Aku harus mengakui kehebatan Yasuo dalam mengumpulkan informasi. Setelah mengguyurku dengan berita tentang kepergian Michi ke konser dua minggu lalu, kini dia memberiku skedul Michi berikutnya; Pameran lukisan Monet di Art Gallery Tokyo. Entah bagaimana dia mendapat informasi itu. Atas kuasaku sebagai manajer dan anak pemilik perusahaan, kuijinkan dia memakai dana entertaintment tamu sesukanya. Aku yakin Goto Tomoyasu tutup mata saat tagihan menggunung keluar bulan depan. Ini adalah project-nya. Tidak ada yang tahu apa yang kami lakukan kecuali kami bertiga; Aku, Yasuo, dan Goto.
Masih ada satu minggu sebelum kunjungan Michi. Hari-hariku dipenuhi selancar internet mengumpulkan data tentang Monet dan lukisannya. Memahami lukisan gaya impresionisme membutuhkan daya nalar tinggi. Segala hal berbau Monet dan lukisannya kucetak, kupandangi terus sebelum tidur. Foto Claude Monet yang diambil tahun 1899 oleh Nadar terpampang di dinding kamarku dalam ukuran tiga puluh R. Malam-malam menakutkan menghampiriku kala memandangi wajah bule umur lima puluh sembilan tahun dengan jenggot tebal menjuntai hingga dada itu.
Oscar Claude Monet, lahir 14 Nopember 1840, meninggal 5 Desember 1926 dalam usia 86 tahun. Pria berkebangsaan Prancis ini menelurkan puluhan lukisan bergaya impresionisme yang lukisannya tersimpan di tempat-tempat bersejarah di seantero dunia. Yang membuat mataku terbelalak adalah mendapati berita bahwa lukisannya yang berjudul "Japanese Footbridge Over the Water-Lily Pond at Giverny", pada tahun 2013 terjual tiga puluh juta dolar Amerika Serikat! Uang sebanyak itu lebih dari cukup bagiku untuk pesta pora seumur hidup. Tiap hari.
Aku sama sekali tidak mengerti bagian mana di lukisan itu yang membuat seorang milyuner rela merogoh kocek sebesar itu. Bagiku yang awam akan dunia lukis-melukis, karya Monet itu terlihat seperti "Seorang wanita berpayung di saat langit cerah bersama anak kecil dikelilingi bunga lily". Entah di bagian mana mahalnya?
Home work hanya tersisa satu minggu. Aku harus mengenal, mengerti, mendalami filosofi dibalik lukisan Monet itu. Namun, semakin kuselami, semakin aku tidak mengerti. Stres melanda di hari-hari terakhir sebelum pertemuan dengan Michi. Dalam penat dan frustasi, foto pak tua di samping tempat tidur seolah menertawai kebodohanku. Aku menyumpahinya habis-habisan.
Hari Minggu yang kutunggu akhirnya datang jua. Aku masih belum hafal semua tentang Monet dan lukisannya. Bila ada pertanyaan dari Michi, aku akan menggantungkan pada pengalaman dan improvisasi. Satu masalah timbul. Yasuo belum bisa memastikan waktu keberangkatan Michi dari apartemennya.
Waktu pameran hanya dua jam. Pintu The National Museum of Modern Art, Tokyo, dibuka pukul 18.00. Pukul berapa Michi berangkat, pukul berapa dia tiba, masih belum bisa diprediksi. Sama dengan strategi sebelumnya, pertemuan dengan Michi harus terlihat natural. Bernuansa kebetulan. Kecurigaan tanpa alasan pembenar akan menghentikan semua jalan yang telah kurintis.
