Harapan adalah kata terakhir untuk membentengi diri kita dari keputus asaan.
"Katakan lebih suka bekerja di dalam ruangan atau di sana?"
Pria berbadan besar menunjuk apa yang ada di depannya. Sebuah ruang terbuka bagi para karyawan yang bekerja di sana. Dari ruangan ini, ia bisa lihat semua yang ada di depannya dengan jelas. Kaca satu arah.
"Di sana?" Tanya wanita yang ada di depannya.
"Ya" jawabnya mengangguk sambil membuka-buka beberapa lembar kertas di depannya.
"Boleh?" Tanya wanita itu lagi.
Pria tersebut melepas kaca mata yang ia pakai."Kenapa Tidak?" tanyanya balik.
Wanita di depannya tampak bingung. Ia terlihat berfikir keras. Ia menoleh ke belakang lalu melihat orang yang mewawancarainya lagi. Ia coba tersenyum sedikit menutupi kebimbangan hatinya.
"Ok di luar ruangan!" jawab pria yang akan segera memasuki masa tua di hadapannya. Terlalu lama berfikir membuat siapapun akan memutuskan jawabannya sendiri.
Wanita tersebut terkejut. Siapa sangka orang di depannya bisa menebak apa yang ada di dalam pikirannya. Atau mungkin, raut wajahnya yang tak bisa menyembunyikan keinginannya untuk berada di sebelah kolam renang besar yang dikelilingi pepohonan rindang.
"Serasa liburan di Pantai ya?" terusnya lagi.
"Sebenarnya jika tidak memungkinkan saya bisa menulis di mana saja?". Jawab wanita itu.
Pewawancara didepannya merapikan kertas yang dari tadi, ia bolak-balik dan melipat tangan di atas mejanya.
"Termasuk di gudang penuh debu?"
Pertanyaan itu sontak membuat wanita didepannya melotot.
"Bercanda, tak ada gudang penuh debu untuk para penulis di sini"
Wanita itu terlihat lega. Sepertinya ia terlalu tegang sampai bisa di tipu dengan pertanyaan seperti itu. Satu jam berlalu. Sebagai seorang pelamar yang berusaha mencari kerja, sepertinya wanita yang sedang dalam observasi langsung ini terlihat sedikit tertekan. Selain tak terlalu pandai bersosialisasi, tampaknya kegagalan pada wawancara-wawancara sebelumnya turut ambil bagian meramu perasaan gelisah.
"Ok, mau dengar hasil wawancara hari ini Nona?" Tanya Pria didepannya lagi.
Wanita itu mengangguk.
"Kau terlihat tegang. Santailah sedikit. Apa aku terlihat seperti raksaksa yang suka memakan wanita cantik?, tidak- jangan takut!, Aku tak akan memakanmu…."
Mereka berdua tersenyum.
"Pertama, saya seperti merasa Anda banyak gagal dalam hidup Anda." Pria tersebut berhenti sejenak memberi jeda pada ucapannya. "Aku benar?"
Wanita itu tampak terkejut sambil meng-ia kan statement tersebut. Tak ada alasan baginya untuk berbohong saat ini.
"Aku membaca beberapa artikel yang sudah Kau buat secara on line, di beberapa media, tampaknya cukup mengesankan. Menginspirasi. ~Tapi jangan tersinggung, orang yang bisa membuat oranglain terkesan dengan tulisan mereka,biasanya adalah orang yang banyak mengalami kegagalan dalam hidup mereka?~"
Sekali lagi, pria seumuran 40 atau 50 tahunan itu memberi jeda untuk melihat cara pelamar wanita itu bereaksi atas penafsiran yang dibuatnya.
"Berapa banyak perusahaan yang sudah Kau datangi untuk wawancara belumlama ini?".
"Ada sekitar 4 sampai 6 Pak~"
Pewawancara kembali memberi isyarat ia paham pada apayang terjadi.
"Banyak orang gagal bukan karena mereka bodoh. Hanya karna mereka terlalu pandai, dan tak bisa diajak berkompromi dalam beberapa hal, seperti penyampaian ide, korupsi, atau sebuah negosiasi, Mungkin itulah alasan mereka menolakmu."
Alis mata kanan wanita itu, naik sedikit. Tanda tak memahami apa orang yang ada didepannya coba ungkapkan kepadanya.
"Begini, mungkin tak semua omonganku benar, tapi mari kita lanjutkan~"
Wanita tersebut setuju,
"Aku di sini tak mencari orang yang selalu benar dalam hidupnya, tau kenapa?"
"Tidak,.. Pak"
"Hmmm,Karena mereka biasanya hanya ahli dalam menulis berita, bukan cerita motivasional yang menguras otak dalam pembuatannya. Mereka tak pernah alami masalah dalam hidupnya. Katakan padaku, bagaimana orang seperti mereka bisa memberikan wejangan pada pembaca"
Mereka berdua diam, satu detik,dua detik,tiga deti, empat, lima...
"Bukankah orang yang selalau sukses memiliki banyak cerita yang bisa dibagikan pada orang yang selalu gagal?"
Pria yang terkesan seperti orang berpengaruh pada perusahaan penerbitan koran, majalah dan buku-buku lainya itu menggeser posisi duduknya. Sekian derajat.
"Siapa yang tahu?, mungkin saja, tapi mereka hanya hidup di dalam dongeng, begitu masalahdatang, apakah ada jaminan mereka bisa bertahan?"
"Kurasa tidak Nona Escada Hope~ mengingat orang-orang yang tak pernah menderita, berarti tak pernah belajar apapun dalam mengatasi kegagalan. Jikalau tulisan mereka bagus, aku bisa bertaruh, bagus tapi tak bisa mereka terapkan dalam kehidupan mereka.Sama seperti tong kosongyang nyaring bunyinya.Aku pribadilebih tertarikpadaorang yang mengalami dan membagikannya kepada pembaca."
Escada Hope tak mengerti poin dari pembicaraan mereka saat itu. Ia hanya diam tak bicara papun. AC yang sangat dinginpun masih tak bisa menyembunyikan keringat di keningnya. Bukan karena AC itu tak berfungsi, tapi karena pikirannya sudah melayang-layang, ia tak akan di terima di tempat tersebut.
"Nona Hope, Anda masih bersama saya?"
Tampak jelas bahwa Hope mulai melamun. Ia mulai pucat. Lipstik pinknya, tak terlihat terlalu bagus sekarang. Ia tampak seperti mayat.
"Ya, Pak, ..ya…saya mendengarkan Anda"
Pria di depannya tersenyum
"Tenanglah, Kau di terima dengan segala kelebihan dan kekurangan anda, Escada Hope~, Hope? Apakah Hope dalam namamu itu berarti, HARAPAN?"