Dering bel membuyarkan mimpi indahku. Seketika kelopak mataku mengerjap terbuka. Kulirik Michi yang masih larut dalam nafas teraturnya. Sudut bibirnya tertarik ke samping. Dia tertidur dalam senyum. Aku berharap kekasihku itu melihat kehidupan bahagia dalam mimpinya.
Kembali bel berdering keras. Kali ini diiringi hentakan di pintu. Tidak semua orang bisa naik ke apartemen ini tanpa akses atau ijin dari yang empunya. Apalagi membuat gaduh di pagi hari. Tidur Michi begitu pulasnya hingga tak tega aku membangunkannya. Dengan malas aku turun dari tempat tidur. Hanya dengan celana pendek dan balutan selimut tebal, kususuri dinginnya ruangan. Kakiku setapak demi setapak menuruni anak tangga. Gedoran di pintu yang mengeras mempercepat langkahku.
Tanpa memeriksa siapa yang datang, kubuka pintu. Mataku yang masih setengah terkatup seketika membelalak lebar. Wajah penuh keriput dengan rambut keperakan berdiri tepat di depanku. Di belakangnya, dua laki-laki bertubuh dempal berkaca mata hitam berdiri tegap. Wajah dua lelaki itu dingin mematung tanpa senyum.
Mata Fujioka Ichiro juga terbelalak mendapatkan aku yang menyambutnya. Gerahamnya gemeretak menahan geram. Dahinya melipat hingga kerutnya terlihat bergelombang. Tanpa meminta persetujuan dan basa-basi dia mendorong tubuhku. Aku terjengkang mundur. Tanpa perlawanan kuberi jalan orang tua dan dua pengawalnya bergerak memasuki ruangan.
"Michi! Michi!" Kesetanan dia berteriak memanggil nama anaknya.
Fujioka Ichiro bergerak liar memeriksa seluruh ruangan. Ruang tamu, dapur, balkoni. Tidak mendapati yang dicari, tubuh tua itu bergerak cepat melangkah ke lantai dua kamar tidur. Belum juga dia menyelesaikan tangga yang dinaikinya, Michi sudah berdiri di anak tangga teratas.
"Otoosan. Ohayou! Ada apa pagi buta sudah di tempatku?" sapa Michi ramah berusaha mencairkan teriakan papanya.
Sapaan ramah anaknya tidak mengendurkan nada amarah Fujioka Ichiro. "Turun kau! Cepaaat!" teriaknya.
Dia kembali ke ruang tamu, berdiri mematung menunggu anak perempuannya menuruni anak tangga. Michi terkesiap jengah melihat dua laki-laki tak dikenal ikut berada di ruang tamunya. Pakaian yang membalut tubuh Michi terbuka di beberapa bagian. Sekenanya dia cepat membenahi piyama tidurnya. Mata dua laki-laki itu tidak terpengaruh dengan pemandangan di depannya. Tetap dingin. Sangar.
Aku berdiri menyandar ke tembok di sebelah piano. Jantungku berderap keras menunggu scene apa yang akan dimainkan pada babak drama selanjutnya.
Michi duduk di sofa. Fujioka Ichiro berkacak pinggang. Di atas meja pendek sebuah amplop coklat tergeletak tertutup rapat. Michi menarik tangan orang tua itu agar duduk disebelahnya. "Otoosan, duduklah di sini. Tenangkan diri dulu. Kenapa pagi-pagi sudah marah?" tanya Michi merajuk.
Kasar Ichiro mengibaskan tarikan tangan Michi. Nafasnya menderu. Sorot matanya tajam menatap anak perempuan satu-satunya. Sorot mata itu memancar campuran kasih sayang dan kemarahan hebat. Mengerikan, hingga seluruh ruangan ikut membara menunggu ledakan berikutnya.
"Lihat amplop itu! Kau akan menemukan jawabannya!" teriaknya.
