Doppelganger, kembaran yang tidak berhubungan darah. Berasal dari bahasa Jerman, Doppel ( dobel ) dan Ganger ( Pejalan ), yang mempunyai arti kembaran yang berjalan. Atau kembaran hidup. Teori tentang kembaran hidup ini telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Teori ini telah menginspirasi banyak lagu, puisi, hingga novel. Manusia yang mendiami planet ini telah mencapai tujuh miliar orang, besar kemungkinan kita mempunyai "Kembaran" yang tidak ada hubungan darah dengan kita.
Teghan Lucas, seorang profesor dari Universitas Adelaide telah melakukan uji coba akan teori ini. Dengan menggunakan kumpulan foto anggota militer Amerika, dia menganalisa lebih dari wajah empat ribu orang. Profesor Teghan mengukur jarak anggota tubuh di wajah, misalnya mata atau telinga. Selanjutnya dia mencari kemungkinan kesamaan antara mereka. Dari percobaan itu, dia menyimpulkan, dari tujuh milyar penduduk bumi, satu dari seratus tiga puluh lima orang memiliki doppelganger. Misal; Saito Ken dan Daigo, Selma Blair dan Kris Jenner, Helen Mirren dan Jennifer Lawrence, atau Chika Jessica dan Koo Hye Sun. Mereka adalah orang-orang yang berbeda Negara dan Bangsa, tapi mempunyai kemiripan. Banyak yang bilang, aku mirip dengan Fukuyama Masaharu, penyanyi dan pemain drama terkenal Jepang yang banyak digilai wanita. Tekstur wajah, suara, dan gerak gerikku flamboyan seperti dia.
Ada juga yang menghubungkan teori ini dengan kisah misteri. Orang-orang terkenal layaknya Abraham Lincoln, Queen Elizabeth I, Johann Wolfgang van Goethe hingga Catherine The Great pernah mengalami fenomena ini. Ada kepercayaan, bila seseorang bertemu dengan doppelgangernya, maka ajalnya telah dekat. Aku tidak bertemu dengan doppelganger diriku, aku bertemu dengan doppelganger Michi. Ajalku masih belum dekat seperti teori yang dikemukakan. Lagipula, aku tidak percaya dengan mitos itu. Mati adalah misteri yang susah untuk dijelaskan hanya dengan sebuah teori doppleganger. Kalau pun aku harus mati setelah menemukan kekasihku lagi dalam bentuk doppleganger-nya, aku rela memejamkan mata dengan pulas.
Saat buka puasa, mataku hampir tak pernah lepas dari Ratna. Semakin kucari perbedaan pada wajahnya dengan wajah Michi, semakin kutemukan banyak kesamaannya. Kalau saja Michi disandingkan dengan Ratna, keduanya bak pinang di belah dua. Yang membedakan, hanya kulit dan mata mereka. Kulit Michi lebih terang dan putih sedangkan kulit Ratna walaupun termasuk lebih terang dari orang Indonesia pada umumnya, namun tidak seputih kulit Michi. Mata Ratna lebih besar dari pada mata Michi, tapi tidak cukup besar untuk ukuran mata wanita Indonesia yang bulat dan indah. Selain kulit dan mata, semua mirip sekali. Hidung, rahang, bentuk kelopak mata, alis, bibir, rambut, leher, dan detail tubuh Michi lainnya yang masih terpatri di benakku hingga kini.
Setiap ada kesempatan, aku mencuri pandang. Saat bola mata kami bertemu, Ratna menundukkan kepala atau mengalihkan pandangannya. Ayam bakar bumbu pedas dan sayur lodeh di depanku hanya sedikit kusentuh. Nafsu makanku hilang entah kemana. Suap kecil ke mulutku di antara percakapan hangat di meja makan hanya sebuah pengisi kekosongan.
"Nak Kazuki tidak makan? Masakan Ibu tidak enak ya?"
Mataku yang sedari tadi menatap ayam bakar warna kemerahan spontan beralih ke si penanya. Sambil tersenyum ramah aku menggelengkan kepala. "Enak kok, Bu. Cuma saya lagi gak nafsu makan. Mungkin sedikit capek."
"Kazuki san sakit kah?" tanya Misto.
Aku menggeleng.
"Nanti setelah makan, saya akan antar ke rumah pak RT. Istirahat yang cukup, besok pagi kita jalan-jalan," lanjutnya. Aku mengangguk mengiyakan.
"Mungkin Om Kazuki san kangen sama anak istrinya," sela Tuti, adik Misto yang masih SMA.
Aku tertawa renyah, tanganku meraih sepotong daging paha ayam bakar, menggiring paha itu ke mulut. Mengunyahnya getir.
