Langkahku gontai memasuki kantor. Papan nama yang tertera di lobi penerima tamu berkedip sendu enggan menyambutku. Sabtu menjelang senja, tidak ada karyawan yang tinggal. Pekerjaan lembur sudah diselesaikan tengah hari. Akhir pekan akhir bulan, waktu yang tepat bagi para karyawan menghabiskan sisa waktu setelah rekening mereka penuh. Tempat hiburan, restoran, menunggu penuh harap mereka segera menghabiskan gaji yang baru dibayarkan. Terpuruk di kantor dengan segudang pekerjaan yang tak ada habisnya adalah bentuk ketidakbahagian samar.
Jaman sudah berubah. Workaholic yang dulu sempat disematkan bagi orang Jepang karena penggila kerja sudah berakhir seiring jaman. Angka karoshi menurun drastis. Hidup cuma sekali, menghabiskan seluruh waktu hanya untuk kerja, dengan alasan apa pun, merupakan sebuah kebodohan. Disinilah aku. Akhir pekan bukan dengan menghabiskan malam menemani sang kekasih, tapi melangkah syahdu menemui para perakus harta yang menanti.
Langkahku sempat terhenti manakala berpapasan dengan Goto Tomoyasu di ruang kerja. Meja kursi kosong tanpa penghuni menyisakan deretan komputer yang teronggok dingin. Dia melambaikan tangannya ceria. Aku meminta bertemu sore ini tanpa memberitahu maksud kedatanganku. Seperti cenayang, Goto berteriak senang atas permintaanku. Penciuman bisnisnya sanggup bisa menebak maksud sebelum kukemukakan.
"Sebentar, aku ke kamar kecil dulu. Mereka sudah menunggumu dari tadi," katanya tanpa berunjuk salam.
"Mereka?" tanyaku gamang.
"Hiroshi san juga menunggu."
Sebelum aku bertanya lebih lanjut, lelaki tua itu sudah menghilang di balik tembok kamar kecil. Setengah hati kaki menyeret lunglai tubuhku. Jujur saja, aku tidak ingin bertemu dia. Penampilan kaku tidak enak dipandang mata. Selalu ada kemarahan yang tersembunyi di sorot matanya. Rahang lebar dan hidung betet panjang warisan kakek membuat wajahnya menakutkan. Kini, pria haus kuasa itu ikut menanti kehadiranku. Perutku mendadak mual.
Gagang pintu ruang Presiden Direktur Yonekura Coprporation terasa dingin dalam genggamanku. Setelah dua kali ketukan dan terdengar perintah untuk masuk, aku mendorong gagang pintu itu. Hiroshi dan papa duduk berhadapan. Keduanya memalingkan kepalanya ke arah pintu yang terbuka. Menyambutku. Wajah mereka terlihat cerah walau ketegangan terpancar. Hampir dua minggu Hiroshi tidak menyapaku meski dua tiga kali kami berpapasan di kantor. Wajahnya yang suntuk membuatku menyelinap mencari jalan lain sebelum berpapasan dengannya. Namun, kini wajah itu berubah drastis. Senyum di bibir terus tersungging.
Hiroshi bangkit dari tempat duduknya, berjalan mendekatiku, menepuk bahuku. "Bagimana kabarmu, Bro?" tanyanya cerah.
Dia menggunakan frasa laiknya anak muda. Ingin berusaha terlihat akrab. Aku mendengus pelan. Tak kuacuhkan salamnya. Walaupun dia kakak kandungku, entah DNA busuk mana dari orang tuaku yang menurun padanya. Di matanya, orang hanya akan kelihatan baik bila berguna baginya.
"Baik," jawabku cekak. "Tumben kau terlihat ceria?" lanjutku menusuk.
Wajahnya memerah. Kemarahan yang sempat menjalari sorot mata ditekannya. Dia beralih mengambil tempat duduk di samping papa. Aku tetap berdiri menghadapi dua pria sedarah itu dengan sikap kaku.
"Duduklah Kazuki," kata papa. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya lembut.
