Kumpulan gedung apartemen mewah bertingkat di kawasan Roppongi Hills itu terlihat angkuh. Bangunan-bangunan itu menjulang saling berebut memuncaki langit sembari memancarkan sinar lampu mencorong. Para penghuni apartemen mewah itu bukanlah orang sembarangan. Pemilik perusahaan, pekerja eksekutif, pendulang kekayaan penghuni daftar majalah forbes, semuanya tumpah ruah tinggal di sini.
Lobby apartemen Michi sekelas lobby hotel bintang lima. Ruang seluas lapangan basket yang dipenuhi kursi dan sofa elegan itu enawarkan kemewahan sangat berkelas. Lampu besar dan indah bergaya eropa tergantung di atap berbentuk kubah, memancarkan sinar terang benderang. Sinar itu dipantulkan kembali ke kaca-kaca besar yang berdiri kokoh sebagai pengganti tembok beton. Di dinding kaca, tirai besar terbuka lebar. Bagian atasnya menangkup berlipat membentuk gunung kecil, bergelombang bak pusara air.
Saat memasuki lobby apartemen ini tiga resepsionis berdiri di belakang meja resepsionis berdiri menyambutku. Kusebutkan nama Fujioka Michi, nomor kamar dan meminta mereka memberitahu tentang kehadiranku. Setelah mendapat persetujuan, di depan pintu geser elevator, dua petugas sekuriti tersenyum seraya menguliti penampilanku.
Aku memindahkan tas kerja ke ketiak kanan. Kutekan angka penujuk lantai sementara tangan kiriku memegang bungkusan kecil; hadiah spesial buat Michi. Elevator merangkak naik diiringi denting suara piano memperdengarkan lagu klasik. Butuh satu menit untuk mencapai lantai dua puluh tujuh. Langkahku ringan tapi hatiku berdegup keras. Menyusuri koridor di antara pintu-pintu yang tertutup rapat, tapak sepatuku terasa tenggelam dalam lantai berlapis karpet empuk. Satu persatu aku menghitung nomor-nomor yang tertata berbaris rapi di palang pintu. Langkahku berhenti di nomor 2705.
Jemariku bergetar saat menekan bel. Jantungku berdegup kencang. Jiwaku seolah tersedot kembali ke masa SMA saat pertama kali kujemput pacar pertamaku untuk kuajak pesta. "Amatiran!" Kuumpat kebebalanku.
Senyum rekah Michi menyambut. Wajahnya terlihat segar walau masih tersisa kekuyuan di kedua sudut mata kecilnya akibat empat belas jam diguncang mesin pesawat.
"Konban wa, silahkan masuk."
Michi membuka pintu lebar-lebar. Kubalas salamnya. Kusorongkan bungkusan di tanganku.
"Wow, champagne. Ada perayaan apa?" tanyanya menggoda.
Kuberi wanita di depanku itu senyum terbaik yang kupunya. "Merayakan pertemuan dengan wanita cantik," jawabku mencoba melucu..
Michi menggigit bibir bawahnya. Menatapku sendu. "Memang aku cantik?" godanya.
Mulutku ternganga. Aku tahu gadis yang sedang mengenakan celana jeans ketat dipadu T-shirt putih kedodoran dengan celemek melingkar dipinggul ini sedang bercanda. Namun, kelakarnya menikam dasar jantungku. Harus kuakui, dipoles senyum indah dan penampilan yang santai, wanita ini telah menjelma menjadi bidadari di mataku.
Kugaruk belakang telingaku. "Ah, eh, ehm ... cantik. Cantik sekali," jawabku terbata. Entah setan mana yang telah mencuri mulut manisku.
"Ha ha ha. Kenapa wajahmu memerah seperti itu?"
Sialan! Kenapa pula aku semakin mati kutu!
"Tunggu sebentar, ya. Makaroni pasta sebentar lagi matang."
Untunglah dia kembali ke acara semula. "Kau serius bisa masak? Kupikir kau beli di luar."
Michi merajuk. Bibir tipisnya mengerucut. "Huh! Kau kira aku hanya pintar dengan angka-angka saja? Kan ada internet!"
Ganti aku yang terbahak. "Kau memang wanita serba bisa," pujiku tulus. "Perlu kubantu?"
"Tidak. Kau lihat-lihat saja ruanganku."
"Oke."
"Asal jangan ke lantai dua. Kamar tidurku masih berantakan."
Sebelum aku menyanggupi perintah itu, suara dan tubuhnya hilang di balik tembok dapur. Langkahku perlahan menyusuri sudut demi sudut ruangan. Satu per satu kemewahan yang terpampang membuat mataku terbelalak. Ruang ini bukan hanya mewah, tapi sangat mewah dan sangat artistik. Kamar apartemen yang kutempati berubah menjadi gubuk di pinggir jalan kumuh dibanding ruangan ini.
