ketukan pintu di pagi hari.
"Gunung Bromo sudah sangat dikenal oleh orang asing. Banyak orang Jepang juga pernah ke sana," lanjut Misto. Dia terlihat curiga dengan kekagetanku.
Sesegera mungkin aku menguasai hati. "Ah, tidak apa apa. Hanya saja, aku tidak menyangka kau berasal dari tempat yang indah itu. Tentu saja aku mengenal gunung itu. Lautan pasirnya, keindahan mataharinya saat terbit."
Misto kembali tenang. Keteranganku tentang tempat pariwisata asalnya membuat hidungnya mengembang. Dengan bangga dia mengajakku, "Mister harus pergi ke sana suatu hari."
"Tentu saja aku akan ke sana. Sebaliknya, aku ingin sekali segera ke sana." Kulanjutkan keinginanku, "Duduklah dulu. Kau tidak mengantuk, kan?"
Misto menggeleng. Aku mempersilahkan dia duduk di kursi teras. Satu meja dengan dua kursi satu-satunya penghuni teras kontrakanku. "Mari kita ngobrol. Aku buatkan minuman. Kopi? Teh?"
"Tidak usah Mister, malah merepotkan."
"Nggak. Kopi ya?" Aku memaksa. Misto mengiyakan.
Sejurus kemudian aku sudah memegang dua gelas cangkir berisi kopi. Satu kopi hitam tanpa gula untukku, satu lagi kopi dengan gula dan krim. Aku meletakkan kopi milik Misto di meja, menyuruhnya untuk menikmati kopi bikinanku.
"Terima kasih. Baru pertama kali ini dibikinkan kopi oleh bos," candanya.
Aku terbahak. Kuseruput kopi pahitku dalam-dalam. Cafein membuat otakku berkelebat bangun. "Ceritakan tentang Gunungmu," pintaku.
Seperti pejuang yang tertantang memenuhi perintah komandannya, Misto bercerita dengan penuh semangat. Aku mendengarkan dengan seksama. Sebuah tempat indah untuk menghabiskan masa tua bersama belahan jiwa layak untuk mendapat perhatian penuh. Tentang tinggi, daerah, wilayah, struktur gunung, suku penghuni lerengnya beserta upacara adat dan tetek bengek keseluruhan yang melingkupi. Untuk menghormati cerita Misto, aku sesekali menyelingi ceritanya dengan pertanyaan yang aku sudah tahu jawabannya. Ketika Misto selesai dengan ceritanya, yang tersisa di wajahnya adalah kerinduan akan kampung halaman.
"Sungguh, tempat yang indah," pujiku tulus.
"Ya. Sangat indah. Salah satu surga yang diciptakan Tuhan di dunia," balasnya.
"Ceritakan tentang keluargamu."
"Tidak ada yang menarik tentang keluarga saya yang bisa diceritakan, Mister," katanya merendah.
"Aku ingin tahu tentang penghuni lereng gunung Bromo. Yang kutahu, mereka beragama Hindu. Tapi, kau beragama Islam," kataku berusaha berhati-hati saat bicara tentang agama. Tidak semua orang merasa nyaman dengan pembicaraan tentang Agama.
Misto tertawa kecil. "Ya, begitulah yang banyak ditulis di buku dan di internet. Sebenarnya, ada satu kampung kecil di sana yang penduduknya memeluk agama Islam di antara kelompok mayoritas beragama Hindu." Misto segera menimpali, "Walaupun berbeda Agama, kami sangat rukun. Toleransi antar umat terjalin dengan sangat baik, tidak ada sikap permusuhan. Kami hidup berdampingan sebagai masyarakat anak Tengger. Kami...."
"Keluargamu?" tanyaku memotong.
Terdengar tidak sopan memotong cerita tentang kerukunan antar umat beragama. Tapi untuk hari ini, cukup sudah penjelasan tentang Agama. Bagiku, agama dan keyakinan adalah hal yang sangat individu. Aku tidak tertarik dengan cerita tentang kerukunan beragama. Di Jepang, hukum Negara adalah kekuasaan tertinggi atas individu. Terserah memeluk Agama apa saja, berkeyakinan apa saja, bahkan tidak beragama sekali pun, selama tidak menyalahi hukum Negara, pemerintah wajib mengayomi seluruh warga Negaranya.