Aku menarik kursi di hadapan papa, menghenyakkan tubuhku seiring hempasan beban tanggung jawab yang diberikan. "Baik, tidak ada masalah. Semua sesuai rencana," jawabku malas.
"Syukurlah kalau begitu."
Sebelum papa melanjutkan kalimatnya, ketukan pelan di pintu menengahi. Goto Tomoyasu bergegas masuk, kemudian mengambil tempat duduk di samping Hiroshi. Jadilah aku seolah terdakwa yang duduk di depan tiga hakim tanpa ada pembela di samping.
"Langsung saja. Aku sudah mendapatkan apa yang kalian mau," kataku tanpa tedeng aling aling. Aku sedang tak ingin basa-basi. Kuletakkan flash disc di atas meja, kusorongkan ke hadapan mereka. "Ini. Anggap saja hadiah akhir tahun dariku."
Seperti disengat lebah, tiga laki-laki yang duduk di hadapanku itu bereaksi. Papa terbahak, Goto bertepuk tangan, Hiroshi melompat dari kursinya. Tubuh tambunnya bergerak cepat ke luar, kemudian kembali dengan laptop di tangan. Tanpa basa-basi pula dia membuka laptop, menghidupkannya, menuggu sebentar hingga layar tampil sempurna, kemudian memasukkan flash disc warna hitam dariku ke usb port.
Tiga petinggi Yokenura Corporation berkeremun menunggu perubahan tampilan layar. Tidak lebih dari dua menit, data terbaca sempurna. Bergantian mereka memeriksa satu persatu data yang terserap bug life. Aku menunggu dengan perasaan tak menentu. Rasaku terbayar dengan jerit tertahan dan deheman aneh. Wajah wajah tegang itu berubah-ubah tak menentu. Kadang mendelik, kemudian mengeraham, sesekali mulut mengerucut melihat angka-angka yang terpampang. Sedikit pun aku tak tahu dan tak ingin tahu apa yang membuat tingkah mereka kekanak-kanakan seperti itu.
Lima belas menit aku mematung. Wajah cantik Michi berkutat erat di benakku. Sentuhan dan bau nafas harumnya masih tersimpan rapi di relung hatiku. Bayang kemesraan itu bergulat bersama tiga wajah di depanku yang merekah senyum kepuasan.
Hiroshi menutup layar laptopnya tanpa mematikan terlebih dahulu. "Hebat! Kau memang memiliki DNA keluarga Yonekura, Dik!" katanya.
Pujian yang keluar dari mulutnya membuat hatiku serasa ditusuk ribuan duri. Aku jijik melihat seringai keakraban seorang kakak seolah telah menemukan adiknya yang telah lama hilang.
"Jangan samakan aku denganmu! Apa yang kulakukan untuk karyawan kita, untuk perusahaan kita. Bukan semata untukmu!" jawabku sengit.
Hiroshi terbahak. Gigi depannya yang tidak beraturan membuat wajahnya semakin tak enak dipandang. Aku yakin kami keluar dari rahim yang sama. Namun, penampilan fisik kami terlihat laiknya Beauty and the Beast.
Seringai serigala haus darah memenuhi wajah jelek itu. "Terserah kau bilang apa, Kazuki. Yang pasti, aku bangga padamu, my younger brother!"
Sebelum umpatanku keluar, dia sudah menyusulnya, "Kau tahu, kan? Aku bukan tipe orang yang gampang memuji."
Keengganan meladeni ucapannya membuatku mengalihkan pandangan ke Goto Tomoyasu. Orang tua itu terlihat gugup. Beberapa kali ia membetulkan letak kaca mata yang melorot dari ujung hidungnya yang tak panjang. "Apa selanjutnya yang akan kau lakukan?"
Goto menunduk sekilas. Data-data yang kudapatkan membuat adrenalinnya yang lama tidur tersentak bangun.
"Kami akan segera menghubungi Weiseman Brothers. Mereka pasti sudah menunggu data ini. Senin depan pergerakan dimulai. Kami akan segera bertindak," katanya tegas. Penuh semangat.
"Bagaimana dengan nasib Fujioka san?" tanyaku getir.
