Hall hotel bintang lima di Roppongi-Tokyo itu sangat mewah. Tidak semua orang bisa menyewa ruangan dengan luas separuh lapangan bola itu. Pastilah harganya selangit. Ruang besar itu dihiasi tirai megah yang terbuat dari kain impor India berpadu dengan sutra Cina, menyusun bergantung membentuk lekukan gunung berkeliling. Atapnya digelantungi ornamen lampu kristal sebesar lonceng kuil beragam corak, diatur teliti oleh dekorator terkenal. Dari lampu kristal itu cahaya lampunya menimpa sudut-sudut kaca. Sinar itu dipantulkan kembali menjadi lebih terang tatkala menimpa papan nama perusahaan bertuliskan "FUJIOKA CORPORATION"
Wartawan segala media campur aduk dengan ratusan tamu undangan. Kilatan flash lampu kamera berselingkuh dengan tata lighting bernuansa sendu. Kidung klasik mengalun dari saxophone yang mendayu, bersahutan dengan denting piano. Lagu lagu Bach bernada halus mengalir pilu, seirama dengan percakapan rendah tertahan dari para tamu. Tidak ada teriakan kasar, tawa keras, umpatan jorok dan sorak-sorai laiknya sebuah pesta yang biasa kuhadiri. Semua undangan bercakap dengan nada bariton yang sudah diatur tingkat oktav-nya agar terkesan berkelas. Sungguh sangat menjemukan.
Semua tamu pria memakai pakaian sama; setelan Jas hitam dipadu kemeja putih dan dasi kupu-kupu, sedangkan tamu wanita dalam balutan long dress pesta. Dress code seperti itu mengingatkanku akan pesta Haloween para bangsawan yang memuakkan.
Fujioka Ichiro berkali kali menganggukan kepala sambil menyalami ratusan tamu yang hadir. Presiden Direktur Fujioka Corporation itu berkeliling ditemani gelas champagne di tangan kanan. Lelaki seumuran papa itu memutari sudut-sudut ruangan sambil melakukan toas pada semua yang hadir. Senyum terus menghiasi wajahnya. Aku yakin lelaki berambut perak itu sedang memainkan perannya. Sebuah sandiwara kepura-puraan dibalut keinginan mendapatkan patron bisnis yang lebih besar.
Sejak menapakkan sepatuku di karpet tebal nan lembut di hall ini, seteguk demi seteguk berbagai macam minuman beralkohol menghujani perutku. Tidak ada yang kukenal di antara ratusan manusia yang sedang terlibat pembicaraan. Aku seolah oase di tengah padang pasir; sendiri, kesepian. Untunglah puluhan pelayan hilir mudik membawa berbagai macam minuman kesukaanku. Kujadikan Champagne, red wine, white bourbon sebagai teman dalam kesepian.
Mataku liar berkeliling. Aku menemukan papa terlibat pembicaraan santai dengan beberapa tamu. Sesekali dia memegang perutnya menahan tawa saat lawan bicaranya mengeluarkan joke. Mata keriput itu berbinar mendapatkan aku berdiri memandanginya. Dia mengangkat gelasnya ke arahku. Aku membalasnya dengan anggukan. Papa tersenyum senang akan kehadiranku. Aku tidak terlambat.
"Kazuki! Kazuki!" teriakan tertahan memanggilku dari belakang.
Kutoleh asal suara itu. Hiroshi, kakakku, melambaikan tangannya. Wajah kerasnya kemarin saat memarahiku telah sirna. Bibir yang sering mengeluarkan sumpahan itu ditariknya lebar. Semoga senyum itu tidak dilambari kepura-puraan pula. Dari jarak sepuluh meter, dalam keremangan di sela cahaya lampu kristal, wanita muda dalam balutan pakaian pesta berdiri di samping Hiroshi. Tingginya semampai, melampaui tubuh Hiroshi ditunjang high heel yang membalut kaki jenjang.
Hiroshi kembali melambaikan tangan ke arahku. Aku bergegas mendekati mereka. Di tengah jalan, tangan kananku yang baru saja meletakkan segelas champagne meraih gelas berikutnya dari pelayan yang hilir mudik membawa nampan. Kali ini aku memilih Red Wine Bourbon.
"Fujioka san, perkenalkan ini adik saya. Yonekura Kazuki."