Cerita tentang kehidupannya lebih menarik bagiku. Sifat baik Misto tentunya berasal dari lingkungan keluarganya. Pemuda jujur itu pun merasakan keenggananku.
"Saya anak tertua dari tiga bersaudara. Dua adik perempuan." Mata Misto menerawang jauh. Jalan besar di depan rumah mulai lengang. Beberapa motor hilir mudik dengan kecepatan penuh, suara keras knalpotnya memecah kesunyian malam.
"Ketika sekolah menengah pertama, ayah meninggal dunia. Beliau hanya meninggalkan sepetak kebun kubis dan sedikit uang," lanjutnya.
Mendengar kesedihan yang tertanam dalam cerita itu membuatku menyesal bertanya tentang keluarganya. Sudah terlambat untuk menarik pertanyaan, aku terpekur mendengar kelanjutan cerita pahit hidupnya.
"Setelah tamat SMP, saya tidak meneruskan sekolah. Bersama ibu dan dua adik perempuan yang masih Sekolah Dasar, kami bergantung pada hasil pertanian kubis. Tetapi tetap saja tidak cukup untuk biaya kehidupan kami. Di sela bercocok tanam, saya membantu ekonomi keluarga dengan menawarkan jasa tenaga angkut, kuli batu saat ada yang membangun rumah, atau mencari rumput untuk kuda-kuda yang dipergunakan sebagai kuda pelancong. Seiring kebutuhan yang semakin naik, saya pergi ke Bali saat berumur tujuh belas tahun. Bekerja serabutan di sini. Semua pekerjaan yang halal sudah pernah saya kerjakan. Uang hasil keringat saya kirimkan ke desa, dan mengambil sedikit untuk kebutuhan di sini. Saya selalu berdoa dan berusaha agar kehidupan kami lebih baik."
Cerita panjang tentang kehidupan dari bibir Misto mengalun pelan. Pemuda itu berusaha agar telingaku yang belum paham seratus persen dengan Bahasa Indonesia bisa mengikuti alurnya.
"Akhirnya Tuhan mengabulkan doa saya. Majikan saya mau mengajari saya menyopir mobil, dan membantu saya untuk mendapatkan Surat Ijin Mengemudi. Bali sedang penuh dengan wisatawan. Menjadi sopir merupakan jalan keluar lebih baik. Penghasilan saya lumayan bertambah. Walaupun saya tidak bisa melanjutkan sekolah, tapi adik-adik saya harus tetap sekolah. Harus kuliah. Adik perempuan yang tertua tahun ini baru lulus kuliah jurusan pertanian dari Perguruan Tinggi Negeri. Dia yang akan mengelola kebun. Adik perempuan yang ke dua masih SMA."
Misto terdiam sejenak, menarik nafasnya dalam-dalam. Dalam pandanganku Misto telah berubah dari sosok anak muda kalem menjadi ayah, kakak, sekaligus pemimpin keluarga yang perkasa. Dialah manusia yang keluar sebagai pemenang dalam kehidupan ini. Bukan mereka yang kaya harta namun tetap bergantung pada belas kasihan orang lain. Dalam hati aku mengutuk diri sendiri yang selalu berkeluh kesah.
"Itulah Mister, hati kecil saya kadang berteriak sedih saat tidak bisa menjalankan ibadah. Saya tahu kerja juga bentuk lain dari ibadah. Tetapi, saya tetap tidak bisa memungkiri, Tuhan begitu baik pada saya. Sebuah kenaifan bila saya mengingkari nikmat yang selama ini saya dapatkan dengan tidak menjalankan perintahnya," katanya lirih.
Aku berdiri, menepuk bahunya. Kuberi semangat agar dia tetap teguh dengan keyakinannya. "Sudahlah, Tuhan akan selalu bersamamu," kataku sok bijak.
Misto tersenyum menatapku. "Mister percaya Tuhan?"
Pertanyaannya menyodok keangkuhanku. "Ehmh ... Aku...." Aku mengalihkan pertanyaan, "Kapan kau pulang?" Aku tahu dia akan libur dua hari lagi, seminggu sebelum hari besar umat Islam.
"Besok lusa," jawabnya ringan. Misto tahu aku sudah tahu jadwal cutinya karena aku sendiri yang menandatangani ijinnya.