Untuk seorang penjahat yang sudah mencuri data setelah meniduri pemiliknya, pertanyaanku terdengar absurd.
"Jujur, aku tidak tahu tindakan apa yang akan mereka ambil," jawab Goto. Jawabannya mengandung nada tidak peduli atas pertanyaan yang kulontarkan. Angka-angka yang tertera lebih menarik otaknya daripada berpikir tentang keberadaanku berikutnya.
Habis manis sepah dibuang! Kejengkelan merambah naik, rasa muak bertalu-talu memukul jantungku. Ingin kuteriakkan seribu umpatan dan sumpah serapah, namun yang keluar dari mulutku hanya sekedar lenguhan tak berarti. "Tolonglah, jangan terlalu menyakiti Fujioka san. Terutama, jangan menyakiti Fujioka Michi," pintaku sendu.
Kepalaku menunduk. Sosok Michi yang terluka akibat penghianatan tak bisa lepas dari benakku. Wajah yang sebelumnya penuh cinta kasih itu berubah nelangsa, memeram derita. Cintaku membunuhnya perlahan.
"Hey! Ada apa denganmu?" teriak Papa. Sejak tadi aku melupakan orang yang paling berkuasa di perusahaan ini. Berharap pada Goto dan Hiroshi seperti mengharap salju di musim panas. Hanya Presiden Direktur Yonekura tumpuanku sekarang. Aku menatap lekat orang tua yang duduk di hadapanku it. Papa balik menatapku lekat. Lewat tatapannya, dia menguliti rasa yang menggelegak di hatiku.
"Aku sudah memberikan semua yang Papa minta, tolong jangan sakiti Michi," pintaku melas.
Papa melihatku aneh. "Kau jatuh cinta pada perempuan itu?"
Aku terdiam tak menjawab. Pertanyaan papa menusuk hatiku, menjeratnya hingga tak mungkin lolos lagi. Aku mengalihkan pandangan, tak sanggup menerima tatapan penuh vonis bersalah itu.
Papa menggelengkan kepalanya ke kanan ke kiri. "Accha...." desisnya. "Kau bodoh sekali, Kazuki! kau bodoh sekali!" katanya seolah mencela dirinya sendiri.
"Kenapa? Apakah salah mencintainya?" Aku mengajukan pembelaan. Terdakwa sekaligus pengacara sedang kuperankan dalam persidangan vonis bersalah yang kuterima.
"Tidak salah mencintai wanita. Hanya saja kau mencintai wanita yang salah!" bentak papa.
Laki-laki terakhir yang kuharap mengerti perasaanku itu semakin menjauh. Alih-alih membela, dia malah memojokkanku.
"Bukankah kau tahu, sejak awal ini hanyalah permainan. Pendekatan asmaramu dengan wanita itu tidak lebih dari sekedar bisnis. Kalau dia jatuh cinta, itu urusannya! Tapi, kau harus menjaga hatimu untuk tidak mencintainya."
Kalimat yang keluar dari mulut laki-laki yang kusegani ini semakin terasa tak berperikemanusiaan. Papa tak lebih baik dari Hiroshi dan Goto.
Aku sadar sejak awal ini hanya sebuah permainan. Saat Goto memanggilku, kemudian diikuti dengan strategi menundukkan hati Michi, semua hanyalah gurauan belaka. Namun, karma berlaku sempurna. Tanpa sadar permainan ini telah menyebabkan aku terjerat dalam peran nyata. Kelana dan pengalamanku selama ini menghadapi wanita ternyata tidak berlaku pada Michi. Wanita itu menjungkir balikkan fakta-fakta yang ada. Merubah rasaku.
Muak, rasa bersalah, jijik pada diri sendiri berubah menjadi amarah. Aku bangkit dari duduk. Menatap Papa, Goto, Hiroshi satu persatu. Kedua tanganku mengepal keras bertelekan di atas meja. Tubuhku yang tinggi dan atletis membuat laki-laki di hadapanku ini serasa kurcaci.
