Chereads / ai (LOVE) / Chapter 5 - BAB 5 ; Rhapsody in Blue

Chapter 5 - BAB 5 ; Rhapsody in Blue

Gemuruh sorak penonton membahana. Bangunan megah dengan tinggi puluhan meter seluas setengah lapangan bola itu membuat suara yang dihasilkan dari tepuk tangan menggema dahsyat seantero ruangan. Pilar-pilar yang menopang bangunan itu laiknya pilar yang menopang istana jaman Romawi. Tata lampu berpendar syahdu menarik sendu pengunjung yang sedang jatuh cinta. Layar lebar di dinding menampilkan gambar pemandangan gunung Fuji di musim gugur. Daun kering warna merah luruh berpadu dengan biru langit. Puncak gunung Fuji berdiri kokoh berlapis salju tipis diselingi awan berarak, menambah keindahan latarnya. Sungguh tempat dan suasana yang cocok bagi sepasang pengantin yang ingin berasik-masyuk.

Puluhan pria dan wanita dalam balutan long dress berdiri tegap. Deretan paling depan diisi para pemain musik. Deretan belakang dipenuhi vokalis. Mereka menunduk memberi hormat, kemudian duduk rapi di posisi masing-masing. Tidak menunggu lama, sang konduktor berjalan tegap memasuki panggung. Long dress yang dipakainya menjuntai menjurai hingga lantai. Dasi kupu-kupu terikat rapi di kerah putih. Sebelum menghadap para pemain, konduktor itu menundukkan tubuh beberapa detik ke arah penonton. Tongkat kecil pengarah musik tergenggam erat di tangan kanannya, siap menyihir seribuan pasang mata yang duduk tenang memadati kursi. Tidak lama kemudian pembawa acara mengumumkan konser musik akan siap dimulai. Ruangan berubah senyap. Nafas-nafas tertahan. Hening. Detik-detik berjalan menjemukan.

Konduktor itu berdiri tegap. Matanya nyalang menatap para pemusik yang sudah bersiap. Bak seorang jendral yang sedang menginspeksi pasukan, kala ia mengangkat tangan kanannya, piano mulai berdenting pelan. Beberapa detik kemudian dia melambaikan tongkat perintahnya. Piano tetap bermain tunggal pada nada yang sudah ditentukan. Ketika tangan kanannya bergerak turun ke bawah, di saat itulah komando perang dikibarkan. Seolah serbuan ribuan prajurit dalam satu komando, gesekan biola, cielo, dentum genderang, tiupan saxophone, campur aduk dengan denting piano dalam nada-nada yang susah kumengerti.

Mataku menangkap keresahan Atsuko. Gadis yang duduk di sebelahku itu beberapa kali menggeser pantatnya, seolah kursi yang didudukinya bermuatan listrik. Belum juga satu lagu selesai dimainkan, dia bergerak ke kanan ke kiri membetulkan posisi duduknya. Tidak seperti penonton lain yang fokus pada padangan ke depan, mata Atsuko bergerak liar. Lehernya dipanjangkan ke depan, ke samping, ke belakang. Entah siapa yang dicarinya. Setelah lima menit berlalu, kembali tempik sorak membahana. Atsuko menggunakan kesempatan itu untuk berbisik di telingaku.

"Masih lama kah?"

"Baru juga satu lagu," bisikku kesal.

Setelah tepuk tangan berhenti, suasana kembali seperti semula; hening. Tidak lama menunggu, konduktor kembali memulai lagu berikutnya. Tangan kiriku menekan tangan kanan Atsuko, memintanya diam saat kepalanya mendekat ke telingaku. Aku bisa memahami kejenuhan yang melanda wanita itu, karena aku juga mengalami perasaan yang sama. Namun kukuatkan hatiku agar bersabar.