Ruang apartemen ini terdiri dari dua lantai. Mulutku menganga melihat segala yang tertata. Sofa dua seater dan kursi satu seater warna kream terbuat dari kulit sapi asli terpisah oleh meja pendek dari metal mengkilap. Di atas meja, vas bunga kecil dalam lukisan lingkaran seni china. Di belakang sofa, bermacam alat musik tertata rapi; piano, saxophone, gitar, bas, flute, hingga drum elektrik. Televisi yang bertengger di atas cabinet megah berisi bermacam buku sebesar layar mini bioskop.
Mataku dimajakan delapan lukisan Monet yang tergantung di dinding. Lampu kecil mengarah ke lukisan. Sinar yang menerpa membuat lukisan itu hidup. Aku tidak tahu apakah lukisan itu repro atau asli. Yang pasti harganya selangit. Kudekatkan mataku mengikuti gurat kuas dan campuran warna pembentuk lukisan yang mendekati karakter aslinya itu. Aku menyerah. Sedikit pun tak kupahami makna goresan impresionis-nya. Semoga Michi tidak mengetes kemampuanku mengenali lukisan-lukisan itu.
Dari dapur yang disekat tembok tipis terdengar kelontang peralatan masak. Bau harum bumbu membuat perutku menggeliat. Tapi panggilan untuk makan belum kudapat. Daripada menunggu hingga air liurku menetes, kuteruskan perjalananku menyelusuri sisa ruang yang masih tersisa.
Langkahku berhenti di sebuah nakas kecil yang memajang beberapa foto. Sepasang suami istri dan gadis kecil bermain di pantai dengan latar belakang ombak yang ramah. Wajah anak kecil itu lucu. Perempuan yang memeluk anak kecil itu berwajah mirip Michi. Pria di foto itu ayahnya? Menurutku masih gagah. Sangat berbeda dengan wajah tua yang pernah kutemui saat pesta dies natalis Fujioka Corporation yang lalu. Agaknya kepenatan mengurus perusahaan membuat wajah menua sebelum waktunya.
Aku mendongak ke atas. Mataku mencari kamar tidur milik Michi di lantai dua. Lebih tepat disebut setengah lantai. Dari lantai satu, anak tangga langsung menuju ruang itu, yang hanya disekat dengan pagar kayu setengah meter. Sekilas aku bisa melihat pantulan tempat tidur yang terpantul dari sinar lampu di kaca. Kubulatkan tekadku. Malam ini aku harus bisa menyapa kamar itu!
Perintah untuk tidak menuju lantai dua menuntunku menjelajah setiap inci ruangan. Apartemen mewah ini mempunyai tipe 3LDK dengan luas dua ratus lima puluh meter persegi-an. Di bagian luar terdapat balkoni diisi meja dan sepasang kursi dari aluminium. Dari balkoni itu mataku dimanjakan pemandangan bebas gemerlap kota Tokyo. Menara TV Tokyo terlihat menjulang tinggi. Ujungnya menusuk langit, seolah jembatan bagi makhluk luar angkasa menginvasi bumi. Deretan gedung pencakar langit dibekap gemerlap ribuan lampu di kawasan ini menawarkan kemewahan yang sangat berkelas. Dari balkoni ini aku merasa diajak bermimpi akan dongeng seribu satu malam. Suatu hari nanti, tidak lama lagi, di tempat ini akan kusuguhkan gelas berisi wine merah ke bibir Michi bersama hubungan asmara yang akan kukemas indah.
"Makanan siap!" teriak Michi dari ruang sebelah.
Kututup pintu yang membatasi balkoni dan ruang tamu. Aroma lezat menuntun langkahku mencari asal bau itu. "Waow! Tanpa kau undang pun, bau sedap pazta menuntunku!"
Ruang makan ini tidak kalah mewah dari ruang lainnya. Dipenuhi peralatan elektrik canggih tertata rapi. Dindingnya dilapisi wall paper warna hijau muda. Di atas meja makan dipenuhi banyak masakan; pasta, bologna, salad, bermacam buah. Yang membuatku berdecak gembira adalah dua gelas kosong disanding dua botol minuman favoritku; satu botol champagne dan satu botol red wine. Hanya ada dua kursi. Michi duduk di salah satu kursi menghadap ruang sebelah yang dipisahkan penyekat rotan.
Aroma masakan yang mengepulkan asap tipis membuat seleraku naik.
"Ayo kita makan. Jangan biarkan mereka dingin menunggu," ajaknya.