"Boleh aku ikut?" Tanpa berpikir lagi aku sudah memutuskan jadwal libur dan bagaimana menghabiskannya. Tanpa meminta ijin dari "Bos". Aku tidak pernah meminta libur panjang, bahkan hari Sabtu dan Minggu pun aku kerja untuk Made san. Aku yakin dia akan mengijinkannya walau dengan senyum dipaksakan.
Misto menatapku lekat, mencari keseriusan dalam kalimatku. Aku mengangguk yakin.
"Ehm, boleh kalau Mister mau. Banyak hotel lumayan bagus di sekitar wilayah Bromo."
"Aku tidak ingin tidur di hotel, aku ingin tinggal di rumahmu. Aku berharap kau mau menyewakan salah satu kamar. Kalau tidak ada kamar, ruang tamu pun boleh."
"Tapi, Mister...."
Kegamangan dari jawabannya membuatku tidak ingin memaksa. "Kalau kau keberatan tidak apa-apa," pukasku.
"Bukan keberatan, Mister. Tapi saya khawatir tempat saya tidak layak untuk Mister. Lagi pula ada dua adik perempuan di rumah saya, tidak elok rasanya ada laki-laki bukan famili tinggal bersama," jawabnya.
Kutepuk jidatku. Di daerah Bromo yang masih memegang teguh adat istiadat, tentu saja hal itu tidak diperbolehkan. Ini bukan Negara maju, di mana laki-laki dan perempuan bisa tinggal serumah tanpa ada ikatan perkawinan.
Aku tertawa. "Tetap saja, aku tidak ingin tidur di Hotel. Aku ingin makan masakan lokal, belajar menunggang kuda, bercocok tanam dan semua kegiatan masyarakat lokal. Jangan khawatir, aku akan membayar semua biaya hidupku."
Dia berpikir keras. "Kami, terutama saya, merasa terhormat bila Mister mau tinggal di desa kami dengan fasilitas seadanya. Tanpa biaya tentunya. Kalau Mister berkenan, Mister bisa tinggal di rumah teman saya. Tentu dia akan senang juga punya kenalan orang asing."
Aku menyorongkan tangan kananku. "Deal! Kita berangkat lusa."
Misto kaget sambil menerima uluran tanganku.
"Besok kau tidak usah kerja. Aku ingin mempersiapkan diri seharian, berselancar di dunia maya untuk mencari informasi sebanyaknya tentang Gunung Bromo."
Misto menyeringai lebar, mengguncang telapak tanganku hangat. Paduan rasa malu, enggan, khawatir, bercampur jadi satu dari hawa hangat telapak tangannya. Dalam hidupnya mungkin akulah orang asing yang akan menginjakkan kaki di rumahnya untuk pertama kali.
"Biar cepat, kita naik pesawat pagi. Aku akan membayari biaya tiket kita. Jangan ditolak!" perintahku.
Misto tidak sanggup berkata. Pulang kampung naik pesawat di musim peak season mungkin tidak pernah terbetik sekali pun dalam benaknya. Matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Mister. Semoga Tuhan membalas kebaikan Mister."
"Aamiin" Tanpa sadar bibirku mengamini doanya. Cerita tentang Tuhan dan kebaikan yang terefleksikan dari sifat Misto membetot rasa ingin tahuku. Dalam hati aku ikut berdoa, semoga aku bisa menemukan Tuhan di tempat Misto, kemudian mengadukan kepadaNya semua keresahan dan kepahitan hidup yang mendera. Aku tersenyum pahit. Kuusir bayang-bayang Tuhan yang abstrak dan tak berwujud dari otakku.
Kuguyur tubuhku dengan air dingin. Satu gayung, dua gayung, seinci demi seinci. Setiap rembesan air membasahi kulit tubuh. Pasir pantai Kuta yang menempel selepas surfing tadi terbilas habis. Kulitku yang dulu cerah, berangsur gelap. Sengatan matahari pulau Bali membuat kulit tangan, kaki dan wajahku terbakar kecoklatan. Rambut lurusku menutup leher belakang walau tetap tersisir rapi. Cambang dan kumis kubiarkan memanjang hingga membuat usiaku terlihat tua dari aslinya. Bukan tidak ada waktu untuk bersolek, aku hanya tidak ingin tampil perlente seperti dulu. Hatiku sudah mati untuk wanita. Melewati satu hari tanpa mimpi buruk dan sergapan bayangan Michi merupakan kemewahan. Aku terus berkutat dengan masa lalu. Kenangan pahit dan manis bergantian merobek semua keindahan yang harusnya kureguk di pulau ini. Saat ini, wanita bukan lagi sejuta kenangan, melainkan sejuta rupiah per malam!