"Hush! Tidak baik bertanya tentang masalah pribadi pada seseorang yang baru dikenal," timpal Misto.
"Maaf ya, Om," seru Tuti.
"Tidak apa apa," jawabku menenangkan.
"Memang istri dan anak Om Kazuki dimana?"
Ayam bakar yang sedang kutelan tersangkut di tenggorokan. Suara itu sama persis. Vokalnya, konsonannya, nadanya, hanya berbeda bahasa. Pertanyaan itu seolah pertanyaan Michi yang mengingatkanku tentang perjalanan kami yang beum selesai. Aku segera meraih teh hangat, meminumnya dengan sekali tenggak.
"Ratna, jangan keterlaluan dengan tamu kita." Misto mendelik.
Aku menepuk ringan pundak Misto yang duduk di sebelahku, mencegahnya untuk tidak memarahi adiknya.
"Tidak apa-apa," kataku susah payah meredam gulatan di hati yang mencekik tenggorokan.
"Umurku memang sudah tiga puluh tahun. Tapi, aku belum beristri, juga belum punya pacar," jawabku jengah. Aku melanjutkan, "Dan, tolong jangan panggil aku 'Om'. Panggil 'Kakak' saja ya, tanpa 'san'."
"Kak Kazuki berewokan dan tidak rapi sih, makanya tidak ada cewek yang mau," timpal Tuti.
Gadis SMA itu terbahak melihat mukaku kemerahan. Aku ikut tertawa. Misto mengangkat tangannya menyerah melihat kelakuan dua adiknya yang di luar kontrolnya. Dia melirik ke arahku, memastikan aku tidak marah. Aku mengedipkan mata kananku, kemudian memintanya ikut tertawa. Percakapan di meja makan berubah hangat, mengikis sekat-sekat. Aku dan kejombloanku menjadi serbuan cemoohan dua gadis. Harus kuakui, dari pantulan gelas yang kosong, wajahku memang terlihat awut-awutan. Terlihat tua. Besok akan kucukur habis cambangku hingga bersih. Akan kupangkas rapi rambutku hingga tidak terlihat seperti bandot tua yang tidak laku.
Setelah makan malam, Ratna, Tuti, dan Ibunya pergi untuk sembahyang di masjid terdekat. Suara alunan kitab suci yang dibaca dari Masjid terdekat melingkupi seluruh area desa. Laki-laki dan perempuan berbondong-bondong menuju suara itu. Untuk malam ini, Misto tidak ikut bergabung dengan mereka. Dia memilih mengantarkan aku ke rumah induk semang yang akan kutinggali selama liburan ini.
Kami berjalan sambil membawa koperku menyusuri setitik demi setitik desa kelahiran Misto. Di antara mayoritas suku Tengger yang beragama Hindu, Desa Wonokerto serasa spesial. Selama penghuni desa melakukan sembahyang bersama di Masjid, tetangga dan mayoritas penduduk desa lainnya ikut menjaga keamanan dan kekhusukan mereka. Sebuah bentuk toleransi indah antar umat beragama yang tercipta di tengah carut-marutnya pertikaian antar Agama di belahan dunia lain.
Berjarak puluhan rumah dari rumah Misto, sebuah rumah tua yang sangat sederhana akan menjadi tempatku berlabuh untuk beberapa hari. Rumah dengan pintu tertutup itu hanya diterangi lampu pekarangan dan lampu teras. Satu meja dan tiga kursi dari kayu satu-satunya penghuni teras. Bau menyengat kotoran binatang ikut menyapa kedatangan kami.
Kabut tebal mulai turun. Dua sinar lampu yang memancar dari rumah itu tak mampu menerangi gelap sekitar. Sejumput keengganan merebak. Kalau lah boleh memilih, aku masih ingin menghabiskan menit-menit bersama kembaran Michi. Aku ingin mengenalnya lebih dalam. Ingin kutuntaskan rasa penasaran yang terus membelit hati. Tentu saja harapan itu tak akan terjadi di tengah norma adat yang masih dijunjung tinggi. Lagi pula, masih ada satu minggu lebih aku akan berada di sini. Isogaba maware, terburu-buru hanya akan membuat jalan melingkar tak berkesudahan.
"Assalamu'alaikum", kata Misto. Dua tiga kali dia mengetuk pintu yang tertutup rapat itu.
Suara gesekan sandal terdengar diseret dari dalam. Seorang pemuda berwajah teduh menyembul dengan senyum mengembang. Wajahnya bersih, mengkilat saat tertimpa lampu. Jenggot di dagunya tertata rapi tanpa kumis penghias bibir. Kelopak matanya dalam menangkupi bola mata yang tajam. Topi hitam khas Indonesia berpadu dengan baju putih lengan panjang dan sarung. Pemuda yang gagah dan tampan. Bibirnya ditarik lebar saat menyapa kami.
