Chereads / ai (LOVE) / Chapter 3 - BAB 3 ; Tantangan

Chapter 3 - BAB 3 ; Tantangan

Bola mata Goto Tomoyasu tenggelam menatap laptop di depannya. Sesekali tangan kanannya beralih menekan panel kalkulator di samping keyboard laptop. Berulang-ulang dia melakukan itu sambil melirik ke tempatku. Dahinya mengernyit kala menguliti angka yang tertera di tampilan layar tidak sesuai dengan angka yang tertera di kalkulator. Setelah lebih dari satu jam melakukan pekerjaannya tanpa rasa bosan, laki-laki seumur papa itu membetulkan letak kaca mata minusnya yang melorot. Dia merebahkan tubuh ringkihnya ke sandaran kursi, menarik nafas panjang sambil merentangkan ke dua tangannya.

Angka-angka itu membuat kulit keriputnya semangkin terlihat kentara. Tiga puluh enam tahun orang tua itu telah bersama papa membesarkan Yonekura Corporation. Waktu panjang membuat tulang-tulang tuanya semakin rapuh. Osteoporosis menggerogoti tulang belakang, pinggang, hingga kaki kirinya. Duduk dari pagi hingga malam menekuni bilangan, analisa biaya, saham, investasi, dan segala tetek bengek istilah akuntansi telah membuatnya tua melebihi batas usianya.

Rasa iba menggelayuti hatiku. Betapa dia telah menghabiskan seluruh hidup dan kebahagiannya untuk perusahaan. Goto Tomoyasu tidak punya istri. Dia telah menikah dengan bilangan-bilangan perusahaan kami. Namun. Aku yakin dia menemukan kebahagian di antara angka-angka yang dipeluknya tiap hari. Kepala yang ditumbuhi warna perak itu berpaling ke arahku. Bola mata kami bertemu. Dari sorot mata tua itu kala menatapku, kutangkap kebahagiaannya perlahan menguap.

"Kazuki kun, sini sebentar." Dia melambaikan tangan kanannya.

'Hai!"

Jarak sepuluh meter dari tempatku duduk cukup membuat panggilan suara tuanya terdengar oleh seluruh staf. Gerak geriknya terbaca jelas. Aku menangkap hawa kecerobohan yang telah kubuat seminggu lalu belum selesai. Sumpah serapah Hiroshi dan papa tidak cukup melebur dosaku. Kini Direktur Keuangan Yonekura Corporation pun akan ikut-ikutan memaki. Rasa iba yang tadi menggelayut berubah arah. Malas kulangkahkan kakiku.

Aku menarik kursi di depannya. Kutatap erat wajah kuyu itu di depanku. Dia melepas kaca matanya, mengambil sapu tangan, meniup kacanya kanan kiri. Setiap detail gerakannya membuat waktu berjalan sangat lambat. Dia tidak peduli keberadaanku lagi setelah memanggilku. Pantatku yang belum juga satu menit duduk di kursi sudah terasa panas. Kutunggu kalimat yang akan disemburkan mulutnya, tapi lelaki tua itu malah menatap layar komputernya tanpa mengenakan kaca matanya lagi.

"Perhatikan angka-angka ini," katanya. Dia memutar layar laptop ke arahku. Membiarkan aku menikmati bilangan-bilangan di layar itu sementara kaca mata yang sudah dibersihkannya kembali bertengger anggun di pangkal hidungnya yang betet.

Bilangan dengan font kecil berderet memenuhi setiap inci layar. Lajur-lajur kolom dipepatkan hingga tak menyisa jarak sedikit pun. Cursor berkedip pada kolom yang tertulis namaku dan hasil penjualan yang telah kubukukan hingga akhir bulan. Minus tiga puluh persen.

"Sudah tiga bulan ini targetmu tidak tercapai. Sedangkan tahun tutup buka tinggal dua bulan lagi berakhir. Total masih minus empat puluh lima persen dari target yang harus kau capai. Bagaimana kau akan menutup kekurangannya? Terlalu jauh dari target...." Keluhnya.

Mulutku terasa pahit. Terkunci. Angka-angka itu berbicara langsung padaku, mengingatkan kebodohan yang terus kuperbuat.

Goto menunggu alasan dan pembelaanku. Tetapi apa yang diharapkanya tak terwujud. Aku diam seribu Bahasa. Dia mendengus dongkol.