Teriring debur air yang jatuh dari gayung, ketukan di pintu kamarku terdengar lamat. Semakin lama, ketukan di pintu semakin mengeras.
"Tunggu sebentar!" teriakku.
Sesegera mungkin aku mengelap air yang masih menetes di sela sela tubuh. Entah kenapa, aku trauma dengan ketukan pintu. Aku bahkan tidak ingin memasang bel. Setiap ketukan di daun pintu seolah membawaku pada kenangan pahit. Menggiringku menemui orang-orang yang telah membuat hidupku merana.
"Siapa?"
"Maaf Mister. Saya, Misto," teriak suara dari luar.
Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Untuk apa sopir ini muncul di malam hari kerja. Setelah mengenakan celana pendek dan kaos oblong, aku menarik gagang pintu. Wajah Misto muncul di tengah temaram sinar lampu teras. Cahaya dua puluh watt menerangi wajah adem pria muda di depanku ini.
"Ada apa, Misto?"
Dia menyorongkan sebuah dompet. "Tadi tertinggal di jok belakang."
"Ah, terima kasih."
Aku menerima dompetku, membukanya, mengeluarkan satu lembar seratus ribu. Aku tidak banyak membawa uang cash, sekilas menghitung, masih ada enam lembar ratusan ribu. Masih utuh sesuai saat aku menghitungnya tadi pagi.
"Ini, buatmu."
Misto mengangkat tangannya tengadah. Ia menolak pemberianku. "Tidak usah, Mister."
Aku sedikit memaksa. "Sudahlah, terima saja. Aku ikhlas, kok"
Misto bersikukuh. "Mister sudah baik sama saya. Kali ini, tidak usah. Saya juga ikhlas mengembalikan," jawab Misto.
Dia tersenyum renyah. Aku tertawa ringan.
"Kalau begitu saya pamit dulu."
Misto beranjak membalikkan tubuh setelah mengangguk hormat. Aku terkesan dengan makhluk satu ini. Sebulan lebih bersentuhan dengannya, semakin aku mengenal pribadinya, semakin besar keinginan tahuku untuk mengorek latar belakang kehidupannya. Di tengah carut marut dunia yang keras dan penuh intrik, masih ada manusia jujur, ramah, sopan seperti dia. Yang membuatku semakin ingin mengenalnya adalah jalan hidup kepasrahan yang diyakini.
Semenjak aku mengijinkannya sembahyang di hari Jumat, kami semakin akrab. Sering aku bertanya pada Misto tentang keyakinan dan pengetahuannya tentang Tuhan di sela menunggu kemacetan. Misto tidak banyak bisa menjawab pertanyaanku. Kata "Entahlah" "Tidak tahu" "Tidak mengerti", lebih banyak diberikan daripada menuntaskan rasa ingin tahuku. Hanya saja, kepasrahan dan keihlasannya yang tersurat di pancaran matanya yang teduh membuatku semakin penasaran. Apakah ada hubungannya dengan riwayat masa kecilnya? Keluarganya? Asal usulnya? Dia bilang dari pulau Jawa. Aku mengenal beberapa orang Jawa di sini. Tidak semua orang Jawa baik seperti Misto. Tentu saja, tanpa melihat suku, ras dan agama, semua orang pasti ada baik dan ada buruknya.
Sebelum Misto beranjak pergi, aku menahannya. "Misto, tunggu. Kau pernah bilang dari pulau Jawa?" tanyaku.
Misto menghentikan langkahnya, membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku. "Betul Mister. Dari Jawa Timur, Kabupaten Probolinggo."
Aku tahu Jawa Timur, tapi aku tidak familiar dengan wilayah kabupaten yang disebutkannya.
"Dimana itu?"
Misto berpikir sejenak. Dia berusaha menerangkan wilayahnya segampang mungkin. "Dekat Gunung Bromo. Mountain of Bromo"
Pendengaranku serasa digigit ular berbisa. "Ha? Mana?" Aku terlonjak.