Kubuka botol wine sebagai permulaan. Kutuangkan red wine ke gelas Michi seperempat gelas, kemudian mengisi gelasku dengan jumlah yang sama. Michi mengangkat gelasnya.
"Kita bersulang ... Untuk ... eeetoo..." Namun kesulitan mencari alasan untuk bersulang.
"Untuk masakan buatan sendiri! Untuk pertemuan kesekian kali, dan untuk malam yang indah ini," pungkasku.
Michi tertawa pelan. Wanita di depanku itu mengangkat gelasnya tinggi, menetak ke gelas di tanganku. "Untuk kesehatan kita, untuk kemakmuran kita."
Rasa wine pada sentuhan di bibir membuat nafsu makanku tak tertahan lagi. Minuman beralkohol buatan Itali berusia lebih dari usiaku ini terasa ringan, manis. Bau khasnya tercampur lezat dalam buaian pazta dan bologna bersama di mulutku. Tanpa sungkan kulahap semua yang disajikan. Sedikit asin, namun tidak buruk untuk masakan seorang Direktur Keuangan. Seteguk demi seteguk kami menikmati satu botol wine hingga tak tersisa. Dilanjutkan dengan sebotol lagi.
Pembicaraan didominasi Michi. Dia lebih banyak bercerita tentang masa kanak-kanaknya. Saat bercerita tentang momen itu, bola matanya berbinar, ceria, terlihat sangat bahagia. Aku lebih banyak sebagai pendengar yang baik. Kubiarkan ceritanya mengalir tanpa sedikit pun kuselingi dengan kisahku. Kesempatan tanpa batas kerikuhan diluapkannya dengan semua kisah masa kecilnya yang terdengar bahagia.
Dalam ruang yang hanya berisi dua tarikan nafas, didukung kucuran minuman beralkohol yang membasahi tenggorokan, membuat sekat yang masih bertahan mulai bobol. Peristiwa indah dan menyedihkan meluncur lancar dari bibir Michi. Hanya satu yang terlewat. Tidak ada cerita tentang pekerjaan, tentang bisnis, tentang perusahaan. Aku pun tidak ingin merusak ceritanya dengan pertanyaan konyol tentang keuangan.
Satu jam lebih menghabiskan makanan di atas meja, semua masakan sekaligus tiga botol red wine ikut amblas. Hanya tersisa sebotol champagne dalam buck. Batu es dalam buck itu pun mulai mencair. Wajah Michi semakin memerah hingga leher. Bicaranya mulai meledak-ledak. Kalimat yang keluar dari mulutnya mengalir seperti gelombang bergulung-gulung menerjang pantai tanpa penahan. Harus kuakui ketahanan wanita ini mencerna cairan alkohol yang terus menggelontor pertunya. Walau ada perubahan pada gestur gerakan dan kalimat yang terucap, namun tidak ada tanda-tanda mabuk berat. Minuman beralkohol memang membuatnya melayang, tapi kesadarannya masih terkontrol dengan baik. Hanya dahi dan lehernya mulai berkeringat.
"Di sini makin gerah. Kita beralih ke ruang tamu?" ajaknya.
Aku mengiyakan. Michi berdiri dari kursinya. Sedikit terhuyung ke depan, tanganku otomatis berusaha menggapai lengannya. Dia menolak. "Aku masih sanggup berjalan dengan baik," desisnya.
"Masih ada satu botol champagne. Kita lanjutkan pesta ini di sana!" Nada kalimatnya terdengar seperti perintah daripada ajakan. Alkohol telah merubah pandangannya padaku. Dari seorang teman menjadi bawahan.
Aku menggotong buck isi champagne ke ruang tamu. Sebelumnya kubuang air sisa lelehan es, mengisinya lagi dengan es yang padat. Ruang yang kami tuju adalah satu sofa dengan meja rendah di depannya. Lantainya terbuat dari kayu keras berwarna coklat muda. Di atas lantai kayu itu karpet tebal menghangatkan telapak kaki kami yang telanjang.
Sebelum Michi menghempaskan tubuhnya di atas sofa, piringan hitam disentuhnya sebagai pengisi kekosongan. Gelas yang tadi ada di genggaman tangan kanannya tergeletak di atas meja itu. Kuletakkan buck beserta isinya di sebelah gelas kosong itu. Kubuka botol champagne, kuisi gelasku dan gelasnya. Kami menyesap minuman itu perlahan ditemani alunan musik klasik yang terdengar perlahan. Kalau aku gak salah ingat, lagu itu Rhapsody in Blue!
"Kau ada ide untuk menemani minum champagne ini?" tanya Michi.
"Melantai?" jawabku.