"Belum lagi, kau telah membuat penjualan yang harusnya dibukukan terlepas. Seratus juta yen dalam krisis ekonomi yang tak menentu seperti ini sangat besar!"

Alih-alih menjawab keluhannya, kuarahkan pandanganku ke ruang Direktur Utama. Berharap semoga Hiroshi tidak ada di ruangannya. Kalau dia mendengar keluhan Direktur Keuangan ini, aku yakin dia akan ikut-ikutan mengeluarkan sumpah serapahnya.

Tak mendapat tanggapan apa pun dariku, dengan kesal Direktur keuangan itu menarik laptop ke arahnya kembali. Baginya, menunjukkan angka-angka padaku seolah memberi uang koin pada kucing. Sia-sia.

Melihat pintu ruangan Hiroshi tetap tertutup, keberanianku sedikit timbul. "Maafkan aku Goto san. Ini tanggung jawabku. Aku akan berusaha lebih keras lagi."

Goto Tomoyasu menyemburkan nafas yang sedari tadi ditahan. Jawabanku baginya terdengar seperti ritme doa yang biasa dilafalkan tiap hari. Doa yang itu-itu saja. Harapan yang membosankan.

"Beri kesempatan sekali lagi. Aku akan memenuhi target tahunanku. Percayalah padaku," desakku.

Lelaki beruban perak itu menatapku lekat. Kaca mata yang bertengger di hidung betetnya melorot turun saat dia menunduk. Kesempatan yang kumohon tidak memuaskannya.

"Kazuki, keinginamu ini sama dengan yang kau ucapkan tahun lalu. Tahun sebelumnya juga. Selama yang kuingat, sejak kamu menerima tanggung jawab sebagai manajer pemasaran lima tahun lalu, setahuku hanya sekali atau dua kali saja kau bisa memenuhi target. Selebihnya...."

"Ganbarimasu! Aku akan berusaha lebih keras lagi!" Aku menyela kalimat Goto yang belum selesai. Kegagalan yang diungkit terasa menyakitkan.

"Kau baca koran, lah. Perusahaan raksasa merugi milyaran yen. Akuisisi perusahaan asing menggila. Hampir tiap hari kolom-kolom koran menulis ada perusahaan bangkrut. Aku berharap Yonekura Corporation tidak ikut tertulis suatu hari nanti."

Direktur Keuangan itu menghela nafas panjang. Kepalanya tengadah menatap lampu neon di atap. Mungkin dia berusaha mencari jawaban akan setiap kegagalanku.

Dia kembali menatapku. Ada percik di bola matanya. Agaknya Goto Tomoyasu telah menemukan jawabannya di balik sorot lampu itu. Dia mendesis pelan, "Kalau saja kau bukan salah satu pewaris Yonekura, pastilah kau akan...."

Sebelum dia memuntahkan hasil penerawangannya, aku cepat memotong, "Dipecat! Ya. Mereka seharusnya memecatku saja. Aku hanya membebani perusahaan ini!" kataku sengit. Nafasku memburu.

Orang tua yang tahu betul masa kanak kanakku itu sekarang ikut menyerang dan memojokkan aku. Sudah berapa kali aku minta maaf? Kalau permohonan maaf tidak cukup, biar saja mereka memecatku.

"Kazuki kun, bukan maksudku membuatmu terpojok seperti ini. Hanya saja, perusahaan ini menghidupi dua ratus karyawan yang sebagian besar sudah punya keluarga. Aku, papamu, kakakmu ingin kamu berpikir keras dan berusaha lebih giat lagi untuk perusahaan." Nadanya merendah melihatku gusar.

Aku menunduk tak ingin membantah lagi. Aku harus jujur pada diriku. Apa yang dikatakannya memang benar. Laki laki tua ini sangat loyal pada keluargaku. Dia tidak layak mendapat perlakuanku tanpa respek.

"Maafkan aku." Kutundukkan kepala berkali-kali.

Kawamura Katsuya-Direktur operasional, manajer dan staf yang duduk di dekat meja kami terlihat menyibukkan diri dalam layar laptopnya. Mereka menutut telinga, pura-pura tidak mendengar perdebatan kami.

"Aku sudah tiga puluh tahun lebih mengabdi pada orang tuamu, pada perusahaan ini. Tidak lama lagi tongkat manajemen perusahaan akan berpindah secara menyeluruh ke Hiroshi, juga ke kamu. Dalam sisa waktuku yang tak banyak ini, di akhir pengabdian, aku berharap bisa melihat Yonekura Corporation menjadi perusahaan yang kuat. Aku ingin bisa pensiun dengan tenang."

