Chereads / ai (LOVE) / Chapter 9 - BAB 9 ; Konspirasi Hati

Chapter 9 - BAB 9 ; Konspirasi Hati

Senin pagi ini tidak seperti biasanya. Suasana ketegangan di kantor terasa sejak musik senam pagi mengalun. Chourei yang biasanya berlangsung tak lebih dari lima menit serasa bertahun-tahun. Hiroshi meledak-ledak. Semua manajer kena semprot. Umpatan kasar membara membuat wajah para manajer merah padam. Seorang staf wanita setengah baya menahan tangis, akibat kemarahan Hiroshi yang menjatuhkan harkat kewanitaannya di hadapan staf lain. Kesalahan sepele yang seharusnya bisa ditolerir, pagi ini seolah menjadi sebuah kesalahan besar yang bisa membangkrutkan perusahaan.

Papa sebagai Presiden Direktur berdiam diri mematung. Putra mahkotanya itu dibiarkan bertindak menabrak norma. Aku pun bersiap menebalkan telinga. Namun yang kutunggu tak datang juga. Hiroshi sama sekali tidak mengusikku. Aku yakin dia tahu angka penjualan di divisiku bulan kemarin tidak memenuhi target.

Kakakku itu memang tak punya rasa iba dan empati pada orang lain. Itulah kenapa sampai umur mendekati tiga puluh delapan tahun dia masih sendiri. Pada suatu kesempatan yang rileks, pernah kutanya apakah dia tidak ingin menikah. Cinta hanya untuk orang yang lemah, katanya. Sejak itu kutahu Hiroshi telah menikah dengan pekerjaannya.

Setelah melampiaskan semua kemarahannya, Hiroshi mendekam di ruangannya bersama papa dan Goto hingga melewatkan jam makan siang. Tepat pukul tiga sore, ketika aku sedang tenggelam menekuni produk terbaru yang dibawa Yasuo, Goto keluar dari ruangan. Wajahnya kusut kelelahan. Ia melambaikan tangan memanggilku. Malas aku beranjak, melangkah tanpa semangat mengikuti perintahnya.

Di dalam ruangan itu hanya ada Papa dan Goto. Hiroshi entah menghilang ke mana. Mungkin saat aku di toilet Direktur Utama Yonekura Corporation itu melenyapkan dirinya. Goto duduk terpekur menatapku dengan tatapan kosong. Kepalanya terkulai bertelekan telapak tangan yang menyanggah dagu. Di bawah mata yang terlindung kaca mata minus itu terlihat gudukan kecil. Penguasa Yonekura Corporation juga menunjukkan keadaan yang tak jauh beda. Wajah itu semakin tirus dan tua. Kelopak matanya semakin cekung. Kepala yang selama ini berisi puluhan strategi jitu itu memutih salju.

Papa mencoba menutup kegalauan dengan senyum khasnya. "Duduklah. Bagaimana kabarmu?" tanya papa ramah.

Entah sudah berapa tahun orang tua ini tidak pernah menanyakan kabarku. Aku mengambil kursi tepat di depannya. Kutatap mata tua itu, kucari kejujuran di sana. "Baik, sehat," jawabku singkat.

"Masih sibuk dengan pesta kah?" tanyanya dengan senyum tersungging.

Aku menggeleng. Tak kutemukan sindiran atau cibiran dalam pertanyaan itu. "Akhir-akhir ini aku sibuk."

Helaan napas berat membuat pandanganku beralih ke orang tua yang duduk di sebelah papa.

"Untuk itulah kami memanggilmu kemari, Kazuki kun."

"Maksud Goto san?"

"Kazuki kun, apa yang akan kami bicarakan ini sangat penting. Menyangkut keberlangsungan kehidupanmu, kehidupan kami, dan kehidupan ratusan pegawai dan keluarganya. Aku ingin kau tahu bahwa aku tidak...."

Sebelum Goto melanjutkan kuptong kalimatnya. "Jadi selama ini papa yang mengatur? Hiroshi juga?"

"Ya. Aku, Yonekura Shachou dan Hiroshi san," balas Goto.

"Kau tidak bisa dipercaya orang tua!" bentakku tertahan.

Papa mengangkat tangan kanannya. "Sudahlah, Kazuki. Goto tidak bersalah, Akulah yang menyuruhnya," timpal papa.

Aku melengos jengkel.

"Seperti yang kau ketahui, Yonekura Corporation sangat bergantung pada Fujioka Corporation. Nasib perusahaan ini sangat bergantung pada belas kasihan mereka. Itulah kesalahanku. Bertahun-tahun aku berusaha keluar dari permasalahan ini. Aku sudah mendekati dan berusaha melakukan deal bisnis dengan perusahaan lain. Tapi, sampai sekarang kita masih tetap terbelenggu. Memang ada penambahan buyer, tetapi tetap saja kita tak mampu melepaskan diri dari kungkungan Fujioka. Sekali Fujioka beralih ke rival kita, habislah nasib perusahaan ini. Untuk itu...."

