Chereads / ai (LOVE) / Chapter 14 - BAB 14 ; Mountain of God

Chapter 14 - BAB 14 ; Mountain of God

Malam itu aku betul-betul memanjakan Michi. Di saat aku sibuk memasak beef spagetti, menyiapkan meja makan, hingga mencuci peralatan masak sampai mengkilat, Michi sibuk bermain knight hunter. Permainan itu telah menjadi bagian dalam hidupnya. Dia terobsesi mengalahkan si "Knob", jagoan pemilik skor tertinggi. Entah orang mana.

Setelah masakan siap, meja kecil di ruang makan kuatur sedetail mungkin. Vas bunga kecil sebagai pemanis meja berpadu dengan liukan api lilin di sebelahnya. Segelas air putih, dan satu gelas berisi wine yang tadi kubawa dari restauran menjadi teman masakan sederhana. Makan malam kami habiskan penuh canda dan kebahagiaan. Tanpa debat, tanpa bahasan pekerjaan. Hanya cerita khayalan tentang masa depan, tentang kehidupan keluarga kecil bahagia yang sebentar lagi kami resmikan di depan altar. Setelah makan malam, kami mengisi cerita bahagia berikutnya di depan laptop masing-masing, bersatu melawan si "Knob" dalam pertarungan game on line yang seru.

Di tempat tidur, Michi berbaring membelakangiku. Tanganku melingkar memelung pinggulnya dari belakang. Laptop di depannya dibiarkan dalam keadaan terbuka. Jari jari Michi lincah mengetik, memainkan crusor, mencari segala informasi yang dibutuhkan. Tubuhku terasa penat setelah seharian bermain perasaan dan beraktifitas memanjakan Michi. Dari belakang, tanganku kananku memijat belikatnya, sementara tangan kiriku memainkan anak rambut belakangnya.

Mataku mengikuti segala gerakan crusor. Tempat melakukan akad nikah, tempat resepsi, menu makan untuk pesta pernikahan, baju pengantin, macam-macam barang gift untuk tamu, dan segala tetek bengek lainnya. Sesekali Michi meminta pendapatku, tapi, lebih banyak dia sendiri yang memutuskan. Ketika layar laptop menampilkan tempat wisata untuk honeymoon, mataku mendapati keanehan. Sekian lama bersama, baru terasa ada yang berbeda.

"Laptopmu baru?" tanyaku.

"Bukan baru. Laptop yang lama kutaruh di kantor. Ini laptop pinjaman, sementara saja."

"Oh," kataku singkat.

"Kenapa?" tanya Michi ringan. Matanya masih lekat ke layar, memilah tempat wisata. Tubuhnya tetap dalam pelukanku dari belakang.

Otakku berpikir cepat. Jawaban yang salah akan membuat dia curiga. "Tidak apa apa. Menurutku, lebih bagus laptopmu yang lama, lebih canggih."

"Tentu saja. Laptop ini hanya sementara saja."

Mulutku terkatup rapat. Sesal dalam hati merebak. Suatu kebodohan bertanya tentang kejanggalan yang ada hubungan dengan peristiwa yang sedang terjadi. "Berhenti di gambar itu," kataku mengalihkan pembicaraan.

"Bagus sekali. Dimana?" tanyaku.

Michi menarik layar laptop mendekat. Matanya meneliti foto pemandangan yang kumaksud. "Mount of Bromo, Indonesia," Jawabnya.

Dia membalikkan tubuhnya ke arahku. "Bagus sekali. Kau pernah ke sana?"

Kugelengkan kepala. Gambar pemandangan indah terpampang di depan kami. Sebuah area pegunungan menumpuk saling berkejaran, sementara puncaknya menusuk awan yang mengelilingi. Lautan pasir membentang hingga lereng gunung. Sebuah tangga membentuk tubuh ular lurus merayap dari bawah hingga atas. Tangga itu menghilang sebentar tertelan awan, kemudian muncul lagi dan berakhir di puncak. Puncaknya yang melingkar membentuk lobang yang terus mengeluarkan asap. Pada foto yang lain, di sebuah lautan pasir, kepulan debu berhamburan saat kaki kuda menyepak. Wajah laki-laki penunggang kuda itu dalam balutan jaket dan kain penutup melingkar dari leher hingga setengah badan. Wajah keriput penunggangnya memancar nuansa kedamaian.

"Stairways to heaven," kata Michi. Telunjuknya mengarah pada tangga di lereng gunung.

"Apa artinya?" tanyaku serius.

