Chereads / ai (LOVE) / Chapter 18 - BAB 18 ; Misto

Chapter 18 - BAB 18 ; Misto

Pemuda itu menunduk hormat, menyapaku salam pagi. Usianya sekira dua puluh empat tahun. Berperawakan sedang, wajah klimis, rambut tersisir rapi. Yang paling kusuka dari dirinya adalah senyum ramah yang selalu mengembang. Namanya Misto. Sopir baru. Wakidi, sopir yang menemaniku setahun ini mengundurkan diri. Pembawaan Misto kalem. Begitu pun saat berkendara. Dia lebih banyak diam, tidak memulai percakapan bila tidak kutanya. Tindak tanduknya sopan.

Misto berasal dari pula Jawa, entah di propinsi mana, karena sampai sekarang pun aku belum pernah menginjakkan kaki di pulau itu. Satu tahun ini aku seolah katak dalam tempurung. Menghabiskan seluruh waktuku di seputar pulau Bali, meniti hari demi hari sambil berharap pedih ini menghilang sendiri. Namun, harapanku semu. Rasa ini semakin menyakiti.

Hari-hari berlalu laiknya pesawat supersonik. Satu tahun sejak kakiku menginjak pulau Dewata, tidak ada perubahan signifikan dari diriku. Malam-malamku masih tetap berisi mimpi gersang dan menyakitkan. Bayangan Michi setiap saat menemaniku bersama beragam pertanyaan tanpa jawaban.

Enam bulan pertama kuhabiskan dengan menjelajah setiap inci pulau ini. Dari ujung pantai gilimanuk, hingga pantai paling barat. Dari tempat wisata mainstream seperti pantai Kuta, Sanur, Bedugul, Besakih, hingga ke tempat-tempat yang masih jarang tersentuh. Ladang bunga Gemitir desa Temukus, ngarai rahasia Sukawati, pantai Atuh di Nusa Penida, tujuh buah air terjun indah di Desa Sambangan, tebing hijau dan gua kecil di Undisan-Bangli, hingga air terjun Tukad Cepung. Ketika rasa kangen Michi menyergap, kubawa jiwaku mendaki bukit Mende. Berdiri di puncak bukit itu serasa dekat dengan langit. Tanganku seolah sanggup menggapai awan di tengah hamparan hijau pepohonan. Kala kerinduan tak sanggup kubendung lagi, kuteriakkan rasa itu ke langit. Kuberharap angin menyampaikannya ke telinga kekasihku.

Enam bulan setelah menjelajah semua area, makan, tidur, hidup bersama penduduk lokal, sedikit, hanya sedikit sekali relung kosong di hatiku yang selama ini meranggas terhijaukan. Wajah-wajah damai penduduk Bali saat bersembahyang ikut menyinari hatiku. Walaupun sosok Tuhan bagiku adalah misteri yang masih belum kupercayai, namun kepasrahan akan kekuatan besar yang menguasai hidup mereka membuatku ikut larut dalam doa yang mereka panjatkan. Telingaku dininabobokkan oleh kidung pujian yang keluar dari bibir-bibir pemanjatnya, menentramkan. Meski rasa tentram itu tak bertahan lama.

Uang tabunganku lumayan besar dari penjualan mobil, arloji mewah dan pesangon dari papa. Lebih dari cukup untuk membawa malam-malamku tenggelam dalam pesta di pantai Kuta, menyibukkan diri dalam minuman keras ditemani wanita-wanita kesepian yang turut larut dalam pencarian makna hidup, hingga berakhir pada kekosongan lain yang lebih menggigit. Hingga pada suatu ketika, puncak tangga Pura Besakih menyadarkanku untuk mengakhiri kekosongan perjalanan ini.

Otakku yang telah berhenti berpikir selama enam bulan membutuhkan makanan. Aku butuh aktifitas. Butuh pekerjaan. Sebuah perusahaan kecil yang memproduksi kerajinan tangan milik orang Bali sebagai labuhan sementara. Bukan gaji besar yang kubutuhkan. Cukup sekedar untuk makan, dan tantangan pekerjaan sebagai pengisi sepi. Made san, pemilik perusahaan, gembira menerimaku. Hanya dengan menyediakan makan sehari tiga kali, rumah kontrakan, mobil beserta sopirnya, dia sudah bisa mendapat orang Jepang yang lumayan fasih dalam berbisnis. Pengalamanku sebagai manajer penjualan seharusnya dihargai puluhan juta rupiah di negeri ini.

Enam bulan bekerja, aku sudah mendapatkan beberapa pembeli potensial. Tiga perusahaan Jepang membeli handycraft satu container per bulan dengan nilai tiga ratus juta rupiah per satu container. Made san tertawa senang, tetapi berbanding terbalik dengan gajiku yang tak juga naik. Tidak masalah. Setahun bersentuhan dengan masyarakat Indonesia dan turis asing membuat Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggrisku maju pesat. Anggap saja kursus Bahasa gratis.