Aku mengangkat tangan memotongnya. "Aku bukan karyawan baru. Tidak perlu kuliah panjang lebar tentang kelemahan perusahaan ini. Langsung saja, apa hubungannya masalah ini denganku?"

Wajah papa memerah. Dia berusaha mengendapkan kemarahan yang mulai merayap akibat sanggahanku. Dia tersenyum menahan diri. Harus kuakui, orang tua ini lihai bermain dengan suasana hatinya.

"Seperti yang disampaikan Goto. Tidak ada jalan lain kecuali memborong saham perusahaan Fujioka." Sebelum aku memotongnya lagi, papa cepat meneruskan kalimatnya, "Kami sudah melakukan hubungan dengan pihak pendanaan melalui broker keuangan di Amerika. Mereka siap mengucurkan dana. Bahkan, kami sudah menandatangani kontrak perjanjian dengan Weiseman Brother"

Telingaku berharap salah dengar. "Weiseman Brother?" tanyaku menegaskan.

"Ya. Perusahaan terbesar finance Multi Internasional yang berbasis di New York itu," jawab Papa terlihat bangga.

Bisa mengakses perusahaan sebesar itu merupakan capaian yang sangat besar. Sejujurnya, aku mengagumi karya orang tua ini. Meraup dana fantastis dari perusahaan sekelas Weiseman Brother bukan hal yang mudah, apalagi untuk perusahan kecil sekelas Yonekura Corporation.

Weiseman Brothers Holding Inc. Adalah perusahaan yang didirikan oleh dua bersaudara Weiseman pada tahun 1870 an. Pada awalnya, dua bersaudara Weiseman mendirikan perusahaan bank kecil di sudut wilayah kota New York, Amerika. Setelah mendekati usia satu setengah abad, Weiseman Brothers Holding Inc. menjelma menjadi sebuah bank investasi ternama yang masuk dalam lima besar bank investasi di dunia. Bukan hanya bank Investasi saja, Weiseman Brothers juga bergerak dalam bidang penjualan dan perdagangan saham, obligasi, penelitian pasar, manajemen investasi, saham swasta, dan perbankan swasta.

Papa menarik napas panjang, kemudian menyemburkan bersama keresahan kalimatnya. "Tapi ... ada syarat yang sangat sulit."

Kali ini aku tidak memotong penjelasannya. Sebaliknya, telinga kubuka lebar.

"Akhir minggu depan dana itu akan digelontorkan oleh Weiseman. Syaratnya, kita harus bisa menunjukkan data akurat saham-saham yang dimiliki Fujioka Corporation yang bisa kita beli. Paling lambat minggu depan hari Senin, kita sudah harus menyetorkan data itu," kata papa melemah.

Laiknya disengat listrik ribuan volt, aku teperanjat. "Mustahil!" pekikku. Dalam keterkejutan, kuberondong papa. "Apa sanksinya bila kita tidak berhasil?"

Papa menunduk. Mata tuanya memejam perih seolah melihat mama menghembuskan nafas terakhir dalam dekapannya.

"Saham mayoritas Yonekura akan diambil paksa oleh perusahaan itu," jelas Goto pelan.

"Gila! Tidak mungkin! Itu berarti tujuh puluh persen saham kita akan terjatuh ke tangan mereka?"

"Bukan itu saja. Setelah mereka mendapatkan saham kita, mereka akan menjual lagi kepada pembeli siapa pun asal mereka untung."

Aku tercenung. Permainan yang sedang dimainkan keluargaku benar-benar membahayakan masa depan perusahaan. Kami terdiam. Ruang seluas dua puluh meter persegi ini menyempit. Menyesakkan. Dadaku serasa terhimpit beban berat.

"Bagaimana dengan nasib para karyawan?" tanyaku lemah.

"Jujur saja, kami tidak tahu. Bisa saja mereka akan mengganti semua karyawan dengan karyawan baru, atau merumahkan sebagian karyawan yang dianggap tidak produktif." Direktur Keuangan yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di tempat ini mengatupkan dua telapak tangan ke wajahnya. Berharap setelah melepas tangannya, permainan berakhir dengan kemenangan di pihaknya.

Jelas sudah alasan kenapa Hiroshi bertingkah seperti monster pagi ini. Ledak amarah yang ditampikan Direktur Utama Yonekura itu hanyalah pelampiasan dari rasa keputusasaannya.