Penyebutan tempat wisata itu membuatku tak bisa menahan kaget. Bayangan Michi menyergap. Tempat wisata terakhir yang ingin kami kunjungi melintas cepat di benakku. "Suatu hari aku pasti akan ke sana. Melihat langsung kawahnya, menapakkan kakiku di lautan pasirnya, menancapkan jejak-jejak langkahku di stairs of heaven, tangga surga. Dan, menghabiskan masa tuaku bersamamu," bisik Michi saat itu.
"Kenapa Mister?" Misto balik bertanya.
Aku tidak menjawab. Benakku masih penuh dengan malam terakhir bersama Michi sebelum kebahagian itu hancur dengan ketukan pintu di pagi hari.
"Gunung Bromo sudah sangat dikenal oleh orang asing. Banyak orang Jepang juga pernah ke sana," lanjut Misto. Dia terlihat curiga dengan kekagetanku.
Sesegera mungkin aku menguasai hati. "Ah, tidak apa apa. Hanya saja, aku tidak menyangka kau berasal dari tempat yang indah itu. Tentu saja aku mengenal gunung itu. Lautan pasirnya, keindahan mataharinya saat terbit."
Misto kembali tenang. Keteranganku tentang tempat pariwisata asalnya membuat hidungnya mengembang. Dengan bangga dia mengajakku, "Mister harus pergi ke sana suatu hari."
"Tentu saja aku akan ke sana. Sebaliknya, aku ingin sekali segera ke sana." Kulanjutkan keinginanku, "Duduklah dulu. Kau tidak mengantuk, kan?"
Misto menggeleng. Aku mempersilahkan dia duduk di kursi teras. Satu meja dengan dua kursi satu-satunya penghuni teras kontrakanku. "Mari kita ngobrol. Aku buatkan minuman. Kopi? Teh?"
"Tidak usah Mister, malah merepotkan."
"Nggak. Kopi ya?" Aku memaksa. Misto mengiyakan.
Sejurus kemudian aku sudah memegang dua gelas cangkir berisi kopi. Satu kopi hitam tanpa gula untukku, satu lagi kopi dengan gula dan krim. Aku meletakkan kopi milik Misto di meja, menyuruhnya untuk menikmati kopi bikinanku.
"Terima kasih. Baru pertama kali ini dibikinkan kopi oleh bos," candanya.
Aku terbahak. Kuseruput kopi pahitku dalam-dalam. Cafein membuat otakku berkelebat bangun. "Ceritakan tentang Gunungmu," pintaku.
Seperti pejuang yang tertantang memenuhi perintah komandannya, Misto bercerita dengan penuh semangat. Aku mendengarkan dengan seksama. Sebuah tempat indah untuk menghabiskan masa tua bersama belahan jiwa layak untuk mendapat perhatian penuh. Tentang tinggi, daerah, wilayah, struktur gunung, suku penghuni lerengnya beserta upacara adat dan tetek bengek keseluruhan yang melingkupi. Untuk menghormati cerita Misto, aku sesekali menyelingi ceritanya dengan pertanyaan yang aku sudah tahu jawabannya. Ketika Misto selesai dengan ceritanya, yang tersisa di wajahnya adalah kerinduan akan kampung halaman.
"Sungguh, tempat yang indah," pujiku tulus.
"Ya. Sangat indah. Salah satu surga yang diciptakan Tuhan di dunia," balasnya.
"Ceritakan tentang keluargamu."
"Tidak ada yang menarik tentang keluarga saya yang bisa diceritakan, Mister," katanya merendah.
"Aku ingin tahu tentang penghuni lereng gunung Bromo. Yang kutahu, mereka beragama Hindu. Tapi, kau beragama Islam," kataku berusaha berhati-hati saat bicara tentang agama. Tidak semua orang merasa nyaman dengan pembicaraan tentang Agama.
Misto tertawa kecil. "Ya, begitulah yang banyak ditulis di buku dan di internet. Sebenarnya, ada satu kampung kecil di sana yang penduduknya memeluk agama Islam di antara kelompok mayoritas beragama Hindu." Misto segera menimpali, "Walaupun berbeda Agama, kami sangat rukun. Toleransi antar umat terjalin dengan sangat baik, tidak ada sikap permusuhan. Kami hidup berdampingan sebagai masyarakat anak Tengger. Kami...."