"Kita kemana Mister?" tanya Misto.

Pemuda lugu itu memanggilku 'Mister'. Panggilan lain dari kata 'Tuan'. Selama satu bulan menemani, beberapa kali aku menyuruhnya memanggil namaku saja. Tetapi Misto tidak mengindahkan. Katanya, panggilan "Mister" sebagai bentuk penghormatan karena aku selalu memperlakukannya dengan baik. Sesekali memberi uang tip bila pulang terlalu malam.

"Ke Nusa Dua. Aku ada pertemuan makan siang dengan pembeli pontesial."

Misto mengangguk. Mobil buatan Negeriku ini meluncur pelan membelah jalan kota Denpasar. Tiga ratus meter bergerak, mobil mulai merambat. Kepadatan akhir pekan mulai terasa. Jalan Bypass sudah tidak muat lagi menampung kemakmuran yang menghinggapi gaya hidup penduduk Bali. Bila musim libur panjang tiba, mobil semakin mengular, membuatku malas keluar.

Jam digital di dashboard menunjukkan angka sebelas lebih tiga puluh menit. Dari kota Denpasar ke hotel di daerah Nusa Dua masih memerlukan satu jam lagi, berati tiga puluh menit akan terlambat dari jadwal pertemuan makan siang yang ditetapkan. Sebagian besar tamuku adalah pembeli dari Jepang. Aku yakin tujuan mereka bukan sekedar bisnis, namun juga tamasya menikmati keindahan pulau Bali senyampang segala akomodasi dan tiket pesawat dibayar perusahaan. Layaknya tour of duty. Sambil menyelam minum air, kata peribahasa Indonesia. Awalnya kukira artinya; tenggelam.

Aku yakin dua orang tamuku ini mau menungguku. Apa boleh buat, ini Indonesia. Waktu tak bisa diprediksi. Sambil menunggu, toh mereka bisa menyusuri lembutnya pasir pantai Nusa Dua. Atau, berjemur sejenak di pantai sambil menikmati pijitan jemari lentik ibu-ibu pemijat.

Misto terlihat resah. Pantatnya tak henyak tenang duduk di balik kemudi.

"Tenang saja. Tidak apa apa terlambat, yang penting selamat sampai tujuan," kataku menenangkan.

Misto tidak juga tenang. Berkali-kali matanya mengarah ke jam digital, kemudian melihat jam tangan yang melilit pergelangan tangan kirinya.

Dari tempat dudukku di belakang sopir, aku nyeletuk, "Sama saja. Yang beda, jam tanganmu menggunakan jarum, yang di dashboard digital."

Misto tersenyum pahit, alur matanya tertangkap basah. "Emh ... bukan itu Mister. Saya hanya...."

Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Keinginan bertanyaku mencuat. Tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali melakukan percakapan sambil menunggu kepadatan lalu lintas terurai.

"Terus apa?" tanyaku memburu.

"Ini hari Jumat. Saya ingin sembahyang," katanya lirih. Ada kesan takut dibalut sungkan.

"Di pura? Bukan kah kamu bisa melakukan di lain waktu?"

"Di masjid, Mister."

Kukira dia beragama Hindu, seperti kebanyakan masyarakat Bali. Mobil memasuki jalan Slamet Riyadi. Kecepatan mobil semakin melambat. Di kanan kiri laki-laki berduyun mengenakan kain penutup setengah badan hingga mata kaki, berjalan beriringan ke arah Masjid. Dari dalam mobil, lamat terdengar suara dalam Bahasa Arab dari pengeras suara.

"Harus sembahyang kah? Tidak bisa diganti hari lain?" tanyaku meyakinkan.

"Tidak bisa. Tapi, kalau memang keadaan tidak mengijinkan, ya apa boleh buat. Saya akan mengganti dengan sembahyang lain," jelasnya.

"Selama satu bulan jadi sopir di sini, aku tidak pernah melihatmu ke Masjid?"

Nanar Misto menatap lurus ke jalan. Di depan, mobil tidak bergerak sama sekali. Pertanyaanku membuatnya terdiam. Dia menghela nafas. "Sebulan ini, saya selalu di jalan bila hari jumat, tidak bisa sembahyang. Jujur, saya merasa sedih. Tapi, Saya butuh pekerjaan ini. Saya bekerja juga ibadah, untuk keluarga di rumah. Tuhan Maha Sabar dan Maha Pengampun."

Entah di bagian mana di hatiku, rasa bersalah menyergap. Kalimat Misto yang penuh kekalahan dalam hidup membuatku bisa merasakan kegalauannya. Keterangannya tentang sosok Tuhan tidak bisa kumengerti. Bagiku, Tuhan adalah sosok abstrak yang masih sulit kuterima dengan akal.