T he National Museum of Modern Art, Tokyo, yang didirikan tahun 1952 terletak di pusat kota Tokyo. Setelah mengalami pemugaran beberapa kali, gedung yang berdiri di area seluas seribu tiga ratus meter persegi itu terlihat gagah dan mewah. Membawa konsep modern, museum art gallery terbagi menjadi beberapa ruang tempat bermacam-macam pameran. Gedung utamanya memiliki luas empat ribu lima ratus meter persegi, terdiri dari empat lantai. Terdapat 13,000 koleksi segala bentuk barang seni terdiri dari; film Jepang, film barat, lukisan, patung, dan bermacam koleksi barang yang mempunyai nilai seni tinggi.
Setengah jam sebelum pukul 18.00, aku sudah berdiri di lokasi pembukaan. Kupilih tempat tersembunyi di antara fasad. Mataku jelalatan mengawasi pengunjung yang mulai berdatangan. Selain pameran lukisan Monet, pada hari libur seperti ini, pengunjung museum menyerbu pameran lain yang bersamaan waktunya. Akan ada ribuan manusia yang tumplek blek di gedung ini. Sebuah waktu yang tepat dijadikan tempat sebuah "Kebetulan Perjumpaan".
Lukisan reproduksi Monet akan dipamerkan di ruang khusus lukisan, lantai satu. Prediksiku, pengunjung tidak banyak yang ingin menikmati lukisan warga negara asing itu. Kecuali dia memang mengerti betul tentang lukisan. Aku yakin penikmat seni akan didominasi orang-orang berumur, pekerja seni, atau wanita muda semacam Michi; Gadis lajang yang dibebat kesepian akut. Gadis-gadis lajang yang lebih milenial tentunya lebih suka menonton film di bioskop, atau minimal main game on line.
Tanganku menggenggam erat ponsel. Berkali-kali kupastikan Yasuo menelepon secepatnya, memberitahu di mana lokasi keberadaan Michi saat ini. Tepat sepuluh menit sebelum pukul 18.00, teleponku berdering. Dari Yasuo. Michi sudah tiba di lokasi, dan bergerak mendekati ruang pameran. Tugas Yasuo selesai. Dia harus meninggalkan targetnya sebelum ketahuan.
Aku menyingkir menjauh dari tempatku. Dari jarak pandangku, sosok wanita berkelas itu terlihat memasuki ruang pameran. Michi mengenakan pakaian kasual. Untuk pertama kali bagiku dia memakai celana jeans dan kaos lengan panjang lumayan ketat. Kancing jaket yang dikenakan dibiarkan terbuka kancingnya. Harus kuakui, bodi wanita ini lumayan seksi. Kususul sosok itu dari jarak puluhan meter. Tetap merunduk, bersembunyi di antara kelebat pengunjung, namun mata tak lepas dari buruan.
Rencanaku, saat dia terlelap dalam nikmat lukisan-lukisan itu, aku akan lebih mendekat. Di saat yang tepat, aku akan muncul di depannya. Aku menunggu waktu yang tepat. Kubiarkan dia barang sejenak. Kusembunyikan tubuhku di balik lukisan besar yang dipajang berdiri. Terpisah satu ruangan dan sekat-sekat, kupantau gadis itu tanpa berkedip. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai. Kulitnya yang pucat sesuai dengan cat lukisan yang sedang dinikmatinya. Wanita penggenggam nasib ribuan manusia itu sedang terbuai imajinasi yang dituntun karya seni yang sedang dinikmatinya.
Jujur saja, bagiku ini adalah pengalaman baru melihat pameran lukisan. Seperti juga pengalaman yang sama saat menonton konser musik klasik. Menjemukan. Sebenarnya aku bukan pembenci sni corat-coret. Aku suka manga. Memang manga bukan termasuk karya seni klasik seperti lukisan, tapi bagiku, dia termasuk kelompok seni bernilai tinggi juga. Banyak orang bilang lukisan yang mempunyai nilai seni adalah lukisan yang bisa menghanyutkan si pelihat. Aku tidak seberapa setuju dengan pendapat itu. Menurutku, karya seni adalah karya yang bisa membawa imajinasi penikmatnya. Manga sanggup menghanyutkanku. Mampu membuat imajinasiku larut terbawa cerita dari sketsa yang tergambar. Bahkan manga porno sekali pun.
