Sebuah perusahaan apabila ingin memulai sebuah bisnis baru, maka ia akan melebarkan sayapnya dengan investasi membuka usaha baru. Untuk merintis usaha ini, maka diperlukan modal. Modal bisa didapat salah satunya dengan menerbitkan saham.
Fujioka Corporation didirikan oleh kakek dari Presiden Direktur sekarang, Fujioka Ichiro, ayah Michi, sekira tahun 1900 dengan memulai bisnis sebagai toko kelontong. Pada tahun 1961, kakek Michi mendirikan anak perusahaan bernama Yanagi Corporation, yang bergerak dalam bidang kepemilikan super market. Sementara Fujioka Corporation sendiri beralih fungsi sebagai perusahaan perdagangan. Seiring perkembangan jaman, bukan perusahaan induk yang membesar, melainkan anak perusahaannya, yaitu Yanagi Corporation. Anak perusahaan Fujioka ini tidak hanya mengalahkan induknya, tapi berkembang pesat sebagai perusahaan yang aktif melakukan ekspansi ke semua lini. Chain Store, perusahaan tambang, perusahaan komunikasi, televisi, hingga kepemilikan pabrik ponsel.
Perkembangan pesat melebihi perkembangan induk perusahaan ini membuat Dewan Direksi Yanagi Corporation berniat membeli mayoritas saham Fujioka Corporation, dan menjadikan Yanagi Corporation beralih fungsi sebagai induk perusahaan. Fujioka Corporation menyetujuinya.
Pembelian saham dilakukan dengan dua cara. Melalui perdagangan pada umumnya, yaitu membeli lewat perdagangan saham di pasar saham. Namun, pembelian saham ini memerlukan waktu, di saat yang sama kemungkinan harga saham naik. Cara ke dua, adalah dengan pembelian langsung ke pemilik saham di luar waktu pembelian saham yang ditetapkan. Pembelian ini bisa dilakukan dengan cara menyembunyikan nama sebenarnya dari pihak pembeli saham.
Cara ke dua inilah yang dipilih Yonekura untuk mendapatkan banyak saham di Fujioka Corporation. Tujuan sebenarnya adalah membidik hak pengelolaan bisnis Yanagi Corporation. Dengan mendapat saham di Fujioka Corporation, secara tidak langsung Yonekura bisa ikut menentukan arah kebijakan bisnis Yanagi.
Tentu saja untuk ukuran perusahaan sekelas Yonekura, membeli saham mayoritas milik Fujioka Corporation membutuhkan support dana yang besar. Weisman Bothers Inc. tampil sebagai penyandang dana di belakang Yonekura. Keuntungan Weiseman Brothers Inc. akan mendapatkan bunga yang besar dari kenaikan harga saham Yonekura Corporation bila dapat mengakusisi saham mayoritas Fujioka Corporation.
Untuk alasan itulah aku harus mendekati Fujioka Michi. Mendapatkan data-data pemegang saham dan jumlah saham mereka, mendapatkan informasi seberapa jauh Fujioka Corporation mewarnai kebijakan Yanagi Corporation. Dalam beberapa minggu ke depan, Yonekura akan mendapatkan apa yang diinginkan. Mass media akan dipenuhi berita ini. Semua akan meledak pada saatnya. Di saat kasus itu meledak, aku berharap hubunganku dengan Michi tidak terkena imbasnya.
Aku tidak bisa lagi membedakan antara harapan baik dan harapan buruk. Sejak hatiku terjerat pesona Michi, aku tidak bisa memilih. Keseimbangan logikaku kacau balau. Berharap akan keberhasilan Yonekura Corporation, berarti berharap chaos pada perusahaan Michi. Berharap kegagalan perusahaan, sama dengan kehancuran kehidupan para karyawan.