Nada getir penuh harap terucap pelan dari mulut Goto Tomoyasu. Harapan terakhirnya menggugah keharuanku. Bertahun-tahun aku mengenal orang tua ini. Dia telah bekerja keras bagi kami. Kejujuran diimbangi keikhlasan orang kepercayaan papa ini membuatku terbebani.

"Tolong beritahu, apa yang harus kuperbuat untuk mengembalikan kepercayaanmu padaku. Onegashimasu!" pintaku tulus.

Goto tidak menjawab. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya karena kutundukkan kepalaku hampir menyentuh atas meja.

"Kau yakin dengan keinginanmu?"

"Hai! Aku akan berusaha sekuat tenaga!"

Goto Tomoyasu terdiam sejenak. Posisiku masih tetap tertunduk. "Kalau begitu, ikut aku," katanya.

Aku mengangkat kepala. Goto menunjuk sebuah ruangan. Dia beranjak dari kursinya. Laptop bututnya juga ikut mengiringi langkahnya. Kuikuti arah tapak orang tua itu. Dia pergi ke ruang pertemuan. Hidungku mengembang. Direktur Keuangan mengajakku ke ruang pribadi setelah mendengar kesanggupanku berbenah diri. Tak sabar kunanti instruksi penting yang akan membuat perusahaan bangga akan prestasiku.

Ruang tiga kali lima meter di sebelah ruang papa itu dipenuhi tulisan-tulisan penyemangat bertebaran. Shafuu sebagai pengingat etos kerja tertulis dalam karakter kanji tua. Empat baris menurun goresan kanji tegas dan tebal menyampaikan keinginan penulisnya-kakekku-untuk dipatuhi tanpa syarat. Tulisan sama yang bertebaran di dinding rumah kami. Sejak kecil aku terbiasa dengan tulisan itu. Sebuah visi dan misi perusahaan yang terekam jelas sejak aku anak-anak. Namun, tidak memberi dampak apa pun kala aku sudah bekerja di perusahaan ini.

Goto duduk di kursi di depanku. Jarak kami dipisahkan meja pertemuan kecil. Mata tuanya lekat memandang shafuu. Aku pun turut menatap tulisan kanji itu.

"Kakekmu dan ayahmu adalah orang hebat." Kalimat pembuka yang keluar dari bibirnya.

"Apa hubungannya dengan shafuu itu?" kataku kesal. Kalau dia mengajak ke ruang ini hanya untuk memberi petuah tentang tulisan yang menurutku sudah ketinggalan jaman itu, aku akan menyemprotnya habis-habisan.

Goto tak peduli dengan pertanyaanku. Dia meneruskan, "Dari sebuah perusahaan kecil, sebuah toko kelontong di sudut kota, dalam kurun waktu lima puluh tahun telah menjelma menjadi perusahaan yang diperhitungkan. Apa yang tertulis di lembar putih itu memancarkan kekuatan yang mendobrak kemajuan perusahaan ini. Seharusnya kamu bangga melihat keberhasilan leluhurmu."

Bayangan kakek melintas. Tidak banyak kenangan akan leluhurku itu. Yang kuingat, dia tak punya waktu untuk keluarganya. Aku mendengarkan setengah hati saat kalimat mengalir satu persatu dari mulut orang tua yang duduk di hadapanku itu. Kepatuhan dan kekaguman seorang prajurit samurai yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk majikan serasa kental saat dia membicarakan tentang kakek dan ayahku. Cerita yang meluncur dari bibirnya didramatisir, dihiperbolakan, membuatku merasa seperti duduk di atas pungung kura-kura berjalan yang sedang terjebak macet. Lambat sekali.

"Mendekatlah kemari," perintahnya. Sorak sorai menggema di hatiku. Siksa itu berakhir sudah.

Aku menggeser tubuhku menempati kursi kosong di sebelah tubuh tua itu. Setelah berbusa-busa bercerita tentang masa-masa perjuangan bersama kakek dan papa, Goto mengalihkan tatapannya kembali ke layar laptop. Dia memintaku lebih merapat. Bau rokok yang melekat kental di bajunya membuatku ingin menjauh. Untuk ukuran usia yang sudah uzur, Goto seharusnya menghentikan kebiasaan buruknya itu.

"Apa yang ingin Goto san bicarakan?" tanyaku tak sabar.

