Jika orang lain sibuk mencari souvenir untuk pesta ulang tahun anaknya, pernikahan mewah mereka, Lin justri sibuk mencari souvenir untuk peringatan kematian yang ke sepuluh tahun. Souvenir tersebut harus berkesan, bermanfaat dan menginspirasi.
"Jadi terserah ya ceritanya mau dimodel seperti apa, yang penting ceritanya harus mengenang almarhumah sang istri. Harus se-cetar cerita Romeo dan Juliet. Bisa kan,? namanya boleh pakai nama siapa aja, tapi yang jelas harus nama yang bagus, jangan desa-desa banget" Jelasnya padaku.
Aku hanya memutar-mutrar otak begitu mendengar permintaanya.
"3 bulan ya?, peringantannya tanggal 20 Juni, jadi usahakan ceritanya selesai sebelum bulan Juni"
Aku semakin tak ada gambaran. Membuat souvenir, peringatan kematian, mengenang 10 tahun berpulangnya sang istri. Berupa novel yang ceritanya tak boleh kalah bagus dengan novel karyaWilliam Shakespeare. Terus, gue cari ide cerita dari mana coba?. Mana ceritanya nggak boleh jiplak.
"Nanti, ceritanya akan kami perbanyak, ya mungkin 50 sampai 100 copy lah. Ya bisa kan?"
Bukan masalah mau di copy atau di cetak berapa, 3 bulan Buk. Mana sanggup, akukan juga cuma penulis biasa.
"Cari penulis lain aja gimana?".
Lin langsung terkejut, mungkin seandainya ia punya sakit jantung, ia sudah pingsan kena serangan jantung dengan ucapanku sebagai pemicu.
"Ibu, ini minta tolong lo, kok kamu tolak sih?"
"Bukan buk, saya nggak sanggup, saya nggak pernah bikin yang begitu, ceritanya terserah, namanya terserah, tapi kan untuk peringatan kematian tu, bukannya harusnya sedikit banyak mengisahkan kisah cinta mereka?"
Lin berfikir sejenak.
"Bayangkan, masa saya buat cerita Romeo dan Juliet tapi kisah aslinya kayak Batman VS Superman? Kan nggak bisa donk Buk, nggak sinkron, bukan Souvenir namanya"
Lin menunduk sejenak. Ia mengambil ponsel miliknya, ia berdiri dan menepi di dekat jendela. Ia bicara bisik-bisik dengan seseorang di seberang telephonnya.
Satu menit dua menit tiga menit, dia kembali. Ku atur kembali sikap dudukku. Mungkin ia akan mengajukan penawaran lain.
"Begini, nanti editornya,dari kita deh, jadi kamu nulis aja. Nanti, kita bayar feenya, 10 gimana?"
Aku berfikir sebentar.
"Bukan masalah 10 Buk, ceritanya gimana?, harus menjiwai kan…"
Lin menghentikan ucapanku, WA- nya tiba-tiba cetang ceting cetang ceting.Ia sibuk membalasnya. Sampai konsentrasi tingkat tinggi. Aku menunggunya, mencoba mengintip sedikit, tapi tak bisa. Ah, dia berhenti tiba-tiba.
"Kalau, Aku certain sedikit gimana" tuturnya.
"Maksud Ibu?"
"Iya,Sa-YA akan ceritakan, namanya juga kita yang kasih, asalnya juga, terus kisah mereka ketemu, sampai meninggal…."
Kisah mereka dari awal berjumpa sampai berpisah, sepertinya ini akan jauh lebih mudah. Tak banyak pikir panjang lagi, akupun segera menyetujuinya. Dalam kasus ini, aku harus menerima orderan sekecil apapun. Walaupun sebenarnya aku juga belum pernah membuatkan novel untuk orang lain, ya setidaknya, aku akan dapat sedikit tambahan. Uang! Mengingat hidup harus terus berjalan sementara pekerjaan baru belum aku dapatkan.
Lin, adalah seorang sekertaris yang ambisius, berbeda sekali dengan Ziva, sekertaris cantik yang pernah aku temui dulu. Baginya, berhasil! atau tidak kembali sama sekali. Ia tak kenal kata menyerah dalam melobi. Totalitas dan kesuksesan adalah hal yang harus ia dapatkan. Melihat usianya yang tak lagi muda, sepertinya, inilah alasan mengapa, ia masih dipekerjakan sebagai sekertaris oleh bosnya. Muda dan cantik, memang bukan jaminan seseorangmampu bekerja ekstra keras.
