Chereads / Takdir Yang Ku Tulis / Chapter 31 - BEJANA

Chapter 31 - BEJANA

Jawaban itu memang tidak semunya jelas. Kadang ada yang setengah-setengah. Ada pula yang blur. Lebih tepatnya banyak yang nggak jelas. Apalagi kalau penjawabnya sibuk berkutat dengan dengan dunianya sendiri. Self mindednya kuat. Terlalu pendiam. Aku percaya, kalaupun aku tanya lebih detil, pasti dijawab. Masalahnya satu. The one an only. Jawabannya muter-muter.

"Eh, Ibu penjaga makam, Qila mana Buk?" tiba-tiba aku teringat Qila adalah anak yang cantik. Bagaimana kalau dia aku kenalkan dengan Jason.

"Kok, diam aja?" jawabku saat melihat mereka cuma senyum sambil saling berpandangan dengan suaminya. Setelah memberikan doa. Mereka pergi tanpa sepatah katapun"

Tamu-tamu sudah mulai habis. Sudah agak longgar. Defiance memperbolehkan aku pergi meninggalkan posisi. Makan. Bagiku makanan itu sangat membosankan. Minum akan terasa lebih menjanjikan.

"Nggak mau makan ta Ce?"

Aku menoleh. "Ha ha ha makan?" aku melirik dua makam baru di villa itu. Kok ada ya orang yang bisa makan dalam acara beginian.

"Minum aja, aku kenyang.."

"Oooooo, makan apa Ce?, Bunga?"

Glekkkk. Hah dikiranya aku hantu kali ya. Minggir ajalah dari pada dibercandain nggak jelas.

"Kakak?" seseorang melambaikan tangan padaku dari kejauhan. Rambutnya panjang, gaunya berwarna sifon. Ohhh

"Qila!" tanganku terlambai membalas panggilannya.

Aku mendekatnya masuk ke dalam. Jujur rumah ini, bukan hanya jadi makam. Tapi lebih tepatnya menjadi museum sejarah cinta yang hilang. Terlalu berlebihan?. Tentu saja bukan Defiance jika tidak begitu. Tak pernah ada yang bisa memahami isi hatinya. Hanya Tuhan yang bisa melihatnya. Ia menata barang-barang milik ke dua almarhumah di rumah ini. Foto-foto tempo doloe. Barang-barang peninggalan. Dan sebagainya.

"Hai, apa kabar?". Aku memeluknya. Cipika, cipiki.

"Baik, Kakak gimana?"

"Ya gitulah,…kamu lihatin apa sih?" tanyaku padanya.

Senyumnya mengembang sangat anggun. "In foto besar milik Artha."

Aduh posenya sudah sepuluh tahun lebih tetep aja kelihatan professional. Model sih ya.

"Eh sorri ya yang kapan hari itu….Yang aku bilang semua salah kamu itu…"

Qila tertawa lagi dan menepuk pinggangku

"Oh, Yang itu, its OK lah…" imbuhnya. "Mungkin lain kali ~tanya dulu ya Kak?~Jangan kasih prejudice gitu…"

Sungguh kusadari betapa konyolnya saat aku bertindak. Aku inggat, Jason, mana Jason. Aku celingukan mencari Jason. Oh, ternyata mereka sedang ngobrol. Seperti Tom and Jerry, keduanya ngobrol seperti teman dekat. Setelah sempat ribut beberapa menit lalu.

"Jason" aku menggangkat tangan memangggilnya. Mereka berdua menoleh.

"Sini~" , Eh mereka balik ngobrol dan Jason melambaikan tangan.

"Jason?" Tanya Qila menirukan pronounciationku saat menyebutkan kata Jason.

"Iya, Dia pemilik Café, tak kenalin ya sama Dia?" Qila hanya nyengir begitu saja.

"Jason!" ini panggilan yang kedua. Ia menoleh, bicara dan malah pergi. Aduh kenapa sih dia ini sensi ta ma aku?. Akupun mendatanginya. Defiance menghadang.

"Ada apa, Kenapa teriak-teriak?"

"Aku mau kenalin dia sama anak penjaga makam, mahasiswa cantik luar bisa semester 1"

Defiance menghentikan langkahku yang akan mengejar Jason."Udah nggak usah,"

Aku celingukan mencari Qila.

"Di sana, bantuin aku ya, kasihan Jason, ditolak oleh hampir semua cewek.."

Sampai di depan foto berukuran 2 x 1 meter , toleh kanan, kiri, kanan kiri, putar badan.

"Kamu cari siapa ?"

"Qila. Tadi dia di sini." Kataku mebalikan badan lagi. Defiance hanya diam.

"Loh, Kok?"

"Kok?" ia mengikuti jariku yang menunjuk ke foto. Dan berbalik seutuhnya.

"Qila?" tanyaku. "Kenapa wajahnya berubah jadi wajah Qila?"

Defience tak bergeming sedikitpun untuk beberapa saat.

"Setahuku, itu wajah Artha…" sahutnya lirih. "Apa Qila terlihat seperti Artha?"

"Ya, persis dengan bajunya juga" jawabku. Aku berfikir sejenak. Apa mataku katarak ya.

"Sebenarnya, alasan Ibu yang jaga makam telepon aku adalah, karena menurutnya, kamu mulai bicara sendiri selama beberapa hari saat dimakam.

"Ha?"

Defiance memanggil penjaga makam yang kebetulan berdiri di sudut ruangan. Mereka mendatangi kami.

"Mereka melihat kamu bicara sendiri, bukan satu hari…"

Mereka meng-ia-kan pernyataan Defiance.

"Kalian punya anak-kan?"

Mereka saling lempar pandangan. "Kami memang punya anak, tapi anak kami laki-laki. Dia sudah menikah"

Glekk. Apa?!.