"Apa yang bisa kulakukan?" tanyaku mengajukan diri.

Bukan Hiroshi atau papa yang merangsek pikiranku. Kalau pun saham mereka dibeli dengan "Paksa", Penguasa Yonekura Corporation itu idak akan langsung jatuh miskin. Tapi, nasib karyawan beserta keluarganya yang akan tergencet. Cicilan rumah, biaya persiapan anak-anak kuliah, dan seabrek keperluan kehidupan yang semakin lama mencekik.

Dua orang tua di depanku itu mendongakkan kepalanya. Goto membetulkan letak kacamatanya, kemudian menatap lekat shafuu di dinding. Sorot mata Papa tajam mematuk bola mataku. Dia balik bertanya, "Sejauh mana hubunganmu dengan nona Fujioka?"

Alih-alih menjawabnya, patukan sorot mata itu melirik ke Goto. Di tangan Direktur Keuangan itu terdapat amplop coklat yang tertutup. Ia mengeluarkan isi amplop itu. Sekilas kulihat nama club dan pub yang pernah kukunjungi dalam rangka mendekati Michi tertera di letter head. Dia sengaja menarik pelan tagihan-tagihan itu dari dalam amplop. Ingin ditunjukkannya padaku bahwa petualanganku membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Aku berlagak tak tahu maksud Goto. Kualihkan pandanganku ke Papa. "Apa hubungannya dengan Michi, eh, Fujioka san?" Pertanyaanku terdengar naif.

Merasa tidak mendapat perhatianku, Goto menyela jawaban Papa. "Sebagai Direktur Keuangan, Nona Fujioka tahu betul semua transaksi, neraca keinginan, rugi laba, sekaligus data tentang semua pemegang saham beserta besaran saham yang dimiliki."

Dia kembali memasukkan tagihan-tagihan itu ke dalam amplop.

"Aku tahu itu! maksudku, apa hubungannya dengan kedekatanku dan dia?!" tanyaku ketus.

"Kami ingin kau mendapatkan informasi tentang yang kami inginkan dari Nona Fujioka."

"Ha?! Dia tidak mungkin dengan gampangnya memberitahuku!" Semprotku. Hatiku bersungut. Bodoh sekali orang tua ini. Bagaimana mungkin dia bertahun-tahun mengelola keuangan perusahaan?

"Itulah tugasmu. Kamu harus mencari informasi itu tanpa sepengetahuan dia," tegas Goto.

"Mencuri data darinya, maksudmu?" tanyaku dongkol sekenanya.

Papa dan Goto mengangguk berbarengan. "Kalau memang itu yang harus dilakukan," desah Papa.

Kepalaku seperti dihantam godam. Kukutuk kenaifan pikiranku selama ini. Ketika kusanggupi permintaan Goto untuk mendekati Michi, kupikir perintahnya hanya sebatas mendekatinya. Mendapatkan informasi perlahan tanpa dibatasi waktu. Tentu saja dengan biaya tidak terbatas yang ditanggung perusahaan. Tapi, dengan waktu yang mepet, memang tidak ada cara lain kecuali mendapatkannya dengan cara melanggar hukum.

Kugelengkan kepalaku tidak puas. "Kenapa Papa tidak menyuruh pencuri profesional untuk masuk ke apartemennya, kemudian mencuri laptopnya selagi dia tidur? Atau mengirim yakuza untuk mencegatnya, dan memaksanya memberikan informasi seperti yang kau inginkan?"

"Tidak segampang itu. Dia akan lapor polisi. Semua pihak keamanan akan mengejar pelakunya. Dan aku yakin semua akan mengarah ke kita. Kita akan hancur bila ketahuan!" Penguasa perusahaan itu terlihat luruh. Pria yang selama ini kukenal dengan kepercayaan tinggi itu terlihat tak berdaya.

"Tapi, Papa menyuruhku untuk mencuri informasi dari wanita itu? Sama saja Papa menggiringku ke lubang bahaya!"

"Aku sudah mengantisipasinya," sergah Goto.

Aku menggeram dahsyat. Dua pria tua ini benar-benar mengalihkan bola liarnya ke padaku. "Tetap saja itu melanggar hukum! Aku bisa dipenjara!" teriakku.

"Aku sudah menyiapkan semua. Kau tidak akan ketahuan asal menuruti prosedurnya," bantah Goto.

"Tetap saja itu kejahatan!"

"Brak!" Meja di antara tempat duduk kami bergetar. Papa menggebraknya sekuat tenaga. Nafasnya ngos-ngosan, telapak tangannya memerah akibat terlalu keras memukul.

"Aku yang akan bertanggung jawab bila ada persoalan hukum melibatkanmu!" teriaknya menyelingi.

