Chereads / ai (LOVE) / Chapter 20 - BAB 20 ; Deja Vu

Chapter 20 - BAB 20 ; Deja Vu

Degup jantungku berdetak lebih kencang. Sebentar lagi tempat menjanjikan kebahagiaan yang pernah kurajut bersama Michi ada di depan mata. Rasaku bercampur aduk. Sedih, kecewa, penasaran meletup dalam satu ungkapan yang tak bisa kulukiskan. Jalanan semakin menanjak. Mobil sewaan melaju dengan kecepatan sedang saat mendaki, kemudian berkelok. Jendela mobil kuturunkan hingga terbuka penuh. Udara dingin nan segar menerpa wajah, rambut, hidung. Aku menghirup penuh udara segar khas pedesaan itu, kuisi penuh paru-paruku. Mataku tidak sedetik pun melepas setiap pemandangan yang tersajikan.

Sayuran menghampar siap untuk dipanen, gemericik air mengalir bersih, pepohonan menghijau tegak perkasa tanpa mengenal empat musim. Tidak ada daun berguguran, dahan kering yang luruh, atau salju menggunung yang memutihkan setiap lekuk jalanan. Semuanya terhampar indah, mempesona, dibalut ribuan kicauan burung. Di Bali aku juga bisa menemukan pemandangan seperti ini. Yang membedakan adalah bayangan Michi terus menyergapku sejak roda pesawat mendarat.

Saat Misto mengiyakan permintaanku, bayangan Michi terus bergelut keras dengan kenangan indah yang pernah kami habiskan. Sesaat kemudian kenangan indah itu hancur berantakan. Berganti kepahitan menggigit mencabik-cabik semuanya. Di saat seperti itu, aku membutuhkan cairan alkohol sebagai pelarian. Minuman yang sanggup membuat otakku berhenti berpikir dan tidur pulas dengan mendekap teman setia yang selalu ada saat kubutuhkan.

Sudah dua hari ini aku menjauhi "Teman setiaku" itu. Aku sedang berusaha keras tidak tergantung padanya. Akibatnya, malam-malamku penuh siksa dan lecutan mimpi yang menyakitkan. Dalam perjalanan ini aku tidak membawa minuman itu. Karena kupikir tidak layak bertamu ke sebuah lingkungan agamis bersama barang yang mereka tolak. Dorongan hati untuk melihat langsung tempat harapan Michi yang tak terwujud melawan keras keinginanku untuk terus tenggelam dalam buaian dunia palsu.

Mobil semakin mendekat ke tempat yang kutuju. Angin dingin menerjang. Sosok Michi semakin terlihat di semua detail pemandangan. Wajahnya menggelayut penuh kesedihan dalam lambaian dedaunan. Suaranya yang merdu berteriak histeris dalam batang sayuran sawi, memanggil-manggil namaku meneriakkan pengkhianatan yang telah kulakukan. Tekanan dahsyat akan rasa bersalah membuatku membutuhkan 'teman setiaku' lagi. Aku ingin menenggaknya hingga tak tersisa setetes pun. Seperti apa yang dilakukan teman setia, walaupun hanya sementara, cairan alkohol sanggup memompa semangatku, membangkitkan semua sel-sel kehidupan, memberiku jalan untuk sejenak melupakan derita. Jari jariku gemetar, nafasku tersenggal, kepalaku berdenyut sakit, gendang telingaku mengiang keras. Tanpa sadar aku mengumpat pelan, "Chikisso!"

Misto yang duduk di depan tersentak. Kepalanya menoleh ke belakang, melihatku dengan pandangan khawatir. "Ada apa, Mister?"

"Tidak apa apa. Hanya saja udara semakin dingin," elakku.

Aku menutup jendela rapat hingga suara teriakan serangga di luar terhambat masuk ke dalam mobil. Seiring suara jendela lekat menerpa jepitan karetnya, bayangan Michi sementara memudar.

"Wajah Mister terlihat pucat sekali. Mister masuk angin?" tanya Misto masih dengan nada Khawatir.

Aku menggeleng, tersenyum. "Jangan khawatir, aku tidak apa apa. Seharusnya kamu yang pucat. Sejak pagi hingga kini perutmu kosong."

"Kan saya puasa, Mister?"

"Pak Sopir Islam?" tanyaku pada sopir yang duduk di sebelah Misto.

Dia mengangguk. Matanya tetap ke depan, tangannya masih lincah memegang kemudi. "Tapi, saya tidak puasa Mister," katanya jengah.

Aku tersenyum renyah. "Iya, saya tahu. Tadi siang kitakan makan berdua di jalan. Misto menunggu di mobil."

"Musafir tidak apa apa tidak puasa, Mister," debatnya.

"Apa itu Musafir?" tanyaku.

"Orang yang sedang bepergian untuk tujuan ibadah. Kerja kan juga ibadah," terang Pak Sopir.