Berturut-turut lagu dimainkan. Overture to Candide, Rhapsody in Blue, Ancient Airs and Dances Suite No.3, Symphonic Poem "Pines of Rome" yang tertulis di tiket udangan mengalun berurutan. Setiap selesai satu musik, batinku berharap musik yang lain segera selesai. Pantatku mulai terasa panas. Mendengarkan konser musik seperti ini seperti mendengar nada-nada asing dari dunia lain.

Akhirnya tepuk tangan lama menolongku keluar dari lubang kebuntuan yang menghimpit batinku selama dua setengah jam yang membosankan. Berkali-kali Atsuko memastikan padaku bahwa semua telah berakhir. Aku tidak menjawab. Kuikuti tepuk tangan penonton sambil kupanjangkan leher mencari wanita yang sedang kuincar.

Ketika konser benar-benar berakhir, lautan manusia bergerak menuju puluhan pintu keluar. Aku menarik tangan Atsuko. Dia sedikit protes ketika aku mengarah berlawanan dengan pintu keluar terdekat. Senggolan dengan penonton lain tak kugubris. Pelotot kejengkelan tidak menyurutkan langkahku. Aku terus bergerak mendekati buruanku sembari tangan Atsuko tetap dalam genggamanku.

Wanita itu, Fujioka Michi, berjalan di sebelah bule yang pernah dikenalkannya padaku pada pesta kapan hari itu. Tubuh mereka yang menjulang terlihat mencolok di antara tamu lainnya. Setelah melewati pintu keluar, pada jarak sekitar sepuluh meter, aku memutar ke samping. Kulewati langkah penonton lain yang berjalan lambat.

Aku yakin wanita itu akan mengarah ke kanan. Aku harus mendahuluinya, kemudian memapaknya dari samping kiri seolah pertemuan kami tidak disengaja. Tanganku menarik kasar tangan Atsuko saat dia memintaku berjalan lebih pelan. Sepatu high heel membuat gerakannya tidak secepat gerakanku. Setengah kuseret dia agar sedikit berjalan cepat. Dia mengaduh. Aku tak peduli. Untuk momen inilah dia kubayar.

Di tengah kerumunan penonton, dalam jarak lima meter sebelum berpapasan dengan Michi, kuatur nafasku. Kutentramkan detak jantungku. Kuperingatkan Atsuko untuk bersikap wajar. Tangan kiri Atsuko kupaksa agar memeluk lengan kananku erat.

Di saat itulah tatapanku beradu dengan sorot matanya. Aku pura-pura kaget. Mata kecil Michi terbelalak.

"Ah, Fujioka-san. Selamat malam!" Aku menyapanya terlebih dahulu.

"Arra! Yonekura-san! Sangat kebetulan sekali kita bisa bertemu di sini!" Wanita penggengam nasib ribuan karyawan kami itu tidak menyembunyikan keterkejutannya.

Aku membungkukkan tubuh dalam-dalam. Kukenalkan Atsuko. Fujioka Michi terlihat sangat anggun malam ini. Rambut lurus sebahu diikatnya ke belakang, memberi ruang pada lehernya yang jenjang di mana kalung emas putih bertahtah mutiara melingkari. Baju long dress pesta warna ungu terbuka hingga bahu, membuat kulit putihnya bercahaya tertimpa lampu. Sapuan rias wajahnya tidak mencolok. Pas dengan bentuk rahangnya yang kokoh. Aku mengagumi penampilan wanita di hadapanku ini.

"Anda pernah bertemu temanku ini. Jhon." Michi menunjuk pria bule di sebelahnya.

Aku mengulurkan tangan menyalami Jhon. "Hai, meet you, again," kataku susah payah merangkai kalimat dalam Bahasa Inggris.

Remas tangan pria bule ini kuat. Bertenaga. Seolah dia ingin menunjukkan bahwa wanita yang sedang menonton berdua dengannya itu sedang ada dalam pengawasannya.

"Ya. Saya masih ingat. Laki-laki pendamping yang gagah," kataku memuji. Kuukur sejauh mana hubungan wanita ini dengan pria bule di sampingnya.

