__BEGIN•
"Bee, kamu gak nanyain kabar aku gitu? Soalnya, aku mendadak cape."gue menoleh menatap bingung kearah Gibran yang menatap gue begitu intens.
"Kamu cape kenapa? Bukannya kamu dari tadi rebahan terus?"gue akhirnya bertanya dan kemudian gue bisa melihat Gibran berpindah tempat dan duduk dengan dagu yang ia taruh di sandaran kursi.
"Cape aja..."dia menjawab gamang dan guepun ikutan bingung. Dan gue menatap tepat pada matanya yang jernih dan terlihat seakan dia benar-benar lelah. Tapi gue nggak tau, dia lelah kenapa dan karena apa?.
Setelah liburan ini adalah pertama kali kita ketemuan lagi, karena saat liburan gue terus menolak Gibran yang mengajak untuk bertemu. Dia masih sedikit sungkan, walau akhirnya Gibran nekat menjemputnya kerumah gue yang berbeda kota, alasannya klise, dia bilang rindu. Dia mengatakan, dia bosan sebab dirumah hanya rebahan dan ikut dalam acara keluarganya atau main dengan temannya. Barata Prasetyo si bocah tebar pesona yang suka memakai barang branded dan Keanu Elvano Mahardika si pangeran kampus yang asik dan humble. Gue paling suka dengan Keanu, dia dua tahun lebih tua dari Gibran dan tiga tahun lebih tua dari gue.
Sebenarnya Gibran punya empat teman dekat, tapi yang gue ingat cuma dua nama karena mereka berdualah yang sering bertemu dengan gue jikalau gue diajak nongkrong dengan Gibran. Karena sejujurnya gue adalah orang yang agak sulit mengingat nama orang jika tidak sering bertemu.
Dan gue bersemu malu sebab sebenarnya guepun sama rindunya. Hanya bingung bagaimana mengatakannya pada Gibran karena selama hubungan ini berjalan gue masih begitu malu untuk mendahului segalanya.
Sampai kemudian, untuk beberapa hari Gibran berhenti menanyakannya melalui pesan. Gue dirundung cemas, dan akhirnya memberanikan diri untuk mengirim pesan menanyakan lebih dulu dan mengajak untuk bertemu sehari sebelum perkuliahan dimulai kembali.
.
.
Ada yang aneh dari sikap Gibran akhir-akhir ini, gue dapat merasakannya. Insting gue sebagai pasangannya sudah merasa ada yang gak beres sama sikap dia yang biasa manja dan perhatian sama gue.
Kalian tau?
Ini pertama kali seumur hidupnya gue komitmen, iya. Bukan hanya sekedar pacaran, kita komitmen yang benar-benar akan kejenjang paling serius. Lu tau gue sudah dua kali di khianati dan pernah gagal menikah diumur yang masih muda, dua puluh tahun waktu itu. Gue yang maish labil dan menggebu soal cinta tanpa memfilter lagi langsung menerima lamaran seorang lelaki keparat yang pada akhirnya bercinta dengan perempuan lain di dua minggu sebelum resepsi diadakan.
Terima kasih kepada Farrel yang memberi tahu gue kebusukan bajingan tengik itu, sebab dengan bodohnya keparat ini mengambil kamar hotel di salah satu milik keluarga sahabat gue, Farrel.
Hanya saja gue bingung, gimana cara mengekspresikan diri gue, perasaan bahagia gue sama Gibran bagi gue si apatis ini. Ketika gue lebih lama hidup dalam kesendirian tanpa bermain hati didalamnya kecuali dengan keluarga gue sebagai orang-orang tersayang. Gue gak tau harus bagaimana apalagi gue juga orang yang suka, sering malahan sih, lupa untuk balas pesan. Termasuk pesan Gibran, walau sekarang pesannya sudah gue sematkan agar ada dipencarian paling atas semua pesan yang ada.
Tapi kenapa sekarang Gibran menatapnya begitu, dingin... dan tidak peduli. Ada apa ini?
Oh, Ada yang lebih menyakitkan dari tatapannya.
Gue membuka bibir yang bergetar sambil mendongak memandang wajah menawan mautnya"Boleh aku nanya?"