"Wa'alaikum salam. Masuk, Bro" katanya.
Dia menjabat tangan Misto, kemudian memeluk erat tubuhnya. Setelah melepaskan pelukannya, Misto memperkenalkan aku.
"Kenalkan, ini Yonekura Kazuki, orang Jepang yang kapan hari kubicarakan lewat telepon."
Pria itu mengulurkan tangannya. Jabatannya hangat saat aku menggenggam telapak tangan kanannya. Dia mengguncangkan mantap. "Aliman."
"Panggil aku Kazuki," kataku, setelah memperkenalkan nama lengkapku. "Maaf aku akan merepotkan Anda."
"Sama sekali tidak merepotkan. Saya bahkan merasa senang bisa berkenalan dengan Kazuki san. Dan merasa terhormat Kazuki san mau menginap di gubuk kami," kata Aliman merendah.
First impression pada pemuda ini membuatku langsung merasa betah. Dia cepat akrab. Tak lama kemudian sepasang suami istri yang terlihat tidak lebih dari lima puluh tahunan muncul dan menyambut kami hangat. Bu Aminah, ibu Aliman, memintaku menganggap rumahnya seperti rumah sendiri. Pak Manaf, bapak Aliman, menyapaku dengan beberapa patah kata dalam Bahasa Jepang. Dia mengatakan mendapatkan kalimat-kalimat itu dari kakeknya yang pernah diajari Bahasa Jepang saat Sekolah Dasar. Kami tertawa akrab. Aku senang keberadaanku diterima dengan baik di keluarga ini. Setelah beberapa ucapan salam, kedua orang tua Aliman masuk ke dalam untuk istirahat. Bu Aminah harus bangun jam dua pagi untuk menyiapkan makan sahur. Dia bertanya apakah aku juga ikut makan sahur? Aku hanya tersenyum lebar.
Bertiga kami duduk melingkar di teras. Ketela pohon rebus, singkong bakar, dan kopi tubruk menemani percakapan dua teman yang lama tidak bertemu. Aku hanya diam mendengarkan. Sesekali lenguhan binatang berkaki empat ikut mengiringi percakapan mereka. Bau khas kotoran hewan kerap menyapa hidungku.
Lamunanku ikut melayang mendengar kisah pertemanan dua sahabat yang tiga tahun ini tidak bertemu. Pembicaran mereka tentang masa-masa di Sekolah Dasar, tentang berkebun, tentang pengalaman menunggang kuda saat pertama kali tersampaikan lewat kebahagian yang terpancar di wajah keduanya. Hatiku disergap sepi. Betapa bahagia mempunyai sahabat untuk berbagi.
Setelah kepulangan Misto, Aliman membawaku ke kamar. Ia mempersilahkanku untuk beristirahat. Sebuah kamar berukuran tiga kali tiga meter dengan tempat tidur dari kayu akan menjadi tempatku di sini. Tidak ada kamar mandi dalam. Rumah dengan tiga kamar tidur ini hanya dilengkapi satu kamar mandi di luar bangunan. Bau wangi sabun menyembul dari sprei, sarung bantal-guling dan selimut tebal baru dicuci.
Setelah mengganti pakaian, kuhempaskan tubuhku di atas dipan dengan dengan kasur kapuk kasar. Kain tebal menyelimuti tubuhku dari kaki hingga dada. Dingin cuaca di luar merasuk hingga kamar. Tidak ada fasilitas penghangat ruangan seperti di Jepang, tidak pula pemanas air. Di Jepang pada musim dingin, walau ada air panas sekali pun, aku biasa mandi tiga hari sekali. Di sini, di tengah cuaca dingin menggigit tanpa pemanas air seperti ini, entah berapa hari aku tidak akan mandi.
Malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya. Aku tidur pulas tanpa mimpi buruk berkepanjangan. Doppelganger Michi, sunrise di puncak gunung Bromo beserta stairways of heaven-nya membuatku tak sabar untuk segera mengganti hari.
Percakapan diiringi denting piring dan gelas bersahutan membuat mataku terbuka. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul tiga dini hari, waktu yang sangat awal untuk memulai sebuah kehidupan. Otakku langsung teringat bahwa para penghuninya sedang menikmati makan sahur. Bu Aminah tadi malam mengundangku untuk bergabung bila bersedia.
Mataku masih terasa berat. Walau tubuhku menggigil dalam balutan selimut tebal, kuptuskan melompat menyibakkannya. "Go ni haireba, go ni shitagae", kata peribahasa Jepang. Jika masuk ke sebuah komunitas, maka patuhi aturannya.