Respons Fujioka Michi hanya tertawa ringan. Tidak tampak kebanggaan atau kesan spesial dari hubungan mereka. Perasaan senangku merayap naik.

"Saya tidak menyangka Anda juga senang konser musik seperti ini. Saya pikir kesukaan musik Anda...."

Aku memotongnya, "Saya suka segala aliran musik. Terutama konser musik klasik. Sangat menghanyutkan. Perpaduan alat musik yang dimainkan tadi seolah membuat saya terlempar ke dunia lain"

"Ya! Betul. Saya juga mengalami rasa yang sama." Michi melanjutkan, "Lagu mana yang paling Anda suka?"

Aku gelagapan. Secepat kilat otakku memilah judul musik yang ada di list undangan. Hanya satu judul yang melintas. "Rhapsody in Blue!" jawabku tegas. Penuh keyakinan.

Michi terkejut. "Sama! Kenapa lagu itu?"

Pikiranku berputar keras mencari jawaban. Jangankan mengerti not, nada dan artinya, bagaimana lagu "Rhapsody in Blue" itu dimainkan pun tidak nyantol sama sekali di otakku. Semua lagu terdengar sama di telingaku. Membosankan.

"Emh...." Aku menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal. Otakku cepat berputar menghadapi pertanyaan yang membutuhkan jawaban improvisasi.

"Sulit untuk menjelaskan sebuah rasa. Di saat mendengar musik klasik, otak saya berhenti berpikir. Jiwa saya yang menikmati. Merasakan sentuhan tiap nada yang mengalun." Aku berhenti sejenak. Kubiarkan wanita di depanku itu terbawa improvisasi jawabanku. "Saya yakin Anda juga seperti itu selama dua setengah jam tadi," lanjutku.

"Anda benar. Sulit melukiskan sebuah maha karya musik dengan kata-kata. Cukup dirasa, tidak perlu dipikir."

Aku tertawa membalas kalimat Michi. Saat tertawa, lenganku menyenggol tangan Atsuko. Dia merespon kodeku. Wanita pendampingku itu ikut tertawa menimpali.

Cukup untuk hari ini. Aku harus undur diri sebelum pertanyaan lain tentang musik klasik menguak kebohonganku. "Baiklah, Fujioka-san. Saya pamit dulu. Semoga di lain kesempatan kita bisa menonton konser bersama."

Aku menunduk memberi hormat. Michi membalas balik.

Daerah Shibuya gemerlap tertimpa beribu cahaya dari gedung-gedung pencakar langit. Kerumunan masyarakat riuh rendah melanglang di jalanan. Mesin penunjuk cuaca di atas gedung menunjukkan angka lima belas derajat celcius. Puncak musim gugur membuat momiji terlihat indah. Kuselipkan amplop coklat ke tangan Atsuko sebagai imbalan atas jasanya. Wanita itu tersenyum senang menerimanya.

"Kalau boleh tahu, kenapa kau memburu wanita itu? Menurutku dia tidak cantik." Katanya sambil memasukkan amplop ke tas kecilnya.

Kugelengkan kepala. "Kau tidak perlu tahu alasanku."

Atsuko menatapku lekat. Tatapannya menuntut jawaban lebih. Kutatap wajah wanita itu beberapa detik. "Ya. Kau memang lebih cantik dari Fujioka Michi."

Dia tertawa sumbang. "Lalu kenapa kamu lebih memburu dia? Bukankah lebih baik menerimaku sebagai kekasihmu?" tanyanya penasaran.

Kugedikkan bahu. "Kau ingin jawaban jujur?"

Atsuko mengangguk. Kuberi dia senyum ejekan. "Walaupun kau cantik, tapi otakmu kosong. Fujioka Michi jauh lebih berkelas dibanding kamu!" jawabku ketus.

"Bajingan kamu!" Atsuko berlalu dengan sumpah serapah.