Kubungkukkan badanku sembilan puluh derajat setelah mendekat. Gelas berisi setengah cairan anggur merah masih tetap di tangan kanan. Mata Hiroshi mendelik melihatku masih menggenggam minuman itu. Sorot matanya memberi perintah untuk meletakkan gelas itu. Laiknya bawahan pada atasan, kucari meja kosong paling dekat untuk meletakkan gelas di tanganku.
"Fujioka Michi. Yoroshiku Onegaiitashimasu." kata wanita muda itu.
"Yonekura Kazuki. Yoroshiku Onegaiitashimasu," jawabku.
Ia membungkuk sambil menyorongkan kartu namanya. Rambut lurus sebahu bergerak ke depan saat dia menunduk. Sekilas aku melirik jabatan di kartu nama itu; Direktur Keuangan. Posisi cukup tinggi untuk ukuran wanita muda.
Tergopoh aku merogoh saku celana. Namun yang kucari tidak kudapatkan. Dalam hati kuumpat keteledoranku. Dompet kartu nama tertinggal di meja kantor. Tidak perlu melirik Hiroshi untuk mengetahui kemarahan tertatahan dari muka masamnya. Besok di kantor,aku yakin dia akan menyumpahiku habis-habisan.
"Maaf, saya lupa. Meninggalkan kartu nama di meja kantor."
Fujioka Michi membalas kepanikanku dengan senyum ramah. "Tidak apa-apa. Lagi pula, tak perlu kartu nama untuk mengetahui keluarga Yonekura-sama."
Tidak ada nada ejekan dari kalimatnya. Rasa malu tak terhingga membuat hawa panas di perutku merayap naik. Untuk pertama kalinya aku merasa kecil dan tak punya kepercayaan diri di hadapan wanita.
"Maafkan kebodohan adik saya," kata Hiroshi menunduk dalam.
Aku mengikuti gerakannya.
"Sudahlah, hanya sebuah kertas. Bisnis lebih berarti dari pada sebuah kartu nama," kata Fujioka Michi menenangkan.
"Anda memang cerdas, Fujioka san. Bangga sekali ayah Anda bisa memiliki putri seperti Anda. Ha ha ha." Hiroshi memaksa dirinya tertawa untuk menutupi kemarahannya. Dia menyenggol bahuku. Aku terpaksa ikut tertawa juga.
"Sekali lagi maafkan saya. Lain hari ijinkan saya mengantar kartu nama ke kantor Fujioka san," kataku tulus setelah tawa sandiwara berakhir.
Wanita itu tersenyum ringan. Setelah basa-basi sebentar, dia pamit meninggalkan kami. Aku menatap sosoknya dari belakang. Wajahnya lumayan menarik. Kulit putih pucat tanpa riasan mencolok. Mata kecil, hidung mancung, bentuk rahang melebar dan kokoh menandakan kekerasan hati pemiliknya. Pakaian pestanya sederhana; rok terusan warna ungu dengan belahan pundak. Sepatu tumit tinggi dipadu dengan tas wanita kecil coklat terus diapitnya. Namun dibalik kesederhanaan itu, kecerdasan melekat erat dari sikap dan cara bicaranya. Wanita muda itu berbeda dengan wanita yang banyak kukenal. Tidak cantik amat, tapi sangat berkelas. Pikiranku berkelindan liar. Seberapa susah mendapatkan wanita berkelas seperti itu?
Seolah tahu apa yang kupikirkan, Hiroshi menyikut lenganku. "Jangan macam-macam dengan wanita itu. Dia bukan wanita yang gampang kau permainkan," desisnya.
Aku tertawa ringan. "Akan sangat susah mendapatkan wanita seperti itu."
"Jangan coba-coba! Tanpa Fujioka Corporation, Yonekura akan gulung tikar. Camkan itu!" bentak Hiroshi dengan nada rendah.
Kami menatap tubuh Nona Fujioka hingga hilang di tengah lautan para tamu. Aku mengalihkan pandangan ke Hiroshi. "Jangan khawatir. Dia bukan tipeku."
Tanpa memperhatikanku lagi, Hiroshi bergerak menjauh. Tanpa kartu nama, tanpa teman bicara, kehadiranku serasa tak diperlukan lagi di sini. Tentu saja Hiroshi dan papa tak akan mengenalkan anggota keluarga tanpa kartu nama. Ruangan seluas separuh lapangan bola itu terasa menyempit. Menghimpit dadaku hingga sesak. Aku butuh udara segar. Kuputuskan meninggalkan hall mewah itu bahkan sebelum acara puncak dimulai.