"Ibu ini, nggak ada niatan nipu kamu lo ya, jadi sebagai bukti kalau ini bukan penipuan, tanda tangan di sini!"
Setelah mengesahkan semua kesepakan kami, Linpun mengembalikan, tas yang tadi Ia sita dariku. Aku periksa isinya, masih lengkap dan utuh, ia memintaku, agar tak sedikitpun berniat membatalkan perjanjian kontrak yang ia buat denganku. Apapun alasanya kali ini harus tetap berlanjut sampai novel tersebut jadi. Akupun tak mau ditipu mentah-mentah seperti sebelumnya. Aku memintanya, untuk tak membatalkan kontrak kami dengan alasan sepihak. Baik ceritanya bagus, maupun tak bagus, ia harus tetap membayarnya.
"Ok, Besuk, kita ketemu lagi ya, di pantai, bisa ke sana kan?, pagi ya sebelum 7".
*******************************************************
-Pantai jam 07.00-
Dulu kami pertama kali bertemu di pantai ini, ada banyak hal yang bisa kami kenang lewat pantai ini. Aku melihatnya menggambar sebuah lukisan indah dari pasir-pasir putih. Anginnya bertiup kencang, matahari pagi mulai memanas di sisi kanan dan kiri pantai. Aku hanya bersembunyi di bawah pohon kelapa. Mengharap, semoga matahari segera terbenam. Ini bukan pantai kute yang banyak turis asingnya, tapi jika hanya mencari pedagang asongan, akan mudah sekali mendapatkannya. Mereka menawariku banyak makanan. Aku menolaknya semuanya. Aku tak suka makanan semacam itu. Aku lebih tertarik pada payung atau ac. Sayangnya tak ada yang menjual AC. Lalu dia mendatangiku
"Stop!!!" terikku mengagetkan Ibu Lin yang membacakan tulisan tangan bosnya padaku.
"Kenapa?" Aura memprotesku "Ini masih panjang lo…"
Aku memegang dahiku. Bangkit dan mengeskpresikan keputus asaanku. Maju dan mundur, menyibakan pasir pantai. Menjedotkan kepalaku ke pohon kelapa penuh kenangan.
"Saya tambah pusing Tante, aku nggak paham, aduh, intinya aja. Ya ampun tulisannya nggak ada nilai estetisnya sama sekali, kayak koran yang tak berbobot aja"
Lina langsung membaca secara serampangan dan membalik surat sebanyak 10 lembar yang ada ditangannya. Ia baru sadar, kalau ceritanya hanya diulang-ulang dan ulang. Tak bagus sama sekali. Selain itu, bahasanya juga kaku.
"Aduh, ini cuma diulang-ulang aja ternyata, ya begitulah, intinya mereka ketemu di sini, dibawah pohon kepala ini. Jam 7-8 an. Gitu. Minggu."
Pertemuannya tak romantis sama sekali. Di bawah pohon kelapa yang sudah tua banget dan tak terawat. Ya cinta memang tak mengenal waktu dan tempat. Setelah satu jam kami bertemu, Lina meninggalkanku untuk kembali ke kantornya, aku berjanji, setelah menyelesaikan bab pertama akan mengirimnya melalui email. Mengingat ini bukan kisahku, aku harus membuat kesepakatan tiap chapternya dengan rapi.
Jika sebagian besar penulis memilih menulis di tempat yang menginspirasi, aku malah menulis di tempat yang penuh kenangan sekaligus neraka bagiku. Pantai siang hari. Matahari tepat di atas kepala. Aku mencoba merasakan apa yang mereka rasakan saat itu, tapi gagal total. Keadanya sudah tidak sama, tak ada lagi pedagang asongan, sampah-sampahpun tak berserakan. Pasirnya sudah menjadi pasir putih.
" Ya kan pantainya sudah di normalisasi, jadi sekarang lebih bersih dan nyaman" terang petugas café yang aku wawancarai. Ia menyuguhkan minuman kelapa padaku. Ia juga menawariku untuk merasakan sensasi surfing di pantai tersebut.