Madame Monet in a Japanese kimono-1875, View at Rouelles-1858, Woman in a Garden-1867, La Grenouillere-1869, The Magpie-1869, Le port de Trouville-1870, Houses on the Achterzaan-1871, Jean Monet on his hobby horse-1872, Camille Monet on a Garden-1873, Flower on the riverbank at Argenteuil-1877, dan puluhan lukisan reproduksi Monet yang berhubungan dengan keindahan alam terpajang rapi. Dinding dan sudut ruang kosong terisi penuh kain kanvas berbau minyak. Sambil menunggu buruanku puas dengan kelana yang membawa jiwanya merasuki coretan Monet, kucoba turut menikmati lukisan-lukisan itu. Imajinasiku yang liar kukendalikan agar bisa hanyut dalam buaian sapuan kanvas. Mataku lekat menatap lukisan di depanku. Setelah beberapa menit mencoba mengerti arti yang tersirat, tubuh dan jiwaku larut dalam suasana yang tergambar. Hadir dalam arti sebenarnya pada setiap detail pemandangan yang terlukis.
Aku menemani Madame Monet dalam lukisan Madame "Monet in a Japanese kimono", ikut bersepeda bersama Jean Monet dalam lukisan "Jean Monet on his hobby horse". Bunga Lily yang selama ini bagiku tak lebih dari setangkai bunga pada umumnya, berubah hidup dan memberi arti lain dalam kumpulan lukisan tentang bunga Lily; In the Garden-1985, The rose arches, Giverny-1913, Water Lilies an the Japanese Bridge-1897-1898, Water Lilies-1906, Water Lilies, c-1915, Water Lilies and Reflection of a Willow-1916, Water Lily Pond dan Weeping Willow-1919. Jiwaku yang sempat hilang berkelana, kembali menderap cepat memasuki tubuh kala kudapati lukisan yang membuatku geleng-geleng kepala. Lukisan Monet yang berjudul "Japanese Footbridge Over the Water-Lily Pond at Giverny" dibandrol dengan harga US$30 juta!
Mataku kembali nyalang menelisik kehadiran Michi. Aku mendapatkan wanita itu benar-benar terlelap menikmati lukisan. Tanpa terasa, aku sudah menghabiskan satu jam di tempat ini. Kurang setengah jam lagi tempat pameran akan ditutup. Aku harus menuntaskan apa yang telah kurencanakan.
Perlahan aku mendekati tempat wanita itu, sambil pandanganku tetap menikmati lukisan yang terpampang. Jarak yang memisahkan kami tinggal tiga meter plus selisih tiga pengunjung wanita. Michi asyik menikmati 'The Seine Near Giverny-1897'. Aku semakin mendekat. Tidak ada lagi pemisah di antara kami setelah tiga wanita tadi meninggalkan tempat. Michi tepat di samping kananku. Berjarak setengah meter. Di sebelah lukisan yang ditatapnya, mataku melahap lukisan "The Garden at Giverny" sambil sesekali mencuri pandang. Cukup lama Michi berdiri kaku memandang lukisan itu. Entah apa yang ada di dalam benaknya. Saatnya beraksi.
Sambil tetap melihat lukisan di dinding, aku menubruknya dari samping. Sengaja sedikit kuinjak ujung sepatunya. Michi kaget. Mengaduh. Reflek dia menunduk mengelus ujung jari terbalut sepatu. Aku pura-pura kaget, ikut merunduk.
"Maafkan saya, maafkan saya," kataku berkali-kali sambil tetap menunduk.
"Tidak apa-apa, lain kali tolong hati-hati," katanya.
Kami sama-sama mengangkat wajah. Mata kami bersirobok. Michi terbelalak tak percaya. "Kkau ... Ah, Yokenura-san?!" pekiknya tertahan.