Goto menggeser laptopnya ke hadapanku. Crusor laptop diarahkannya pada lajur yang diinginkan. Layar laptop menampilkan sebuah file excel dengan lajur berisi angka-angka diblok warna kuning; Lajur penjualan perusahaan kami terhadap Fujioka Corporation. Dari penjualan total enam milyar yen setahun, penjualan ke Fujioka Corporation menduduki angka lebih dari lima puluh persennya. Kugerak-gerakkan crusor ke sheet lain. Semua sheet kosong.

"Kau tahu apa yang terjadi bila Fujioka Corporation memutus hubungan bisnis dengan kita?"

Aku tidak menjawab pertanyaan retorika yang dilemparkannya. Tentu saja aku tahu jawabannya. Aku bukan anak kemarin sore yang baru bekerja di perusahaan ini. Jangankan aku, staf penjualan yang baru dua bulan kerja pun akan tahu jawabannya. Karena itulah terpaksa kulewatkan pesta hura-hura malam itu, dan kuganti dengan pesta yang membosankan. Demi kelangsungan hidup perusahaan ini.

Kalau Goto mengajakku hanya untuk bicara tentang hal ini, aku akan sangat kecewa. Kukira tugas yang akan diberikannya bisa membuat Hiroshi dan papa bangga.

"Hanya ini?" tanyaku masgul.

Goto menangkap kekecewaanku. Helaan nafasku berkali-kali menyeruak di antara kami. Sebelum dengus udara dari paru-paruku memenuhi ruangan, Goto melanjutkan keterangannya.

"Untuk saat ini, aku tidak khawatir mereka akan memutus hubungan bisnis kita. Produk yang kita jual masih bisa diterima dengan baik. Pun, aku yakin kita tidak akan kalah bersaing dengan rival-rival kita, walaupun mereka terus merongrong hubungan kita dengan Fujioka."

Kesabaran ada batasnya. Aku meledak. "Tentu saja aku tahu itu! Goto san tidak mengajakku bicara di sini tentang ini saja, kan?!"

Lelaki tua hamba keluargaku itu tidak mengindahkan kegeramanku. Dia malah menatap langsung bola mataku dengan padangan kesabaran orang tua melihat tingkah anaknya yang nakal. Bibirnya yang menghitam akibat banyak nikotin mengembang penuh. "Seberapa jauh kau mengenal Fujioka Corporation?" tanyanya.

"Sejauh yang diketahui masyarakat Jepang lainnya. Hanya pengetahuan umum saja," jawabku malas.

Goto Tomoyasu diam sejenak. Dahinya berkerut. Nada kalimatnya berubah serius. Aku senang dengan perubahan itu. Kurasakan sebuah tantangan yang belum terungkap. Kalimat pembuka tantangan itu pun meluncur.

"Fujioka Corporation memang perusahaan kuat. Keuntungan yang dibukukan tahun ini mencapai satu milyar yen, lebih besar dari keuntungan sepuluh tahun perusahaan ini. Tapi, ada lagi yang lebih besar. Anak perusahaan Fujioka Corporation."

"Yanagi Corporation?" tanyaku memotong. Adrenalinku mulai meningkat. Aku merasa Direktur Keuangan ini sedang mempersiapkanku sebuah strategi bisnis besar bernilai ratusan juta yen.

"Ya. Yanagi Corporation," tegasnya.

"Terus, apa hubungannya dengan Yonekura?"

Goto menepuk bahuku, memintaku agar tenang. Dia berbisik pelan seolah dinding ruang kami punya telinga. Seolah shafuu punya mata elang dan sedang memperhatikan kami.

"Kalau Yonekura ingin besar, kita harus menguasai Yanagi Corporation. Atau, setidaknya memaksa Yanagi Corporation untuk menjadi partner perusahaan kita."

Tubuhku seperti disengat aliran listrik. Kalau saja bukan Direktur Keuangan perusahaan yang bicara, aku akan meninggalkannya dengan makian. Menguasai Yanagi Corporation seperti mendengar orang tua ini bermimpi ingin menjadi muda tiga puluh tahun kembali. Aku berharap kejutan strategi bisnis, bukan bualan kosong mimpi di siang bolong.

"Goto san sedang tidak mengigau, kan?" tanyaku marah.

"Aku sadar dengan ucapanku, anak muda!" balasnya getir.

"Tapi, bagaimana? Apa hubungannya denganku?"

"Aku akan menjelaskan panjang lebar, sekaligus apa hubungannya denganmu. Tapi, kau harus berjanji dulu akan merahasiakannya."