"Terus saya waktu itu ketemu dengan siapa?"

Mereka menggeleng dan berpamintan pulang.

"Kalau yang kamu lihat sama seperti di foto artinya.."

"Aku ngobrol sama hantu?" tukasku.

"Iya!"

"Kakinya nginjak tanah, dan aku nggak takut kok!"

Seberapa pun aku beragumen, tetap saja, aku terlihat aneh. Aku bicara dengan hantu. Hantu. H-A-N-T-U

"Mereka melihat kamu bicara sendiri, jujur, mereka takut sesuatu terjadi, makanya, mereka memintaku datang." Jelasnya padaku.

" Menurut mereka, kamu bicara dengan bayanganmu sendiri. Bahaya, hal-hal mistis seperti itu bisa aja mencelakai kita. Tapi kurasa kamu orang yang baik, jadi mereka pun tidak punya niat jahat apa pun sama kamu, tadi pas kamu panggil Jason. Dia tanya ke aku, katanyanya, sejak kapan, kamu ngomong sendiri?~"

"Jadi, aku tadi kelihatan ngomong sendiri juga?"

"Ya…"

Aku mengerti sekarang. Terkadang ada hal-hal diluar dugaan terjadi pada kita. Gelap tanpa cahaya. Ada Yin juga Yang. Semua harus seimbang. Ilmu pengetahuan memang perlu dibuktikan. Tapi hal-hal yang bersifat imanpun juga perlu diuji.

"Kamu tahu?, kenapa aku pindahkan makamnya ke sini?"

"Kenapa?"

Defiance mulai kembali mendongeng dengan bahasanya yang kaku dan kurang luwes.

"Sebelum kami menikah, ini adalah rumah impian Artha. Ia selalau ingin tinggal di sini. Belakangan aku tau, jika kami menikah, dan bercerai, ia akan meminta rumah ini sebagai pembagian hartanya, dan tinggl bersama Ken. ~sedih saat aku mengetahuinya. Tapi samua sudah berlalau. Jika aku ingin memaafkan mereka, harus 100%. Jadi kuputuskan, memindahkan makam mereka, dan memberikan hak rumah ini ada orang tua Ken"

"Ha?, nggak rugi kamu?"

"Nggak lah, kamu sendiri kan yang bilang, semua harus tuntas. Bukannya isi novel yang kamu tulis, menceritakan, ending seperti ini. Penerimaan. Dan maaf. Ya, jadi aku usahakan membuat cerita di novel kamu hidup. Aku terima, aku maafkan, aku lakukan. Move on!"

Move on, dari sekian banyak kata-katanya, hanya Move On yang terdengan tepat dan tidak berbelit belit. Begitulah Defiance. sekarang, aku tak lagi membencinya. Kalau di pikir ulang, sebenarnya, rancangan Tuhan bukanlah sebuah kecelakaan. Tapi rancangan damai sejahtera. Tidak ada sesuatu terjadi tanda ACC Tuhan. Campur tangan Tuhan, memang terkadang membuat kita bingung. Seperti bejana. Dia hancurkan dan Dia buat ulang. Bicara memang mudah tapi menjalani, rasanya seperti kita ingin mati jika tak kuasa.

Artha dan Ken adalah salah satu contohnya. Setiap pencobaan terjadi, untuk membuat kita naik kelas. Bukan hanya satu, tapi bisa dua kali lipat beratnya dari orang di sekitar kita. Pada dasarnya, kita butuh iman yang kuat untuk bisa melewatinya. Asal kalian ingat iman tanpa perbuatan hakekatnya dalah mati.

Ini sudah berlalu sekitar satu tahun, tak akan pernah ada yang mengira bagaimana, dan seperti apa takdir seseorang. Mungkin kemarin kita hanya duduk dan menulis, siapa tahu hari ini, kita bisa mengubah dunia. Mungkin sekarang kita hanya duduk menonton Tv, siapa sangka besuk kita sudah berada di depan kamera untuk menjalankan sebuah professi. Ya semua memang serba tak menentu. Sebagai penulis, aku memang bisa menulis, seperti yang aku mau. Namun, Tuhan memang tetaplah, sang penulis takdirku. Aku tak perlu meragukannya. Apapun yang terjadi, sudah jauh-jauh hari ditulis, bahkan sebelum aku lahir.

"Di hadapan Tuhan dan para jemaatnya...."

"Di hadapan Tuhan dan para jemaatnya...."

"Saya mengambil Engkau, sebagai istri...….."

"Saya mengambil Engkau, sebagai istri...….."

"Apakah Engkau bersedia?"

Ada beberapa detik sebelum ia menanyakan hal itu. Seperti biasa pikirannya yang rumit membawanya berfikir keras sebelum bicara

"Aku tidak akan memaksa kamu. Tapi apa Kamu bersedia?. Menerima aku sebagai suami kamu?. Dengan segala kekekurangan, keanehan dan jalan pikiranku yang aneh ini"

Pendeta di depan kami agak kesal.

"Aduh, jangan di tambah-tambahin donk…" protesnya.

Aku tertawa melihatnya kesal. ini memang mengesalkan, tapi bagiku, aku sudah biasa mendengar hal-hal seperti itu keluar dari mulutnya. Ia tak bermaksud jahat. Namun memang auranya saja yang tidak enak. Aura iblis. Permusuhan. Jika tidak mengenalnya dengan baik, pasti akan membencinya. Kita hanya perlu berfikir dari sudut pandang yang berbeda. Ingat beda orang beda cara bicara, berfikir juga bertindak.

"Jadi, apakah engkau bersedia?"

"Emmmmmm, gimana ya,…"

~Tamat~