Aku pun memperlihatkan sikap yang sama. Teknik berbohong dan memperdaya wanita yang sudah kulatih bertahun-tahun sejak masa puber kucurahkan sepenuhnya. "Fujioka-san? Maafkan saya. Kaki Anda tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, tapi ... Kenapa Anda juga di sini?" Dia masih belum pulih dari rasa kagetnya.
Aku pun tak mau kalah. "Saya juga sama tidak percayanya dengan Anda. Kenapa kita bisa bertemu lagi di tempat yang seolah tidak mungkin bisa bertemu?"
Sejenak kami terdiam, berusaha menekan keterkejutan akan perjumpaan yang susah dibayangkan bisa terjadi. Keheningan merambat mengisi kekosongan. Kami tersekap di sebuah lorong waktu gulita di mana tak selarik cahaya pun yang ingin membantu. Dari tirai jendela yang tidak tertutup sempurna, sepotong sinar bulan menerpa kaca. Mulut-mulut terkunci rapat. Suara detak jantung kami bergetar hebat mengalahkan deburan ombak yang berusaha memecah karang.
"Anda juga suka lukisan?" tanya Michi tertegun.
"Ya, terutama Monet. Dia adalah favorit saya." Kubuat suaraku separau mungkin agar wanita di depanku ini bisa merasakan juga sisa kekagetanku.
Seorang pengunjung wanita setengah tua di samping kami mengeluarkan suara desisan.
"Lukisan Monet yang mana favorit Anda?" tanyaku merendahkan suara.
Michi melangkah ke tempat yang tadi kukunjungi. "Ini. Aku paling suka dengan lukisan ini." Dia menuding lukisan "Japanese Footbridge Over the Water-Lily Pond at Giverny".
Pilihan tepat, batinku. "Saya juga suka. Kenapa Anda suka yang itu?" tanyaku masih dalam nada berbisik. Bagi Michi sebagai insan penyuka lukisan, pastilah bukan karena harganya yang selangit. Tapi bagiku, semua soal harga.
Michi diam sebentar. Matanya lekat menatap lukisan itu, menguliti warna demi warna, goresan demi goresan dalam selang waktu dua tiga menit. Aku membiarkan dia tenggelam dalam imajinasinya.
"Saya suka dengan raut wajah anak kecil dan wanita itu. Di sekeliling mereka, bunga Lily mengantarkan kedamaian. Mereka berdua serasa tenang, penuh cinta kasih."
Mata Michi tercenung, ada kabut di antara cekung kelopak matanya. Kesepian meruap memancar dari nada bicaranya. Aku tidak ingin menggali kesendiriannya.
Aku melihat jarum Richard Mille di pergelangan kiri. Kuajukan sebuah saran baginya. "Sebentar lagi tempat pameran ditutup. Anda masih ingin melihat lukisan lagi? Atau saya antar hingga ke depan?" ajakku.
Michi menggeleng. "Saya sudah dua kali ke sini. Hari ini yang ketiga. Cukup untuk hari ini," katanya tersenyum.
Ajakan halus dari gestur tubuhnya membuat langkahku mengikuti langkahnya. Kami keluar mengikuti arah anak panah. Otakku berputar cepat merancang pernyataan yang membutuhkan waktu lama untuk menganalisanya.
"Di balik kejeniusan Monet, dia sebenarnya penyayang keluarga." Kataku membuka percakapan ketika kaki kami menginjak pintu luar.
Angin malam dingin menerpa. Aku mengeratkan kancing jaket. Michi melakukan hal yang sama. Dia menoleh ke arahku, mencari arti lain dari kalimat yang kuajukan.
"Kenapa Anda berpikir seperti itu?"
"Istri dan anaknya ada dalam beberapa lukisannya," jawabku.
"Itu saya juga tahu."
"Ada lagi yang lebih menarik."
"Oh ya?"
