selamat membaca..
________
Gue bertemu dengan perempuan yang begitu ringan sekali tersenyum, dia manis. Ada lesung pipi kecil dibawah bibir kanannya. Setiap kali tersenyum semua giginya terlihat apalagi gigi gingsulnya itu, menunjukkan diri tanpa malu-malu.
Gue merasa beruntung ikut ke ruang UKM pusat riset penelitian mahasiswa. Disana gue melihat si gadis manis ini mengobrol dengan suara cemprengnya dan juga tertawa terbahak-bahak bersama kakak tingkat yang juga sekelas sama gue di semester 10 ini. Iya, gue adalah salah satu mahasiswa abadi yang enggan lepas dari kampus. Sudah nyaman dan berniat menyelesaikan skripsi tahun depan. Bodoh?
Tidak, gue nggak sebodoh itu sampai harus menyelesaikan skripsi hingga tahun depan. Gue sanggup mengerjakannya sekarang hanya karena gue masih ingin berkecimpung di dunia bisnis mahasiswa yang gue bangun dari nol walau keluarga gue sangat berkecukupan, gue ingin memulai dari nol tanpa campur tangan orang tua. Bersama dua kawan gue, gue enggan wisuda lebih dulu. Umur gue sudah dua puluh lima sebenarnya, tapi kaki ini enggan meninggalkan kampus.
"Padahal, gue nahan tawa, gila!! Pas bagian acara sama koordinator lapangan berantem gegara ada yang buka hp, anjir kata gue ka Baekyun bisa banget dah banting-banting botol minuman terus pake ada acara pingsan pula—hahaha"itu suara tawa pertama dia yang gue dengar, cablak banget. Gak bohong.
Kesan pertama itu gue mikir, ini cewek nggak ada alim-alimnya. Tidak selesai sampai dia tertawa, seorang lelaki yang paling heboh tertawa duduk diatas kursi yang menghadap komputer didalam ruangan itu menimpali dengan heboh sambil menunjuk kearah gadis ginggsul itu.
"Halah bacot! Lu juga kesurupan waktu pengkaderan ya—hahahaha" kemudian tawa semua orang menyusul akibat lelaki itu, si Deden. Gue kenal dia, karena satu organisasi juga, soalnya dia ini bukan orang yang bisa diam disatu organisasi. Dan satu lagi, bukan deh, dua macam. Dia ini bisa semua alat musik dan sangat mahir dalam membuat musik.
Dulu sangat mudah melihat ia tertawa, sangat mudah membuatnya tersenyum. Dia menyukai anak-anak, sangat malahan. Tiap kali ia bertemu anak kecil dia akan selalu menyapa⸺jika si anak kecil itu tidak lari ketakutan disapa orang asing⸺malah kadang kala akan memberikan makanan ringan yang ia bawa untuk mendekati anak kecil yang ia temui dimanapun. Senyumnya selalu tersemat manis sampai gigi gingsulnya terlihat.
"Jablay, lu apa kabar?,"Tanya salah satu teman kelasnya, Abiandra namanya. Gue tersadar dan jatuh pada alam fana ini kembali kemudian memandang kesana.
Lelaki yang terlihat kemayu saat berkata tapi tidak dengan sikap gentlenya terhadap perempuan, ia memuliakan dan sangat menyanjung tinggi martabat perempuan begitu pula temannya, yaitu mantan gue sendiri yang tengah duduk di hadapannya sambil memakan es krim cokelatnya.
'Kamu alergi cokelat dan tidak boleh makan es krim, itu hanya akan buat asma kamu kambuh...'
Tentu, itu hanya suara dalam kepala gue, nggak mungkin gue datangi dia dan merebut eskrim rasa cokelat almond yang tengah ia santap itu. Hubungan kita sudah nggak sebaik sebelumnya, cara gue memutuskan dia hanya menumbuhkan rasa tidak percaya diri dan menambah beban pikirannya.
"Kabar gue baik, cuma pikiran gue carut marut nih. Pen ke hutan biar tenang,"Jawabnya malas.
"Yeee.. gak sekalian aja lu kekuburan, tenang banget!!" Timpal salah satu teman perempuannya yang bar-bar dan no akhlak, Salma namanya. Gue mengenal semua teman dekatnya yang ini, mereka semua selalu mengerti kekurangan dan kebiasaan buruknya jadi gue bisa sedikit tenang. Mereka sangat perhatian dan bukan teman yang suka menusuk dari belakang.
"Hm.... kalau bisa, tapi gue penakut"
'Iya, sangat penakut...'
Gue terus menjadi pemerhati setiap gerak gerik dan percakapan teman-teman dekatnya di kantin, dengan sesekali melirik dan terus menajamkan pendengaran.