Michi tertawa ringan. "Bahasa Inggrismu benar-benar parah. Tangga surga," jelasnya.

"Tidak membutuhkan bahasa Inggris yang bagus untuk membuat wanita lulusan Harvard University jatuh cinta," kataku tak mau mengalah.

Michi mencubit pahaku, aku mengaduh manja. "Bagimana bila tempat ini kita masukkan dalam tujuan terakhir bulan madu kita?" usul Michi.

"Bukan Eropa, atau Amerika?"

"Aku sudah bosan mengunjungi Negara-Negara itu. Tempat wisata di Asia kelihatannya lebih menarik. Phuket di Thailand, Angkor Wat, Philipina, dan tentu saja Bali sebagai tujuan utama. Aku ingin bulan madu kita berakhir di sini. Di Mount of Bromo. Mountain of God."

"Terserah kamu. Kemana pun tujuannya, asal bersamamu, ke neraka pun aku ikut."

"Mulutmu memang manis, Yonekura Kazuki!" Michi kembali mencubit pahaku gemas. "Kita bertiga. Aku, kamu, dan bayi kita," lanjutnya.

Tanganku bergerak ke perutnya, mengelus pelan penuh kasih sayang. "Ya. Bukan hanya bayi ini, juga bayi-bayi lain yang akan menemani bayi ini. Dua, tiga anak lagi akan lebih meriah."

Michi meraih tanganku, menuntun mengelus perutnya. "Kau bahagia dengan adanya anak ini?"

Kukecup belakang leher Michi. "Dia adalah hadiah terindah dalam hidupku. Aku sangat bahagia. Aku tak sabar bertemu dengannya, memandikannya, mengganti popoknya, menyuapinya dengan tanganku sendiri. Ketika dia besar, aku tak sabar untuk mengajarinya mengendarai sepeda."

Michi meremas tanganku. Sepuluh jari kami bertaut erat.

"Kau bahagia mengandung anakku?" tanyaku balik.

Masih dalam posisi membelakangi, Michi berkata tegas. "Aku menyayanginya sepenuh hatiku. Nyawaku taruhannya. Aku bahagia bisa mengandungnya. Bayi ini adalah pemberian terbaik dari Tuhan."

Kami terdiam kala sosok abstrak itu meluncur dari bibir Michi. Sebuah sesembahan yang diikuti perintah dan larangannya dipatuhi sebagian besar penghuni bumi. "Kau percaya ada Tuhan?" tanyaku pelan.

"Entahlah." Michi menghela nafas sebentar, kemudian melanjutkan, "Aku percaya ada kekuatan selain kekuatan manusia. Kekuatan yang mengatur semua hal di dunia ini. Aku berharap kekuatan itu memperlancar hubungan kita."

Aku berbisik pelan, "Kalau Tuhan memang ada, aku berdoa semoga Dia memberi kebahagian bagi kita, memberi kesempatan bagi kita untuk mengunjungi tempat indah itu."

Michi membalikkan tubuhnya, mengecup pelan bibirku, menatap langsung ke mataku. "Ketika anak-anak kita dewasa dan tak memerlukan bimbingan kita lagi, aku ingin lepas dari kemelut dunia yang tak menentu ini. Aku ingin waktu berhenti di sebuah tempat tanpa orang peduli keberadaan kita. Ingin kuhabiskan sisa hidupku di gunung itu, di lereng Mount of Bromo. Aku ingin berkuda bersamamu melintasi lautan pasir, beristirahat sebentar di bangunan mistis itu, kemudian saling berpegang tangan menaiki tangga surgaNya. Aku ingin bersamamu hingga akhir hayatku di sana. Kau bersedia?"

Hatiku serasa diremas. Bukan remas menyakitkan, namun, genggam hangat dari bidadari yang menawarkan kehidupan sempurna. "Tentu saja aku bersedia, Sayangku. Tapi, sebelum itu, aku harus menemui orang tuamu. Besok aku akan melamarmu," bisikku.

"Oh, aku mencintaimu, Yonekura Kazuki," desahnya.

Aku membalas ucapan cinta kekasihku dengan kecup mesra di keningnya. Michi memeluk tubuhku erat. Nafas kami beradu. Selanjutnya kami tenggelam dalam regukan cinta yang tak berkesudahan. Kami tertidur pulas dalam dekapan malam musim dingin di akhir bulan Januari. Esok seharusnya menjadi hari bahagia. Namun, hari penuh harap kebahagiaan itu berubah menjadi hari terakhir ungkapan cinta kami.