Waktu laiknya pesawat ulang-alik. Melesat cepat meninggalkan bumi, kemudian melambat saat berada di ruang hampa. Di saat berdua dengan Michi, jarum jam serasa bergerak cepat, namun, serasa berhenti saat berpisah. Di setiap ada waktu, kami seolah tak habis-habisnya mereguk cinta. Setiap dengus cinta kami reguk manisnya bersama. Walaupun setelah itu menyisakan kegetiran yang menggigit hatiku. Setiap terbangun di sisi Michi, jantungku berdegup kencang membayangkan vonis kematian yang akan kuterima setelah dia tahu pengkhianatan yang kulakukan.
Satu bulan setengah setelah flash disc kuserahkan, gelagat perubahan mulai nampak. Michi semakin sibuk. Jam kepulangannya bersamaan dengan jam pergantian petugas sekuriti. Setiap pulang wajahnya terlihat kusut. Masakan terbaik yang pernah kubuat tidak disentuhnya. Bawaannya berubah sensitif dan kadang uring-uringan tanpa sebab.
Aku selalu mengalah. Menghiburnya dengan kalimat-kalimat penyemangat. Memijit kaki dan belikatnya. Menemani tidurnya hingga lelap. Rasa bersalah yang berkecamuk membuatku rela melakukan apa saja untuk wanita yang semakin erat menjerat hatiku itu. Sehari tak bertemu, waktu serasa berhenti berputar, dan aku tersekap dalam dekapan rindu yang amat sangat. Perlahan tapi pasti, rasa cintaku pada perempuan ini membesar. Membuat rasa itu menjadi narkoba yang memabukkan. Melilit hidupku, membetot sukmaku hingga tak mampu lagi berontak. Pada usia dua puluh delapan tahun, aku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Sayangnya, seperti kata papa, cintaku jatuh pada wanita yang salah.
Sore itu di hari sabtu akhir bulan Januari, salju turun deras mendinginkan kota Tokyo. Pukul lima sore, senja turun menutup keberadaan matahari. Kerlip sinar lampu yang dihasilkan Tokyo White Illumination semburat menyemarakkan kota. Malam ini Michi mengajakku makan di luar. Ada berita besar yang akan dia sampaikan, katanya. Dia ingin menyampaikannya di sebuah restoran mewah di pusat kota Tokyo. Michi memintaku mengenakan jas lengkap. Aku mengiyakan was-was. Benakku berkelindan menerka berita besar apa yang ingin disampaikannya.
"Aku sudah siap," teriak Michi dari ruang tamu.
Aku membalikkan tubuh, menjauh dari balkoni yang menyisakan kerlip lampu dan kesangsian. Aku berdecak kagum. Di hadapanku muncul sosok wanita dalam balutan pakaian pesta. Rambut Michi yang memanjang di sanggul melingkar ke atas, dijepit dengan bros warna emas. Long dress warna ungu sebahu membelit tubuh yang selalu ingin kupeluk. Kalung bertahtah permata bertengger di lehernya yang jenjang, memantulkan sinar putih sesuai kulit si pemakainya. Stocking hitam berpadu serasi dengan sepatu high heel warna sama, membuat tubuh Michi menjulang untuk ukuran wanita pada umumnya.
"Wow, kau terlihat seperti bidadari," pujiku tulus.
"Terima kasih. Kau juga kelihatan tampan dan gagah dengan balutan jas lengkap. Setampan saat pertemuan kita di konser."
"Oh ya? Kau sudah menaruh perhatian padaku saat itu?" tanyaku menggoda.
Michi jengah, wajahnya kemerahan. Sunguh terlihat lebih cantik saat rahasia hatinya terbuka. "Ya. Aku sudah jatuh hati saat itu. Jujur saja, sedikit cemburu melihat kau berjalan dengan wanita itu."
Kudekati ia, kucium pipinya lembut. Aroma wangi bunga semerbak dari lehernya. "Jujur saja, saat itu aku pun juga jatuh cinta padamu," bisikku di telinganya.
"Sudah, sudah. Jangan mencumbuku. Aku tidak ingin merusak dandananku."
Michi menggandeng tanganku keluar kamar. Melewati lobi utama tangannya masih melingkar erat di lenganku, membuat beberapa pasang mata menatap penuh iri. Kami putuskan menggunakan taksi ke restoran itu. Aku berharap Michi tidak memintaku berlomba minum hingga mabuk.