"Kalau memang Tuhanmu sabar, kenapa kamu masih resah?"

"Entahlah, Mister. Mungkin karena hari ini bulan Ramadhan, bulan puasa"

Aku pernah mendengar kalau orang Islam melakukan puasa selama satu bulan penuh. Tidak makan tidak minum sedikit pun dari pagi hingga sore hari. Bagiku itu adalah hal mustahil. Aku tidak akan sanggup melaksanakannya. Terutama pada cuaca panas di musim kemarau seperti kali ini.

"Kamu puasa?"

"Ya."

"Tidak lapar dan haus sambil bekerja?"

Misto menggelengkan kepala.

"Tidak makan dan minum dari pagi dini hari hingga sore menjelang malam? Satu bulan penuh?" tanyaku meyakinkan diri sendiri.

"Iya, Mister. Sudah biasa puasa sejak kecil."

Giliranku menggelengkan kepala tak percaya. "Terus, apa hubungannya bulan puasa dan tidak sembahyang jumat?" tanyaku menyelidik.

"Tidak enak saja, Mister. Tidak sembahyang Jumat di bulan Ramadhan," jawabnya terdengar enggan.

Aku tidak meneruskan pertanyaanku. Memburunya dengan kalimat pertanyaan menyelidik tentang sebuah keyakinan bukanlah hal yang baik. Aku khawatir akan menimbulkan resistensi. Keyakinan seseorang bukan untuk diperdebatkan. Yakin adalah kerja hati, abstrak, tidak bisa dijelaskan dengan angka-angka. Seperti pula kerja cinta.

Tepat di depan Masjid, suara dalam Bahasa Arab seolah memanggil pemeluknya. Kerumunan laki-laki semakin padat. Mereka bergegas memenuhi panggilan itu.

"Menepilah," perintahku.

"Maksud Mister?"

"Menepilah di tempat parkir di seberang jalan itu," perintahku lagi. Tanganku menunjuk sebuah tempat di pinggir jalan.

Misto membelokkan kemudi. Mobil turun dari bahu jalan, berhenti lima meter dari Masjid. Dia tetap duduk sambil mencengkeram kemudinya.

"Sembahyanglah. Tapi tetap hidupkan mesin dan pendingin udara," kataku menegaskan.

Misto seperti tidak percaya. Dia menatap langsung mataku, aku mengangguk mengiyakan.

"Bagaimana dengan pertemuan Mister?"

Aku tersenyum ramah. "Terlambat setengah jam atau satu jam setengah masih bisa dijelaskan. Tenang saja, itu urusanku. Cepat pergi sana, mereka sudah menunggumu." Telunjukku mengarah pada kerumunan yang duduk bersimpuh mendengar ceramah dalam Bahasa Indonesia.

"Terima kasih, Mister. Terima kasih banyak."

Tanpa menunggu lagi, Misto bergerak cepat turun dari mobil, berjalan cepat menuju Masjid. Mesin mobil dalam keadaan hidup. Pendingin udara bekerja keras di tengah panasnya cuaca luar. Aku mengambil ponsel, menghubungi tamu, meminta maaf akan keterlambatan. Seperti kuduga, mereka sama sekali tidak mempermasalahkan, bahkan serasa ada nada malas untuk bertemu. Kalau saja perusahaan tidak membayar semua akomodasi, mereka masih ingin berendam di kolam renang sambil menikmati deburan ombak dalam buaian bir dingin.

Aku menunggu hingga sembahyang bersama itu selesai. Lamat-lamat aku bisa mendengar sedikit apa yang disampaikan si penceramah. Tentang bagaimana mengatur hati, memutus kesenangan dunia, memburu jalan menuju nikmat hidup di sorga. Usai mendengar ceramah sebatas kemampuan Bahasa Indonesiaku, pertanyaan-pertanyaan tentang jalan hidup dan tujuan hidupku semakin membekap hati. Dari jendela mobil yang tidak tertutup kaca film sepenuhnya, hatiku semakin terkesan saat semua laki-laki yang tadinya duduk, kemudian berdiri serentak. Mereka melakukan gerakan-gerakan yang sama sesuai komando. Ketika semuanya meletakkan kedua tangan di samping kepala, menundukkan kepala mereka, meletakkan dahi mereka sejajar dengan lantai, aku merasakan totalitas kepasrahan dan ketertundukan pada Zat yang sangat besar.

Semua gerakan mereka selesai dalam waktu yang sama dan gerakan yang sama. Seperti sebuah pasukan yang patuh pada perintah komandannya. Sebuah gerakan indah penuh makna, entah bagaimana, gerakan itu tersampaikan langsung ke otakku. Untuk sementara membuatku merasa tenang, menyisakan pemahamanku tentang zat Tuhan dengan beribu pertanyaan.