Pintu ruangan tertutup rapat dan dikunci. Suara tidak akan keluar. Kami bebas saling berteriak.

Aku balik menatap mata papa yang melotot. Sklera putih yang mengelilingi korneanya berubah merah. Pupilnya sebentar membesar marah, kemudian mengecil kembali seperti sedia kala.

"Kazuki. Aku tidak pernah meminta sesuatu padamu. Separah apa pun perbuatanmu selama ini, aku tidak pernah mempermasalahkannya. Kali ini, aku membutuhkan bantuanmu. Kami, perusahaan ini, karyawan beserta keluarganya, membutuhkanmu."

Kami terdiam. Keheningan memagut segala pertanyaan yang berkelibat di benak kami. Kuhela nafasku berkali-kali. "Terahir pertemuanku dengannya, dia menangis dan marah padaku," bisikku lemah.

Wajah papa memucat. Dahinya berkerut keras. Pandangannya beralih ke samping. Lirikannya pada Goto Tomoyasu serasa tamparan bagi orang tua yang duduk di sebelahnya itu.

"Itu tidak boleh terjadi!" Ada getar amarah yang berusaha ditekannya.

"Wanita itu berhati keras, tidak mudah menghadapinya," kataku menantang kegeraman yang tersalurkan dari kalimat papa.

Lelaki yang selama ini pandai menyembuyikan perasaan lewat senyumnya itu tak berkutik. Dia menyondongkan tubuhnya ke depan membentuk sudut Sembilan puluh derajat, kepalanya membungkuk ke arahku.

"Nasib kami di tanganmu. Onegaishimasu! Onegaishimasu!" katanya berkali-kali.

Hatiku seperti dirajam. Aku tidak tega melihat pria yang digigit sepi sejak ditinggal istrinya itu merendahkan diri di depan anaknya.

"Aku akan mencobanya lagi!" kataku lemah.

Tidak ada yang bisa menenangkan orang tua di hadapanku ini kecuali menyanggupi kemauannya. Terlepas apakah janji itu di luar batas kemampuanku. Bayangan Michi berkelebat memenuhi otakku. Ini bukan tentang angka dan strategi pemasaran, bukan pula produk baru yang sedang dihitung untung dan ruginya. Ini masalah hati. Siapa bisa memaksa hati? Terutama hati seorang wanita yang penuh kuasa.

Papa menarik tubuhnya. Wajah yang tadinya kalut dan panik berubah sedikit lebih tenang. "Aku percaya padamu. Aku yakin kau akan mampu!"

Aku tidak menjawab. Hatiku diliputi kegetiran. "Apa yang harus kulakukan?" tanyaku pada Goto.

Laki-laki tua itu tersenyum lebar. Wajah yang tadi pucat memerah ceria. Dia membetulkan letak kaca mata minusnya yang melorot. Dirogohnya sesuatu dari tas kerjanya, disorongkan benda dalam genggamannya itu ke arahku. Jemari penuh keriput yang tertutup rapat itu memberitahuku betapa berharganya barang itu.

"Di dalam flash disc ini terdapat program yang dibikin khusus untuk pengambilan data tanpa diketahui. Kau hanya perlu menjalankan program "bug life" yang tertulis di folder. Cukup sekali klik, program itu akan berjalan sendiri mengambil semua datanya."

"Berapa lama untuk menjalankan program?"

"Lima menit."

"Sesederhana itu?"

Goto mengangguk tegas. "Ya. Hanya butuh lima menit untuk menolong Yonekura Corporation."

"Hanya itu?" tanyaku memastikan.

"Untuk kemudahan itulah kami harus merogoh kocek sepuluh juta yen!" Lipat kulit di sudut bibir yang termakan usia itu tertarik mengikuti sungging senyumnya. Goto melanjutkan, "Program ini hanya bisa dijalankan sekali, dan hanya pada satu komputer. Setelah ia berhasil mengunduh semua data yang diperlukan, program ini akan memusnahkan dirinya sendiri. Hebatnya, pemilik komputer tidak akan tahu datanya sudah diambil. Tidak ada bukti."

"Program ini dijual bebas?"

Goto menggeleng. "Aku memesannya khusus di pasar gelap."

Satu yang masih mengganjal benakku. "Yang kutahu, bila ingin menjalankan program, komputer harus dalam keadaan hidup dan siap untuk dipakai."

"Ya!" jawab Goto pendek.

"Aku tidak bisa serta merta memasukkan flash disc ini, kemudian menjalankan program ini bila komputer nona Fujioka tidak dalam keadaan siap pakai?"

"Betul."

"Bagaimana bila komputernya di-password?"

"Itulah tugasmu!"

"Bajingan!" umpatku.