Bibirnya disorongkan ke depan mengerucut. "Tidak, kau nakal. Kau ingin mencari kesempatan untuk menciumku."
Aku terpingkal. Tak urung wajahku memerah mengingat peristiwa itu. "Kau bermain piano, aku berjoget?" usulku lagi.
"Seperti di pub kapan hari itu? Kau ingin tetangga sebelah terbangun mendengar lompatan dan teriakanmu?" jawab Michi. Tawa lepas mengiringi ide konyolku.
"Main game on line?"
"Ha?"
Kuanggukan kepalaku.
"Serius?"
Kembali kepalaku menganguk pasti.
"Ha ha ha ha! Kamu sedang tidak bercanda, kan?"
Kugelengkan kepalaku tegas. Michi semakin terbahak. Efek alkohol dan usul konyol membuat mulutnya terbuka lebar hingga pangkal tenggorokannya yang memerah terlihat jelas.
Kurapatkan bibirku, kutunjukkan bahwa aku tidak main-main akan ideku itu. Menyadari bahwa aku sedang tidak ingin bercanda dengan kemauanku, wanita di depanku itu berusaha menghentikan tawanya. Sorot mata berderai air tawa itu lekat menatapku, mencari keseriusan keinginanku. Aku membalas menatapnya. Dadaku berdebar keras akan ide yang kutawarkan.
Bibir tipis itu akhirnya terbuka lebar. "Game apa?" tanya Michi meyakinkan dirinya sendiri.
"Knight hunter!" Kusebut salah satu game on line yang sedang booming saat ini. "Kau pernah main?"
Michi menggeleng. Aku menerangkan sekilas tentang cerita permainan ini. Kelopak matanya yang sipit beberapa kali mengerjap. Kuceritakan kisah fantasi tentang seorang kesatria yang susah payah berusaha membebaskan putri cantik dari kejaran raksasa. Kubumbui dengan alur cerita semenarik mungkin agar wanita dihadapanku itu tertarik memainkan. Dan, setelah berbusa-busa, usahaku tidak sia-sia.
"Ayo, main. Bagaimana caranya?" tanyanya antusias.
"Kau harus mengunduh gamenya dulu."
Michi terdiam. Mungkin dia sedang menimbang apakah perlu memenuhi laptopnya dengan file yang tak ada hubungannya dengan pekerjaan. Kesempatan emas tidak datang dua kali. Kuberi tekanan pada rasa minatnya
"Filenya tidak besar, mengunduhnya pun tidak membutuhkan waktu lama. Nanti selesai main, kalau kau tidak tertarik lagi bisa dihapus."
Michi semakin gamang. "Ayolah ... Ambil laptopmu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Akhirnya, pertahanan terakhirnya bobol. "Baiklah," jawabnya.
"Yes!" batinku. Dadaku bergemuruh.
Michi beranjak ke lantai dua kamar pribadinya. Langkahnya menuruni tangga secepat saat dia menaikinya. Laptop warna perak di tangannya. Selang waktu itu, kupersiapkan laptopku. Setelah itu kubantu Michi membenahi laptopnya.
Laptop keluaran terbaru milik Michi sudah siap di atas meja. Botol champagne yang isinya tersisa separuh kupindahkan ke meja makan di dapur. Aku duduk berhadapan dengan Michi. Laptop kami bertatap muka depan.
Aku beranjak dari tempat dudukku, meminta ijin mengambil air putih. Kutawarkan juga padanya, tetapi gadis itu menggelengkan kepala. Matanya tetap fokus pada layar laptop yang mengeluarkan cahaya. Perlahan aku memutar ke belakang punggung Michi. Layar laptopnya meminta diketikkan user id dan password. Bertepatan dia mengetik apa yang diminta, mataku fokus mencuri ketukan jemarinya di tuts. Hanya ada satu kali kesempatan. Lepas satu huruf saja, maka saham perusahaan keluarga Yonekura akan berpindah tangan.
Mataku menangkap, memfoto, merekam, menyimpan data ketukan jemari itu di bagian otakku yang masih kosong. Kemudian mengulang berkali-kali dalam hati. Nama kecil Michi dan deretan angka acak. Permasalahan timbul. Aku harus cepat menuliskan data penting yang telah kudapatkan sebelum alkohol merusak daya ingatku. Otakku bukan otak agen 007 yang sekali lihat langsung hapal seumur hidup. Aku harus cepat memindahkan password yang masih melekat di benakku.
Kuurungkan niat mengambil botol air dingin. Yang kubutuhkan adalah alat tulis dan kertas. Aku bisa mendapatkannya di tas kerjaku, atau meminta langsung pada Michi. Tentu saja kebodohan seperti itu tidak kulakukan. Otakku cepat berfikir keras, berpacu dengan angka acak yang mulai menipis dari ingatan. Otakku mencari, memilah, barang apa saja yang bisa kupakai untuk menuliskan angka-angka itu tanpa dicurigai. Kelebat ide menyembul. Kupuji kehebatan otakku dalam berimprovisasi.