"Tapi, harus mengganti di lain hari lho, Pak" sela Misto.

Pak Sopir sekira umur lima puluh tahunan seketika terdiam.

"Ya, kalau kuat, Mas. Kalau tidak kuat, masak harus dipaksakan," hela Pak Sopir.

Aku tidak terlalu mengerti dengan dialog mereka tentang agama. Aku ingat kalimat yang pernah diucapkan Misto, mencoba menengahi mereka dengan kalimat itu.

"Tuhan kan Maha Sabar dan Maha Pengampun."

Pak Sopir tertawa senang. "Betul Mister! Betul itu!"

Misto menyeringai kecut. "Betul, sih. Tapi tidak pula harus menggampangkan perintahNya."

"Ah, sudahlah. Lebih baik kita bicara tentang Gunung Bromo saja, ya," pintaku menyudahi debat yang tak berkesudahan.

Mobil berkelok, menurun, menanjak lagi. Jalan beraspal menyempit saat sebuah gapura dengan tulisan "Desa Wonojoyo" menyambut kedatangan kami. Di sisi kanan kiri jalan, bangunan tembok berdiri beriringan. Bersih, tidak ada kesan sebuah desa tertinggal layaknya desa kecil di sebuah pegunungan dengan rumah berdinding bambu. Beberapa rumah bahkan berlantai dua dibangun dengan nuansa arsitektur modern. Perekonomian desa yang ditunjang dari pertanian dan pariwisata membuat penghuninya lumayan hidup makmur walau dibilang tidak mewah.

Matahari bergerak cepat meninggalkan ufuk timur sejak keberangkatan kami meninggalkan Pulau Bali. Saat ini, sang surya mendekati ufuk barat, sebentar lagi tenggelam ditelan gelap hutan Gunung Bromo. Mobil berhenti tepat di sebuah mulut gang kecil. Pak sopir membantu kami menurunkan tas. Aku mengangsurkan beberapa lembar ratusan ribu rupiah sesuai harga kesepakatan. Senyum mengembang lebar dari bibir pak sopir saat aku menambah dua lembar ratusan ribu untuk tip. Mata Misto menyipit melihat keroyalanku. Setelah saling mengucap salam, mobil melaju menuruni jalan, kembali menuju Surabaya.

"Saya bawakan, Mister," kata Misto.

Di bahuku tersandang ransel. Dia berusaha meraih tas koper besar dari genggamanku. Kutolak. Kebiasaan Misto selama ini sebagai sopir yang melayaniku masih terbawa.

"Kali ini kita bukan sebagai atasan dan bawahan. Hubungan kita saat ini adalah teman. Tolong jangan bersikap seperti di Bali," kataku tersenyum.

"Tapi, tetap saja. Mister Yonekura adalah atasan saya, saya harus tetap berhormat," paksanya.

"Tidak Misto. Aku akan pulang kalau kamu tidak mengubah sikapmu."

Aku pura-pura berbalik arah ke jalan besar.

"Jangan, Mister. Baiklah, saya akan berusaha." Misto menahan tanganku yang memegang tas koper.

"Satu lagi. Jangan panggil aku 'Mister'. Panggil aku, Yonekura, atau Kazuki saja."

Misto menggaruk kepalanya. Dia terlihat kaku.

"Bagaimana?" susulku memastikan.

"Ehm, baiklah, tapi...."

Aku tertawa ringan melihat gerak-gerik Misto saat dia salah tingkah. "Ayo, aku sudah tidak sabar bertemu keluargamu," ajakku mengakhiri kejengahannya.

"Ah, iya. Mari Mist ... eh, Kazuki san."

Misto berjalan lebih dahulu. Aku mengikutinya dari belakang. Suara roda tas koperku yang berderak di jalan paving kampungnya menarik perhatian.

"Misto pulang." "Misto dengan tamunya." "Wah, Misto terlihat makmur ya," celetuk dua-tiga Ibu berbarengan. Beberapa perempuan menyapa kami, pertanyaan mereka dijawab Misto dengan anggukan dan senyum lebar.

"Orang Jepang ya?" tanya salah satu ibu yang menggendong bayinya.

"Iya," jawab Misto.

"Ganteng, ya," bisik seorang perempuan muda ke temannya. Wajahku yang dipenuhi cambang terasa hangat. Keduanya mengangguk manja, terkikik dengan pandangan menggoda. "Terima kasih," sapaku ramah.

"Masih jauh kah?" tanyaku ke Misto.

"Seratus meter lagi."

Aku mensejajarkan tubuku dengan langkah Misto, berlindung dari gurauan dan tatapan penuh arti dari beberapa gadis muda. Tatapan dan pujian gadis-gadis itu bukan tatapan genit dan nyalang. Tapi, justru itu lah yang membuatku jengah seperti remaja belasan tahun. Entah apa yang mereka lihat dari lelaki pucat yang wajahnya berewokan.