Aku yakin Michi tahu segalanya tentang Monet, tentang lukisannya, tentang kisah hidupnya. Aku harus mencari hal yang tak tertulis untuk menunjukkan bahwa aku lebih menguasai Monet daripada dia.
"Kita ke kafe depan itu? Segelas teh hangat sangat membantu di kedinginan malam." Aku menunjuk kafe yang kecil di ujung gedung. Kubiarkan Michi bergelut dengan rasa penasaran. Aku memesan dua maccha hangat.
Di depan kafe, tanpa tenda pelindung hujan, meja dan sepasang kursi kosong menjadi tempat yang tepat membeberkan analisaku. Kupersilahkan Michi mengambil tempat duduk selagi aku antri di depan penjual. Tidak menunggu lama, dua teh hijau tersaji di tangan. Dia menerima gelas mengepul asap sambil mengucapkan terima kasih. Teh hijau khas Jepang yang sedikit kental membuat tubuh kami didekap hawa hangat.
Sambil menyeruput teh hijau pahit, kuteruskan ceritaku. "Pada tahun 1876, Camille, istri Monet, didiagnose mengidap Tuberculosis. Setahun kemudian, istri yang dicintainya itu meninggal dunia. Dalam usia tiga puluh dua tahun. Monet sangat terpukul akan kepergian istri tercintanya itu. Kesedihannya diungkapkan dalam lukisan kala Camille terbaring di tempat tidurnya dalam kematian. Semua itu tertuang dalam lukisannya yang berjudul "Camille Monet on her deathbed". Setelah kematian istrinya, Monet memasuki fase penuh kesedihan. Dia terpuruk hingga tak bisa lagi mengurus dua buah hatinya. Dia terpaksa merelakan teman baiknya, Alice Hoschede membantunya merawat dua anak laki lakinya, Jean dan Michel. Padahal, Alice sendiri sudah punya enam anak!"
Aku berhenti bercerita. Kutunggu reaksi Michi atas ceritaku. Wanita dalam balutan jaket musim gugur itu tidak menunjukkan reaksi apa pun kecuali mengangguk tipis. Fokusnya bahkan terarah pada teh hijau yang masih mengepul. Namun aku yakin otaknya ikut mengalir bersama ceritaku. Bagiku itu cukup melegakan. Home work sudah kulakukan dengan baik.
"Saya sudah tahu cerita itu. Bagian mana yang menunjukkan hal yang lebih menarik?" tanyanya mengejar.
"Pada April 1881, Monet mengikuti kepindahan Alice dan anak-anaknya ke Poissy, sebuah kota kecil. Padahal, Monet sangat membenci tempat itu karena sepi. Dia bertahan demi anak-anaknya di tempat yang dibencinya itu. Tidak mengambil istri lagi, dan menyendiri sekian tahun berikutnya. Setelah suami Alice meninggal dunia, Monet menikahi wanita yang merawat dan mendidik anak anaknya itu. Tahun 1892, empat belas tahun setelah kematian istrinya!"
Ekspresi Michi tetap datar saat aku mengakhiri ceritaku. Dia berkata dingin, "Saya juga tahu tentang itu. Saya kira ada yang baru."
Macchanya sudah ludes. Macchaku masih tersisa separuh. Aku harus cepat mengakhirinya sebelum dia benar-benar kecewa.
"Saat Monet ditinggal mati istrinya, dia adalah laki-laki yang kaya raya. Terkenal. Lukisannya banyak dipuji, dan bernilai jual yang mahal. Dia masih muda, belum empat puluh saat kematian Camille. Kalau dia mau, bisa saja dia mencari wanita lain untuk menjadi istrinya. Yang lebih cantik, lebih muda. Bukan malah membujang empat belas tahun, dan akhirnya menikahi janda dengan enam anak. Sudah tua pula. Menurutku, kalaulah tidak karena kasih sayang pada dua anaknya itu, tidak mungkin dia mau menikahi Alice."