Angin dingin membeku dari ruang yang belum dihidupkan alat pemanasnya tidak sanggup menghentikan bara itu meredup. Tubuhku yang hanya terbalut celana pendek dan selimut tebal ikut memanas. Yang tersisa dari dinginnya ruangan adalah dua laki-laki bertubuh dempal yang berdiri dengan wajah beku. Anak perempuan satu-satunya pewaris tahta Fujioka Corporation itu tetap mematung.
Lelaki tua itu meradang hebat melihat anaknya tak bereaksi akan perintahnya. "Lihaaatt amplop Ituu!" Suara bentakan parau semakin memanaskan ruangan. Membuat aliran darahku mengalir semakin cepat.
Tangan Michi merinding meraih amplop. Gemetaran dia membuka dan mengeluarkan isinya. Setengah senti dokumen berikut kumpulan tebal foto-foto. Dari tempatku berdiri tak nampak jelas apa isinya. Wanita yang kucintai itu meneliti lembar demi lembar kertas dan foto-foto itu. Matanya mendelik, dahinya mengerenyit, hidungnya kembang kempis. Mimik wajah Michi berubah-ubah.
Aku tetap terpaku dibalut seribu pertanyaan. Sejurus kemudian bahu Michi bergetar hebat. Air matanya berderai-derai. Dadanya turun naik dengan cepat seolah ada beban berat yang menindih sehingga paru-parunya tak mampu memompa oksigen. Tangannya terkulai. Lembar dokumen dan foto-foto itu jatuh bertebaran di lantai.
Aku tak sangup lagi berdiam diri. Kuraih lembaran-lembaran itu. Mataku mengerjap berkali-kali tak percaya. Foto-foto itu diambil oleh fotografer profesional dengan lensa jarak jauh dalam berbagai pose. Michi keluar apartemen, naik taksi, menikmati lukisan monet bersamaku. Fotoku berada di konser sedang menatap Michi dari jarak terpisah. Entah siapa pengkhianat yang selama ini menguntit kami. Yasuo kah?
Dan, yang membuatku tak bisa mengelak adalah hasil kloning laptop Michi. Data berlembar-lembar itu menuliskan dengan detail semua aktifitas laptop itu. Di kesimpulan disebutkan, seseorang telah mengambil semua data yang tersimpan. Tanggal pengambilan data tepat dengan tanggal saat pertama kali kami terlibat cinta.
"Bangsat!" desisku pelan. Kukutuk kebohongan Goto Tomoyasu. Tidak ada pencurian yang tak akan terungkap.
"Ak—ku ... bisa menjelaskan semua ini" Nada kalimat yang meluncur dari bibirku terdengar tanpa kepercayaan diri. Aku seperti pencuri yang tertangkap basah dan tidak ada jalan untuk berkelit.
"Bajingan! Tidak ada lagi alasan! Kau telah mempermainkan putriku! Kau telah menipu anakku. Kau gunakan bujuk rayumu untuk mendapatkan data perusahaan kami!" Suara Fujioka Ichiro menggelegar, nafasnya tersenggal.
Sebelum aku memberikan jawaban, kakinya menghujam ke perutku. Tendangan kaki milik orang tua itu tidak seberapa keras, tapi cukup bertenaga. Hingga tubuhku terjengkang menabrak dinding di belakangku.
Aku bangkit, merangkak mendekati Michi yang masih duduk di sofa. Tangis kekasihku itu terus berderai tak berhenti. Isak keras yang keluar dari bibirnya seperti sayatan luka yang teriris sembilu. Aku memeluk kakinya, menciuminya berkali kali-kali. "Maafkan aku, ampuni aku ... Aku mencintaimu, beri aku kesempatan memperbaiki...."
Tidak ada jawaban dari Michi kecuali teriak tangis yang mengeras. Setiap kalimat yang terlontar dari bibirku laiknya hujaman belati ke jantungnya, mengirisnya berkerat-kerat hingga darah yang keluar tak tersisa lagi. Sebuah jambakan mendarat di kepalaku, menarik tubuhku kembali terjerembab. Salah satu laki-laki bertubuh kekar yang tadi mematung bergerak sebat membuatku terjengkang.