"Keluargamu?" tanyaku memotong.
Terdengar tidak sopan memotong cerita tentang kerukunan antar umat beragama. Tapi untuk hari ini, cukup sudah penjelasan tentang Agama. Bagiku, agama dan keyakinan adalah hal yang sangat individu. Aku tidak tertarik dengan cerita tentang kerukunan beragama. Di Jepang, hukum Negara adalah kekuasaan tertinggi atas individu. Terserah memeluk Agama apa saja, berkeyakinan apa saja, bahkan tidak beragama sekali pun, selama tidak menyalahi hukum Negara, pemerintah wajib mengayomi seluruh warga Negaranya.
Cerita tentang kehidupannya lebih menarik bagiku. Sifat baik Misto tentunya berasal dari lingkungan keluarganya. Pemuda jujur itu pun merasakan keenggananku.
"Saya anak tertua dari tiga bersaudara. Dua adik perempuan." Mata Misto menerawang jauh. Jalan besar di depan rumah mulai lengang. Beberapa motor hilir mudik dengan kecepatan penuh, suara keras knalpotnya memecah kesunyian malam.
"Ketika sekolah menengah pertama, ayah meninggal dunia. Beliau hanya meninggalkan sepetak kebun kubis dan sedikit uang," lanjutnya.
Mendengar kesedihan yang tertanam dalam cerita itu membuatku menyesal bertanya tentang keluarganya. Sudah terlambat untuk menarik pertanyaan, aku terpekur mendengar kelanjutan cerita pahit hidupnya.
"Setelah tamat SMP, saya tidak meneruskan sekolah. Bersama ibu dan dua adik perempuan yang masih Sekolah Dasar, kami bergantung pada hasil pertanian kubis. Tetapi tetap saja tidak cukup untuk biaya kehidupan kami. Di sela bercocok tanam, saya membantu ekonomi keluarga dengan menawarkan jasa tenaga angkut, kuli batu saat ada yang membangun rumah, atau mencari rumput untuk kuda-kuda yang dipergunakan sebagai kuda pelancong. Seiring kebutuhan yang semakin naik, saya pergi ke Bali saat berumur tujuh belas tahun. Bekerja serabutan di sini. Semua pekerjaan yang halal sudah pernah saya kerjakan. Uang hasil keringat saya kirimkan ke desa, dan mengambil sedikit untuk kebutuhan di sini. Saya selalu berdoa dan berusaha agar kehidupan kami lebih baik."
Cerita panjang tentang kehidupan dari bibir Misto mengalun pelan. Pemuda itu berusaha agar telingaku yang belum paham seratus persen dengan Bahasa Indonesia bisa mengikuti alurnya.
"Akhirnya Tuhan mengabulkan doa saya. Majikan saya mau mengajari saya menyopir mobil, dan membantu saya untuk mendapatkan Surat Ijin Mengemudi. Bali sedang penuh dengan wisatawan. Menjadi sopir merupakan jalan keluar lebih baik. Penghasilan saya lumayan bertambah. Walaupun saya tidak bisa melanjutkan sekolah, tapi adik-adik saya harus tetap sekolah. Harus kuliah. Adik perempuan yang tertua tahun ini baru lulus kuliah jurusan pertanian dari Perguruan Tinggi Negeri. Dia yang akan mengelola kebun. Adik perempuan yang ke dua masih SMA."
Misto terdiam sejenak, menarik nafasnya dalam-dalam. Dalam pandanganku Misto telah berubah dari sosok anak muda kalem menjadi ayah, kakak, sekaligus pemimpin keluarga yang perkasa. Dialah manusia yang keluar sebagai pemenang dalam kehidupan ini. Bukan mereka yang kaya harta namun tetap bergantung pada belas kasihan orang lain. Dalam hati aku mengutuk diri sendiri yang selalu berkeluh kesah.
"Itulah Mister, hati kecil saya kadang berteriak sedih saat tidak bisa menjalankan ibadah. Saya tahu kerja juga bentuk lain dari ibadah. Tetapi, saya tetap tidak bisa memungkiri, Tuhan begitu baik pada saya. Sebuah kenaifan bila saya mengingkari nikmat yang selama ini saya dapatkan dengan tidak menjalankan perintahnya," katanya lirih.