Ketika gue memutuskan untuk menyerah dan meminta untuk berpisah, gue beranikan diri menggapai tubuhnya dalam dekapan. Mungkin saja dia akan rela untuk perpisahan ini, tapi ternyata dia tetap pada pendiriannya. Tidak ada pelukan, tidak ada ciuman ataupun tangis perpisahan untuk pria berengsek seperti gue. Pantas saja kedua mantannya memutuskan hubungan dengan cara yang salah sama seperti gue, hatinya mungkin hancur berkeping-keping. Gue gak akan bisa membayangkan dan merasakannya sebab sekarang gue pun sama hancurnya atau mungkin tidak seberapa? atau lebih hancur?.
Karena mantannya mungkin merasakan hal yang sama seperti gue, tidak rela tapi sudah tidak dapat menahan diri untuk menerka keluar dari hubungan yang dingin. Dia juga pernah bercerita dia pernah gagal dalam melakukan hubungan setelah dilamar, lelaki yang mengajaknya serius malah meninggalkannya dengan rasa malu. Itu sebabnya dia begitu tertutup jika ada hal besar telah direncanakan, tidak mau banyak menceritakan sampai hari itu terjadi.
Brengseknya gue malah memilih jalan yang sama seperti semua mantannya...
Sendu wajahnya dan embun matanya menyayat hati, tidak mungkin tidak ketika gue masih begitu mencinta tapi tidak mau terjerumus dalam hubungan yang tidak memiliki kemajuan.
Atau hanya diri gue saja yang kurang berusaha...
Atau memang tuhan tidak mengijinkan gue bersama perempuan sempurna sepertinya.
Gue hanya lelaki brengsek dengan segudang dosa yang melumuri diri. Gue lelaki yang terkadang menjadikan wanita sebagai bahan hiburan atau malah sebagai barang antik yang perlu dimiliki diwaktu kesepian.
Semua lelaki pernah melakukan hal yang gue lakukan, tidak menampik terkadang lelaki lebih memilih perempuan baik-baik walau ia adalah seorang brengsek. Sialan memang, gue akui sebagai seorang lelaki, itu benar-benar sialan. Tapi perempuan memang makhluk istimewa, mereka selalu menerima dan toleransi akan segala sikap pasangannya. Menyerahkan semua yang ia punya termasuk kepingan hati mereka dan mengabdikan diri sepenuhnya, asalkan bisa bersama sang kekasih.
Ah, sial!!
Kedua mata gue memanas ketika melihat ia beranjak tanpa menatap gue sedikitpun yang berada dua meja dari tempat ia duduk bersama teman-temannya, gue melihat jam di tangan gue dan paham. Ini waktu kelasnya akan segera dimulai, sehapal itu gue dengan jam kelasnya. Ia adalah orang yang sungkan sekali ribet apalagi bermasalah dengan dosen karena telat akan menambah ribet. Dulu gue suka sebal ketika sifatnya yang ini muncul, mau lu apakan juga dia akan tetap 'keukeuh' pada pendiriannya untuk rebahan. Gue dan dia berbeda sangat jauh.
Gue yang suka sekali hangout bersama teman sedangkan ia untuk jalan keluar malam saja jarang sekali, dia anak rumahan dan lebih suka bercumbu ria bersama kasur, handphone dan leptopnya. Ia sangat menyukai coffe latte dan minuman teh botol, tapi itu sangat berpengaruh pada lambung dan pencernaan. Perutnya mudah panas kearah mulas dan tidak enak setelah meminum coffe atau teh botol jika sedang masa sangat sensitif atau sebelum sarapan, dia juga tidak boleh kecapean. Sebab asma nya sering kali kambuh tiap kali ia memporsir diri berlebihan. Apalagi di picu dengan makanan yang membuat alerginya meningkat tinggi.
Dan ini sudah tujuh bulan lamanya gue memutuskan hubungan, dia masih terlihat baik-baik saja selama gue terus berkeliaran di setiap ada kesempatan. Dan ia abaikan gue begitu saja walau terkadang teman-temannya sering menyindir akan sikap tidak tau diri gue.
Dan tentang Della, dia tetap kekasih gue yang sudah beranjak menjadi tunangan yang tengah hamil tua. Ini adalah dosa gue dan perlu tanggung jawab jadi gue dapatkan ganjarannya.
"Just breath bro, oke?," Ferdi yang duduk di sebelah gue akhirnya menepuk punggung gue dan gue menuruti ucapannya.
Bernapas. Inhale and exhale.
Gue masih berharap, semoga tuhan mau mendengar semua doa yang selalu gue lantunkan disetiap kesempatan yang ada. Ah...gak, Tuhan maha mendengar guelah hamba yang lalai dan baru menyadari andil tuhan sangat besar membolak balikan hati manusianya. Mungkin tuhan memperingati gue yang terbuai akan gelimang dosa yang sangat gue sukai ini.
Tuhan renggut hal berharga dalam pelukan gue. Memberitahu hanya pada tuhanmulah kamu berserah diri.
"Semuanya udah jadi pilihan lo, benahi yang bisa lo benahi. Waktu terus berjalan, gak mungkin lo terus stuck kan?."
Iya, gak mungkin gue terus begini, tapi masih sulit gue terima padahal ini pilihan yang gue ambil.