"Kau laki-laki bajingan! Aku akan membuatmu membusuk di penjara! Cuh! Cuh!" Laki-laki tua yang sudah kalap itu mendaratkan ludahnya berkali-kali ke mukaku.
Aku menerimanya tanpa berusaha membalas. Aku tidak peduli dengan semua hinaan dan pukulan. Yang ada dalam benakku hanyalah tangisan menyayat hati dari wanita yang telah membetot sukmaku itu. Aku bangkit. Merangkak, berusaha mendekat, berusaha meraih tubuh Michi. Belum juga tanganku menyentuh kulitnya, gerakan tubuhku terhenti di udara. Sebuah tangan kasar menelikungku. Punggungku berderak ke belakang. Otot otot lenganku tertarik hingga menegang. Seorang lagi meloncat mendekat. Tangannya terangkat menggenggam, siap mendaratkan pukulan di kepalaku. Kusipakan tubuhku menerima menunggu hukuman yang memang pantas kuterima.
"Cukup! Hentikan!" Teriakan Michi di sela isaknya menyelamatkan kepalaku.
Tangan itu berhenti di udara. Pukulannya ditarik kembali. Si penelikung tanganku melihat Fujioka Ichiro, meminta instruksi selanjutnya. Laki-laki tua itu mengerjapkan matanya. Dia melepaskan kedua lenganku. Setelah bebas berusaha kuraih Michi. Aku ingin mendekapnya. Menyatakan penyesalanku, dan berharap dia menerimanya. Namun, keinginanku membatu.
"Jangan sentuh aku!" teriaknya.
Tubuhku menegang di udara. Mimpiku sedikit demi sedikit menguap. Tanganku lunglai, tubuhku merosot tak bertenaga. Sambil terisak, kalimat yang meluncur dari bibir Michi menghancurkan sisa harapan yang sempat bergelayut.
"Kau kejam Kazuki. Kau mendekatiku, membuatku melambung mencintaimu. Sekaligus kau hempaskan aku dengan pengkhianatanmu."
"Tolong dengar penjelasanku, Sayangku," rengekku bak murid minta tak dihukum karena lupa mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Fujioka Ichiro tak tahan mendengarku mengemis. Dia kembali memberi kode pada dua tukang pukulnya untuk bertindak. Aku tak beraksi. Tak ada gunanya melawan perlakuan mereka. Yang kubutuhkan hanya sepercik belas kasihan anak perempuannya.
Sebelum tubuhku menjadi bulan-bulanan, Michi mengangkat tangannya, meminta papanya waktu untuk kehidupan pribadinya sebentar. Kekasihku itu menarik oksigen sebanyaknya, membawa udara ruangan yang pengap memenuhi paru parunya. Dia berharap udara itu berusaha menghentikan sesaat tangisnya.
Kemampuan bertahan wanita ini terhadap tekanan memang mengagumkan. Sejurus kemudian dia sudah bisa menguasai dirinya. Sepasang pipinya membentuk anak sungai kecil. Tapi isaknya telah menghilang. Kehancuran hanya sebentar merobek dinding pertahanannya. Namun, justru itu yang membuat ketakutanku menjadi-jadi. Calon ibu anakku itu kembali memakai perisainya. Saat itu pula kuyakini Michi-ku yang dulu telah mati. Pupus sudah semua asa dan mimpi kami. Akulah yang telah menguburnya.
"Apa alasanmu?" tanyanya dingin.
Kuatur nafasku. Kutekan hentakan dada yang menghantam dinding kebohonganku. Tak ada gunanya lagi kepalsuan. Kejujuran memang menyakitkan.
"Awalnya aku memang ingin memanfaatkanmu untuk mendapatkan data-data yang diinginkan perusahaan kami. Tapi, seiring perjalanan waktu, kau telah membuat mataku terbuka. Hatiku terjerat cintamu. Aku memang bodoh. Aku tidak berani mengungkapkan kebenaran sebelum kau mengetahuinya. Karena, aku takut kehilanganmu," terangku lemah diakhir kalimat.