Aku berdiri, menepuk bahunya. Kuberi semangat agar dia tetap teguh dengan keyakinannya. "Sudahlah, Tuhan akan selalu bersamamu," kataku sok bijak.
Misto tersenyum menatapku. "Mister percaya Tuhan?"
Pertanyaannya menyodok keangkuhanku. "Ehmh ... Aku...." Aku mengalihkan pertanyaan, "Kapan kau pulang?" Aku tahu dia akan libur dua hari lagi, seminggu sebelum hari besar umat Islam.
"Besok lusa," jawabnya ringan. Misto tahu aku sudah tahu jadwal cutinya karena aku sendiri yang menandatangani ijinnya.
"Boleh aku ikut?" Tanpa berpikir lagi aku sudah memutuskan jadwal libur dan bagaimana menghabiskannya. Tanpa meminta ijin dari "Bos". Aku tidak pernah meminta libur panjang, bahkan hari Sabtu dan Minggu pun aku kerja untuk Made san. Aku yakin dia akan mengijinkannya walau dengan senyum dipaksakan.
Misto menatapku lekat, mencari keseriusan dalam kalimatku. Aku mengangguk yakin.
"Ehm, boleh kalau Mister mau. Banyak hotel lumayan bagus di sekitar wilayah Bromo."
"Aku tidak ingin tidur di hotel, aku ingin tinggal di rumahmu. Aku berharap kau mau menyewakan salah satu kamar. Kalau tidak ada kamar, ruang tamu pun boleh."
"Tapi, Mister...."
Kegamangan dari jawabannya membuatku tidak ingin memaksa. "Kalau kau keberatan tidak apa-apa," pukasku.
"Bukan keberatan, Mister. Tapi saya khawatir tempat saya tidak layak untuk Mister. Lagi pula ada dua adik perempuan di rumah saya, tidak elok rasanya ada laki-laki bukan famili tinggal bersama," jawabnya.
Kutepuk jidatku. Di daerah Bromo yang masih memegang teguh adat istiadat, tentu saja hal itu tidak diperbolehkan. Ini bukan Negara maju, di mana laki-laki dan perempuan bisa tinggal serumah tanpa ada ikatan perkawinan.
Aku tertawa. "Tetap saja, aku tidak ingin tidur di Hotel. Aku ingin makan masakan lokal, belajar menunggang kuda, bercocok tanam dan semua kegiatan masyarakat lokal. Jangan khawatir, aku akan membayar semua biaya hidupku."
Dia berpikir keras. "Kami, terutama saya, merasa terhormat bila Mister mau tinggal di desa kami dengan fasilitas seadanya. Tanpa biaya tentunya. Kalau Mister berkenan, Mister bisa tinggal di rumah teman saya. Tentu dia akan senang juga punya kenalan orang asing."
Aku menyorongkan tangan kananku. "Deal! Kita berangkat lusa."
Misto kaget sambil menerima uluran tanganku.
"Besok kau tidak usah kerja. Aku ingin mempersiapkan diri seharian, berselancar di dunia maya untuk mencari informasi sebanyaknya tentang Gunung Bromo."
Misto menyeringai lebar, mengguncang telapak tanganku hangat. Paduan rasa malu, enggan, khawatir, bercampur jadi satu dari hawa hangat telapak tangannya. Dalam hidupnya mungkin akulah orang asing yang akan menginjakkan kaki di rumahnya untuk pertama kali.
"Biar cepat, kita naik pesawat pagi. Aku akan membayari biaya tiket kita. Jangan ditolak!" perintahku.
Misto tidak sanggup berkata. Pulang kampung naik pesawat di musim peak season mungkin tidak pernah terbetik sekali pun dalam benaknya. Matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Mister. Semoga Tuhan membalas kebaikan Mister."
"Aamiin" Tanpa sadar bibirku mengamini doanya. Cerita tentang Tuhan dan kebaikan yang terefleksikan dari sifat Misto membetot rasa ingin tahuku. Dalam hati aku ikut berdoa, semoga aku bisa menemukan Tuhan di tempat Misto, kemudian mengadukan kepadaNya semua keresahan dan kepahitan hidup yang mendera. Aku tersenyum pahit. Kuusir bayang-bayang Tuhan yang abstrak dan tak berwujud dari otakku.