Taksi melibas temaram. Lambat tersendat meliuk pelan melewati barisan mobil yang berderet penuh. Rasa penasaran yang sedari tadi menggelegak tetap kutahan. Aku tidak ingin merusak malam ini dengan memaksa Michi memberitahu berita apa yang akan disampaikan. Tidak ada percakapan yang berarti di dalam taksi, kecuali sepasang jemari yang saling meremas. Remasan kuat lima jari Michi mengalirkan beribu pertanyaan, seolah ia menginginkan kekuatan, ingin menyedot tenagaku dari jemari yang diremasnya. Kekasihku sedang gelisah. Kegundahannya semakin terasa dari ketatnya pelukan di lenganku saat kami turun dari taksi.
"Ada apa? Kau terlihat tidak tenang?" tanyaku.
Michi menggeleng pelan. "Tidak apa apa. Aku hanya ingin makan sepuasnya."
Kepalanya di sandarkan ke bahuku. Kutuntun ia pelan mendekati restoran yang terletak di lantai empat puluh satu hotel berbintang lima di pusat Shinjuku. Gedung berbintang lima itu berdiri megah dengan tembok luar terbalut kaca. Dari dalam gedung, cahaya lampu terang memancar. Elevator pengangkut pun tak kalah mewahnya. Bau pengharum ruangan berkawan dengan parfum jasmin yang memuar dari tubuh kekasihku. Kutekan angka restoran yang dituju.
Ruang restoran semewah lobi hotel bintang lima. Kaca setinggi delapan meter membatasi area luar dan dalam restauran. Tidak ada kelambu yang membatasi, sehingga pemadangan kota Tokyo dalam balutan cahaya iluminasi terpampang berpendar dari lantai atas. Papan nama tersorot lampu bertuliskan "New york Grill Restaurant" menyapa kami. Alunan musik klasik lembut terdengar dari denting piano yang dimainkan di pojok ruangan tersembunyi. Rhapsody in blue. Ya, aku hapal betul ketukan lagu yang pernah menemani jalinan cinta kami saat itu.
Pelayan berawajah bule dalam balutan pakaian jas lengkap menyambut. Pelayan itu berucap salam dalam bahasa Jepang yang lumayan fasih. Michi menyebutkan namanya. Pelayan bule itu mengangguk ramah, mengantar kami menuju tempat yang sudah dipesan. Aku menarik kursi untuk Michi, membimbingnya duduk, kemudian menarik kursi untuk diriku sendiri.
Tidak menunggu lama, pelayan datang dengan daftar menu. Dia membantu Michi memasangkan kain putih di pinggangnya. Aku menyerahkan semua pesanan ke Michi setelah mendapatkan masakan yang tertulis tidak terlalu familiar bagiku.
Ada sedikit keanehan. Michi tidak memesan minuman ber-alkohol untuknya. Dia hanya memesan steak grill daging sapi kobe.
"Tanpa wine?" tanyaku memastikan.
"Tidak. Aku sedang tidak enak badan. Silahkan pesan sendiri untukmu."
Sejak berangkat tadi wajah Michi memang memucat. Terlihat kelelahan yang mendera. Pastilah masalah perusahaan. Perasaan bersalah menggelayut hatiku bersama ribuan makian tumpah menyumpahi perbuatanku. Selama menunggu pesanan datang, sambil berusaha mengalihkan rasa itu, aku membuka pembicaraan.
"Kau terlihat tidak sehat."
"Percayalah, aku baik-baik saja."
"Tapi, tidak seperti yang terlihat."
Michi menghempaskan bebannya dalam desahan nafas yang terbuang. "Aku sehat saja!"
Tekanan kemarahan nadanya menghasilkan jutaan pertanyaan bagiku. Aku diam menunggu. Michi menyadari perubahan sikapnya.
"Maafkan aku. Hanya saja, masalah ini..." Kalimat berikutnya menggantung.
"Masalah pekerjaan?" tanyaku was-was. Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.
"Bukan. Ya. Ah, bukan." Jawaban Michi semakin tak menentu. Begitu pula perasaan hatiku.