"Diskon 70 % , mau coba, siapa tahu bisa dapat inspirasi, rumayankan, bisa sambil berjemur kayak bule-bule gitu, "
*******************************************************
~Restora Seafood The Sea~
"Di restoran ini, mereka pertama kali berkencan. Duduknya ya tepat di meja no 13 ini. Biasanya orang menghindari meja nomor 13, tapi mereka tidak"
Pemilik restoran datang dan membawakan beberapa catatan.
"Ini, menu yang biasanya mereka pesan, untung saya hafal banget ya. Mereka duduk di meja nomor yang sama sih setiap kali ke sini"
Aku memeriksa kertas-kertas yang diletakkan di depanku. Pemilik restoran itu, mulai berbincang-bincang dengan ibu Lina.
"Ini sih namanya, kuno Pak, pantesan gampang diingat" celetukku.
Spontan Nyonya Lina Aura langsung berhenti bercakap-capak dan mengambil kertas-kertas tersebut.
"Oh menunya sama?" tanyanya pada pemilik Restoran, Tuan Gie.
Ia mengganguk, Lin menggeleng-geleng, dan aku mengetik beberapa kalimat ke dalam laptop yang ku pinjam dari temanku. Mereka mulai saling mengomentari daftar makanan dan minuman yang di pesan. Tampak rukun sekali, seperti juri komentator pada sebuah acara televisi ajang pencarian bakat. Mungkin jika digambarkan, seperti ini. Menurut aku sih, menu-menu ini, sehat tapi kurang ngreeget, nggak ada variasinya. Lalu ganti ke Mr Gie, yah, bukannya nggak boleh, nggak ada variasinya, tapi bakalan lebih baik kalau anda memasukkan beberapa aransemen baru ke dalam daftar menu mankanan kalian. Untuk variasi. Mengingat patner duet Anda juga kan pasti bosan. Coba deh tambahkan improvisasi dikit di desertnya. Nggak akan merusak diet kok.
Waktu berlalu dengan sangat cepat, sopir Ibu Lina mengantarkanku kembali ke kamar kecil tempatku tinggal. Aku mulai mengetik-ketik beberapa kalimat pembuka, sungguh, ini akan menjadi cerita yang dilebih-lebihkan agar terkesan romantic. Mengingat kedua sejoli yang aku tulis kisahnya tak semenarik Romeo dan Juliet. Lebih tepatnya seperti kisah membosankan dua insanyang mengulang-ulang apa yang mereka lakukan selama hidup mereka. Tanpa ada satu pihakpun yang protes.
Lampu di layar ponselku menyala, ada panggilan masuk
"Iya hallo, iya besuk ya saya kirim, …Ok trimaksih, nggak kepagian Buk jam segitu?, Oh, ngejar pesawat promo ya. Oh, ok cuma sehari aja kan ya?" pembicaraanpun selesai.
************************************************************
~Juanda Surabaya 08.20~
"Jadi kita jauh-jauh ke Surabaya cuma buat merasakan sensasi naik pesawat promo paling pagi dan menunggu di Juanda tanpa melakukan apapun! Terus tunggu pesawat paling malam dari sini?"
Lina Aura, hanya cengar-cengir mendengar perkatanku. Ia taruh tas mahalnya di kursi bandara. Ia mulai mengeluarkan sedikit jurus rayuannya sebagai seorang sekertaris.
"Iya, jadi waktu itu, mereka salah naik pesawat, harusnya pergi ke Sydne tapi ternyata mereka salah pilih pesawat. Ya jadinya mereka berhenti di Surabaya. Sambil menungggu pesawat untuk kembali pulang ke Jakarta, mereka menunggu di sini"
"Dari pagi sampai malam Buk?, jam 22.30?" , Lina meng-ia- kan pertanyaaku
"Itu Bodo namanya!" Lina segera mengalihkan topik pembicaraan.
"Eh, Kamu pernah kerja di Surabaya nggak?, Tempat wisata yang bagus di sini apa sih, jauh nggak? Kita ke sana aja gimana? Bab satunya kemarin bagus lo kata si Bos, bisa lanjut deh…"