"Mereka belum pernah bertemu orang Jepang, kah?"

Misto tertawa. "Gunung Bromo tempat pariwisata terkenal di dunia. Tentu saja banyak orang Jepang yang juga berkunjung."

Aku mengutuk pertanyaan bodohku. "Tapi kenapa mereka melihatku seperti melihat orang Jepang untuk pertama kali?"

"Itu karena Mister... eh, Kazuki san sangat tampan."

"Ah, kau bisa saja. Mana ada laki-laki tua dan berewokan seperti ini dibilang tampan." Aku menyenggol pundaknya dengan bahuku. Kami tergelak.

Dari jarak sepuluh meter seorang Ibu berjalan cepat mendatangi kami. Tubuhnya terbalut jaket, kain sarung terselempang di bahunya, penutup kepala sebagai pertanda wanita muslim membekap kepalanya. Senyum lebar terus terpampang di bibirnya yang pucat. Kerut ketuaan yang melingkupi kelopak matanya bergerak melipat saat bola mata itu berkaca-kaca.

"Anakku...." Air yang sedari tadi ditahannya tak dapat lagi dibendung, merembes deras mengaliri pipi keriputnya.

Misto mencium punggung tangan wanita itu, kemudian memeluknya erat. "Maafkan aku, Bu. Baru tahun ini bisa pulang," katanya serak. Kedua matanya turut berlinang.

"Dua tahun serasa lama sekali. Ibu kangeeen sekali." Ibu Misto membalas pelukan anaknya, serasa tak rela melepas lagi.

"Misto juga kangen Ibu."

Pemandangan yang tersuguh di hadapanku tak urung membuat mataku ikut panas. Kerinduanku akan sosok wanita yang melahirkanku menyeruak. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu aku juga mendekap ibuku. Namun, saat itu aku mendekapnya sudah dalam keadaan tak bernyawa.

Setelah menguasai keadaan, Misto mengarahkan pandangannya ke arahku. Sesekali dia masih mengelap air mata dengan punggung tangan kanannya. "Oh ya, kenalkan. Ini atasan Misto. Namanya Tuan Yonekura Kazuki."

Ibu Misto mengulurkan tangan kanannya. Aku menjabat erat dengan kedua tanganku. Telapak tangan wanita ini terasa kasar. Terasa jelas pekerjaan berat membuat kulit telapak tangannya kapalan.

"Saya temannya Misto. Tolong panggil saya Kazuki saja." Aku menakankan kata "Teman" sebagai pengingat pada Misto tentang hubungan kami saat ini.

Ibu Misto mengguncangkan tangannya hangat. "Nama saya Misnatun. Panggil Bu Misna saja."

Aku mengangguk. Bu Misna meraih lengan Misto. "Ayo, adik-adikmu sudah menunggu. Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu untuk buka puasa, ayam bakar bumbu pedas dan sayur lodeh."

Bu Misna bertanya lirih ke Misto. "Nak Kazuki juga puasa kah?" tanyanya polos.

Misto tertawa lebar. Dia bingung menjelaskan. Aku langsung menyahut, "Tidak usah khawatir, Bu. Saya tadi siang sudah makan. Kalau boleh, nanti waktu buka puasa saya ikut nimbrung makan."

"Silahkan, Nak, dengan senang hati. Makanan desa, seadanya, ya."

Suara bacaan dalam bahasa Arab terdengar lembut dari pengeras suara di sebuah masjid di ujung gang. Aku mengikuti langkah anak dan ibu itu dari belakang. Kabar Misto akan pulang bersama orang Jepang sudah menyebar sebelum kedatangan kami. Tetangga kanan kiri ikut keluar, menyapa kami dengan hangat. Sebuah bangunan dari dinding batu bata di sebuah pelataran rumah desa menghentikan langkah kami. Misto membuka pintu pagar kayu. Dua sosok gadis berdiri tersenyum lebar menyambut kami. Keduanya berlari menubruk tubuh Misto, mencium punggung tangan kanan kakaknya bergantian.

Dari jarak tiga meter di belakang mereka, mataku terbelalak. Jantungku berdetak cepat. Sebuah senyum mengembang dari salah satu gadis itulah penyebabnya. Ketika gadis itu mengulurkan tangannya memperkenalkan diri, aku serasa pingsan. Belakang kepalaku berdenyut keras, nafasku memburu, keringat membasahi telapak tangan saat udara pegunungan dingin menggigit. Aku berusaha keras menguasai hati.

"Ratna Kumalasari," katanya.

"Yo ... Yonekura Ka—zuki," kataku terbata.

Tenggorokanku tersedak. Mataku nanar menatap wajah di depanku. Deja vu menyergap. Michi sedang mengenggam erat tangan kananku!