Setelah mengganti pakaian dan menutup erat tubuhku dengan jaket, kuseret kakiku meninggalkan tempat tidur. Telapak kakiku dingin dan lembab tanpa kaos kaki. Untunglah sandal boleh kupakai di dalam rumah. Derit pintu kamar saat kubuka membuat ketiga penghuni rumah mengalihkan pandangannya.
"Selamat pagi," kataku menyela makan mereka.
"Selamat pagi," jawab mereka serempak.
"Maaf ya, Kazuki san. Dini hari sudah membuat Kazuki san terbangun," kata Pak Manaf.
"Kazuki san mau ke kamar mandi? Terus lurus setelah dapur. Kamar mandi ada di luar rumah." Aliman berdiri berniat mengantarku.
Aku menolak. "Ah, tidak. Saya memang berniat bangun." Kualihkan pandanganku ke Bu Aminah. "Boleh saya ikut sahur, Bu?"
Bu Aminah tersenyum ramah. "Oh, silahkan, Nak. Seadanya ya." Dia menyiapkan satu set piring dan gelas. Wajahnya terlihat segar. Sisa air menetes dari rambutnya. Sedini ini wanita tua ini sudah mandi pagi.
"Terima kasih, Bu. Saya cuci muka dulu."
Kembali dari kamar mandi tanganku menggigil tak karuan. Jangankan untuk mandi, untuk menyentuh airnya saja serasa digigit ribuan semut merah. Gigiku ngilu.
"Airnya dingin ya?" tanya Aliman.
"Sedingin es. Gigiku sampai sakit."
"Nanti kalau mau mandi, biar Ibu masakkan air." Bu Aminah menatapku dengan pandangan kasihan.
"Tidak usah, Bu. Nanti juga akan terbiasa."
"Jangan dipaksakan. Bisa masuk angin. Kami sudah mulai kecil mandi dengan air dingin," sela Pak Manaf.
"Ayo dimakan dulu, keburu dingin," perintah Bu Aminah.
Tanpa menunggu dua kali, aku melahap apa yang disajikan tanpa sungkan. Nasi putih sepiring penuh, dua potong tempe goreng, satu kerat ikan asin beserta setumpuk sayur kol onseng terasa lezat. Hawa dingin membuat perutku berteriak tak karuan. Kalau saja satu bulan tinggal di sini, aku yakin berat badanku akan membengkak berlipat.
"Kazuki san sudah pernah lihat matahari terbit di Penanjakan? Naik tangga dan melihat kawah gunung Bromo?" tanya Aliman di sela makan.
Aku menggeleng. "Satu tahun di Indonesia, aku hanya berkutat di Pulau Bali."
Nasi masih menggumpal di dalam mulutku. Aku berhenti mengunyah saat mendengar tawaran Aliman.
"Mau lihat sekarang? Setelah makan."
"Boleh. Terima kasih bila Aliman san mau mengantar."
"Tentu saja aku mau. Aku akan ajak Misto juga."
"Naik apa?" tanyaku penasaran.
Pak Manaf menyela," Kami punya jeep untuk mengantar. Sudah usang, tapi masih kuat."
"Punya sendiri?" Aku meyakinkan.
Pak Manaf mengangguk. "Di sela berkebun, Aliman kadang juga ikut menjadi pengantar turis. Aku menjadi pengantar di lautan pasir hingga tangga puncak Bromo. Pakai kuda. Nak Kazuki pernah naik kuda?"
"Belum pernah, Pak. Tolong ajari saya," pintaku serius.
Pak Manaf tertawa renyah. " Hai, Wakarimashita!" jawabnya dengan logat medok.
Giliranku tergelak. Aliman ikut tertawa. Bu Aminah mengerucutkan mulutnya. "Cuma ngerti kosa kata Bahasa Jepang itu saja, sok!"
"Ngerti kalimat lain, Pak?" tanya Aliman.
Pak Manaf melihatku dengan pandangan genit. Aku menunggu kosa kata berikutnya keluar dari bibirnya.
"Nihonjin onna kirei, ne"
Aku terbahak keras. Aliman dan Ibunya saling pandang tak mengerti. Pak Manaf mendesis meletakkan jari telunjuk kanannya di mulut sambil mengedipkan sebelah mata padaku. Mimiknya terlihat lucu dan menggemaskan untuk ukuran pria tua. Aku tak sanggup menghentikan tawa. Bu Aminah sewot, menghujani bahu, punggung suaminya dengan cubitan. Aliman ikut terbahak. Perutku kaku.
Setelah sekian tahun berkutat dalam keterpurukan sebuah hubungan keluarga yang menyedihkan, dini hari ini aku menemukan sebuah kebahagian hakiki di sebuah rumah yang sangat sederhana.