Perutku berteriak minta diisi. Cafe di lantai dua agaknya mengikuti nuansa hotel bintang lima. Mewah, elegan. Sepi. Sekilas aku menghitung ada lima meja yang terisi di antara puluhan pasang meja dan kursi. Tidak banyak tamu Jepang yang terlihat. Tiga meja yang terisi lebih banyak didominasi orang bule. Mereka asyik menikmati makan malam, atau sekedar menyesap tegukan minuman keras. Musik mengalun lembut dari pengeras suara yang ditanam di pojok dinding. Aku memesan lasagna dan beef spagheti sekaligus. Di pesta Fujioka, di tengah ratusan manusia yang asyik membicarakan bisnis, tak ada waktu untuk sekedar mencicipi puluhan macam hidangan yang tersedia. Mereka datang tidak untuk makan. Masakan yang tersedia akan berakhir menjadi santapan hawa dingin ruangan. Sia-sia.
Sambil menunggu hidangan yang kupesan, siaran langsung pertandingan baseball antara Hanshin Tiger vs Yomiuri Giants mengisi kekosongan. Tea hijau panas berusaha menetralisir alkohol dalam darahku setelah bergelas campuran minuman keras yang mengisi perut membuat wajahku memerah. Untuk ukuran laki-laki pada umumnya, organ tubuhku relatif lebih kuat menerima pengaruh minuman beralkohol. Butuh lebih dari satu botol minuman keras untuk membuatku mabuk.
Tepat saat atlet Okamoto melakukan homerun, pesananku datang. Penggila Yomiuri Giants berteriak kegirangan. Sedangkan aku sibuk dengan pasta dan lasagna. Aku tidak pernah tertarik dengan permainan baseball. Menurutku kurang menguras adrenalin. Pertandingan mix martial arts, karate, judo dan sejenisnya lebih menawan untuk dinikmati.
Makan malam yang terhidang cepat berpindah ke perut. Pelayan menawarkan diri untuk membersihkan piring kosong. Aku mempersilahkannya. Tea hangat yang melewati mulutku tersangkut di tenggorokan kala suara yang tadi kudengar di tempat pesta muncul di belakangku. Tanpa sadar aku menoleh ke arah asal suara itu. Mata kami bersirobok. Dia pun tidak menyangka menemukan kehadiranku di sini.
"Araa, Yonekura san? Saya kira Anda sudah pulang," kata Fujioka Michi.
Aku berdiri, membungkuk memberi salam. Wanita itu membalasnya. Dia datang tidak sendiri. Laki-laki bule yang berdiri di sampingnya juga ikut membalas salamku. Tatapan Fujioka Michi mendarat di sisa saus yang sedikit melekat di tisu yang tadi kupergunakan.
"Ah, Maaf. Perut saya lebih sesuai dengan masakan di sini," kataku menjelaskan dengan nada bercanda.
Tidak ada senyuman di bibir merah itu menanggapi candaanku. "Masakan di pesta tadi tidak enak, ya?" tanya Fujioka Michi serius.Wanita ini terlalu elusif. Atau candaku memang bukan kelasnya.
Kucoba menarik urat kelakarnya. "Bukan itu maksud saya. Saya tadi tidak sempat mencicipi masakan di sana. Hiroshi dan papa tidak memberi kesempatan untuk sekedar menikmati hidangan yang tersaji...." Kuberi jeda sejenak. Kuteruskan kalimat candaku, "Mungkin karena saya lupa bawa kartu nama."
Percobaanku gagal. Tak terlihat tarikan saraf canda di wajahnya.
"Yeah, begitulah pesta di sini. Terlalu banyak protokoler," balasnya.
Sungguh, wanita ini adalah perempuan paling menjemukan yang pernah kutemui. Aku berjanji tidak akan pernah memacarinya!
"Bagaimana menurut Anda? Apakah menurut Nona Fujioka hidangan di pesta tadi istimewa?" tanyaku lebih formal.
Aku harus terus bermuka manis di hadapannya. Fujioka Michi sanggup membuat aku dan seluruh karyawan perusahaan kami kehilangan pekerjaan.
"Saya sendiri sebenarnya juga belum makan, ha ha ha," jawabnya sambil tertawa lebar.
Entah di mana letak lucunya, tapi aku ikut menemaninya tertawa sebagai penghormatan. Mungkin beda masa kecil membuat kelakar kami kurang sejalan.
"Oh ya, kenalkan. Ini teman bisnis saya dari Amerika."