Sebelum kekacauan berlanjut, pelayan datang membawa masakan yang kami pesan. Asap mengepul dari daging sapi yang terbakar. Aromanya membuat perutku berteriak kelaparan. Dua hot plate daging sapi kobe dengan siraman saus jamur dipenuhi pernik sayuran dan kentang. Pelayan meletakkan pesanan di depan kami. Dia ingin membuka botol wine, aku melarangnya, tidak enak minum sendiri tanpa Michi. Dua gelas air putih menjadi pilihan yang lebih baik.
Tanpa menunggu Michi, aku meraih garpu dan pisau potong. Dengan sudut mataku, kulirik wanita yang duduk dihadapanku ini. Tangan kanannya siap dengan pisau potong, tangan kirinya memegang garpu yang teracung ke atas. Dia menatap daging kobe terlezat di dunia itu dengan pandangan mual. Sebelum garpunya bergerak menusuk daging, Michi meletakkan dua alat makan dari tangannya, melepas celemek, setengah berlari sambil menutupi mulut. Gerakannya yang cepat dan tergesa membuatku menghentikan nafsu makan.
Penuh rasa khawatir kukejar kekasihku. Pintu bertuliskan "Ladies" menghentikan langkahku. Membuatku menunggu dengan kegalauan. Seorang pelayan wanita menghampiriku. Aku menjelaskan tentang Michi, dan memintanya menengok ke dalam toilet. Sejurus kemudian pelayan wanita itu keluar. "Tidak apa apa, hanya muntah saja," terangnya.
Menunggu hingga Michi keluar dari ladies room seperti menunggu gumpalan es mencair di tengah salju. Serasa tanpa batas akhir. Michi keluar toilet dengan kertas tisu di tangan. Wajahnya pucat pasi. Langkahnya sedikit sempoyongan. Sapuan pemerah bibirnya mengelupas tersapu tissu. Bibir itu pun terlihat kering berkerut. Aku menubruknya pelan. Kubawa dua tangannya dalam rengkuhanku, membimbingnya perlahan ke meja kami.
Dari kaca besar terlihat cuaca di luar mendingin dahsyat. Butiran salju turun menggumpal bak kapas dipanen satu persatu. Tangan Michi hangat dalam genggamanku. Sedikit demam. Berita penting apa yang memaksa dia sehingga dalam kondisi tidak sehat menyeretku kemari.
"Ayo kita pulang saja. Kau lebih baik istirahat di tempat tidur."
Michi berkeras. Dia menggelengkan kepala. Air putih di depannya dihabiskan dalam sekali tenggak.
"Maafkan aku merusak makan malam yang seharusnya indah," katanya, setelah segelas air putih membasahi kerongkongannya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kita bisa makan daging kobe lain hari." Tanganku tetap memegang tangannya yang bertumpu di meja, memberi senyum terbaik yang kupunya.
"Sudahlah, kalau masalah pekerjaan, lebih baik kita bicarakan di apartemen saja. Lebih santai."
Rambut michi yang tergelung bergerak ke kanan ke kiri saat dia menggeleng keras. "Bukan masalah pekerjaan. Dan, tolong jangan bicara kerja, aku sedang tidak ingin membicarakannya malam ini."
Nada suara itu terdengar marah. Tapi aku menari nafas lega. Detak jantungku kembali normal. "Lalu, masalah apa?"
Michi menunduk. Bibir yang pucat itu bergetar. Di dua sudut matanya air mengembang penuh. Ketika dia membuka mulut, air mata itu merembes diselingi isakan. Aku kalut. Hatiku semakin tidak menentu. Aku beranjak dari kursi. Kupeluk Michi, kubawa kepalanya dalam dekapan. Dia semakin terisak. Kepalanya jatuh luruh di dadaku. Air matanya membasahi kemeja putih dan dasi kupu kupuku.
"Maafkan kebodohanku. Aku ... hamil," bisiknya lirih.