Seperti kisah-kisah telenovela sejak jaman baheula, kejujuran yang terlambat tidak membuat kesalahan dengan gampang termaafkan. Seperti kata papa, sebuah konsekuensi yang harus kutanggung karena mencintai wanita yang salah.
Michi mendengus. Dia menghapus bulir air dari hidung, mata, dan pipinya hingga tak tersisa. Wajahnya pucat pasi seolah tanpa darah yang mengaliri. Bibirnya mengeras. Kering, tanpa senyum. Kekasihku diam mematung tanpa ekspresi. Wajahnya membeku tak berjiwa.
Ia tertawa sumbang. "Sekarang kau sudah mendapat apa yang kau inginkan. Pergi dari sini! Aku tak ingin melihatmu lagi!" desisnya.
"Tapi, bagaimana dengan anak kita?" cetusku.
"Apa?!" teriak laki-laki di sebelahku.
Aku menoleh ke Fujioka Ichiro. Matanya terbelalak menatapku. Aku menantangnya balik. "Ya, Michi sedang mengandung anak kami. Anakku!"
"Tidak! Itu tidak boleh terjadi...." desisnya. Disusulnya ketidak setujuannya dengan teriakan membahana, "Bayi itu tidak boleh lahir!"
Calon kakek yang tak berharap kehadiran cucunya di dunia itu limbung. Kakinya tak sanggup menyanggah beban tubuh dan jiwanya. Tangannya mencari meja di depannya, menopangkannya di atas meja. Kepalanya menggeleng ke kanan ke kiri tak mempercayai pendengarannya.
"Michi akan mengandung bayi itu. Melahirkannya ke dunia!" bantahku.
"Aku tidak sudi punya penerus marga Fujioka darimu!"
"Terserah! Kau tidak berhak mencampuri kehidupan pribadi kami!"
"Aku akan memaksa anakku untuk menggugurkannya!"
"Aku bertaruh nyawa untuk itu!"
"Kau akan membusuk di penjara!"
"Aku tidak takut!"
"Cukup! Hentikan!" teriak Michi.
Perseteruan memanas itu berhenti seketika hanya dengan satu teriakan. Nafas Michi tersenggal sesaat. Hidung yang basah dengan air itu menarik udara panjang. "Kalian berdua tidak punya hak menentukan kehidupanku...."
Michi turun dari sofa, membungkuk, meraih kaki papanya. Mendekap kaki yang gemetar itu sembari tangis berderai yang tak kunjung padam. Kesunyian semakin lindap diselingi isak tertahan. Lenguh menyayat yang keluar dari bibir wanita yang kukasihi itu membuatku tersesat ke sebuah lorong tak berujung.
"Otoosan, maafkan aku. Tolong hargai aku kali ini. Aku memang salah dan bodoh. Tapi, aku tetap putrimu yang membutuhkan dukunganmu. Otoosan, ampuni anakmu yang hina ini...."
Fujioka Ichiro menengadahkan kepalanya. Dua tangannya mengepal tegap di samping tubuhnya yang beku. Gerahamnya terkatup rapat. Pandangannya nanar menatap lampu sepuhan warna keemasan yang tergantung di langit-langit. Mata tua itu mencari jejak masa kecil anak perempuan dalam sorotnya. Kelopak mata itu menutup pelan. Tubuhnya melemas. Kemarahan meruap ditelan lintas kenangan akan kasih ayah terhadap anak perempuannya. "Oh, anakku...." erangnya.
Dia menarik tubuh putrinya berdiri, memegang erat bahu Michi, memeluknya erat. Bapak dan anak itu terbebat kasih sayang yang tulus. Pemandangan itu membuat mataku memanas.
Fujioka Ichiro melepas pelukannya, menatap langsung ke bola mata anak perempuannya itu. Mata tua itu merebak air mata. "Apa pun yang telah kau lakukan tidak akan mengubah pandanganku padamu. Kau adalah kebangganku, permataku. Setiap orang pernah mengalami kesalahan. Terserah keputusanmu. Otoosan akan mendukungmu."