Pria bule tampan sekira umur tiga puluhan itu membungkuk. Ia mencoba mengenalkan dirinya dengan Bahasa Jepang terbata-bata. Namanya John dari perusahaan Langley Corporation, Amerika. Hanya itu kalimat yang bisa kutangkap.
"I am sorry, I don't speak Japanese well" Dia tersenyum ramah melihat aku meraba arti bahasa Jepangnya.
Giliranku yang harus menjawabnya dalam Bahasa yang sama. Aku mengutuk diriku yang tidak pernah serius menguasai bahasa internasional itu.
"I ... eeto ... don't ... supiku ... eetoo ... englishu," jawabku sekenanya.
Kami tergelak. Menertawai kebodohanku. John menyorongkan kartu namanya. Kembali aku mengutuki diri. Kutundukkan kepalaku berkali-kali meminta maaf akibat lupa tidak membawa kartu nama. Melihat kekikukanku, Fujioka Michi tampil sebagai pahlawan untukku. Dia menerangkan alasanku.
Kalimat dalam Bahasa asing yang keluar dari mulut gadis itu tidak banyak yang kumengerti. Intonasi bahasa inggrisnya membuatku lupa bahwa dia adalah wanita Jepang. Lebih dari lima menit aku berdiri seperti laki-laki bodoh tak berpendidikan. Di hadapan wanita ini, bukit tinggi rasa percaya diri yang selama ini kubanggakan di depan wanita mengalami erosi.
"John, I have conversation with Mr. Yonekura. I'll see you tomorrow, Ok?" kata Fujioka Michi mengakhiri keterdunguanku. John mengangguk. Lelaki setinggi diriku itu merangkul Fujioka Michi, cipika-cipiki, kemudian meninggalkan kami berdua.
Berdua dengan wanita yang telah menggembosi percaya diriku membuat aku harus memutar otak untuk menggelembungkannya lagi. Tidak ada yang bisa kuperbuat kecuali memujinya setinggi langit. Tulus, tanpa unsur menjilat. "Anda hebat, Fujioka san. Bahasa Inggris Anda bagus sekali."
Michi menggelengkan kepala. "Nggak juga," katanya merendahkan diri.
Kutarik kursi di depanku, kupersilahkan dia duduk. Aku harus memperlakukan wanita ini laiknya putri raja.
Dia melanjutkan, "Saya menghabiskan masa SMA dan perguruan tinggi di Amerika, jadi wajar saja kalau sedikit bisa Bahasa Inggris"
Pujian untuk Michi merebak memenuhi hatiku. Tanpa sadar rasa kagumku meningkat cepat. Pintar, berkelas, rendah hati pula. Rasa ingin tahu lebih jauh tentang wanita ini membuatku mengeluarkan segala kemampuan untuk membuat menit-menit pembicaraan kami berjalan renyah.
Aku berusaha menghindari pembicaraan terlalu serius; ekonomi dan politik. Wanita ini akan melumatku habis dengan pengetahuannya. Baginya masalah bisnis dan politik adalah makanan sehari-harinya. Tentu saja aku akan kelihatan bodoh, udik, tak berpendidikan bila meladeninya. Kubawa pembicaraan lebih ke arah dunia entertainment, olah raga, dan gosip yang berkembang tentang bintang film dan artis. Tak lupa kubumbui pula dengan kisah romantika asmara kehidupan mereka yang tak banyak diketahui masyarakat pada umumnya. Semua bahan obrolan itu kukemas semenarik mungkin. Kubuat dia hingga tertawa hingga memegangi perutnya.
Tanpa terasa dua jam berlalu cepat. Hubungan kami mencair. Sebuah panggilan di telepon genggamnya mengharuskan kami berpisah. Aku meminta waktu untuk menghubunginya di kemudian hari. Dia mengiyakan. Aku mengantar Michi hingga pintu elevator, menunggu hingga kotak itu turun ke bawah.
Selepas pertemuan itu, cara bicara,tawa, dan cara berpikirnya masih melekat di otakku. Aku tidak menyesal melepas pesta demi mendapatkan pengalaman menarik seperti itu. Dalam kelanaku di dunia perburuan cinta, wanita berpenampilan biasa tapi cerdas ternyata lebih menarik daripada wanita cantik dengan otak kosong. Pikiran nakalku berkelindan mencari cara untuk mendapatkan hatinya. Saat menyadarinya, kubuang jauh-jauh keinginan itu. Fujioka Michi terlalu berbahaya untuk dipermainkan. Nasib perusahaan beserta seluruh karyawan tidak layak dipertaruhkan demi petualangan asmara.