Telingaku seperti disambar geledek. Aku tak percaya dengan apa yang kudengar. Dari perutku hawa mengalir hangat, menggelegak, menghentikan nafsu makanku, terus naik ke atas dada menghentikan semua keinginanku akan dunia. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali memeluk tubuh wanita ini. Dia telah mengandung hasil cinta kami.
"Seharusnya aku ... ah, betapa bodohnya aku," bisiknya lagi.
Telunjukku mengarah ke bibirnya, menghentikan celotehannya yang tak menentu. Kuberbisik di telinganya. "Ya, kau bodoh." Sengaja nafas kusemburkan mememnuhi anak rambut telinganya. "Kau bodoh kalau berpikir aku tidak bahagia mendengar kabar itu."
Michi tersentak menengadah. Matanya yang indah menatap langsung mataku. "K—kau...?"
"Ya! Aku mencintaimu Fujioka Michi, sekaligus mencintai calon bayi yang kau kandung."
"Oh, Kazuki ... Terima kasih...." Bisiknya lirih.
Michi menarik kepalaku mendekat. Memagut bibirku lama. Sisa air matanya terasa asin di mulutku. Kami berciuman tanpa peduli sekeliling. Ketika bibir kami berpisah, terdengar siulan ringan dari belakang tempat duduk kami. Terpisah dua meja, lima pasangan mencuri pandang. Kami membuat mereka jengah.
Kutatap mereka, kuedarkan pandangan ke sekelilingku. Aku berteriak layaknya anak kecil mendapat hadiah ulang tahun. "Kami sedang bahagia! Kekasihku sedang mengandung anak kami yang pertama!"
Tepuk tangan membahana berpadu siulan isi mengisi. "Omedetou gozaimasu! Omedeto!" teriak beberapa pasangan.
Aku membungkuk mengucapkan terima kasih. Beberapa pasangan ikut terpengaruh kebahagian kami. Mereka mulai ikut berciuman.
Setelah membayar makanan yang sekerat pun tak kami sentuh, aku menarik tangan Michi keluar restauran. Yang bisa kubawa pulang hanya sebotol anggur yang tutupnya sudah terbuka. Aku meminta tutup kayu itu, mengenakannya kembali di ujung mulut botol. Untuk ukuran wine dengan harga seratus ribu yen, membawanya pulang bukanlah hal yang memalukan. Sembari menunggu pintu elevator terbuka, Michi menuntut penjelasan.
"Kemana kita? Sayang makanan yang tadi kita pesan," protes Michi.
Serius aku menjawab protesnya. "Aku ingin merayakannya di apartemen. Berdua saja denganmu. Aku akan memasak, membersihkan apartemen, kalau perlu aku akan memandikanmu layaknya anak kecil."
Calon ibu anakku itu tertawa kecil. "Jangan bercanda, ah. Bukankah hari ini spesial?"
"Sangat spesial, hingga aku bersedia menjadi budakmu malam ini. Kau adalah putri kencanaku, bidadariku, ijinkanlah aku memanjakanmu malam ini. Semua permintaanmu akan kuturuti." Aku membungkuk di hadapan Michi, mencium lembut punggung tangannya bak pangeran yang berharap tuan putri rela menjadikannya hamba sahaya.
Michi tertawa kecil, menarik tubuhku berdiri, meraih kepalaku mendekat. Telapak tangannya menangkup di pipiku. Sorot mata setajam pisau yang biasa menguliti angka-angka itu menatap langsung bola mataku. Dari pupil hitam pekat itu wajahku terpantul. Wajah itu terlihat sangat bahagia.
"Kazuki, chan. Aku tidak ingin menjadikanmu budakku. Aku ingin kamu menjadi rajaku," bisiknya lembut.
Aku semakin kelimpungan. Aku berharap calon bayi di kandungannya mendengar kalimat balasanku. "Menikahlah denganku, Kekasih."
Mata Michi mengembang besar. Bibirnya berkecumik tak keluar sepatah kata. Kepalanya mengangguk tegas. "Ya! Ya! Aku ingin menikahimu!"
Kurengkuh kepala itu ke dalam dekapanku. Sebelum bibirku mendarat di bibirnya, bunyi elevator merusak suasana yang syahdu.