Dia mengangguk dan gue menunduk untuk menghalau air mata yang tidak dapat ditahan oleh gue sudah berada dipelupuk mata.
"Itu maksudnya apa?"gue menunjuk genggaman tangan Gibran yang mengerat pada telapak tangan putih milik Della, perempuan satu fakultas dengan Gibran. Si perempuan famous hampir seantero kampus.
Gue nggak mau menoleh untuk menatap perempuan disebelah Gibran, gak kuat. Gue juga nggak peduli.
Kalian pasti paham kan gimana perasaan gue. Sakit, kaya ada yang patah tapi bukan sayap. Kaya ada yang hilang tapi bukan barang. Nyeri banget rasanya, gue gak tau kesalahan gue dan gue gak tau kenapa begini jadinya. Lebih baik kalau Gibran bicarakan dulu dengan gue, bukan malah langsung serahkan bukti dihadapan gue tanpa tedeng aling-aling begini. Ibarat kata dalam pengadilan, gue sudah jadi tersangka tanpa dapat pembelaan diri.
"Kamu tau? Aku sudah lama mau ngomong gini. Sebenarnya aku mau kita sudahi komitmen gak sehat ini baik-baik, aku cuma cape mengejar kamu, mempertahankan kamu yang kadang saja masih begitu cuek dan apatis. Aku bingung sama sikap kamu menerima aku tapi juga sekaligus menolak kehadiran aku dibeberapa kesempatan. Rasanya gak enak banget!" Gibran mulai menjelaskan dan hati gue mencelos mendengarnya. Ini menyakitkan sekaligus memalukan, di putusin di depan banyak orang.
Ah, iya. Gue cuek banget selama hubungan ini berjalan, gue hanya sesekali bertanya duluan keadaan dia, gue gak ada inisatif mendahulukan untuk alasan apapun selain waktu dia sakit yang ketika itu kayanya sudah terlambat. Karena dari situ gue liat perubahan sikapnya juga kehadiran Della diruang rawatnya.
Gue baru sekali berkomitmen serius dan dua kali di khianati mantan yang juga bilang akan ke jenjang serius dan ini yang ketiga. Jadi setelah dua kali pengkhianatan gue selalu memproteksi diri gue, hati dan perasaan gue dari rasa yang hadir. Jadi tanpa sadar gue bersikap apatis sama kekasih gue sendiri atau mantan kekasih gue sekarang. Tapi kenapa gak bilang langsung dan kenapa tidak ingatkan gue saja kalau gue bersikap begitu tidak seperti pasangannya.
Kenapa harus merusak kepercayaan gue lagi?
Kenapa selingkuh jadi jalan satu-satunya memutuskan hubungan sih?
Ada apa sebenarnya dengan para lelaki didekat gue ini.
"Kamu yang begitu, buat aku malah merasa sendiri. Aku ngerasa gak punya kekasih sampai ada kala aku butuh kamu sungkan rasanya minta bantuan hanya untuk sekedar bilang aku kangen kamu. Jadi, maaf." Gibran menyelesaikan ucapannya dan mendekat menarik tubuh gue kedalam pelukannya. Gue mengangguk paham penuh luka dan gue menjauh, menolak pelukannya.
"Gak boleh, gak boleh pelukan," gue menarik napas susah payah.
"Yaudah, berarti kita udah selesaikan? Komitmen kita gak berguna lagi? Kamu yang bilang harus selalu di diskusikan, di kompormikan bukan malah langsung memutuskan sepihak begini. Ternyata bullshit banget!..."
Gue tatap wajahnya yang kini, entahlah malah buat gue muak."Jadi makasih bikin aku semakin terlihat tidak berharga pun untuk hancurin hati aku lagi seperti dua pria yang dulu begitu aku kasihi dan cintai, Makasih!!"lanjut gue dan pergi.
Pergi dari hadapan mereka berdua dan gak akan mau menampakkan diri atau bertatap muka, apapun itu selama dalam lingkungan kampus. Ah... Kemarin dia menyayangkan gedung fakultas mereka yang saling berjauhan ketika masih berstatus pasangan, tapi sekarang dia merasa beruntung. Keberuntungan baginya untuk mempersempit pertemuan mereka.