Setengah berlari aku kembali ke ruang tamu. "Maaf, boleh aku pinjam wastafel?" Kuangkat dua tanganku. Kutunjukkan telapak tanganku yang terkotori minuma berlakohol.
"Sebelah dapur, di dalam kamar mandi. Di sana." Tunjuk Michi.
Sambil tetap mengulang password yang kudapat, aku beranjak cepat seusai petunjuk Michi.
Mulutku bersiul rendah. Kamar mandi yang dimaksud Michi bukanlah tempat kecil di sudut ruangan. Ini adalah sebuah kamar mewah seluas kamar tidur karyawan. Harum, bersih, dipenuhi warna ceria. Mataku tak henti-hentinya mengagumi selera wanita ini. Bath up bukan hanya sebagai wadah untuk berendam, tapi juga untuk menghabiskan waktu berjam-jam. Pengatur suhu panas air bukan cuma dilengkapi pengatur kelembaban, alat yang terpasang juga sanggup mendeteksi suhu tubuh sebelum berendam dan setelah berendam. Begitu banyak panel hingga aku kesulitan untuk memastikan semua fungsinya.
Mengagumi kemewahan kamar mandi Michi sejenak melupakan pengulangan password. Mataku nyalang berkeliling mencari barang yang kubutuhkan. Aku mendapatkannya di dalam kotak peralatan mandi. Pasta gigi!
"Kau tidak apa apa kah?" teriak Michi dari belakang pintu kamar mandi.
Aku membuka kran, kucurahkan air sebanyaknya. Kujawab cepat pertanyaannya, "Aku baik-baik. Sebentar!"
Tidak ada waktu lagi. Aku mengambil pasta gigi itu. Kucari tempat yang paling tersembunyi di bawah tumpukan lipat handuk yang rapi. Tanganku cepat menuliskan data yang masih terus kuulang-ulang dengan pasta gigi itu. "Michi2912800420". Di sudut lantai yang tersembunyi, pasta gigi warna putih terlihat mencolok dengan warna keramiknya.
Aku berharap malam ini Michi tidak menghabiskan waktu lama di kamar mandi, dan menemukan tulisan dalam bentuk pasta gigi itu mengotori keramik lantainya. Pun, aku harus mengisi ingatanku bahwa aku harus menghapus tulisan itu sebelum meninggalkan apartemennya. Tidak ada jalan lain. Aku harus membuat wanita setengah mabuk itu tertidur pulas kecapekan.
"Maaf agak lama," kataku setelah keluar dari kamar mandinya.
"Laptopku sudah siap sedari tadi, dan aku pun sudah mengunduh permainannya."
Aku kembali duduk ke tempatku semula, membuka laptop, mengarahkan cursor pada permainan, kemudian mulai menjalankan program game.
Kemampuan bermainku tentu saja jauh melebihi kemampuan Michi. Berkali-kali aku mengalahkannya. Michi berteriak memaki, mengepalkan tinju, menghentakkan kakinya berkali-kali ketika kalah. Lima belas menit berlalu cepat. Dasar wanita cerdas, Michi mulai mengenal pola permainan. Dia petakan, analisa, mempreteli satu demi satu kesalahan yang telah dia lakukan. Dengan kepiawaian dan instingnya dalam mengolah permainan, sebentar kemudian gadis pintar itu sudah mengusai permainan. Namun, tetap saja masih jauh dari kemampuanku. Bukan karena aku lebih pintar. Tetapi karena aku lebih banyak menghabiskan waktuku dalam permainan ini daripada waktu yang dihabiskan Michi untuk bekerja.
Dalam satu kesempatan, setelah mencapai pertarungan ke sembilan kali, kubiarkan Michi mengalahkanku dengan skor tipis. Dia berjingkrak, menari, berteriak seperti anak kecil mendapat hadiah yang sangat diharapkan.
"Ayo main lagi!" pintanya.
Sekali lagi kami bermain. Aku mengalah lagi.
"Kita bertaruh. Siapa yang kalah harus minum," tantangnya.
Mataku melihat minuman keras di atas meja itu. "Champagne?" tanyaku. Isinya tinggal separuh, baru dua permainan pasti akan ludes.
"Jangan khawatir, aku banyak persediaan. Bantu aku."
Michi bangkit menuju dapur, aku mengikutinya dari belakang. Kami kembali ke meja permainan dengan masing masing membawa lima kaleng bir dan satu botol plasik 1,5 liter sake.