"Terserah kalian kalau ingin menguasai Yanagi Corporation atau menguasai Fujioka Corporation, tapi, aku tidak akan membiarkan kalian membunuh bisnis Fujioka Michi. Selagi masih ada waktu, aku akan membuyarkan rencana jahat bisnis kalian!" bentakku keras.
Kepalanku menggebrak meja. Hiroshi berkacak pinggang. Watak aslinya tersulut. Dari mulutnya keluar sumpah serapah. Aku membalas sumpah serapahnya. Goto terdiam menunduk. Memucat. Dia tahu belum terlambat bagiku memberitahu Michi akan rencana mereka. Fujioka Corporation akan dengan mudahnya mematahkan gerakan Yonekura. Langkah kami terlalu prematur.
"Bakayaro! Ahok! Diam kalian!" teriak papa membuyarkan sumpah serapah kami.
Bagaimanapun juga, kami masih tetap anak-anak Yonekura. Papa adalah orang tua sekaligus Presiden Direktur Yonekura Corporation. Perintahnya adalah perwujudan undang-undang bagi perusahaan. Bagi kami.
"Kazuki, duduk! Kau juga Hiroshi!"
Laiknya anak ayam mendapat patokan di kepala dari paruh induknya, kami menghempaskan diri kembali ke kursi. Hiroshi masih menggerutu. Aku menuruti perintah papa, mataku menatap matanya yang mendelik.
"Tolong jangan usik hubunganku dengan Michi. Apa pun yang terjadi diantara kami itu adalah urusan kami. Perusahaan tidak punya hak menghakimi cinta kami."
Penekanan kalimatku pada kata "Perusahaan" membuat papa terdiam. Perusahaan berarti sama dengan papa, Hiroshi, Goto dan seluruh karyawan. Papa mengangguk. "Baiklah. Aku berjanji akan berusaha tidak mengusik anak perempuan Fujioka itu."
Dia tahu betul, aku adalah bagian dari jiwanya. Untuk urusan hati, dia adalah ahlinya. Ketika aku mengungkapkan perasaanku tanpa ingin dihalangi, dia melihat cinta mama pada dirinya.
"Dengarkan aku. Sebagai Presiden Direktur, rencana kita tetap berjalan seperti semula. Yonekura akan membeli saham-saham yang ada di list saham saja. Setelah saham terkumpul sesuai angka yang kita inginkan, kita paksa Yanagi Corporation duduk sama tinggi dengan kita. Dan, ini harus dijalankan secepatnya."
Hiroshi mengangguk, diikuti Goto. Pandangan papa beralih ke diriku. "Kami tidak akan membeli saham yang dimikili keluarga Fujioka."
Kemudian tatapan papa beralih ke Goto dan Hiroshi bergantian. "Hanya saham di luar saham keluarga Fujioka. Camkan itu! Dari data yang kita dapat, kita masih bisa mendapatkan saham mayoritas tanpa mengakusisi saham keluarga Fujioka."
Kalimat berikutnya terdengar lebih tenang. "Kau tidak usah khawatir dengan keluarga Fujioka. Mereka masih tetap menguasai perusahaannya, bahkan bisa jadi kita bisa bersekutu dengan mereka"
Aku mengangguk puas.
"Semoga persekutuan keluarga Fujioka dan Yonekura bisa terjadi," lanjut papa. Ada nada ejekan ketus di akhir kalimatnya.
Aku tidak peduli. Apa yang diputuskan papa bisa mengurangi rasa bersalahku pada Michi. Walau hanya sedikit.
"Pertemuan selesai. Kau boleh meninggalkan kami," perintah papa padaku.
Berbanding terbalik dengan kedatanganku, secepat kilat aku berdiri, meninggalkan ruangan berlepotan penat penuh tekanan itu. Tidak ada salam buat Goto dan Hiroshi. Aku meninggalkan mereka seperti aku tidak mengenalnya. Sebelum aku menutup pintu, gumaman papa masih terdengar jelas.
"Dia seperti mamanya. Sekali jatuh cinta, dia akan menerebas semua halangan. Biarkan saja dia seperti itu."