Aku mengangkat tangan kananku hingga samping kepala. "Aku berjanji!" kataku tegas.

"Bahkan kepada Hiroshi dan ayahmu."

Kembali aku mengangkat tangan. "Aku bersumpah!"

"Baiklah. Aku percaya padamu," kata Goto.

Sebelum dia melanjutkan keterangannya, aku memotong,"Goto san yakin bahwa aku orang yang tepat?"

"Aku mempertaruhkan jabatanku untuk ini! Aku memilihmu karena aku yakin kau mampu melakukannya!"

Tanpa ingin dibantah lagi Goto Tomoyasu bercerita panjang lebar. Butuh satu jam lebih mendengar kalimat deras meluncur dari bibirnya yang tertutup keriput. Saat aku ingin menyela, dia menepuk punggung tanganku, memintaku diam. Dia sedang tak ingin disisipi pertanyaan.

Keningku berkerut mendengar langkah yang harus kuambil. Reputasi, partner bisnis yang selama ini dibangun, kelangsungan hidup perusahaan, semua dipertaruhkan untuk misi yang akan kuemban. Entah kenapa, hatiku merasakan keanehan yang menggigit. Strategi bisnis disampaikan Goto tidak membutuhkan kecerdasanku dalam berbisnis. Melainkan kemampuanku menaklukkan wanita!

Aku menarik nafas panjang setelah Goto menyelesaikan kalimatnya. Walau terdengar absurd, apa yang kami rencakan beresiko besar jika tugasku gagal.

"Risikonya terlalu besar," kataku dalam nada rendah. Dahiku berkeringat.

"Ya. High risk high gain. Bila kau takut, aku tak bisa memaksamu. Anggap saja apa yang tadi kubicarakan tidak pernah terjadi."

"Oke, taruhlah aku berhasil melakukannya. Bagaimana dengan dana yang dibutuhkan? Ratusan milyar yen." Aku bergidik membayangkan uang sebanyak itu.

"Kau tidak perlu khawatir tentang persoalan dana. Itu tugasku."

"Dari mana?" tanyaku mengejar. "Dari luar negeri?"

"Kali ini kau pintar. Ya, dari luar Negeri"

Aku tidak merasa bangga dipuji. Bahkan sedikit terhina. Tentu saja dana sebanyak itu tidak akan bisa didapat dari Jepang. Akan menimbulkan kegaduhan manakala sebuah perusahaan kelas menengah sedang berputar-putar mencari dana segar dalam jangka waktu pendek dengan angka yang sangat fantastis.

"Bukankah ada ketentuan jumlah batas tertentu bagi perusahaan asing bila membeli saham perusahaan Jepang?"

"Tentu saja perusahaan asing tersebut tidak langsung membeli saham mereka." Goto membetulkan letak kaca matanya. Dia berkata tegas, "Sudahlah, urusan dana itu urusanku. Kamu bersedia kan?" lanjutnya mendesak.

Pendingin ruangan bekerja dengan sempurna. Setelan jas lengkap seharusnya melindungi tubuhku dari gigitan hawa dingin. Namun, belakang punggungku berubah gerah. Keringat menetes deras membuat baju dan kaos dalamku lengket dengan kulit. Kuremas tanganku. Kuusir keraguan dan kepanikan yang menjadi satu. Permainan yang akan kumainkan sangat berbahaya. Bayang kehancuran perusahaan menyatu dengan teriak umpatan Hiroshi.

Sebaliknya, di sisi hatiku yang lain, adrenalinku memuncak hebat. Permainan yang ditawarkan Goto selaras dengan pengalaman dan keahlianku. Aku yakin akan berhasil. Pun, kelebat wajah ayah yang marah dan kecewa selama ini akan berganti menjadi wajah yang penuh kebanggaan akan keberhasilanku. Seluruh karyawan akan mengelu-elukanku. Hiroshi pun akan takluk. Kakakku yang tak pernah memujiku itu akan menyanjungku setinggi langit.

Ruangan diisi detak waktu yang berjalan. Goto Tomoyasu diam termangu menunggu jawabanku.

"Baiklah, aku bersedia!" kataku tegas.

"Yes!" teriak Goto tertahan. Tangan kanannya mengepal meniru gaya anak muda masa kini.

Sejak kuterima tantangan itu, wanita berpenampilan terdidik ditunjang wajah smart itu terus berkutat di kepala.