Permainan kami lanjutkan. Kali ini aku tidak akan mengalah. Kukerahkan seluruh kemampuanku. Tanganku bergerak lincah. Sebagai hasil kekalahannya, berkali-kali minuman keras menghajar perut wanita itu. Setelah permainan mencapai skor kekalahan telak untuk Michi, keinginan gadis itu untuk meneruskan permainan semakin menurun. Permainan berubah membosankan. Kulit wajah Michi semakin memerah hingga leher.
"Sudah. Aku menyerah!" teriak Michi garang.
"Horee! kau mengaku kalah?" candaku.
"Ya!" katanya ketus.
Dudukku beringsut menurun. Melihat dudukku sudah tidak nyaman lagi, Michi menutup layar laptopnya tanpa mematikan terlebih dahulu. Dia menjatuhkan tubuhnya di sisiku, duduk berdekatan tanpa jarak. Kulit kami bergesakan lembut. Aroma parfum lembut tubuh wanita ini bergelut mesra dengan aroma alkohol. Kami berdiam diri sibuk dengan kelindan imajinasi masing-masing.
"Ha!" Michi menghembuskan nafasnya. Dia tertawa berderai. "Senang sekali aku malam ini. Terima kasih," lanjutnya.
"Sama sama. Aku juga senang sekali malam ini. Setelah kepenatan dan tekanan kerja seminggu ini," jawabku berbohong. Sejak kapan aku penat karena bekerja.
Michi mengubah sikap duduknya. Wajahnya sedikit menegang.
"Ada apa?" tanyaku penasaran. "Ada yang salah dengan ucapanku?"
Michi menggeleng. "Pekerjaan yang melelahkan," katanya lirih.
Kukutuk diriku karena membuatnya teringat beban yang dipikulnya.
"Kau tahu alasanku ke Amerika?" lanjut Michi.
Aku menggeleng. Michi menghela nafas panjang, ragu meneruskan ceritanya.
"Kau tidak perlu bercerita jika itu sangat rahasia."
Michi meraih kaleng bir di atas meja, mengguncangkannya berkali-kali. Kosong. Aku membantu mencari kaleng bir yang masih terisi, menyodorkannya saat mendapatkan. Wanita yang sudah setengah mabuk itu mereguknya hingga tetes terakhir. Betul-betul peminum yang hebat.
"Kepergianku mendadak ke Amerika karena ada informasi dari klien kami. Ada gerakan keuangan besar dari Weiseman Brother ke luar Negeri."
Jantungku tersentak mendengar nama Weiseman Brother disebut. "Weiseman Brother? Apa hubungannya dengan dirimu?" tanyaku sekilas seolah tak peduli.
Michi diam sejenak, jantungku semakin berdegup keras.
"Ditengarai aliran keuangan itu masuk ke Jepang. Nama Fujioka Corporation sayup juga ikut disebut."
"Untuk apa Weiseman Brother mengucurkan dana? Apa hubungannya dengan Fujioka Corporation?" Aku berusaha semakin keras menekan nada kalimat pertanyaanku agar tidak terdengar bergetar.
Michi menggedikkan bahunya. "Kami tidak tahu. Semua masih terbungkus kegelapan. Hanya saja, klienku mengingatkan supaya aku waspada. Entahlah," katanya lirih.
Kutarik nafas panjang perlahan. Kugunakan oksigen di ruang ini untuk menekan detak jantungku agar kembali berdegup normal.
Kami terdiam cukup lama untuk memberi kesempatan jarum dinding terdengar suara detaknya. Tempat duduk kami mengarah langsung ke ke balkoni yang tersekat pintu kaca tanpa korden. Aku berharap kerlip indah lampu yang terpancar dari gedung-gedung apartemen itu sanggup mengalihkan kekalutan Michi. Akhir musim gugur, Tokyo bersiap menyambut musim dingin dalam balutan gemerlap salju dan kerlap iluminasinya.
Kutepuk lembut tangan Michi. "Kau bisa main gitar?" tanyaku memecah kesunyian.
Sentuhan telapak tanganku di kulit membetot lamunannya. Michi tersenyum lebar. "Tentu saja. Aku bisa memainkan sebagian besar alat musik."
"Aku yang main, kau menyanyi?"
"Tidak. Aku ingin kau yang mainkan sekaligus menyanyi," perintahnya.
Kuberi dia senyum terbaik yang kupunya. "Oke, Bos. Kan kubawakan lagu indah untukmu."
"Lelaki perayu!" balasnya sambal tertawa.