Aku menunggu reaksi Michi, dia masih menunggu ceritaku berikutnya. "Saya laki-laki, Nona Fujioka. Saya tahu betul apa yang diinginkan laki-laki yang ditinggal mati istrinya. Alih-alih mencari wanita muda yang cantik, lelaki kaya raya itu lebih memilih janda beranak enam! Itulah arti dari pernyataan saya. Bahwa Monet adalah laki-laki penyayang keluarga."
"Ha ha ha!" Michi terbahak hingga matanya berair. "Anda adalah penarik kesimpulan terbaik dari sebuah kisah kehidupan seseorang," katanya terus tergelak.
"Apakah Anda tidak setuju dengan kesimpulan cerita saya?" tanyaku.
"Bukan tidak setuju. Tapi, aneh saja mendengar sebuah resume kehidupan dari Monet yang saya kagumi."
Dia melanjutkan, "Yang lebih menarik, Anda membandingkan Monet dengan sifat kelaki-lakian Anda sendiri. Itu terlalu subyektif !"
Kali ini aku balas tertawa. Namun, tawaku sedikit terganggu dengan dingin angin malam yang mulai menggigit kulit wajah. Wanita yang duduk di hadapanku ini juga mengalami hal yang sama. Tanpa menunggu angin dingin mengusir, dia bersiap berdiri. Sigap aku berdiri dulu dari kursiku, kutarik lembut kursi Michi.
Dia menganggukkan kepala. "Terima kasih. Anda baik sekali untuk ukuran laki-laki Jepang. Lebih ke sikap orang barat," katanya.
Entah itu pujian yang tulus atau sindiran, aku tidak peduli. Aku hanya berharap pertemuan ini tidak berakhir sampai di sini saja.
"Boleh saya mengantar Anda?" tawarku.
Michi menggeleng. "Saya ingin pulang sendiri. Subway tidak terlalu jauh dari sini. Apartemen saya juga tidak jauh dari subway di ujung lain. Cukup di sini saja," katanya.
Bibirnya gemeretak, angin dingin yang bertiup keras menyuruh kami agar segera pulang.
"Baiklah, saya juga tidak bawa mobil kali ini. Kita berjalan bersama sampai di subway?" pintaku.
Michi mengiyakan. Tanpa menunggu angin dingin mendepak kami dari area museum, kami bergegas meninggalkan gedung pameran. Kami berpisah di depan pintu masuk lorong kereta bawah tanah.
"Boleh saya mengajak Anda makan malam?" kataku sebelum berpisah.
Michi gamang. Tidak menjawab.
"Kita bisa banyak bercerita tentang musik klasik dan lukisan lainnya. Anda tidak ingin mendengar lagi kesimpulan saya yang lain tentang Michelanglo, Paul Cezanne, Rembrandt dan sederet pelukis lainnya?" kataku menggoda.
Sebelum dia menjawab, aku menambahkan, "Saya juga punya stok banyak tentang perspektif kehidupan Beethoven, Mozart, Bach dari kaca mata saya. Lagi pula, saya juga punya janji pada Anda untuk memperlihatkan produk baru Yonekura."
Michi tertawa kecil. "Tentang produk, saya sama sekali tidak tertarik. Bukan bagian pekerjaan saya. Tentang perspektif kehidupan mereka? Saya sangat tertarik mendengarnya."
"Terima kasih."
"Tapi, saya hanya punya waktu sebentar." Kegetiran terdengar di kalimat Michi.
"Sepuluh menit pun cukup bagi saya untuk menerangkan kehidupan mereka." Aku mencoba mengajaknya bercanda, mengusir kegetiran dari nada kalimatnya.
Kembali Michi tertawa. "Makan siang, ya?"
Tanpa menego lagi aku berteriak senang. "Yes!" Kukepalkan genggamanku meniru anak-anak muda korban reklame minuman isotonik.