"Kapan kita mulai?" tanyaku gamang.

"Sekarang juga," jawab Goto.

"Baik."

Jemariku bergerak lincah mengetuk layar telepon genggam mengikuti arahan nomor telepon yang tertera di kartu nama. Setelah menunggu sebentar, koneksi terhubung. Sebuah suara di seberang terdengar penuh semangat.

"Moshi moshi. Fujioka desu."

"Itsumo osewa ni natte orimasu. Yonekura Kazuki di sini" Nada suaraku bergetar. Aku tegang.

Tiga detik berlalu menunggu. "Yonekura Corporation? kita bertemu di pesta minggu lalu." Aku membantu suara di seberang menggali ingatannya.

"Ah Yonekura san! Itsumo osewa ni natte orimasu. Maaf saya lupa. Terima kasih mengingatkan."

"Maaf mengganggu Anda. Bisa bicara saat ini?"

"Bisa. Ada yang bisa saya bantu?"

"Seperti pembicaraan terkahir kita, saya ingin berkunjung ke perusahaan Anda. Di samping ingin menawarkan produk baru, saya juga berhutang kartu nama pada Anda," kataku berusaha mencairkan getar suaraku dengan canda kecil. "Bisa bertemu kah?"

Tentu saja alasan yang kupakai terdengar konyol. Sejak kapan Direktur Keuangan mengurusi produk? Lagi pula, sekelas Direktur perusahaan besar, sebuah kartu nama dari rekanan yang tidak terlalu berdampak pada angka penjualan perusahaannya bukanlah sebuah barang penting.

"Kapan?" tanya wanita di seberang tanpa berpikir panjang.

Senyumku mengembang penuh kemenangan. Seperti yang kuduga, permainan ini akan berakhir mudah. Aku yakin ketampanan dan olah candaku saat pertemuan terakhir itu masih membekas di benaknya. Wanita cerdas, kuat, berkuasa, pastilah hidupnya dipenuhi hal menegangkan dalam keseharian. Ketampanan dibalut kejenakaan akan dengan mudah memenangkan perhatiannya. Kemudian, dengan sekali tembak, aku yakin hatinya akan luruh juga.

"Saya bisa menyesuaikan skedul Anda," jawabku penuh percaya diri.

"Sebentar, saya lihat skedul saya dulu."

Fujioka Michi menahan pembicaraan. Denting piano mengalun lembut dari telepon genggam di seberang. Satu menit berlalu dalam buaian nada tunggu musik klasik. Entah apa judul lagunya. Alunan musik berhenti, suara Fujioka Michi kembali terdengar.

"Moshi moshi."

" Hai."

"Maaf, dalam minggu ini saya sibuk sekali."

"Bagaimana dengan minggu depan?"

"Ehm ... minggu depan jadwal saya sudah penuh. Jika tentang produk baru, Anda bisa bertemu dengan manajer pembelian kami. Untuk kartu nama, lain kali saja kalau kita ketemu," jawabnya dingin.

"Chikusso!" umpatku dalam hati. Kesombonganku berguguran. Alih-alih mengeluh, aku menjawab tenang, "Terima kasih atas waktunya."

"Sama-sama."

Aku menunggu hingga bunyi "klik" di seberang terdengar sebelum memutus sambungan telepon. Goto yang sedari tadi duduk sambil mendengarkan percakapan kami tersenyum menahan tawa.

"Jangan mengejek," sergahku.

"Kali ini kamu kena batunya. Ha ha ha!" Dia tergelak. "Aku yakin anak Fujioka itu tidak seperti perempuan lain yang gampang kau dapatkan."

"Aku akan mendapatkannya! Pertempuran ini belum selesai!" Kegeraman bercampur rasa penasaran melanda.

Goto berdiri perlahan sambil menepuk bahu kananku. "Ganbare! Untuk urusan ini, aku yakin kau lebih hebat dari papamu!" katanya.

Lelaki tua itu berlalu meninggalkanku sendiri. Aroma rokok yang tersisa di ruangan seolah menantangku. Sebelum tubuhnya benar-benar hilang di balik pintu, sekilas masih terdengar akhir kalimatnya, "Harimau tak akan beranak domba, ha ha ha."

Aku tertawa masam. Pilihan sudah ditetapkan. Untuk kali ini akan kubuktikan bahwa aku bukan sekedar anak tampan yang hanya bisa menghabiskan uang. Perusahaan ini akan membesar. Dan akulah yang akan membuka jalan itu!