Aku beranjak menuju tempat gitar yang tergeletak menunggu untuk kupetik. Yamaha PCX-100 akustik terasa ringan, senar dan bodinya masih terawat rapi. Satu persatu kupetik senar itu. Tidak kutemui nada yang sumbang.
Aku kembali ke sofa dengan gitar di tangan. Michi beranjak ke kursi satu seat di depanku. Kedua tangannya menopang dagu, menungguku memainkan lagu untuknya.
"Kata banyak orang, suaraku seperti milik Fukuyama Masaharu."
Michi tertawa ringan. "Ya, wajahmu juga mirip penyanyi itu." Dia melanjutkan,"Tapi, aku tidak yakin dengan suaramu. Karena pernah kudengar di pub."
"Ha ha ha. Itu bukan menyanyi. Lebih tepatnya melompat. Bergoyang."
"Ayolah, lagu apa pun yang kau nyanyikan, aku akan menikmatinya."
Tanganku bergerak lincah. Satu persatu senar kupetik untuk mendapatkan nada yang pas untuk laguku. Setelah memastikan nada yang cocok, aku menatap Michi yang duduk tepat di depanku. Matanya tak berkedip menatapku sedari tadi. Aku menatap balik. Mata kami bertaut. Inilah saat yang kutunggu. Kesempatan terakhir berpacu dengan waktu. Pengalamanku bertahun-tahun dalam menaklukan wanita sedang diuji. Kali ini aku tak ingin gagal.
Aku tidak akan menyanyi, tapi aku akan mengungkapkan perasaan hati. Dari intro yang kumainkan, aku tahu jiwanya mulai menyatu dengan laguku. Mata itu membelalak sebentar, kemudian sayup. Salah satu lagu yang paling disukainya dari penyanyi idolanya. "Love Love Love" dari Dream Comes True.
Love love ai wo sakebou, ai wo yobou
( Ayo jeritkan cinta kita, panggil cinta kita )
Love love ai wo sakebou, ai wo yobou
(Ayo jeritkan cinta kita, panggil cinta kita )
Belum selesai intro terakhir petikan gitar string, Michi merengkuh gitar dari tanganku. Setengah melemparnya, ditubruknya tubuhku. Lengannya melingkar ketat di leherku. Pipinya ditempelkan ke pipiku. Nafasnya menderu. Udara dari lubang hidungnya mengenai anak rambut yang jatuh di telingaku.
"Suki! Watashi wa Kazuki no koto ga suki!!"
Dia tidak membutuhkan jawaban dariku. Laguku tadi sudah cukup memberitahu apa yang kurasakan. Sekat yang terpisah terangkat. Perisai yang membungkus perlindungannya hancur berantakan. Yang kami butuhkan adalah rengkuhan indah dua jiwa yang menyatu.
Nafas kami berpacu. Mata kami bertaut. Tidak butuh kalimat untuk mengungkapkan rasa, semua terjadi secara alami. Jalinan simbiosis mutualisme bergelut dari kumpulan rasa saling membutuhkan. Nutrisi yang terpancar dari kebutuhan bunga ditangkap kumbang dengan memberi curahan kasih sayang. Kami memadukan semua unsur biologis sebagai pembentuk kehidupan manusia di atas sofa di ruang tamu. Proses awal terbentuknya sebuah kehidupan selanjutya dimulai.
"Dari semua ruang yang telah kulihat, hanya kamar tidurmu yang belum kukunjungi," bisikku diantara deru tarikan nafas kami.
Michi melepas pagutannya, nafas kami makin memburu. Dia bangkit, menarikku, setengah berlari ke lantai dua. Memintaku mengejarnya. Anak tangga dengan pegangan kayu oak hitam serasa mengganggu. Kami melanjutkan proses penyerbukan yang tertunda di tempat tidur Michi. Kami bercinta seolah tiada hari esok dalam terang lampu yang tak dimatikan. Ketika sari madu bunga terhisap semua oleh kumbang, proses itu selesai dengan sempurna. Kami terlelap dalam buaian mimpi tiada terperi.
Kemampuanku yang jarang dimiliki oleh manusia adalah bisa mengontrol keinginan tidur. Sebelum terlelap sempurna, otakku mengirim sinyal kuat untuk tidak terlelap hingga pagi. Tepat seperti yang kuinginkan, otakku seolah jam weker berdering keras membangunkan. Mataku terbuka lebar. Tubuh kupaksa bangkit. Di sebelahku, Michi masih terlelap dalam selimut tebal. Tipis kukecup pipinya, dia sama sekali tidak merespon. Penat setelah terbang lama dari New york, ditambah kepuasan cinta yang membelit, membuat dia mendengkur pelan.