Air mata yang sejak dari tadi kutahan tak bisa lagi kubendung. Pemandangan indah hubungan antara papa dan putrinya yang disajikan membuatku mengutuki diri. Aku tak tahu lagi bagaimana harus berpijak. Aku ingin mengulang kembali scene dari awal, mengulang kembali babak demi babak perjalanan dengan Michi, dan membetulkannya dari adegan pertama. Namun, semua sudah terlambat. Semua menjauh. Meninggalkan aku sendiri berteman dosa penghianatan yang kurajut sendiri. Yang kubutuhkan saat ini hanyalah setitik belas kasih.
"Kazuki," desis Michi.
Kepalaku terangkat. Bidadari berwajah dingin dan berperisai itu menatapku lekat.
"Pergi dari sini. Pergi dari kehidupanku. Sejak detik ini aku akan menghapus semua memori tentangmu!"
Kalimat yang keluar dari bibir mungil itu bagai stalaktit yang meluncur deras. Menghujam tepat di jantungku. Aku mengeram. Bayi yang sedang dikandungnya seolah berontak memanggil namaku.
"Bagaimana dengan anak kita?" tanyaku berharap.
Michi mendengus keras. Sambil mengelus pelan perutnya, dia berteriak garang, "Setelah apa yang kau lakukan, kau masih berani mengharapkan anak ini? Melahirkannya atau mengugurkannya adalah keputusanku! Kau tidak punya hak atas anak ini!"
Bayang janin menggeliat berdarah-darah keluar dengan paksa dari perut ibunya membuatku meradang. Janin itu darah dagingku juga. Calon bayi itu seolah memohon padaku untuk diselamatkan. Aku mengerang gusar membayangkan kekejaman seorang wanita yang terluka hatinya.
"Michi, kasihani anak itu. Dia tidak tahu menahu tentang perbuatanku! Berikan dia hak untuk hidup!" bentakku.
Semangatku kembali mengalir kala membayangkan darah dagingku menjadi korban kebiadabanku.
"Ha? Anak?" kata Michi. Tangannya mengelus perutnya. "Yang ada di dalam perutku saat ini tak lebih dari sekerat daging!"
"Dia bukan sekerat daging! Dia anak kita," erangku.
Michi tertawa sengau. "Sudahlah, aku tak ingin berdebat lagi. Pergi kau dari sini! Aku tak sudi lagi melihatmu!" Setengah berlari ia berbalik menuju dapur, meninggalkan empat lelaki dalam ketermanguan.
Bayang tindakan kejam yang akan dilakukan Michi menghujam seluruh otakku. Wanita yang terluka akan sanggup melakukan apa saja. Aku akan memohon, menghiba, mengemis, kalau perlu bersujud atas nama apa saja yang dia perintahkan asal mendapat jaminan dia tidak akan menggugurkan kandungannya.
"Michi! Jangan bunuh anak itu! Tolonglah ... kasihani dia...."
Kuseret tubuhku berusaha menyusul wanita yang mengandung anakku itu. Belum juga satu langkah tubuhku terangkat, kemudian terbanting ke lantai. Belum sempat aku menyadari apa yang menimpa, seseorang menelungkupkan tubuhku, menindih punggungku, menelikung tanganku ke belakang. Aku berteriak, mengerang, meracau. Kedua lenganku ditarik kasar. Sakit, ngilu mengigit serasa tulang bahuku lepas dari tempatnya. Aku berusaha berontak. Otomatis kutarik lenganku sekuat tenaga. Tapi semakin kuat penolakanku, tulang bahuku gemeretak serasa dihantam palu besar. Aku tak mau menyerah.
Dua pengawal bertubuh dempal bersamaan menggotong tubuhku yang terus berontak. Mereka menyeretku meningalkan kamar Michi. Untuk ukuran laki-laki normal, aku memiliki tubuh yang kuat dan atletis. Kakiku panjang, otot perutku keras dengan dada yang bidang, otot-otot tanganku lumayan kuat akibat sering latih beban. Ditambah hati hingar bingar menyuarakan keinginan melindungi calon bayiku, gerakanku yang penuh tenaga menjadi berlipat. Aku yakin bisa memberi perlawanan walau dalam telikungan dan kuncian dua tubuh laki-laki dempal sekali pun. Tangan, kaki, kepala, pinggang, bahu, bahkan gigi kugunakan untuk melawan. Dua laki-laki itu semakin kerepotan menundukkanku.
"Buk! Buk!" Perlawananku berakhir ketika pukulan keras menghantam ulu hatiku dua kali. Udara yang kuhisap berhenti di kerongkongan. Ribuan godam bersamaan memukuli organ dalam tubuh. Sakit tak tertahankan. Tenagaku terlolosi. Seolah karung berisi pasir, dua pengawal itu menyeretku keluar ruang apartemen Michi.
Aku merintih memohon belas kasihan. Namun, kembali pukulan mendarat di mulutku. Bibir dan gigiku berderak serasa pecah. Rasa asin darah terasa di lidah. Sebelum tubuhku hilang dari ruangan, sempat kulirik Fujioka Ichiro. Lelaki tua itu menyeringai penuh hinaan dan tatapan kemenangan.
Kedua pengawal Fujioka itu terus menyeretku hingga di depan pintu elevator. Aku yakin apartemen mewah ini mempunyai beberpa cctv di lorongnya. Tapi, kali ini tidak ada seorang pun petugas keamanan yang terlihat. Atau wajah tamu lain yang terusik akibat keributan di pagi hari. Penghuni apartemen, petugas kebersihan, petugas keamanan, seolah bersekutu ingin menghajarku pagi ini. Mereka seolah tidak peduli, dan membiarkanku sendiri menerima kehinaan.
Seorang pengawal menekan angka lantai lobi, seorang lagi melemparkan tubuhku ke dalam elevator kala pintu terbuka. Tubuhku menggigil, gigiku gemeletuk menahan semua tikaman yang menerpa kulit. Aku duduk bersendeku di lantai elevator yang dingin. Kudekap lututku. Kepalaku terkulai menyentuh lutut. Waktu berhenti dalam derita putus asa dan kesakitan.
Ketika elevator menyentuh lantai lobi, pintu bergeser perlahan. Prasangkaku tepat. Seorang petugas keamanan berdiri di depan pintu menyambutku. Di tangannya terdapat jaket tebal musim dingin. Kasar disorongkannya jaket itu. Penuh seringai kemuakan dia meninggalkan aku.
Aku berjalan lunglai. Kakiku tanpa sepatu menyentuh lembut karpet tebal. Beberapa tamu melirik aneh. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin cepat sampai di apartemenku. Ketika sebuah taksi berhenti tepat di depan apartemen menurunkan penumpang, aku segera menerobos masuk tanpa peduli antrian penumpang lain yang menunggu. Wajahku yang berdarah-darah dengan hanya mengenakan celana pendek dan jaket, menyampaikan pesan pada sopir taksi untuk tidak ikut campur dengan permasalahan yang sedang membelitku.
Kusebutkan alamat apartemenku, kemudian kurebahkan tubuhku melingkar di kursi belakang. Saat taksi berhenti di lobi apartemen, aku baru menyadari dompetku tertinggal di kamar Michi. Untunglah sopir taksi berbaik hati mau menunggu, untunglah Yasaka san sang petugas front office mau meminjamkan uangnya, untunglah dia juga meminjamkan kunci spare apartemenku. Ketika kunyalakan lampu kamar apartemenku, keberuntungan itu berlalu.
Seluruh ruanganku berantakan. Pintu lemari pakaian terlepas dari engselnya. Isinya berhamburan. Lampu duduk, peralatan makan, meja, kursi, televisi bertukar tempat. Tempat tidurku hancur teriris sabetan benda tajam. Tidak perlu Detektif Conan untuk mengetahui siapa pelakunya. Sambil meringis dan memegang perut, aku mengais tempat yang tersisa. Aku mendapatkan sebuah sofa kecil. Kuhempaskan tubuhku bersama rasa lelahku. Aku ingin istirahat. Walau sekejap.