Aku bangkit perlahan. Kusibak selimut lembut berusaha agar tidak membangunkan wanita yang sedang terlelepa itu. Laiknya pencuri memasuki kamae perawan, kupakai piyama tanpa suara, berjalan jinjit meninggalkan tempat tidur. Karpet tebal dan empuk di lantai dua membantu mengendapkan suara langkah kakiku.
Sedikit tegang kususuri lantai dua, anak tangga, tetap berjalan jinjit tanpa suara hingga ruang tamu. Saat kami tenggelam bercinta, lampu di lantai dua belum sempat dimatikan. Mataku mencari letak tas kerja yang sedari tadi teronggok kesepian. Aku mendapatkannya di atas meja di samping pintu balkoni. Kurogoh benda kecil penentu masa depan kami di saku yang tersembunyi.
Setelah mendapatkan flash disc yang kuterima dari Goto dari tas kerja, aku mematikan lampu utama, menyisakan lampu kecil di ujung kamar. Laptop Michi masih teronggok di atas meja.
Perlahan tanpa menimbulkan suara, kubuka laptopnya. Cahaya dari laptop memancar terang seisi ruangan. Layarnya menampilkan keterangan membutuhkan password. Kucoba mengingat angka-angka yang tadi kuingat, namun keraguan menggelayut. Umpatan keras terselip atas kebodohan otakku yang tak mampu mengingat semua angka-angka yang tadi sempat kuhapal.
Aku mendongak ke atas, mencari bayangan apakah Michi terbangun akibat cahaya yang dihasilkan. Tidak ada gerakan dari lantai dua. Aku berjingkat menuju kamar mandi. Lantai terasa dingin di telapak kakiku. Password yang tertulis masih ada. Masih bisa terbaca jelas. Setelah menghapalnya, aku membersihkan pasta gigi yang mulai mengering dengan kertas toilet. Kumasukkan kertas toilet itu ke saku piyama.
Kembali langkahku mengarah ke tempat semula. Keringatku mulai bercucuran walau ruangan dingin. Layar laptop masih mengeluarkan cahaya. Jariku gemetar kala memasukkan password. Perang hati melanda dahsyat antara bayang kelindan Michi versus bayangan Papa, Hiroshi, Goto dan seluruh karyawan beserta keluarganya. Aku harus cepat memilih. Untuk pertama kali kubenci diriku yang mulai luruh. Wanita yang puas bercinta denganku malam ini telah membuat kepanikan tersendiri dalam kehidupanku yang penuh dengan pengalaman tebar pesona.
Kuputuskan pilihanku. Jariku gemetar kala memasukkan password Beberapa detik mesin di dalam kotak kecil ini membaca ketikanku. Layar berubah. Berhasil. Tergesa kumasukkan flash disc ke hub. Laptop merespon. Tidak ada file lain selain bug life. Tergesa kuarahkan crusor memerintahkan bug life untuk menjalankan program pencurian data.
Layar laptop berubah gelap. Kemudian muncul lagi dengan angka-angka dan konfigurasi yang sama sekali tidak kumengerti. Seolah puting beliung yang menyedot semua barang yang dilaluinya, bug life menyerap semua angka, nama, alamat, dan segala tetek bengek semua data. Program bernilai puluhan kali pestaku itu dengan cepat, ganas, tanpa memilih, mencopi semua file yang ada dalam laptop itu.
Lima menit berlalu serasa sewindu. Setelah semua selesai, layar laptop gelap beberapa detik, kemudian bercahaya kembali. Jantungku berdetak tak karuan saat layar memberi instruksi "Mission accomplished". Kutarik flash disc, kubersihkan keyboard dengan ujung kain piayamaku, kemudian menyimpan flash disc itu ke dalam tas kerjaku beserta kertas toilet pembersih pasta gigi.
Kala kembali menyorongkan tubuhku ke dalam selimut di sebelah Michi, kudapati tubuh itu masih tidak bergerak. Nafasnya satu-satu teratur berhembus dari hidungnya. Kupeluk erat tubuh tanpa benang itu dari belakang. Dia menggeliat pelan, membalikkan tubuhnya ke arahku, membalas dekapanku. Senyum tipis menghias wajahnya yang tenang dalam lelap. Kutelusuri lekuk-lekuk wajah itu. Dalam tidur pulasnya Michi secantik bidadari. Melebih kecantikan seluruh wanita yang pernah kutiduri.
Hatiku merintih laksana tertusuk beribu duri. Suatu ketika nanti bidadari ini akan kehilangan sayapnya. Akulah yang mematahkan sayap itu. Kusorongkan kepala Michi ke dada. Kudekap erat. Bau wangi rambutnya menggelitik jiwaku. Penghianatan yang sempurna. Batinku berteriak dalam sepi, "Maafkan aku kekasih."